Cinta kilat gay Jakarta - 2

Bookmark and Share
Ini adalah demo erotis. Aku menyaksikan perubahan pada kontolnya. Semakin dia mengocok, semakin gede, panjang dan berkilatan. Bonggolnya yang persip menghadap ke mukaku menunjukkan lubang kencingnya yang bolong gede. Dari situ pula spermanya akan muncrat. Demo erotis ini sangat mencekam hasrat syahwatku. Ada semacam keinginan untuk mengelusi atau menyentuh atau membiarkan si Hitam menyenggol-nyenggolkan ke wajahku. Aku masih tak menentu.

Kocokan si Hitam semakin intens dan cepat. Aku melihat dia menyempitkan dan melonggarkan tangannya pegangan kontolnya secara bergantian. Akhirnya dia mendesah dan merintih berbisik..

"Ampuunn.. Hhoocchh.. Hocchh.. Mass..", kontol itu nampak mengangguk-angguk sebelum croott.. crott.. crott.., menyemprotkan pejuhnya. Sebagian besar jatuh ke lantai, namun sebagian lain kubiarkan mengenai dagu dan pipiku. Juga di rambutku. Kini benar-benar selesai. Dia bangun membetulkan celananya.
"Terima kasih ya..", dia kembali mengangkat alisnya.

Aku bersihkan lendir di dagu, pipi dan rambutku. Aku keluar duluan. Sesudah luar ruang toilet, dia menyusul aku. Sekarang baru sempat memperkenalkan dirinya. Namanya Thomas. Asalnya dari Ambon. Dia beri aku dua lembar tiket bola.

"Mas, kalau sempat nonton ya. Do'ain kesebelasanku menang".
"Ya, mudah-mudahan menang. Khan sudah terbukti Thomas pinter bikin 'goal' tadi".


Terimakasih Oom..

Saking panasnya hari dan jalanan Jakarta dengan setengah berlari aku menyeberang jalan Thamrin menuju Toserba Sarinah. Aku mengejar teduhnya AC di gedung megah 15 lantai berikut basement-nya itu. Dan begitu menembus 'air wind' pintu masuk Sarinah rasa nyaman langsung menerpa seluruh tubuhku. Wwuuhh.. Sejuukk..

Toserba Sarinah yang sangat dikenal orang Jakarta ini sangat ramai dikunjungi orang. Di lantai bawahnya selalu ada acara pameran atau demo produk atau tontonan hiburan dengan maksud mengundang sebanyak mungkin pengunjung agar toko-toko di tempat itu juga dibanjiri pembeli. Berikutnya yang mendesakku adalah kepingin kencing. Aku berbelok ke arah kiri eskalator menuju toilet di samping lift. Ternyata di situ orang mengantre untuk bisa kencing. Aku tak sabar. Aku langsung kembali naik eskalator ke lantai 2. Dengan letak yang sama ke arah kiri aku kembali menuju toilet di lantai 2 dan langsung melaju masuk agar selekasnya aku bisa melepaskan desakkan air kencingku. Dengan berdii kukeluarkan kemaluanku dan ssyyuurr.. Pancaran kencing kuningku mancur ke 'urinoir'.. Hhaahh legaa..

Saat menanti habisnya air kencingku tiba-tiba kusadari orang di sampingku, yang ternyata dia adalah Satpam yang lengkap dengan uniform dinasnya, melongok-longok melihati kemaluanku yang sedang memancurkan kandungannya. Aku langsung ingat. Pernah dengar bahwa di Sarinah ini para gay Jakarta biasa cari teman kencan. Apakah Satpam ini juga seorang gay? Aku belum sempat menjawab pikiranku sendiri saat tangan Satpam itu nyelonong ke urinoirku dan membasahkan tangannya dengan kencingku dan kemudian melepas bisikkan paraunya..

"Gede sekali, mass..", kemudian juga meraih batang kontolku.

Aku terangsang. Yaa.. Mengingat apa yang pernah kudengar sebagai pangkalan gay dan tangan Satpam yang tanpa ragu meraih kontolku, aku langsung terangsang. Pelan-pelan kontolku ngaceng. Kami bertumbuk pandang. Satpam itu tidak muda lagi. Kutaksir usianya tak kurang dari 40 tahunan atau sekitar 10 tahun di atasku. Dari warna kulitnya yang hitam mengkilat aku yakin dia orang yang datang dari Indonesia Timur. Mungkin Ambon atau Timor. Dengan kumisnya yang hitam melintang nampak begitu gagah dan sekaligus sangar. Namun saat dia melepaskan senyumannya, terasa begitu manis dan ramahnya.

"Aku mau minum kencing kamu. Aku ingin mengisep-isep kotolmu yang gede ini".

Ucapannya itu sangat vulgar di telingaku serta sekaligus menunjukkan betapa haus birahi dan syahwatnya. Sepertinya dia mau makan atau minum apapun yang keluar dari tubuhku. Dia memalingkan kepalanya dengan terus melirik ke mataku sambil beberapa kali mengangkat alisnya untukku.

