Serigala lapar, trilogi 3 - The Bitches - 7

Bookmark and Share

Sementara itu kegatalanku di bawah sana, di kitorisku menjadi paduan kenikmatan yang dahsyat melandaku. Bu Retno melihat perkembanganku dan Surti hingga ikut terbawa arus. Nafsu birahinya juga ikut mengganas. Dia menyambar dildo dua kepala yang rupanya telah dipersiapkan sebelumnya. Diangkatnya kakiku hingga ke pundaknya. Pantatnya digeserkan ke depan mendekat ke pantatku. Dimasukkannya salah satu kepala dildo itu ke kemaluanku yang langsung melahapnya. Kemudian dia masukkan kepala dildo sisi yang lain ke kemaluannya sendiri. Dalam waktu yang sangat singkat, dia sudah mengayun-ayun dan memompa dildo itu ke kemaluannya dan ke kemaluanku. Sungguh sangat sensasional.


Dua perempuan cantik itu kini sedang menggarap tubuhku. Dia atas bangku taman yang tipis memanjang ini, Surti mengangkang dengan nonoknya yang getas dan membasah dalam lumatan mulutku, sedangkan di belakangnya, Bu Retno menggarapku dengan dildonya. Kini kami bertiga berpacu bersama menapak puncak-puncak kepuasan kebetinaannya. Kini kami bertiga sedang dipacu dan diburu gelombang dahsyat untuk meraih orgasmenya. Kurasa taman alam pedesaan yang penuh bunga itu telah berubah menjadi hutan yang dihuni serigala-sergala betina yang haus dan lapar. Yang lolongannya memenuhi belantaranya hingga ke ujung-ujungnya. Kegaduhan erotis dalam bentuk desahan, rintihan dan racauan liar memenuhi hutan itu.


Rasa seperti ingin kencingku sudah kembali hadir kini. Aku yakin aku sudah berada di ambang orgasmeku. Dan tak ayal lagi gerakan bagian-bagian tubuh sensitifku membuas tak terkendali. Surti memperketat jambakan tangannya pada rambutku. Dan Bu Retno mempercepat ayunan dildonya ke memekku hingga aku tak kuasa lagi membendungnya. Dengan jeritan yang membahana di taman hutan itu, kurasakan cairan orgasmeku muncrat-muncrat. Kubenamkan lebih dalam kukuku ke paha Surti untuk menahan kenikmatan dahsyatku. Kuangkat tinggi-tinggi pantatku untuk menjemput dildo Bu Retno agar dapat lebih meruyak lagi ke dalam vaginaku. Setelah itu segalanya kulepaskan. Aku terjatuh lunglai. Aku merosot ke tanah di taman penuh bunga itu. Aku merasakan kelegaan yang amat sangat setelah melewati badai nafsuku yang sempat melemparkanku terombang-ambing dalam gairah birahi. Nafasku yang tersengal mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya.


Aku merasakan tubuhku dibangunkan dan diangkat ke sofa di taman itu. Aku disenderkan di tempat empuk di sana. Kakiku mereka rentangkan terbuka. Aku dapat melihat dan merasakan bahwa Bu Retno langsung kembali merangsek nonokku. Dia ingin meminum cairan orgasmeku. Sementara kulihat Surti menjilati dildo dua kepala itu. Dia menjilati cairanku dan juga cairan yang mulai membasah dari kemaluan Bu Retno. Surti dan Bu Retno masih belum berhasil meraih orgasmenya. Dan kini tubuhku sepenuhnya menjadi obyek pemuasan birahi mereka. Ada rasa tersanjung yang menyelinap dalam relung hatiku. Bu Retno dan Surti sangat menggilai diriku. Mereka sangat merindukan apapun yang keluar dari tubuhku. Mereka akan melumatnya, meminum dan bahkan memakan apapun yang keluar dari tubuhku. Mereka menatapku dengan nyalang dan dengan penuh kehausan serta kerakusan birahi pada tubuhku.


