Hi, namaku Steve. Ini adalah kisahku yang kedua setelah kisah pertamaku dengan Denny. Semuanya ini aku angkat dari kisah nyataku di dunia homoseksualitas. Pengalaman pertamaku dengan Denny tentu saja itu adalah pelajaran pertamaku dan sebuah pengalaman yang tak bisa dilupakan. Tetapi kalau aku ditanya tentang pengalaman yang paling dahsyat yang pernah aku dapatkan selama berkecimpung di dunia gay ini, tentu saja pengalaman yang akan kuceritakan kali ini.
Seorang drummer, sebut saja namanya Valent. Ia bukan berasal dari band kenamaan, tapi dari sebuah band kecil, yang dibentuk oleh anak-anak sekolahan. Ia seumuran denganku. Ketika aku mengenalnya, kita sama-sama duduk di bangku SMU kelas 2, cuma bedanya ia tinggal di Indonesia sedangkan aku di Melbourne. Valent berbadan bongsor dan atletis, tingginya waktu itu saja sudah sekitar 180 cm. Anaknya asyik dan funky. Tapi lucunya, kadang-kadang ia tulalit juga, itu yang membuatku sering jengkel jika ngobrol dengannya. Bahkan seringkali aku mengumpat dalam hati, "ganteng-ganteng kok tulalit!"
Sebetulnya, perkenalanku dengan Valent berlangsung secara tak sengaja. Waktu itu aku sedang libur semester dan memutuskan pulang ke tanah air. Suatu sore, ketika sedang tak ada kerjaan di rumah, aku memutuskan untuk jalan-jalan mengunjungi teman-temanku semasa SMP dulu, memang ada beberapa yang sudah pindah ke luar kota termasuk Denny salah satunya, namun ada lumayan banyak juga yang masih bertahan bersekolah di kota ini. Salah satunya adalah Cindy, si Barbie imut yang juga pernah menjadi bagian dari perjalanan cinta monyetku dulu. Tapi itu masa lalu, sekarang kita hanya sebatas teman. Dan entahlah, diantara kami seolah sudah pupus rasa saling menyukai. Ia cantik, pintar dan penyayang, tapi ia bukan tipeku.
Rumah Cindy lumayan jauh dari rumahku, kurang lebih 5 kilometeran. Tapi tak begitu masalah bagiku selama aku bisa membawa BMW milik papa. Kalau dulu, aku harus mencuri-curi kesempatan untuk membawa BMW itu, beda halnya dengan sekarang. Kini, aku sudah punya SIM dan papa pun sudah mulai lebih mempercayai kemampuanku menyetir mobil. Aku tinggal minta baik-baik, ambil kunci dan langsung cabut, begitu saja!
Aku tak berharap banyak melihat perubahan pada diri Cindy yang tentunya sudah lebih dewasa dibandingkan ketika dulu kami satu sekolah. Mungkin saja, sekarang ia tambah cantih dan bodinya tambah aduhai, atau bagaimana? Bagiku itu tak terlalu penting. Aku cuma ingin melepas rasa kangenku kepada seseorang yang pernah menjadi begitu berarti di masa laluku, mengajaknya keluar, ngobrol dan makan malam. Bahkan tak terpikir olehku kalau-kalau Cindy sekarang sudah punya pacar sehingga akan ada yang berkeberatan jika ia jalan bersama seorang laki-laki sepertiku.
Hampir jam setengah enam ketika mobilku berhenti di depan pagar bercat hijau, yang di dalamnya terdapat sebuah rumah megah berarsitektur Eropa. Tepat di depan mobilku, ada sebuah mobil coupe yang nyentrik. Rupanya ada tamu, pikirku. Dan sudah bisa kupastikan, yang pakai mobil seperti itu pastilah tamu Cindy, tak mungkin tamu papanya, apalagi tamu Mbok Iyem, PRT Cindy. Kupencet bel yang ada di balik pagar berulang kali, sampai kemudian sepasang muda-mudi keluar dari dalam rumah. Sekilas, aku pangling melihat Cindy dengan longdress yang dipakainya, ia lebih mirip tante-tante saja.
