Selama tiga tahun berumah tangga, boleh dibilang aku tidak pernah berselingkuh. Istriku cantik, dan kami telah dianugerahi seorang anak lelaki berusia dua tahun. Rumah tangga kami boleh dibilang rukun dan bahagia, semua orang mengakui bahwa kami pasangan yang serasi.
Sebenarnya godaan cukup banyak. Bukannya sombong, sebagai laki-laki berusia sekitar 29 yang cukup ganteng, punya jabatan pula, kukira aku termasuk idola para wanita. Di kantor, misalnya, aku tahu ada satu-dua karyawati yang menyukaiku. Tante Shinta, instruktur senam istriku, setiap kali bertemu pasti memberi sinyal-sinyal mengundang kepadaku, tapi tidak pernah kuladeni. Demikian pula Ibu Yessi, salah seorang rekanan bisnisku. Siapa sangka, akhirnya aku selingkuh juga. Yang lebih tidak dapat dimengerti, aku berselingkuh dengan pembantu!
Namanya Imah, usianya sekitar 18 tahun, asal Sukabumi. Wajahnya memang lumayan manis, lugu, ditambah lagi dengan kulitnya yang putih mulus. Tubuhnya agak kecil, tingginya sekitar 150 cm, tetapi sintal. Pinggangnya ramping, sementara pantatnya besar dan buah dadanya bulat montok.
Terus terang, aku sudah punya perasaan dan pikiran negatif sejak pertama kali dia diperkenalkan kepada kami oleh Bik Iroh, pembantu tetangga sebelah rumah. Entah bagaimana, ada desir-desir aneh di dadaku, terlebih lagi ketika kami beradu pandang dan dia mengulum senyum sembari menunduk.
Saat itu sebenarnya istriku merasa kurang sreg untuk menerima Imah bekerja. Naluri kewanitaannya mengatakan bahwa gadis itu type penggoda. Dia takut jangan-jangan akan banyak terjadi skandal dengan sopir-sopir dan para bujang di lingkungan kami. Tetapi kondisinya saat itu agak memaksa sebab istriku tiba-tiba harus berangkat ke luar negeri untuk urusan dinas, sementara pembantu kami baru saja pulang kampung.
Ternyata, skandal yang dikhawatirkan istriku itu benar-benar terjadi, tetapi justru dengan aku sendiri. Celakanya sampai saat ini aku tidak bisa menghentikan itu. Aku seperti mabuk kepayang. Harus kuakui, bersetubuh dengan Imah memang lain. Kenikmatannya tiada banding. Semakin sering aku menidurinya, rasanya malah bertambah nikmat.
Agar tidak terbongkar, aku segera mengambil langkah pengamanan. Hanya beberapa hari setelah istriku kembali dari luar negeri, Imah minta berhenti. Alasannya pulang kampung karena orang tuanya sakit keras. Tentu saja itu bohong. Yang betul adalah dia kuamankan di sebuah kamar kos yang letaknya tidak jauh dari kantorku. Aku juga membiayai semua kebutuhan sandang pangannya. Hampir setiap siang aku mampir ke sana untuk mereguk kenikmatan bersamanya. Kadang-kadang aku juga menginap satu-dua malam dengan alasan dinas ke luar kota. Dan itu telah berjalan hampir dua tahun sampai saat ini.
Hari pertama Imah bekerja di rumah kami, tidak ada kejadian yang berarti untuk diceritakan.Yang jelas, semua petunjuk dan instruksi dari istriku dilaksanakannya dengan sangat baik. Nampaknya dia cukup rajin dan berpengalaman, serta pandai pula menjaga anak.
Hari kedua, pagi-pagi sekali, aku berpapasan dengan Imah di muka pintu kamarnya. Aku sedang menuju ke kamar mandi ketika dia keluar kamar. Dia pasti baru selesai mandi karena tubuhnya menebarkan bau harum. Saat itu dia mengenakan rok span dan t-shirt ketat seperti yang umum dikenakan ABG zaman sekarang. Sexy sekali. Otomatis kelelakianku bangkit. Aku jadi seperti orang tolol, mematung diam sembari memandangi Imah. Sejenak gadis itu membalas tatapanku, lalu menunduk dengan muka memerah dadu. Aku lekas-lekas berlalu menuju kamar mandi.
Sehabis mandi, kudapati Imah sudah berganti pakaian, kembali mengenakan baju longgar dan sopan seperti kemarin. Keherananku segera terjawab ketika istriku bercerita di dalam kamar sembari bersungut-sungut:
"Gawat nih si Imah itu! Papa nggak lihat sih, pakaiannya tadi… Sexy banget! Jangan-jangan Papa juga bisa naksir kalau lihat."
"Terus?" tukasku tak acuh.