Aku masih kelelahan akibat orgasmeku tadi. Aku yang kini telah tersadar sepenuhnya mencoba mengingat-ingat, bagaimana caranya hingga aku sempat terbius oleh minuman dari Bu Retno tadi. Rupanya begitu aku terserang kantuk, mereka melucuti pakaianku hingga telanjang bulat. Dan mereka juga melucuti pakaiannya sendiri. Kemudian mereka letakkan tubuhku ke atas bangku tipis panjang itu. Mereka ingin agar seluruh tubuhku terbuka. Tanganku yang jatuh terkulai membuka ketiak dan dadaku. Kakiku yang terjuntai ke tanah membuka selangkanganku dan juga membuat kemaluanku merekah terbuka lebar-lebar. Dengan cara begitu, Surti dan Bu Retno benar-benar dapat menikmati pesona tubuhku secara habis-habisan. Kembali perasaan tersanjung menyelip di dadaku hingga terlontar senyum di bibirku. Aku sangat menikmati kekaguman dan kegilaan mereka pada tubuhku.


Saat ini kulihat Bu Retno memegang dildo yang lain, memasukkannya ke kemaluannya dan mengocok-ngocoknya sambil mulutnya terus melumat kemaluanku. Sementara itu Surti masih menjilati dildo berkepala dua yang baru saja kupakai bersama Bu Retno tadi. Rupanya cairan cintaku masih banyak menempel pada dildo itu. Juga cairan birahi Bu Retno yang mulai mengalir dari vaginanya masih nampak membasah pada ujung kepala sisi yang lain dari dildo itu. Dan erangan dari mulutnya terus meracau karena kocokan dildo yang lain lagi pada kemaluannya. Mereka berdua kulihat sedang bermacu mengejar kepuasan tertingginya. Mereka ingin meraih orgasmenya masing-masing. Dan ternyata tak lama kemudian, secara hampir bersamaan, Surti dan Bu Retno berteriak histeris. Kulihat tangan-tangan mereka dengan sangat cepat mengeluar-masukkan dildo ke vaginanya masing-masing. Akhirnya mereka semua berhasil meraih orgasmenya.


Kemudian hening, yang terdengar hanyalah nafas-nafas kelelahan dari 3 perempuan yang semuanya telanjang bulat di taman indah ini. Dan ketiganya bermandi keringat setelah bekerja keras mengejar kenikmatan nafsu birahinya. Sesuai dengan apa yang dikatakan Bu Retno, kini aku merasa desakan ingin kencing. Aku bangun dari lantai dan bergerak menuju toilet. Baru 2 atau 3 langkah aku beranjak, Bu Retno kembali memanggilku.


"Sebentar Jeng. Mau kencing ya? Sini dulu. Duduk di sini".


Dia melambaikan tangannya dan menunjuk ke sofa agar aku duduk kembali. Kutahan sebentar desakan ingin kencingku, mungkin ada hal penting yang ingin disampaikannya padaku.


"Jeng Marini, kencing saja di sini. Aku pengin lihat nonok Jeng Marini saat mengeluarkan air seninya".


Edan, belum pernah terjadi ada orang yang ingin melihatku saat buang air. Aku sendiri pasti akan malu setengah mati kalau saat sedang melakukannya dilihat orang lain.


"Sini Jeng, nggak apa-apa kok. Ibu jamin deh, nggak usah malu", katanya meyakinkanku hingga aku merasa kesulitan menolak permintaannya.


Mungkin itu merupakan salah satu unsur kepuasannya dalam menikmati apapun yang keluar dari tubuhku, biarlah. Aku menurutinya untuk duduk. Kemudian Bu Retno beranjak sebentar mengambil gelas kristal bening dari meja toilet yang tampaknya telah disediakannya sebelumnya. Kemudian dia berbalik mendekatiku dan membetulkan posisiku. Dia memintaku bersandar ke sofa, dengan kakiku naik melipat ke dada hingga memekku "exposed" tanpa hambatan.


"Udah Jeng, ayo kencing saja, biar aku sama Surti melihat dan menikmati saat Jeng Marini kencing".


Karena sudah sedemikian ngebetnya, tak ada yang mampu mencegahnya lagi, dan kemudian mancurlah air seniku. Cairan bening kekuning-kuningan mancur deras dari kemaluanku.


Ternyata Bu Retno dan Surti bukan sekedar melihatnya. Wajah mereka dengan cepat bergerak ke depan menjemput kencingku dengan mulutnya masing-masing yang menganga. air seniku langsung masuk ke mulut mereka. Ke Surti kemudian berganti ke Bu Retno. Tubuh mereka juga bermandikan air seniku. Dengan gelas kristalnya, Bu Retno juga menampung air seniku yang tercecer. Mereka dengan rakusnya meminum air seniku. Dan aku sungguh merasa heran, air seniku kali ini sedemikian deras dan sedemikian banyaknya mancur keluar, sesuai dengan keterangan Bu Retno tentang 'jamu' Amerika yang kuminum tadi.


