Kamar kostku sangat sederhana, hanya dibatasi dinding papan yang sudah rapuh dari kamar pasangan suami istri yang belum punya anak. Karena kondisi itulah sejak aku sewa kamar itu selama 2 bulan aku mempunyai kebiasaan mengintip dari sebuah lubang kecil di dinding ujung tempat tidurku yang makin lama semakin melebar karena ulah jariku. Lubang itu kututup dengan poster sehingga tidak ada cahaya yang keluar dari kamarku. Sedangkan di kamar sebelahku antara dinding dengan tempat tidur mereka hanya terhalang oleh kelambu.
Kegiatan mengintipku tidak mengenal batas waktu, dari pagi, siang ataupun malam. Sehingga aku hafal benar kehidupan di kamar sebelah, dari lekuk tubuh Mbak Dwi (nama samaran) sampai kehidupan sex mereka. Walaupun kehidupan rumah tangga mereka tampak rukun, tetapi aku tahu bahwa Mbak Dwi selalu tidak terpuaskan dalam kehidupan sex, karena suaminya hanya mampu 2-3 menit dalam bertempur, itu pun tanpa pemanasan yang cukup. Sehingga sering aku melihat Mbak Dwi diam-diam melakukan masturbasi menghadap ke dinding (ke arahku) setelah selesai bersenggama dengan suaminya. Dan biasanya pada saat yang sama, aku pun melepas hajatku, tanpa berani bersuara sedikitpun. Bahkan tidak jarang kulihat Mbak Dwi terlihat tidak bernafsu melayani suaminya, dan menjadikan tubuhnya hanya untuk melepas birahi suaminya saja.
Aku kenal dekat dengan Mbak Dwi dan suaminya, aku sering bertandang ke rumahnya untuk membaca koran karena kamar kontrakannya satu rumah denganku, bedanya mereka mempunyai ruang tamu, ruang tidur dan dapur. Aku lebih akrab dengan Mbak Dwi. Disamping umurnya kuperkirakan tidak jauh terpaut banyak di atasku, juga karena suaminya berangkat kerja sangat pagi dan pulang malam hari, itulah yang membuatku dekat dengannya. Mbak Dwi sebagai ibu rumah tangga lebih banyak di rumah, sehingga kami lebih sering bertemu di siang hari, karena kuliahku rata-rata 2 mata pelajaran sehari, dan selama itu pula aktifitas mengintipku tidak diketahui oleh mereka.
Hingga pada suatu hari, aku berniat pulang kampung dengan menggunakan Travel, yaitu kendaraan jenis minibus yang dapat dimuati 8 orang dan dioperasikan dari kota S ke kotaku pulang pergi. Aku selalu menggunakan jasa angkutan ini, karena harganya tidak terlalu mahal dan juga diantar sampai ke rumah. Aku kaget ketika masuk kendaraan, ternyata di dalam sudah ada Mbak Dwi yang mendapat tempat duduk persis di sampingku.
"Eh Mbak Dwi, mau kemana..?" sapaku sambil mengambil tempat duduk di sampingnya.
"Oh Dik Ton.., mau ke kota T. Ada saudara Mas yang sakit keras, tapi Mas nggak bisa cuti. Jadi saya datang sendiri."
Kami pun terlibat obrolan yang menyenangkan.
Dia menggunakan rok lengan pendek, sedangkan aku menggunakan t-shirt, sehingga berkali-kali tanpa sengaja kulit lengan kirinya yang putih mulus bersetuhan dengan kulit lengan kananku. Perjalanan malam yang akan memakan waktu 8 jam ini akan menyenangkan pikirku.
Kami sudah kehabisan obrolan, kulihat Mbak Dwi memejamkan mata, walaupun aku yakin dia belum tidur. Gesekan lengan kami lama-lama menimbulkan rangsangan buatku, sehingga kurapatkan dudukku ketika mobil berbelok. Kini tidak hanya lenganku yang menempel, tetapi pinggul kami pun saling menempel. Mbak Dwi mencoba menjauh dari tubuhku, dan aku pura-pura tidur, tapi posisi menjauhnya menyulitkan duduknya, sehingga pelan-pelan lengannya kembali menempel ke lenganku. Aku diam saja dan menahan diri, lalu lama-lama kugesekkan lenganku ke kulit lengannya, pelan sekali, setelah itu berhenti, menunggu reaksinya, ternyata diam saja. Darahku mulai cepat beredar dan berdesir ke arah penisku yang mulai mengeras.