"Yah Mama suruh ganti. Ingat-ingat ya Pa, selama Mama nggak ada, jangan kasih dia pakai baju yang sexy-sexy begitu!"
Hari ketiga, lewat tengah malam, aku bercumbu dengan istriku di ruang TV. Besok istriku berangkat untuk kurang lebih tiga minggu, jadi malam itu kami habiskan dengan bermesraan.Sebelumnya kami menonton film biru terlebih dahulu untuk lebih memancing birahi. Seperti biasa, kami bermain cinta dengan panas dan lama. Pada akhir permainan, di saat-saat menjelang kami mencapai orgasme, tiba-tiba aku merasa ada seseorang mengawasi kami di kegelapan. Aku tidak bercerita kepada istriku, sementara aku tahu, orang itu adalah Imah. Yang aku tidak tahu, berapa lama gadis itu menyaksikan kami bermain cinta.
Keesokan harinya, sore-sore, istriku berangkat ke Thailand. Aku mengantarnya ke airport bersama anak kami. Hari itu kebetulan Sabtu, jadi aku libur.
Pulang dari airport, kudapati Imah mengenakan t-shirt ketat berwarna pink yang kemarin. Jantungku langsung dag-dig-dug melihat penampilannya yang tak kalah menarik dibanding ABG-ABG Jakarta. Selintas aku teringat pesan istriku, tapi kenyataannya aku membiarkan Imah berpakaian seperti itu terus. Bahkan diam-diam aku menikmati keindahan tubuh Imah sementara dia menyapu dan membersihkan halaman rumah.
Hari kelima, pagi-pagi sekali, aku hampir tidak tahan. Aku melihat Imah keluar dari kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk di tubuhnya. Dia tidak melihatku. Kemaluanku langsung mengeras. Bayangkan saja, ketika istri sedang tidak ada, seorang gadis manis memamerkan keindahan tubuhnya sedemikian rupa. Maka, diam-diam aku menghampiri begitu dia masuk kamar.
Aneh, pintu kamarnya tidak ditutup rapat. Aku dapat melihat ke dalam dengan jelas melalui celah pintu selebar kira-kira satu centi. Apa yang kusaksikan di kamar itu membuat jantungku memompa tiga kali lebih cepat, sehingga darahku menggelegak-gelegak dan nafasku memburu. Aku menelan ludah beberapa kali untuk menenangkan diri.
Nampak olehku Imah sedang duduk di tepian ranjang. Handuk yang tadi meliliti tubuhnya kini tengah digunakannya untuk mengeringkan rambut, sementara tubuhnya dibiarkannya telanjang bulat. Sepasang buah dadanya yang montok berguncang-guncang. Lalu ia mengangkat sebelah kakinya dengan agak mengangkang untuk memudahkannya melap selangkangannya dengan handuk. Dari tempatku mengintip, aku dapat melihat rerumputan hitam yang tidak begitu lebat di pangkal pahanya.
Saat itu setan-setan memberi petunjuk kepadaku. Mengapa dia membiarkan pintunya sedikit terbuka seperti ini? Setelah menyaksikan aku bermain cinta dengan istriku, tidak mustahil kalau dia sengaja melakukan ini untuk memancing birahiku. Dia pasti menginginkan aku masuk Dia pasti akan senang hati menyambut kalau aku menyergap tubuhnya di pagi yang dingin seperti ini…
Ketika kemudian dia meremas-remas sendiri kedua payudaranya yang montok, sementara mukanya menengadah dengan mata terpejam, aku benar-benar tidak tahan lagi. Batang kemaluanku seakan berontak saking keras dan panjang, menuntut dilampiaskan hasratnya. Tanganku langsung meraih handle karena aku sudah memutuskan untuk masuk…
Pada saat itu tiba-tiba terdengar anakku menangis. Aku jadi sadar, lekas-lekas aku masuk ke kamar anakku. Tak lama kemudian Imah menyusul, dia mengenakan daster batik yang terbuka pada bagian pundak. Kurang ajar, pikirku, anak ini tahu betul dia punya tubuh indah. Otomatis batang kemaluanku mengeras kembali, tapi kutahan nafsuku dengan susah payah.
Alhasil, pagi itu tidak terjadi apa-apa. Aku keluar rumah untuk menghindari Imah, atau lebih tepatnya, untuk menghindari nafsu birahiku sendiri. Hampir tengah malam, baru aku pulang. Aku membawa kunci sendiri, jadi kupikir, Imah tidak akan menyambutku untuk membukakan pintu. Aku berharap gadis itu sudah tidur agar malam itu tidak terjadi hal-hal yang negatif.