"Kita naik yok", dia ngajak aku ke lantai atas. Entah ada apa di sana.

Tanpa menunggu jawabanku dia keluar mendahului aku. Seperti kena hipnotis aku begitu saja mengikuti kemauannya. Dengan lift kami naik ke lantai 6. Setahuku ini adalah lantai buku dan alat tulis. Begitu keluar lift dia memberi isyarat agar aku mengikutinya. Agar tidak menyolok, aku menyusul beberapa saat kemudian.

Kutemui dia sedang berlagak kencing di urinoir. Memang tempat ini sepi. Kebetulan nggak ada orang lain yang kencing. Dia telah keluarkan kontolnya yang ngaceng. Uuhh.. Ampuunn kontolnya begitu gedenya sama dengan pentungan yang selalu dia bawanya ke sana ke mari. Aku terpesona dengan kekasaran kontol itu. Kontol dua warna. Dari pangkalnya nampak coklat hitam mengkilat karena tegang. Batangnya dilingkari urat-urat kasar pula.

Setengah batang ke atas hingga ke bonggol kepalanya warnanya coklat terang. Kepalanya yang mirip betul dengan topi bajanya Nazi lebih kencang dan berkilatan. Kesanku seperti ukiran kayu mahoni yang berkilatan sehabis divernis. Aku bayangkan betapa bahagia cewek yang pernah diperawaninya. Tetapi..,

"Aku nggak ngaceng kalau lihat cewek. Aku hanya ngaceng lihat pemuda macam kamu. Aku ingin minum kencing kamu. Aku mau ngisep-isep kontolmu", dia mengulangi keinginannya sebagaimana dia ucapkan di bawah tadi.
"Di mana?", rupanya aku langsung terbawa hasrat birahinya.

Sangat fantastis membayangkan diri seolah sebagai perempuan yang dihasrati lelaki. Aku sudah membayangkan betapa enaknya kontolku diemut-emut lelaki hitam gagah dan berkumis ini.

"Mau nggak masuk situ?", dia mengajak aku memasuki WC dan kencan di situ. Aku takut kalau ada orang lain yang mengetahuinya. Tertangkap basah dan habislah namaku. Masuk Pos Kota lagi. Aku menolaknya.
"Aku ingin tetapi aku takut", jawabku sambil tanganku meraih kontolnya yang telah menggiurkan hatiku pula. Aku juga meremasinya dengan halus. Ambon ini semakin penasaran.
"OK, bagaimana kalau ikut ke pondokanku?".
"Dimana?", tanyaku melihat adanya harapan.
"Nggak jauh. Aku bawa motor. Di Kampung Bali. Tak sampai 10 menit dari sini", keterangannya.

Aku sudah terlarut dalam hasrat birahi sejenis. Aku membayangkan nikmatnya bercinta sesama lelaki. Apalagi lelaki segagah Ambon ini. Bahkan rasanya aku juga ingin mengisepi kontolnya. Ini merupakan impianku sejak lama. Aku mempunyai kecendurangan biseksual. Bahkan aku suka membayangkan istriku dientot lelaki gagah macam dia dan aku menyaksikan sambil menjilati kontolnya yang keluar masuk menembusi kemaluan lembut istriku.

Aku sering membayangkan betapa desah dan rintih nikmat setiap kali kontol segede si Ambon punya ini keluar masuk dengan sesaknya di kemaluannya. Dan saat istriku hendak meraih orgasmenya mulutnya melepaskan gigitan pada dada lelaki macam si Ambon ini untuk menahan derita nikmatnya.

"Gimana? Ayoo..", dia mulai tidak sabar karena melihat aku terlampau lama menjawab usulannya.
"Ayo deh", akhirnya jawaban enteng keluar dari mulutku.

Namanya Matulete. Aku memanggilnya Oom Matu karena usianya yang lebih tua dari aku. Dia mondok di Kampung Bali. Keluarganya ada di Bogor. Sebulan sekali dia pulang ke Bogor. Kamarnya cukup bersih lengkap dengan kamar mandinya. Macam kamar losmen. Ada meja dan lemari ala kadarnya.

Kami langsung bersama-sama rebah ke ranjangnya untuk melampiaskan hasrat birahi dalam pagutan dan lumatan. Aneh rasanya berciuman dengan sesama lelaki, berkumis lagi. Oom Matu menunjukkan padaku betapa hebatnya dia mencium bibirku. Sangat profesional. Ciuman yang disertai lumatan serta permainan lidahnya langsung menggetarkan sanubariku. Aku jadi terangsang sekali dan sekaligus mengukuhkan bahwa aku memang seorang biseksual sejati.

Sembari melepaskan ciumannya ke bibirku, tangannya merosoti celanaku. Dikeluarkannya kontolku dari celana dalamku. Aku dibawanya melayang dalam nikmat surgawi. Dimulutku lumatan dan permainan lidahnya begitu memabukkan aku, di bawah sana tangannya meremasi dengan sangat lembut. Dan hasrat birahiku sendiri semakin mengeras untuk bangkit. Aku ingin melepasi kemeja seorang yang sesama lelaki yang kini sedang memberikan nikmat syahwat padaku.