"Hi, Cin!" seruku dari balik pagar seraya melambaikan tangan ke arah Cindy. Gadis itu tertegun sejenak, tak balas melambai, melainkan hanya melangkah mendekati pagar.
"Siapa? Steve yah?" tanya Cindy ragu-ragu.
"Iya, ini aku. Masak lupa?" sahutku sambil nyengir, memamerkan deretan gigiku yang putih bersih, yang dahulu membuat Cindy tergila-gila padaku.
Cindy tersenyum, kemudian ia ngakak, tapi tetap saja aku tak dibukakan pintu.
"Steve, beneran nih? Tumben ingat sama aku!" guraunya.
Sementara itu, cowok tinggi berkulit putih yang bersama Cindy hanya menatap kami bergantian dengan tatapan heran. Sekilas aku melihat ke arah cowok itu, nah, sekarang aku yakin betul kalau cowok itu belum pernah aku kenal sebelumnya, tidak juga salah satu alumni SMP kami.
"Lent, kenalin, ini teman SMP-ku, namanya Steve!" kata Cindy mengenalkanku pada teman cowoknya itu.
Aku mengulurkan tangan,"Hallo!" sapaku ramah.
"Hallo, namaku Valent!" kata cowok berambut gondrong itu dengan suara seraknya yang terdengar seksi. Setelah itu, Cindy mengajak kami berdua ke taman belakang rumahnya yang dilengkapi kolam renang berukuran besar.
Sambil ditemani sepiring pisang goreng buatan Mbok Iyem yang sudah lama aku kangeni, kami bertiga mengobrol banyak, atau lebih tepatnya aku dan Cindy yang lebih banyak mengobrol. Valent hanya sesekali saja bicara, itu pun kalau ditanya, ia sepertinya pendiam, pikirku.
Di tengah-tengah obrolan kami, tiba-tiba Cindy pamit ke kamar mandi. Kupikir, ini kesempatan emas untuk aku mengobrol dengan cowok ganteng dan super cute yang ada di hadapanku ini.
"Tadi Cindy bilang kau juga main drum, betul begitu?" tanyaku membuka obrolan.
Sambil tersenyum, Valent mengangguk sekali, "Yah, untuk menyalurkan hobby saja!"
"Wah, kalau begitu bisa ajarin aku dong. Soalnya aku juga suka drum, tapi sayangnya selama ini nggak ada waktu untuk belajar, mau nggak?" kataku berbasa-basi.
Lagi-lagi, Valent tersenyum. Jantungku hampir copot dibuatnya, senyumannya sungguh dahsyat dan luar biasa menawan. Tambah ganteng aja nih anak kalau tersenyum, pujiku dalam hati.
"Boleh aja, tapi aku juga masih dalam tahap belajar kok! jadi belum gitu mahir juga,"
"Wah, kapan dong aku bisa main ke tempatmu?" kataku dengan semangat. Valent tak segera menjawab, ia berpikir sebentar.
"Besok sore aku di rumah, datang aja! Ini alamat dan nomor HP-ku," kata Valent seraya menyodorkan sepucuk kartu nama kepadaku.
Itulah awal perkenalanku dengan Valent, dan saat itu juga aku tahu kalau tidak hubungan yang khusus antara Valent dan Cindy, mereka hanya sebatas teman satu sekolah.
Keesokan harinya, sebelum jam 3, aku sudah ada di rumah Valent. Ketika aku datang, Valent sedang berenang di pekarangan belakang rumahnya. Karena itu, aku langsung diantar menuju pekarangan belakang oleh tukang kebun yang membukakan aku pintu setelah ia tahu bahwa aku teman Valent.