Tetapi ternyata aku keliru. Imah membukakan pintu untukku. Dia mengenakan daster yang tadi pagi. Daster batik itu berpotongan leher sangat rendah, sehingga punggungnya yang putih terbuka, membuat darahku berdesir-desir. Lebih-lebih belahan buah dadanya sedikit mengintip, dan sebagian tonjolannya menyembul. Rambutnya yang ikal sebahu agak awut-awutan. Aku lekas-lekas berlalu meninggalkannya, padahal sejujurnya saat itu aku ingin sekali menyergap tubuh montoknya yang merangsang.
Sengaja aku mengurung diri di dalam kamar sesudah itu. Tapi aku benar-benar tidak dapat tidur, bahkan pikiranku terus menerus dibayangi wajah manis Imah dan seluruh keindahan tubuhnya yang mengundang. Entah berapa lama aku melamun, niatku untuk meniduri Imah timbul-tenggelam, silih berganti dengan rasa takut dan malu. Sampai tiba-tiba aku mendengar suara orang meminta-minta tolong dengan lirih…
Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat dari ranjang dan segera berlari ke arah suara. Ternyata itu suara Imah. Sejenak aku berhenti di muka pintu kamarnya, tetapi entah mengapa, kini aku berani masuk.
Kudapati Imah tengah meringkuk di sudut ranjang sambil merintih-rintih lirih. Aku tercekat memandangi tubuhnya yang setengah telanjang. Daster yang dikenakannya tersingkap di sana-sini, memamerkan kemulusan pahanya dan sebagian buah dadanya yang montok. Sejenak aku mematung, menikmati keindahan tubuh Imah yang tergolek tanpa daya di hadapanku, di bawah siraman cahaya lampu kamar yang terang benderang. Otomatis kelelakianku bangkit. Hasratku kian bergelora, nafsu yang tertahan-tahan kini mendapat peluang untuk dilampiaskan. Dan setan-setan pun membujukku untuk langsung saja menyergap. "Dia tidak akan melawan," batinku. "Jangan-jangan malah senang, karena memang itu yang dia harapkan..." Kuteguk liurku berulang-ulang sambil mengatur nafas. Untuk sesaat aku berhasil mengendalikan diri. Kuraih pundak Imah, kuguncang-guncang sedikit agar dia terbangun.
Gadis itu membuka mata dengan rupa terkejut. Posisinya menelentang kini, sementara aku duduk persis di sisinya. Jantungku bergemuruh. Dengan agak gemetar, kutepuk-tepuk pipi Imah sambil berupaya tersenyum kepadanya.
"Kamu ngigo' yaa?" godaku. Imah tersipu.
"Eh, Bapak?! Imah mimpi serem, Pak!"
Suaranya lirih. Gadis itu bangkit dari tidurnya dengan gerakan agak menggeliat, dan itu malah membuat buah dadanya semakin terbuka karena dasternya sangat tidak beraturan. Aku jadi semakin bernafsu.
"Mimpi apaan, Mah?" tanyaku lembut.
"Diperkosa…!" jawab Imah sembari menunduk, menghindari tatapanku.
"Diperkosa siapa?"
"Orang jahat! Rame-rame!"
"Oooh… kirain diperkosa saya!"
"Kalau sama Bapak mah nggak serem…!"
Aku jadi tambah berdebar-debar, birahiku semakin membuatku mata gelap. Kurapikan anak-anak rambut Imah yang kusut. Gadis itu menatapku penuh arti. Matanya yang bulat memandangku tanpa berkedip. Aku jadi semakin nekad.
"Kalau sama saya nggak serem?" tanyaku menegaskan dengan suara agak berbisik sambil mengusap pipi Imah. Babu manis itu tersenyum.
Entah siapa yang memulai, tahu-tahu kami sudah berciuman. Aku tidak peduli lagi. Kusalurkan gejolak birahi yang selama ini tertahan dengan melumat bibir Imah. Dia membalas dengan tak kalah panas dan bernafsu. Dia bahkan yang lebih dahulu menarik tubuhku sehingga kami rebah di atas ranjang sembari terus berciuman.
Tanganku lasak meremas-remas buah dada Imah. Kupuaskan hasratku pada kedua gundukan daging kenyal yang selama beberapa hari terakhir ini telah menggodaku. Imah pun tak tinggal diam. Sambil terus membalas lumatanku pada bibirnya, tangannya merayap ke balik celana pendek yang kukenakan. Pantatku diusap-usap dan diremasnya sesekali dengan lembut.
Ketika ciuman terlepas, kami berpandangan dengan nafas memburu. Imah membalas tatapanku dengan agak sayu. Bibirnya merekah, seakan minta kucium lagi. Kusapu saja bibirnya yang indah itu dengan lidah. Dia balas menjulurkan lidah sehingga lidah kami saling menyapu. Kemudian seluruh permukaan wajahnya kujilati. Imah diam, hanya tangannya yang terus merayap-rayat di balik celana dalamku.