Saat aku melihati gempal dadanya, di antara nikmat remasan tangannya pada kontolku, aku melepaskan pagutannya. Aku ingin sekali untuk mencium dan menjilati dadanya yang gempal itu. Oom Matu memanjakan keinginanku. Dia bahkan melepaskan remasan tangannya untuk berbaring telentang dan membuka dadanya dengan cara merentangkan naik tangannya sehingga menampakkan lembah ketiaknya yang ditumbuhi bulu yang lebat.

Aku menjadi sangat dahaga. Jakunku naik turun dan air lirku tak mampu kutahan mengalir deras dalam mulutku. Mulutku mesti memaguti apa yang kini terhidang di depanku. Aku merangkak mencari posisi nikmatku dan kemudian sedikit rebah disampingnya dengan tangan kananku merangkul tubuhnya. Aku mulai dengan menjilat.

Puting susunya kudekati. Kusapukan lidahku di sana sebelum kecupanku menyusulnya. Kemudian aku melepaskan gigitan kecil dengan sepenuh perasaanku. Hasilnya adalah desis kecil yang terdengar dari mulut Oom Matu. 2 atau 3 kali kuulangi sebelum berpindah pada puting susunya yang lain. Sesudah itu aku mulai intens melumat payu daranya yang gempal itu. Dan langsung tangan kanan Oom Matu mengelusi kepalaku sambil memperdengarkan erangan dan rintihannya..

"Aahh.. Nak..,. Kamu pintar sekali. Oom bisa kelenger ini..", dia memberikan semangat padaku.

Dan aku memang langsung terlempar ke alam nikmat syahwatnya cinta sejenis. Aku tak lagi ragu untuk melepaskan ratusan ciuman, lumatan dan sedotan pada dada Oom Matu yang gagah ini. Bahkan kini bibirku sudah mulai mendekat ke lembah ketiaknya. Aroma keringat yang terlepas dari ketiaknya begitu tajam menusuk hidungku. Dan sebagaimana lembah yang terjal menurun, bibirku telah meluncur dalam lerengnya. Dan kini aku mulai tenggelam di semak bulunya.

Aku lumati bulu ketiaknya, aku mengharapkan bisa melarutkan keringatnya dalam ludahku untuk bisa kukecapi rasanya dan kutelan masuk ke kerongkonganku. Aku sangat terangsang sehingga Oom Matu bertindak pasrah, menyerahkan kedua ketiaknya untuk memuaskan dahaga birahiku. Ada tonjolan membukit pada batas bahu Oom Matu. Lidah dan bibirku melata untuk melumat dan mengigit kecil di sana. Telingaku sangat dekat untuk mendengar desah dan rintih nikmat dari bibirnya yang berkesinambungan. Oom Matu seakan mendapatkan sensasi dengan ke-dahaga-an syahwatku.

Aku rasa petualangan nikmat masih terbentang luas di depan haribaanku. Kini aku membimbing bibir dan lidahku turun ke perutnya. Aku menemukan perut yang sangat terawat milik Oom Matu ini. Tak puas-puasnya aku berputar-putar merambatkan dahaga lumatanku disana. Aku juga menjilatkan lidahku pada pusernya yang dalam itu. Di arah lebih bawah lagi kutemui padang penuh bulu. Itu adalah awal jembutnya yang akan semakin lebat membungkus kemaluannya.

Kini yang terjadi kemungkinan terbalik. Bukan Oom Matu yang mengejar kontolku namun justru aku yang mengejar kontolnya. Oom Matu tahu. Namun memang sejak tadi nampaknya dia mendahulukan aku untuk menjemput kedahagaanku. Dia justru mengambil nikmat dengan kepasrahannya pada ulahku. Dia mengalah untuk kepuasan birahiku. Dan aku menggunakan kemanjaan darinya untuk benar-benar larut dalam hasrat syahwatku. Aku meyakini pada akhirnya kepuasanku adalah juga kepuasan Oom Matu.

Kini aku ingin meluncur ke selangkangannya. Aku mengubah posisiku. Sejenak turun dari ranjang dan sedikit menarik kedua kaki Oom Matu agar sebagiannya menjuntai ke lantai. Aku datang dari arah bawahnya. Memeluk betis kanannya dan mendaratkan jilatan dan ciumanku pada lututnya. Aku melumati dan menyedoti pori-porinya. Sungguh fantastis, bahwa aku tengah merangkaki lelaki hitam telanjang dengan bibirku yang seakan menancap pada kakinya.

Lidahku menyapu-nyapu telapak kakinya. Bibirku mengulum jari-jari kakinya. Aroma sepatu kulit Satpamnya merangsek ke hidungku. Dia menggelinjang menggeliat-geliatkan tubuhnya. Aku yakin Oom Matu sedang dilanda badai nikmat yang tak terkira.

Bersambung...