"Hi, Stev. Tunggu sebentar yah!" sapa Valent begitu melihatku nongol dari gang sempit di sisi kanan rumah Valent. Aku mendekatinya sampai ke bibir kolam, dan Valent pun menepi, menghampiriku.
"Mau ikutan berenang?" ajaknya kemudian.
"Enggak ah, aku nggak bawa pakaian ganti," kataku dengan rada menyesal.
Coba tahu kalau aku akan diajak berenang, kan aku bisa bawa celana renangku dari rumah.
"Oke deh kalau gitu tunggu sebentar yah, lagi nanggung nih!" kata Valent yang sesaat kemudian diikuti dengan luncuran badannya ke tengah kolam.
Kulihat Valent jago berenang juga, pantas saja badannya bagus. Tak lama kemudian, Valent mentas dari kolam renangnya, ia membasuh tubuhnya yang hanya dibungkus dengan celana renang model peluru itu dengan handuk. Kemudian, ia mengajakku duduk di kursi malas yang ada di dekat situ sambil menikmati segelas jus apel yang sudah dihidangkan oleh pembantu Valent yang tadi membukakanku pintu.
Kami mengobrol sebentar, tapi sebenarnya konsentrasiku terpecah saat itu, apalagi ketika berulang kali mataku terarah ke bagian yang menonjol di balik celana renang yang dikenakan Valent. Benda itu tampak besar dan kokoh. Ketika aku sedang bengong memandangi kontol Valent yang terbungkus celana renang itu, tiba-tiba Valent menyentakku dengan menepuk pahaku.
"Hai, sadar dong!" katanya yang kontan membuatku kaget setengah mati.
Valent tersenyum, entahlah sepertinya ia mencium gelagat yang tidak beres dan dapat membaca apa yang kupikirkan saat itu, semuanya itu bisa aku lihat dari tatapan matanya yang tiba-tiba berubah terhadapku dan senyumnya yang tampak sedikit sinis.
"Ayo, ikut aku ke studio pribadiku!" ajak Valent seraya berlalu masuk ke dalam rumah.
Ia mengajakku ke sebuah kamar yang disebutnya sebagai studio, di dalamnya paling tidak aku lihat ada seperangkat drum yang pastinya sangat mahal, seperangkat keyboard, gitar bass, serta sound system. Barang-barang di situ terlalu mewah untuk sebuah studio pribadi, pikirku. Beberapa saat aku menunggu di dalam ruangan itu, sementara menunggu Valent mandi dan berganti pakaian.
"Kami sekeluarga gemar main musik," kata Valent begitu melihat mimik mukaku yang tampak keheranan melihat setiap peralatan musik yang ada di ruangan itu.
Valent mengambil sepasang stick yang disimpannya di dalam lemari kaca yang ada di situ, kemudian ia duduk di belakang drum-nya dan sesaat kemudian sudah terdengar tabuhan drum yang entahlah aku tak bisa mendengarkan keindahan artistiknya. Aku memang sama sekali tidak hobby main musik.
Setelah beberapa saat Valent menabuh drum-nya, ia menyodorkan stick-nya padaku.
"Mau coba?" tantangnya yang langsung ku balas dengan gelengan kepala.
"Aku sama sekali nggak bisa main," kataku terus terang.
"Coba saja, aku ajari!" kata Valent lagi.
Akhirnya setelah dipaksa, dengan ragu-ragu aku mengambil stick itu dan duduk di belakang drum. Kemudian Valent menjelaskan sedikit tentang bagaimana cara memainkan stick dan memadukannya dengan gerakan kaki agar bisa terdengar ritmik dan harmonik. Selain menjelaskan dengan kata-kata yang kadangkala aku tak paham, ia terkadang menggantikan posisiku di belakang drum sambil memberikan contoh permainannya. Lama-kelamaan dapat aku nikmati juga asyiknya bermain drum. Paling tidak hari itu, aku tidak kaku lagi menabuh drum seperti sebelumnya.