Aku jadi tambah bernafsu. Lidahku merambat turun ke leher. Imah menggelinjang memberi jalan. Terus kujilati tubuhnya yang mulai berkeringat. Imah menggelinjang-gelinjang hebat ketika buah dadanya kujilati. "Geliii.." desisnya sambil mengikik-ngikik, dan itu malah membuatku tambah bernafsu. Daging-daging bulat montok itu terus kujilati, kukulum putingnya, kusedot-sedot dengan rakus, tentunya sambil kuremas-remas dengan tangan.
Payudara Imah yang lembut kurasa semakin mengeras, pertanda birahinya kian meninggi. Lebih-lebih putingnya yang mungil berwarna merah jambu, telah amat keras seperti batu. Aku jadi semakin bersemangat. Sesekali mulutku merayap-rayap menciumi permukaan perut, pusar dan turun mendekati selangkangannya.
Imah mulai merintih dan meracau, sementara tangannya mulai berani meraba batang kemaluanku yang telah menegang sedari tadi. Kurasakan pijitannya amat lembut, menambah rangsangan yang luar biasa nikmat. Aku tidak tahan, tanganku balas merayap ke balik celana dalamnya. Imah mengangkang, pinggulnya mengangkat. Kugosok celah vaginanya dengan jari. Basah. Dia mengerang agak panjang ketika jari tengahku menyelusup ke dalam liang vaginanya, batang penisku digenggamnya erat dengan gemas. Aku semakin tidak tahan, maka kubuka celana pendek dan celana dalamku sekaligus.
Imah langsung menyerbu begitu batang kemaluanku mengacung bebas tanpa penutup apa pun lagi. Dengan posisi menungging, digenggamnya batang kemaluanku, lalu dijilat-jilatnya ujungnya seperti orang menjilat es krim. Tubuhku seperti dialiri listrik tegangan tinggi. Bergetar, nikmat tak terkatakan.
"Imah udah tebak, pasti punya Bapak gede…" desis Imah tanpa malu-malu.
"Isep, Mah…!" kataku memberi komando.
Tanpa menunggu diminta dua kali, Imah memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.
"Enak, Mah… enak banget…," aku mendesis lirih, sementara tubuhku menggeliat menahan nikmat.
Imah semakin bersemangat mengetahui betapa aku menikmati hisapannya pada penisku. Batang kemaluanku dikocok-kocoknya dengan amat bernafsu sementara mulutnya mengulum dengan gerakan maju mundur. Sesekali lidahnya menjulur menjilat-jilat. Pintar sekali.
Belakangan baru kuketahui bahwa Imah itu seorang janda. Dia dipaksa kawin sejak usia 14 dengan lelaki berumur yang cukup kaya di desa. Ternyata suaminya seorang pemabuk, penjudi, dan mata keranjang. Satu-satunya yang disukai Imah dari lelaki itu adalah keperkasaannya di atas ranjang. Hanya itu yang membuatnya sanggup bertahan empat tahun berumah tangga tanpa anak. Baru setahun yang lalu suaminya meninggal, sehingga statusnya kini resmi menjadi janda.
Pantas saja nafsunya begitu besar. Dia mengaku bahwa hasrat seksualnya langsung bangkit kembali sejak pertama kali bertemu aku. Kenangan-kenangannya tentang kenikmatan bermain cinta terus menggodanya, sehingga diakuinya bahwa sejak hari itu dia terus berusaha untuk menarik perhatianku.
Nafsu yang menggebu-gebu, serta hasrat yang terpendam berhari-hari, membuat gadis itu menjadi liar tak terkendali. Sambil terus mengulum dan menjilat-jilat batang kemaluanku, tubuhnya beringsut-ingsut hingga mencapai posisi membelakangi dan mengangkangi tubuhku. Pantatnya yang bulat, besar seperti tampah, tepat berada di depan wajahku. Kuusap-usap pantatnya, lalu kuminta lebih mendekat sambil kuturunkan celana dalamnya. Dia menurut, diturunkannya pinggulnya hingga aku dapat mencium selangkangannya.
Terdengar dia mendesis begitu kujulurkan lidahku menyapu permukaan liang vaginanya yang merekah basah. Kedua pahanya mengangkang lebih lebar, sehingga posisi pinggulnya menjadi lebih ke bawah mendekati mukaku. Kini aku lebih leluasa mencumbu kemaluannya, dan aku tahu, memang itu yang diharapkan Imah.
Kusibakkan bulu-bulu halus di seputar selangkangan babu cantik yang ternyata mempunyai libido besar itu. Kugerak-gerakkan ujung lidahku pada klitorisnya. Kuhirup baunya yang khas, lalu kukenyot bibir vaginanya dengan agak kuat saking bernafsu. Imah merintih. Tubuhnya sedikit mengejang, hisapannya pada kemaluanku agak terhenti.