Aku melihat sesuatu yang sangat sensasional. Dua perempuan cantik yang sedang berebut meminum air seniku. Mereka demikian menunjukkan gairahnya hingga saling berebut untuk menangkap pancuran air seniku yang berwarna kekuning-kuningan yang baru saja keluar dari nonokku. Aku melihat ekspresi kepuasan pada wajah-wajah mereka. Khususnya pada wajah Bu Retno. Nampaknya seluruh skenario beliau dalam upaya menikmati seluruh tubuhku tak ada yang tak terlaksana. Bu Retno secara khusus menyampaikan terima kasihnya padaku. Dia cium bibirku dengan bibirnya yang masih berbau pesing oleh air seniku sendiri.


Ditunjukkannya gelas kristal yang berisi air seniku. Nampak bening dalam warna yang kekuningan. Seperti segelas bir yang baru keluar dari botolnya. Nampak di permukaannya ada busa-busa yang menepi di dinding gelas kristal itu.


"Jeng, ini adalah minuman termahalku. Ini adalah minuman sehatku. Aku akan berbagi dengan Surti untuk menghabiskannya".


Kemudian dia menenggaknya setengah dan sisanya diserahkan kepada Surti yang juga menenggaknya dengan rakus hingga tetes-tetes terakhirnya. Aku terpesona dengan apa yang baru saja kulihat di depan mataku ini. Gairah erotis menjalari kudukku. Aku jadi haus dan jadi sangat ingin melakukan hal yang sama seperti itu. Aku ingin pada suatu saat nanti, aku berkesempatan meminum air seni Bu Retno dan Surti. Aku memegang puting payudaraku. Kupelintir kecil untuk menyalurkan birahi kecilku yang lewat selintas.


Kurasa 'pesta' ini telah selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 3.24 sore. Saatnya menyiapkan diri untuk menyambut tamu ibu-ibu yang akan arisan rutin pada pukul 4 sore ini. Dan kami bersepakat untuk mandi. Di kamar mandi, aku masih membayangkan peristiwa terakhir tadi. Bu Retno dan Surti yang nampak demikian menikmati air seniku. Ah, kapan giliranku bisa melakukannya..?


*****


Beberapa waktu kemudian, Bu Retno dan Surti benar-benar membuktikan padaku bahwa segala isu yang berkaitan dengan penyelewenganku benar-benar berhasil mereka redam. Para serigala teman Mas Adit tak seorangpun yang berani bersikap kurang ajar. Mereka menjadi sangat menghormatiku, kendati aku tahu mereka tetap menyimpan kerinduannya untuk kembali menyetubuhiku.


Sementara itu Mas Adit sendiri akhir-akhir ini telah banyak berubah. Dia ternyata akhirnya mampu memberikan kepuasan di atas ranjang bersamaku. Dia telah membuktikan dirinya sebagai orang yang pintar. Akhirnya dia menyadari bahwa kepuasan seks itu tidak diukur hanya secara fisik semata, karena jelas dia tak akan mampu memenuhi kebutuhan fisik seperti itu. Tetapi sebagai orang yang cerdas dan kreatif, dia telah banyak mengamati bahwa dengan semakin pintar dan majunya seseorang, kekuatannya bukan lagi pada ukuran fisik. Begitu juga dalam hubungan seksual.


Dia sudah sangat memahami apa makna kelembutan, perhatian, pengertian, toleransi, fantasi, kreatifitas dan improvisasi dalam berhubungan seksual. Mas Adit telah memahami bahwa seks adalah seni yang harus di dekati dengan sikap berseni pula. Mulai dari ciuman, rabaan, gigitan, elusan, desahan, rintihan, erangan, dengusan dan bahkan sebaliknya sesekali kata-kata pujian yang seronok, kotor dan jauh dari etika kesopanan sehari-hari, dapat menjadi sarana untuk mencapai kepuasan seksual. Hebat, aku heran, belajar dari mana dia. Bagaimanapun, aku sangat puas dan bahagia dengan perkembangan terakhir ini.


TAMAT