Berulang kali Valent membimbing tanganku, ia memegang tanganku sambil mengajariku. Tapi setelah agak lama, baru kusadari kalau ada yang "kurang beres" dengan caranya memegangku. Berulang kali kudapati ia meremas-remas pergelangan tanganku dari belakangku. Tapi, aku pura-pura tidak tahu saja. Keenakan sih!
Begitu tahu aku diam saja, gerakan dan rangsangan Valent makin menggila, ia makin berani memegang-megang dadaku. Bagaimana jantungku tak akan berdegup lebih kencang kala itu? Permainan drumku sampai kuhentikan ketika Valent mengusap-usap dadaku dengan sebelah tangan sementara tangan satunya lagi memegangi pinggulku. Kemudian, Valent menarik sebuah kursi, ia duduk di belakangku, merapatkan badannya ke punggungku.
"Kau suka?" tanya Valent di tengah-tengah aksinya.
Aku tak menyahut, tapi anggukan kepalaku sekali saja waktu itu, sudah mewakili jawaban jujur dariku. Setelah itu, Valent membuka T-Shirt yang dipakainya sebelum ia melepaskan kaosku. Mulai detik itu, aku merasakan kecupan-kecupan bibirnya di sekujur tubuhku; leher, pundak, ketiak, pinggang, dan punggungku. Gesekan dengan kumis tipisnya membuatku jadi lebih horny saat itu. Aku pun tak kuasa untuk menahan erangan dan desahan nikmat bercampur geli.
"Aku suka aroma ketiakmu, jantan dan bikin aku horny!" puji Valent di sela-sela agresi yang dilancarkannya.
Valent cukup lama menciumi dan menjelajahi tubuh bagian atasku, tetapi aku bisa menikmatinya, bahkan sangat menikmatinya. Kemudian, karena tak cukup puas bermain belakang, Valent memutar kursiku agar kami berhadap-hadapan. Setelah kami berhadapan muka dengan muka, kami berciuman lagi. Kami saling melumat bibir masing-masing. Dan aku pun sudah mulai berani untuk melancarkan aksi balasan, tak kalah serunya. Kuhisap bibir tipisnya dan aku lumat untuk beberapa lama sampai aku puas menikmatinya. Sementara ku lumat bibirnya, Valent sibuk membuka retsleting dan berusaha memelorotkan celana jeans 3/4-ku. Karena kesulitan, kami menghentikan pagutan kami.
Setelah itu Valent benar-benar membuatku telanjang, sehingga hanya tersisa CD saja yang membungkus tubuhku. Kini, aksi Valent lebih menggila lagi, dengan liarnya ia menjilati seputar kemaluanku sampai ke paha dan selangkanganku. Kemudian aku disuruh mengangkat ke dua kakiku dan menyandarkannya di pundak Valent. Dengan hati-hati agar tak kehilangan keseimbangan, aku pun melakukannya sementara badanku kusandarkan pada drum, sehingga aku dalam posisi setengah berbaring. Setelah itu Valent kembali mendekatkan mukanya ke kontol kesayanganku. Ia menciumi dan menjilati selangkanganku lagi sambil sesekali mencaplok kontolku yang masih terbungkus CD G-String yang kupakai.
"Urgh, terus Lent!" erangku di tengah-tengah permainan yang dahsyat itu. Aku susah untuk menggeliat sekalipun aku sudah tak tahan lagi untuk melakukannya. Jika aku menggeliat sedikit saja, aku pasti terjatuh dari kursiku.
Perlahan namun pasti, Valent mulai memelorotkan CD-ku. Sepertinya ia sudah tak sabar ingin mengintip "sesuatu" yang ada di balik CD-ku itu. Begitu "sesuatu" yang dicarinya itu melesak keluar dari dalam sangkar, Valent berdecak kagum, ia terpukau oleh benda tumpul sepanjang 17 cm yang kini berdiri tegak di depan matanya itu. Valent pun tak menyia-nyiakannya, ia segera melumatnya dengan penuh nafsu. Tak ayal membuatku menggelinjang keenakan. Desah nafasku pun mulai terdengar memburu dan tak keruan. Valent mengempot kontolku maju mundur, sesekali dipegangnya dengan sebelah tangan lalu dihisapnya lama-lama. Terkadang ia juga menyelinginya dengan mengocok penisku sampai akhirnya, ketika aku sampai pada puncak kenikmatan itu, aku berseru tertahan,
"Lent, aku mau keluar!"
