Tiba-tiba aku bertanya,
"Eh kamu hari Minggu koq tidak pergi main-main sih? kan bisa besok nagih."
"Aa.. aku pengen beresin ini Bu..." katanya.
"Masih banyak yang mesti ditagih?" tanyaku lagi.
"Tidak, ini terakhir."
"OK, ini uangnya dan terima kasih ya," kataku sambil berdiri.
Terlihat mukanya kecewa karena mungkin inginnya sih apa ya? (mana aku tahu dia mikir apa, yang jelas tegangnya masih tuh di balik celana pendek jeansnya).
Dia berdiri dan cepat ditutupkannya lagi tasnya di depan kemaluannya.
"Eh Banu, mau bantu Mbak tidak?" tanyaku.
Dengan sergap ia menjawab, "Mau..." katanya senang.
"Ini Mbak mau pakai krim tapi susah kalau di belakang punggung. Mau tidak kamu bantuin oleskan."
Wah kalian mesti lihat ekspresi mukanya, seperti orang menang lotere 1 juta dolar tuh.
"Ayo sini naik ke kamar Mbak deh!" ajakku.
Berdebar-debar aku membayangkan ini semua. Lubang vaginaku sudah bukan main gatelnya. Aku berbaring telungkup tanpa melepas handuk setiba di kamar.
"Itu Ban, ada di meja hias yang warna putih botolnya."
"Ini ya Mbak?" katanya cekatan.
Ia sudah lupa dengan tasnya dan celananya seperti sebuah tenda dengan tonggak tegak lurus.
"Yep..... itu dia Banu. Ini mulai dari pundak atasku ya Ban.
Ia duduk di pinggirku dan nafasnya terdengar terengah-engah. "Srr..." duh dinginnya krim itu ketika ia mulai mengoles pundakku. Tangannya terasa hangat sekali dan gemetar.
"Banu kamu pernah tidak ngolesin body cream gini?" tanyaku untuk membuat ia relaks.
"Ahhh... nggak pernah. Mbak cantik sekali dan kulitnya halus bener deh," katanya sambil terus mengoleskan krim.
Ah enak, dan pahanya terasa menempel pada sisi tubuh atasku.
"Eh Mbak, ini handuknya ngehalangin," katanya lebih berani.
Aku berdebar dan... "Oh iya... dorong saja..." tangannya mendorong sisi atas haduk di punggungku dan ditambahkannya krim dan dioleskannya ke punggungku.
"Mbak.. eeeh... saya buka saja ya handuknya."
Ah... batinku, berani juga anak ini. Kuangkat sedikit badanku dan ditariknya handuk dan jadi longgar dan copot. Buah dadaku terasa sedikit pedih waktu ditariknya handuk itu dan telanjang bulatlah aku. Dari kaca meja hias aku lihat Banu ternganga lagi melihat tubuh mulus dan montok tersaji di depan matanya. Ia lupa mesti memberi krim. Aku pun menahan nafsuku dan tetap terlungkup.
"Eh Banu ayo dong! ngeliatin apa sih kayak belum pernah ngeliat wanita," desahku merangsang.
"Oh iya iya..."
Dia mengoles lagi dengan sigapnya, tangannya teasa tambah hangat.
"Hmm, pantatnya juga tidak Mbak Etty?"
Hi hi hi dia panggil aku pakai nama Etty, lucu rasanya karena sudah lama tidak dipakai nama itu.
"Iya," ujarku.
Dan "Seerr..." rabaan tangannya membuatku mendesah keenakan dan suasana di kamar itu sudah penuh dengan hawa nafsu saja. Rabaan tangannya mulai mengcengkeram kedua bukit sintal, dan aku pelan-pelan merenggangkan pahaku dan kuangkat sedikit pantatku. Banu pindah ke dekat pahaku dan aku geli karena pasti dia ingin lihat vaginaku. Sengaja kuangkat terus dan kulebarkan lagi pahaku dan tangannya masih meremas-remas (bukan ngolesin lagi cing).