"Jangan berhenti dong, Maaaahh," desisku sambil terus menjilat-jilat vaginanya.
"Imah keenakan, Pak…" jawab Imah terus terang. Lalu kembali dia mengulum sambil mengocok-ngocok batang kemaluanku. Dengan bernafsu dia terus berusaha menjejal-jejalkan batang penisku sepenuhnya ke dalam mulutnya, tetapi tidak pernah berhasil karena ukuran tongkat wasiatku itu memang cukup luar biasa: gemuk, dan panjangnya hampir 20 cm!
Aku membalas dengan merekahkan mulut vaginanya dengan kedua tangan. Lubang surgawi itu menganga lebih lebar, maka kujulurkan lidahku lebih ke dalam. Imah membalas lagi dengan menghisap-hisap batang kemaluanku lebih cepat dan kuat. Aku tak mau kalah, kutekan pantatnya hingga kemaluannya menjadi lebih rapat pada mukaku, lalu kujilat dan kuhisap seluruh permukaan liang kemaluannya.
"Ooooohhh… Imah nggak kuattt…." terdengar Imah mengerang tiba-tiba. Aku tak peduli. Aku justru jadi semakin bersemangat dan bernafsu mencumbu kemaluan Imah. Gadis itu juga kian liar. Tangan dan mulutnya semakin luar biasa cepat mengerjai batang kemaluanku, sementara tubuhnya menggeliat-geliat tak terkendali. Aku tahu birahinya telah teramat sangat tinggi, maka kukomandoi dia untuk rebah menelentang, lalu segera kutindihi tubuh montoknya.
"Enak, Mah?" tanyaku.
"Enak banget, Pak… Imah nggak tahan…"
"Kamu mau yang lebih enak, kan?"
"Ya mau, dong…" Imah nampak masih sedikit malu-malu, tapi jelas dia tidak dapat lagi mengontrol nafsunya. Wajahnya yang biasanya lugu, kini nampak sebagai perempuan berpengalaman yang sedang haus birahi.
"Kamu pernah ngentot, Mah?" tanyaku lembut, takut dia tersinggung. Tapi dia malah tersenyum, cukup bagiku sebagai pengakuan bahwa dia memang sudah pernah melakukan itu.
"Kamu mau?" tanyaku lagi. Imah menutup matanya sekejap sebagai jawaban.
"Buka dulu dasternya, ya?"
Dalam sekejap, Imah telah bertelanjang bulat. Aku juga membuka kaos, sehingga tubuh kami sama-sama bugil. Polos tanpa sehelai benang pun. Imah memintaku mematikan lampu kamar, tapi aku menolak. Aku justru senang menonton keindahan tubuh Imah di bawah cahaya lampu yang terang benderang begitu.
"Malu, ah, Pak…" kata Imah dengan nada manja, sementara aku memandangi sepasang payudaranya yang bulat, besar dan padat.
"Saya naksir ini sejak pertama kamu masuk," kataku terus terang sambil mengecup puting susunya yang sebelah kanan, disusul dengan yang sebelah kiri.
"Imah tau," jawab Imah tersipu. "Tapi Imah pikir, Bapak mana mau sama Imah?!"
"Sejak hari pertama, saya udah ngebayangin beginian sama kamu."
"Kok sama sih?! Imah juga…"
"Bohong!"
"Sumpah! Apalagi abis liat Bapak gituan sama Ibu… Seru banget, Imah jadi ngiri…"
"Kamu ngintip, ya?"
"Bapak juga tau, kan?"
Sambil berkata begitu, tangan kanan Imah menggenggam batang penisku. Kedua pahanya mengangkang memberi jalan dan pinggulnya mengangkat sedikit. Digosok-gosokkannya ujung batang kemaluanku pada mulut vaginanya yang semakin basah merekah.
Aku membalas dengan menurunkan pinggulku sedikit. Saat itu di benakku terlintas wajah istri dan anakku, tetapi nafsu untuk menikmati surga dunia bersama Imah membuang jauh-jauh segala keraguan. Bahkan birahiku semakin bergelora begitu aku memandang wajah Imah yang telah sedemikian sendu akibat birahi.
"Paaak…." terdengar desis suara Imah memanggilku teramat lirih. Kedua tangannya mengusap-usap sambil sedikit menekan pantatku, sementara batang penisku telah penetrasi sebagian ke dalam vaginanya.