"Crutt!" akhirnya lava hangat itu pun muncrat ke muka Valent. Anak itu tersenyum dan tatapan matanya seolah memintaku untuk melakukan hal yang sama padanya. Aku cukup respon dengan keinginan yang satu itu. Tapi aku lebih memilih melakukannya di atas sofa saja yang ada di ruangan itu, aku tak mau konsentrasiku terpecah hanya untuk menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Jadi, kubimbing saja Valent menuju sofa lalu kubaringkan tubuh Valent yang bongsor itu di sana. Wow, badan yang bagus, pasti punya kontol yang bagus, pikirku. Kupandangi sebentar tubuh mulus yang terlentang di depan mukaku, sungguh menggiurkan!
Kemudian aku pun berlutut di samping sofa dan mulai melancarkan aksiku, tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Valent terhadapku. Kugerayangi setiap lekukan tubuh bagian atasnya dengan lidahku. Yang paling aku suka dari aksiku ini, adalah menghisap dan menggigit-gigit kecil kedua puting susu Valent yang berwarna kemerahan, sambil sesekali aku meraih ketiaknya dan menikmati aroma kelelakiannya di sana. Sementara itu sambil memejamkan matanya, Valent mengerang-erang ketika rasa nikmat tiada tara itu merasuk dalam kalbunya. Tangannya masih mengusap-usap rambut dan wajahku bergantian, kemudian ia mendekatkan mukanya dan kami pun berciuman lagi, kali ini lebih dahsyat dari yang tadi. Cukup lama kami berciuman dan aku sangat menikmati saat-saat seperti itu dimana aku dapat merasakan air liurnya yang nikmat.
"Buka celanaku, Stev! Aku sudah nggak tahan ingin dicoli!" pinta Valent kemudian yang segera kupenuhi.
Aku tarik ke bawah celana kulot adidas yang dipakai Valent saat itu, dan kulemparkan ke sudut ruangan. Si super cute itu kini hanya memakai CD warna merah hati saja, dan tonjolan kontolnya tentu saja tampak lebih jelas. Aku yang sudah tak kuasa menahan hasrat kelelakianku, segera melumat kontol yang terbungkus CD itu, menjilatinya sampai ke selangkangannya. Kemudian, aku selipkan tanganku masuk ke dalam CD-nya, di dalamnya tanganku menggenggam batang kejantanan Valent yang sudah sedemikian kerasnya. Kontol itu pun aku keluarkan lalu kuhisap dan kuempot maju mundur.
"Arghh!" seru Valent keenakan.
Aku tak puas jika hanya menghisap kontol Valent, karena kontolku sendiri sudah ereksi lagi dan sangat perlu dihisap. Lebih baik kalau kami mengambil posisi 69 saja, jadi kami bisa saling diuntungkan. Karena itu, aku pun naik ke atas sofa dan mengambil posisi 69, Valent di bawah dan aku di atas. Aku melumat kontol Valent yang ada di depan mukaku, sementara Valent menikmati kontolku di bawah sana. Wow, nikmatnya sungguh tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Tapi tak cukup sampai di sana saja, kami juga berkesempatan untuk menganal satu sama lain, pokoknya kami benar-benar terpuaskan malam itu. Apalagi aku, menjebol pantat Valent yang seksi dengan kontolku, adalah suatu kenikmatan tersendiri yang luar biasa. Saat itu benar-benar tak ada yang mengganggu atau memergoki kami, karena kedua ortu Valent kebetulan tidak di rumah, mereka sedang ke Hongkong.