Kulihat ia menjilatkan lidahnya ke bibirnya dan tangannya mendekat ke arah paha dan jempolnya kiri dan kanan mendekat ke vaginaku sambil tetap meremas-remas pantatku sebelah bawah. Aku pun tak sadar mendesah-desah keenakan dan terasa di sebelah dalam pahaku mengalir cairan dari vaginaku. Aku diam saja supaya Banu tidak malu dan kuintip terus dari kaca kelakuannya. Diulurnya jempolnya dan terasa sentuhan halus di tepi bibir vaginaku. Enak dan aku angkat lagi pantatku dan jempolnya menyentuh lebih berani. Aku menahan terus nafsuku, maunya sih aku sudah berbalik dan kuterkam saja si Banu ini tapi itu akan mengurangi nikmat. Banu melihat aku diam saja dan jempolnya tambah ke dalam pahaku dan ia kelihatan terkejut merasakan lincir dan hangat, basah sekali bibir vaginaku. Ia melihat aku tetap terdiam, aku menggigit bantal yang kupeluk dan terasa puting susuku gatal sekali juga. Kutahan nafsuku dan kubiarkan dia eksplorasi dulu.
Nak Banu... aduhh..." keluhku, "Shhh... enak sekali..."
Dan kakinya tambah dikangkangkannya lebar-lebar, pantatnya naik sedikit sehingga vaginaku sudah terpampang di mata Banu yang terbelalak. Tenggorokannya kering sekali dan tangannya dingin. Bulu kemaluanku sudah menempel karena kuyup. Jari Banu meremas-remas pantat dan paha atas. Dilihatnya vagina merekah dan bau khas seperti laut begitu merambah hidungnya membuat suasananya tambah merangsang. Dasar anak masih "ijo" dia tak tahu mau ngapain. Aku biarkan jarinya mendekat ke bibir vaginaku dan kutahan nafas mengantisipasi enak yang bakal kurasakan. Kutinggikan lagi pantatku dan terasa jarinya menyentuh dan mulai menggosok dengan rasa ingin tahu sambil takut dimarahi. Aku berbisik, "Terus Banu... paha dalam ibu itu perlu juga," aku memberanikan dirinya, dan aku lebarkan lagi pahaku sehingga betul betul sudah bebas terlihat belahan vaginaku dari belakang situ. Jari-jari Banu mulai mendekat lebih jauh ke lubang dan bibir-bibir kiri dan kanan vaginaku dan mengorek-ngorek. "Aduhhh... nikmat sekali..." Jari tengah Banu masuk ke lubang basah dan keluar-masuk, ia mengorek-ngorek tanpa tahu apa yang harus dikerjakan. Kutuntun tangannya dan kutangkupkan pada vaginaku dan jari telunjuknya aku letakkan di atas klitorisku "Gosok dan gelitik Banu!" kataku. Pantatku tambah tinggi sehingga aku hampir berlutut. Pantatku sudah hampir setinggi mulut Banu yang ternganga selebar pintu Tol.
Dengan pelan tanganku meraba paha Banu, seperti orang kena listrik ia mengejang. "Jangan takut Banu, Ibu tidak apain kok." Aku naikkan lagi dan penisnya yang sudah keras luar biasa terasa di luar celana pendeknya. Aku elus-elus dan ia seperti orang kesurupan, matanya terbalik-balik keenakan, dan kutarik celananya ke bawah, ia berdiri dan bebas merdeka batangnya itu. Kugenggam erat-erat dan aku bilang, "Banu kamu ke belakang situ dan tempelkan penismu ini ke mulut lubang vagina." Aku menungging berlutut, pantatku tinggi ke atas dan posisi vaginaku sudah terbuka lebar. Banu mendekat dan sambil memegang penisnya ia mengarahkan ke vaginaku.
"Ahhh.. ahhh... enak Banu..."
"Iya Mbak enak sekali..."
Aku pegang penisnya dan pelan-pelan kuamblaskan ke dalam lubang vaginaku. Gila panas sekali batangnya itu. Dan aku mulai berayun-ayun ke depan dan ke belakang. Banu pegangan pada pinggulku, buah dadaku berayun-ayun menggelantung bebas. Dan pelan sekali kusedot penis Banu dalam vaginaku, kugerakkan otot dinding vaginaku bergelombang-gelombang. Di kaca aku melihat posisiku dan Banu, sungguh pemandangan luar biasa. Anak masih "ijo" itu antusias sekali dan kelihatan ia masih bingung-bingung. Terus kugenjot dan Banu mulai pintar mengikuti gerakannya, dan terasa batangya maju-mundur menggaruk-garuk dinding vaginaku dengan nikmat sekali.
Dan 2 menit kemudian meledak-ledak orgasmeku dan ia kujepit dengan kencang dalam vaginaku sampai terasa seperti kuperas batangnya sampai kering dari spermanya. Terdampar Banu di atas punggungku dan aku rebah ke ranjang. Penisnya masih setengah tegang dan terasa berdenyut denyut. Itu pengalaman Banu pertama.