Kutekan lagi pinggulku lebih ke bawah. Batang penisku bergerak masuk inci demi inci. Kurasakan Imah menahan nafas. Kutahan sejenak, lalu perlahan justru kutarik sedikit pinggulku. Imah membuang nafas. Kedua tangannya mencengkeram pantatku. Aku mengerti, kutekan lagi pinggulku. Kembali Imah menahan nafas. Dua tiga kali kuulang seperti itu. Setiap kali, kemaluanku masuk lebih dalam dari sebelumnya. Dan itu membuat Imah keenakan. Dia mengakuinya terus terang tanpa malu-malu. "Bapak pinter banget…" desisnya sambil mencubit pantatku, sesaat setelah aku menekan semakin dalam. Batang penisku telah hampir amblas seluruhnya. Imah cukup sabar menikmati permainanku, tetapi akhirnya dia tidak tahan.
"Imah rasanya kayak terbang…" dia meracau.
"Kenapa?"
"Enakh… Masukin semua atuh, Paak… supaya lebih enak…" Berkata begitu, tiba-tiba kedua tangannya merangkul dan menarik leherku. Diciuminya mukaku dengan penuh nafsu.
"Imaaaahhh." bisikku sambil membalas menjilat-jilat permukaan wajahnya.
"Paak…"
Aku jadi ikut-ikutan tidak tahan, ingin segera menuntaskan permainan. Maka dengan agak kuat kutekan pantatku dalam-dalam, sehingga batang kemaluanku terbenam sepenuhnya di liang vagina Imah. Anak itu mengerang lirih, "Ssshhh…. aaaahhhh…, sssssssshhhh….., aaaaaaaahhhh…."
Dalam beberapa menit, kami bersanggama dalam posisi konvensional. Aku di atas, Imah di bawah. Itu pun sudah teramat sangat luar biasa nikmat. Ternyata Imah pintar sekali. Pinggulnya dapat berputar cepat seperti gasing, mengimbangi gerakan penetrasiku pada vaginanya. Setengah mati aku mengatur gerakan sembari terus mengendalikan kobaran birahiku. Kadang aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, sesekali kucepatkan dan kukuatkan seakan hendak menjebol dinding vagina Imah.
Rupanya Imah termasuk type perempuan yang sangat panas dan liar dalam bermain cinta. Itulah justru yang kelak membuatku demikian tergila-gila kepadanya sampai-sampai tidak dapat lagi menghentikan perselingkuhan kami. Setiap kali aku berniat berhenti, bayangan erotisme Imah membuatku justru ingin mengulang-ulangnya kembali.
Tubuhnya tidak pernah berhenti bergoyang, seiring dengan erangan dan desahannya. Setiap kali aku menekan kuat-kuat, dia justru mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga kemaluan kami menyatu serapat-rapatnya. Bila aku menekan dengan gerakan lembut satu-dua, dia mengimbangi dengan menggoyangkan pinggulnya seperti penari jaipong. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata.
Aku merasa dinding pertahananku hampir jebol. Kenikmatan luar biasa yang kurasakan dari perlawanan Imah yang erotis sungguh tidak tertahankan lagi. Padahal baru beberapa menit. Aku segera mengendalikan diri, kutarik nafas panjang-panjang, lalu kutarik tubuhku dari tubuh Imah.
Aku menelentang, dan kuminta Imah menaiki tubuhku. Dia menurut. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia segera nangkring di atas tubuhku. Diraihnya batang kemaluanku yang terus mengacung keras seperti tugu batu, dan diarahkannya kembali pada liang vaginanya.
Keringat menetes-netes dari wajahnya yang manis. Kuraih sepasang payudaranya yang bergelantung bebas, kuremas dan kuputar-putar dengan lembut. Imah mendesah sambil menekan pinggulnya agar batang kemaluanku melesak lebih dalam.
"Nggghhh….. sshhhh….aahhhh….," kembali dia merintih dan mendesah.
"Kenapa, Maah?"
"Ennaakh…, enak, Paak…."
"Kamu pinter."
"Bapak yang pinter! Imah bisa ketagihan kalau enak begini… Imah pingin ngentot terus sama Bapak…"
"Kita ngentot terus tiap hari, Mah…"
"Bapak mau?"
"Asal Imah mau."
"Imah mau banget atuh, Pak. Enak banget ngentot sama Bapak…."
"Ayo, genjot, Mah.. Kita main sampai pagi!"
Imah segera bergoyang lagi. Tubuhnya bergerak erotis naik-turun, maju-mundur, kiri-kanan, ditingkahi rintihan dan desahannya yang penuh nafsu. Aku diam saja, hanya sesekali kuangkat pantatku agar kemaluan kami bertaut lebih rapat. Akibatnya aku jadi lebih mampu bertahan. Dalam posisi seperti itu, aku tahu bahwa perempuan biasanya akan lebih cepat mencapai klimaks. Memang itu yang kuharapkan.