Setelah kami sama-sama merasa puas dan kecapekan, aku terbaring begitu saja di atas karpet sementara Valent di atas sofa. Malam semakin larut, ketika kami mengakhiri permainan kami, sudah jam 10 malam. Karena saking capeknya, kami pun tertidur di ruangan itu semalaman.
Ketika keesokan paginya, jam 6 aku sudah terbangun. Ku lihat Valent masih terlelap tak berbusana di atas sofa. Aku mendekatinya, dan kembali kuoral penis Valent yang sedang ereksi pagi, sampai Valent terbangun dari tidurnya. Ia membuka matanya yang terasa berat, kemudian memukulku, tentu saja tak memukul sungguhan.
"Kau mau main curang yah!" sergahnya.
Kemudian, ia duduk sebentar dan memakai pakaiannya yang berserakan di dalam studio. Aku pun memakai pakaianku. Kemudian aku duduk di atas sofa, sementara Valent berbaring di atas pahaku.
"Aku minta maaf, Stev, atas apa yang kulakukan semalam. Sebenarnya libidoku sedang di puncak-puncaknya saat itu, aku tak bisa menahannya lagi, makanya kuluapkan sama kamu. Terus terang aku ini gay, dan aku sudah punya bf. Tapi belakangan aku sedang bermasalah sama dia, dan kami tidak bertemu selama sebulan terakhir ini. Kau bisa merasakan kan? Bagaimana tersiksanya aku tanpa dia, karena biasanya hampir setiap hari kami jalan bersama, dinner bersama dan melakukan hal seperti semalam juga bersama. Pokoknya, aku sangat mencintainya, aku tak rela kalau hubungan kami kandas sampai di sini!" ujar Valent sembari tatapan matanya menerawang jauh.
"Cindy juga sudah tahu kalau aku ini gay. Ia sahabat yang baik, dan ia sering menjadi teman curhatku untuk masalah ini," kata Valent lagi.
Aku hanya terdiam sesaat, aku coba untuk memahami perasaan Valent saat itu, lagi pula aku tak tahu harus bilang apa. Tapi, beberapa saat setelah ia menyebut nama Cindy, aku jadi kaget.
"Jadi, Cindy tahu kalau kau gay?" tanyaku sekali lagi.
"That's right, karena dia tahu, makanya kita bisa berkenalan sampai sejauh ini,"
"Aku masih tak mengerti,"
"Kau masih ingat, ketika kemarin lusa ia meninggalkan kita berdua dengan alasan ke kamar mandi. Ia melakukannya dengan sengaja, karena ia tahu aku sedang kesepian dan butuh seorang teman cowok. Karena itu, ia menolongku agar aku bisa lebih dekat denganmu,"
Aku mengangguk sebentar, aku sudah cukup mengerti sekarang. Ternyata, Cindylah yang membuatku sampai terjerumus sedemikian jauh dengan Valent. Kurang ajar! Hukuman apa yang pantas cewek itu terima untuk perbuatannya ini? Ia sudah memanfaatkan aku, menganggapku cowok murahan yang bisa dipakai begitu saja, itu sama artinya dengan ia sudah menjual harga diriku pada Valent. Benar-benar kurang ajar! kurasa aku harus berterima kasih padanya. He..he..
Jika Cindy membaca cerita ini, kuungkapkan sekalian rasa terima kasihku di sini. Aku sayang kamu, tapi aku lebih sayang Valent. He.. he..
Cukup sudah kisahku dengan Valent, anak konglomerat yang tak lagi kesepian itu. Aku berjanji, ia bisa mengandalkan aku dalam segala hal meski kita hanya sebatas "teman". Tentang kisahku dengan Zai-Zai, cowok ketiga yang pernah menikmati tubuhku, hubungi saja emailku di bawah dan nantikan pengalamanku yang satu itu. Chieers.
TAMAT