Aku tertidur setelah itu dengan enak sekali, sungguh segar. Besoknya aku sibuk di kebun sampai sore, dan siangnya aku tidur lagi sebentar, rencanaku anak kostku yang lain akan kupetik perjakanya. Jam 06.00 sore aku mandi dan dandan sedikit, aku kenakan daster tipis. Setelah itu aku duduk di kamar tamu membaca koran sore menunggui anak-anak kost pulang kuliah sore. Di luar terdengar suara orang berjalan menuju pintu depan, hatiku berdebar menebak siapa yang datang. Ketokan pintu baru 2 kali dan aku sudah membuka dengan cepat sambil tersenyum manis. Eh Pak RT ayahnya Banu, aku kecewa dan terkejut. Apa Banu laporan ke Bapaknya? Tidak biasa-biasanya Pak Zainul kemari.
"Oh selamat sore Mbak Etty, maaf mengganggu," katanya.
Matanya liar melihat tubuhku dari atas sampai ke bawah, apalagi dasterku tidak bisa menyembunyikan buah dadaku dengan baik.
"Iya Pak mari masuk," undangku sambil melebarkan pintu.
"Ada apa Pak RT?"
"Oh ini Bu, ada surat ke sasar di rumah Pak Anwar pas saya lewat tadi mau pulang dan karena lewat rumah Mbak, ya saya bawa sekalian," katanya sambil menyerahkan sepucuk surat.
Matanya menatap wajahku dengan tajam kemudian turun ke arah buah dadaku yang separuh nongol di dasterku. Ih ganas juga orang ini pikirku.
"Oh terima kasih Pak, mari duduk!" kataku sopan dengan mengharapkan ia segera pergi.
"Ini Bu, tadi saya ketemu nak Andi dan titip pesan, anak-anak mau ke undangan pesta anaknya Pak Anwar ulang tahun Bu, mereka makan malam dan katanya mau nginap di sana."
Aku kecewa sekali mendengar itu.
"Ya, terima kasih Pak ngerepotin jadinya."
"Oh tidak kok," seringainya seperti serigala buas.
Umur Pak Zainul aku rasa sekitar 40 tahunan masih gagah. Kata orang-orang dulu dia atlet renang dan sekarang punya toko olah raga di jalan besar dekat rumahku.
"Mbak kok kayaknya agak pucat?" ujarnya lagi.
"Aah masa..." kataku.
"Saya belajar sedikit Mbak tentang pengobatan," katanya.
"Mau tidak saya pijat telapak kakinya?" katanya.
"Tidak lama kok, paling 10 - 15 menit."
Aku jadi iseng, "Iya deh Pak, silakan duduk Pak, saya dimana?"
"Oh itu Mbak duduk saja di kursi rotan itu dan saya pakai ya dingklik ini," katanya dengan sigapnya.
Aku duduk dan ia duduk di dingklik dan mulai meraba telapak kakiku. Kemudian ia mulai memijit dan... "Aduh sakit Pak! kataku. Pahaku terbuka karena terkejut tadi. Aku jadi merah karena ingat tidak pakai celana dalam. Celaka, batinku. Cepat kurapatkan lagi dan Pak Zainul tenang seperti orang tidak melihat padahal pasti dia lihat tadi. Ia meletakkan satu kakiku di atas pahanya dan mulai memijat dengan pelan, "Ah enak juga," kakiku satu lagi di bawah pahanya dan aku menikmati pijatannya. Pelan-pelan dari tapak kakiku tangannya naik ke atas kaki kemudian ke betisku dan didorongnya ke arah luar sehingga aku agak mengangkang lagi jadinya. Aku diam saja. Kakiku satu lagi sekarang pas di bawah buah zakar dan penisnya, pelan-pelan kunaikkan dan jempolku pas kena buah zakarnya kugeser-geser di situ. Pikirku, tidak ada akar rotan pun jadilah, lagi orangnya lumayan bersih dan tidak bau badan. Aku memejamkan mata dan membiarkan pijatannya naik ke betisku dan aku mulai merasa basah. Kuelus-elus buah pelirnya dengan jari-jari dan punggung kaki. Ahh, koq penisnya besar sekali terasa di kakiku. Pak Zainul pakai celana training dan kuintip, wah sudah jadi tenda tuh. Dan aku sudah berserah dan Pak Zainul sudah mendesak pahaku dan dasterku sudah tersingkap sampai ke atas, aku diam saja dan ia mulai menciumi dengkulku, aduh gelinya.
Bersambung...