Perhitunganku tidak salah. Tidak terlalu lama, goyangan Imah semakin erotis dan menggila. Naik-turun, maju-mundur, dengan kecepatan yang fantastis. Erangan dan rintihannya pun semakin tidak terkendali. Aku jadi semakin bersemangat karena mengetahui dia akan segera mencapai orgasme.
"Paaak…., adduuh…, enak banget… enak banget… enak, Pak…, yah… yah…, Imah enak…"
"Saya juga enak, Maah…, teruuusss…."
"Oooohhh…. enak banget siihhh…., adduuuhhh…., adduuhh……"
"Terus, Maah… enak banget… enak ngentot ya, Maah…?"
"Enakh…, ngentot enak…, Imah seneng ngentot sama Bapak…, kontol Bapak enak…"
"Memek kamu gurih…"
"Ooohhhh…., yah…, yah…, yah…., Imah mau keluar, Paak…, Imah nggak kuatts…"
Tubuh Imah mengejang pada saat dia mencapai orgasme. Kepalanya mendongak jauh ke belakang. Mulutnya mengeluarkan rintihan panjang sekali. Saat itu kurasakan liang vaginanya berdenyut-denyut, menambah kenikmatan yang fantastis pada batang kemaluanku.
Setelah itu dia menelungkup lunglai di atas tubuhku. Nafasnya memburu setelah menempuh perjalanan panjang yang membawa nikmat bersamaku. Kubiarkan sejenak dia menenangkan diri sementara kemaluan kami masih terus bertaut rapat. Sesaat kemudian, baru aku berbisik di telinganya, "Saya belum lho, Mah…?!"
Imah menengadah, mengangkat wajahnya menatapku. Dikecupnya bibirku.
"Kan mau sampai pagi?!" katanya dengan nada menggemaskan.
"Kamu mau istirahat dulu?"
"Nggak… terus aja, Pak.. Imah masih keenakan, kok…"
Sejenak kami berciuman. Dapat kurasakan jantung Imah masih bergemuruh, pertanda birahinya memang masih tinggi. Kuusap-usap pantatnya yang telanjang sementara kami berciuman rapat. Kemudian kugulingkan tubuhku, sehingga Imah kembali berada di bawah.
Kucabut batang kemaluanku dari vagina Imah. Dia menatapku dengan rupa tidak mengerti. Kuberikan dia senyuman, lalu kuminta dia menelungkup. Imah mengerti sekarang, maka lekas-lekas dia menelungkup sambil cekikikan.
"Nungging, Mah…" kataku memberi komando.
Imah mengangkat pinggulnya hingga menungging seperti permintaanku. Aku dapat melihat mulut vaginanya yang merekah dari belakang. Kudekatkan mukaku, kucium mulut vaginanya, dan kupermainkan klitorisnya sejenak dengan ujung lidah. Imah merintih lirih, pantatnya mengangkat lebih tinggi sehingga mulut vaginanya merekah lebih lebar di depan mukaku. Kumasukkan lidahku lebih dalam, kemudian kusedot mulut vaginanya sampai berbunyi.
"Bapak emang pinter banget…" desis Imah sembari menggelinjang menahan nikmat.
"Kita tancap lagi ya, Maah…?!"
"Sampai pagi……..?!"
Aku berlutut di belakang tubuh Imah yang menungging. Pantatnya mencuat tinggi ke belakang guna memudahkanku menusuk kemaluannya. Kedua tangannya mencengkeram sprei yang kusut. Kepalanya terkulai. Kudengar dia mendesah lirih ketika batang kemaluanku perlahan menerobos masuk lewat belakang.
Kedua tanganku mencengkeram pantat Imah. Sejenak aku berhenti. Imah menoleh ke belakang karena tidak sabar. Kutekan lagi perlahan-lahan, sehingga dia kembali mengerang dengan kepala terkulai ke depan. Aku berhenti lagi. Kuusap-usap pantatnya, kucengkeram agak kuat, lalu kurekahkan dengan kedua tangan. Imah menoleh lagi ke belakang.
Tepat pada saat itu aku menekan kuat-kuat. Deg! Tubuh Imah sampai terdorong ke depan. Dia langsung membalas memundurkan pantatnya, diputar-putar, berusaha keras agar batang penisku masuk lebih dalam. Agak susah karena ukurannya super king.
Kembali dia menoleh ke belakang. Kutekan lagi kuat-kuat! Kini Imah sudah siap. Bersamaan dengan gerakanku, dia menyambut dengan mendorong pantatnya kuat-kuat ke belakang. Slep! Batang kemaluanku menyeruak masuk. Kutahan sejenak, lalu kudorong lagi sekuat-kuatnya. Imah kembali menyambut dengan gerakan seperti tadi. Kali ini dia mengerang lebih keras karena batang penisku masuk hingga menyentuh dinding rahimnya.
"Sakit, Mah?" tanyaku.
"Nggak… malah enak…, terusin, Paak…Imah belum pernah main kayak gini…"
Sambil menikmati bertautnya kemaluan kami, kupeluk erat tubuh Imah dari belakang. Kuciumi tengkuknya. Imah berusaha menoleh-noleh ke belakang, berharap aku menciumi bibirnya. Sesekali kuturuti permintaannya sambil meremas-remas kedua buah dadanya yang memuai semakin montok.
Kugerak-gerakkan pinggulku dengan irama lembut dan teratur, kunikmati bertautnya kemaluan kami dalam posisi "anjing kawin" itu sembari menciumi tengkuk dan leher Imah. Gadis itu menggeliat-geliatkan tubuhnya, pinggulnya bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan.
Beberapa menit kemudian, nafas Imah mulai memburu kembali. Itu pertanda birahinya mulai meninggi, mendaki puncak kenikmatannya kembali. Maka aku mulai mengambil posisi. Kedua tanganku berpegangan pada pinggang Imah, sementara dia pun mengatur posisi pinggulnya supaya lebih memudahkan aku. Setelah itu dia menoleh ke belakang memandangiku. Tatapannya amat sayu, dan aku tahu, itulah tatapan perempuan yang sedang tinggi birahinya.
Aku mulai bergerak maju mundur. Satu dua, dengan irama teratur. Nafas Imah semakin kencang terdengar, seiring dengan semakin kuatnya hunjaman batang kemaluanku pada liang vaginanya. Aku memompa terus. Semakin lama semakin cepat dan kuat. Imah semakin terengah-engah. Tubuhnya berguncang-guncang, sesekali sampai terdorong jauh ke depan, tapi tidak sampai terlepas karena kutahan pinggangnya dengan kedua tangan.
Tubuh kami yang telanjang bulat dibanjiri peluh. Lebih-lebih Imah, keringatnya menciprat ke mana-mana karena tubuhnya berguncang-guncang. Itulah bagian dari erotisme Imah yang sangat aku suka. Belum pernah aku merasakan sensasi bersetubuh yang senikmat ini. Kurasakan ejakulasiku telah dekat, tapi kutahan sebisaku karena aku belum ingin segera menyudahi kenikmatan yang tiada tara ini. Kugigit bibirku kuat-kuat, sementara hunjaman penisku terus menguat dengan irama yang super cepat.
Imah semakin erotis. Nafasnya liar seperti banteng marah, erangannya bercampur dengan rintihan-rintihan jorok tiada henti.
"Ooohh…, aaahhh…, ohhh…, aahhhh…, teruuss, Paak…, teruuusssss…, Imah enak…, enak banget…, adduuuh, Maak…, Imah lagi keenakan nih, Maak…, oohhh… aaahhh…, terus, Paak… yah… yahhh… adduuuuh….. sssshhh…. Maaak….., Imah lagi ngentot nih, Maak…, enaknyahhh…, adduuuhhh…., ooohh…, yaahhh… yaahhhhhhh…, terruuuusssss…"
Suara Imah keras sekali, tapi aku tidak peduli. Justru mendatangkan sensasi yang menambah nikmat. Toh tidak ada siapa-siapa di rumah ini, kecuali anakku yang sedang tidur lelap. Maka terus kucepatkan dan kukuatkan sodokan-sodokanku. Imah semakin tidak terkendali. Orgasmenya pasti sudah dekat, seperti aku juga.
Ketika kurasakan ejakulasiku telah semakin dekat, kucabut tiba-tiba penisku dari dalam liang surgawi Imah. Dengan gerak cepat, kubalikkan posisinya hingga menelentang, lalu secepat kilat pula kutindih tubuhnya dan kumasukkan kembali batang penisku. Imah menyambut dengan mengangkat pinggul agak tinggi, kedua pahanya mengangkang selebar-lebarnya memberi jalan.
Vaginanya telah teramat sangat basah oleh lendir sehingga memudahkan batang penisku segera masuk. Tapi tetap saja aku harus menekan agak kuat karena mulut vaginanya kecil seperti perawan, sementara batang kemaluanku besar dan keras seperti pentungan kayu.
Kurasakan spermaku telah menggumpal di ujung batang kemaluanku, siap untuk dimuntahkan. Kulihat Imah pun sudah hampir mencapai klimaks. Maka, langsung saja kutancap lagi, cepat, kuat, dan kasar. Imah menjerit-jerit mengiringi pencapaian puncak kenikmatannya.
"Ssshhh….. aaahhh…, oooooohhh…, kontol Bapak enak banget siiihhh…, adduuhhh…., terruuusss…., yaaaaahhh…"
Bersambung....