Kuulangi lagi gesekanku, kali ini lebih lama, tetap tidak ada reaksi. Kuulangi lagi berkali-kali, tetap tidak ada reaksi. Kini aku merasa yakin bahwa Mbak Dwi juga menikmatinya, kumajukan lenganku pelan-pelan, kutindihkan lengan kananku di lengan kirinya. Kulihat Mbak Dwi masih tidur (pura pura..?) dan kepalanya beberapa kali jatuh ke pundakku. Aku makin terangsang, karena lenganku menempel pada buah dadanya. Mbak Dwi masih diam saja ketika tangan kiriku mengelus-elus kulit lengannya yang mulus, aku sangat menikmati kulitnya yang halus itu. Aku terkejut ketika dia membetulkan duduknya, tetapi tidak, ternyata dia menarik selimut pembagian dari Travel, yang tadinya hanya sampai perut sekarang ditutup sampai lehernya. Aku mengerti isarat ini, walaupun duduk di barisan belakang dalam kegelapan, tetapi kadang-kadang ada sinar masuk dari kendaraan yang berpapasan.
Kulihat ibu-ibu di samping Mbak Dwi masih terlelap dalam tidurnya. Melihat isyarat ini, kuletakkan tangan kiriku di atas buah dadanya, tangannya menahan tangan dan berusaha menyingkirkannya, tetapi aku bertahan, bahkan kuremas dadanya yang cukup besar itu dari luar bajunya. Tidak puas dengan itu, tanganku kumasukkan dalam bajunya, kusingkapkan BH-nya ke atas, dan kuremas dadanya yang kenyal dengan lembut langsung ke kulit payudaranya yang halus sekali.
Kembali tangannya mencengkeram tanganku ketika aku memelintir putingnya yang sudah mengeras, tetapi hanya mencengkeram dan tidak menyingkirkan. Kepala Mbak Dwi tersandar di bahuku, sedangkan kemaluanku sudah sangat keras dan berdenyut. Kuremas dan kuelus buah dadanya yang kenyal dan licin dengan lembut sepuas-puasnya, Mbak Dwi terlihat sangat menikmatinya. Permainan ini cukup lama, ketika rangsanganku makin meningkat, kurasakan penisku makin keras mendesak celanaku. Kugeser tanganku dari payudaranya ke perut dan pinggangnya yang langsing, dari pusar tanganku makin ke bawah mencoba menerobos ke bawah CD-nya. Mbak Dwi menahan tanganku dan menyingkikirkannya dengan keras. Akhirnya aku harus puas mengelus perutnya.
Aku sudah sangat terangsang, dalam kegelapan kubuka resleting celanaku, kukeluarkan penisku yang sudah sangat keras dari celana. Kubimbing tangan Mbak Dwi ke kemaluanku. Pada awalnya dia menarik tangannya, tetapi setelah kupaksa di tengah tatapan protesnya, ahirnya dia mau menggenggam kemaluanku. Sungguh nikmat sekali tangannya yang telah menyetuh barangku, bahkan dengan lembut meremas-remasnya.
"Mbak Dwi jangan diremas, dielus saja..!" bisikku.
Bersamaan dengan itu, kembali tanganku menyusup ke celana dalamnya. Kali ini Mbak Dwi diam saja, bahkan tanpa sadar diangkatnya kakinya, menumpangkan paha kirinya ke atas pahaku. Di tengah rimbun rambut kemaluan, kucari celah vaginanya, kujumpai vaginanya sudah mulai basah. Ketika jari tenganku mengelus dan memutar klitorisnya, kulihat Mbak Dwi mendesis-desis menahan rintihan. Sementara elusan di batang kemaluanku telah berubah menjadi kococokan.
Kenikmatan sudah memenuhi batang kemaluanku, bahkan menjalar ke pinggul. Ketika jariku sedang mengelus di dalam dinding dalam vaginanya, kurasakan kedutan di kepala kemaluanku sudah semakin kencang. Aku tidak tahan lagi.
"Crot..," akhirnya muncratlah air maniku beberapa kali, dan bersamaan dengan itu pula terasa dinding vagina Mbak Dwi menjepit keras jariku, punggungnya mengejang, Mbak Dwi mengalami orgasme.
Kutarik tanganku, dan kurapihkan selimutku dan juga selimutnya. Setelah itu kami terlelap tidur dengan kepala Mbak Dwi tersandar di pundakku.
*****
Aku terbangun ketika mobil berhenti di tempat parkir sebuah restoran yang sudah dipenuhi dengan bis malam. Di tengah sawah yang gelap itu, berdiri sebuah restoran Padang, tempat para supir istirahat dan penumpang minum kopi dan makan. Penumpang minibus beranjak turun, Mbak Dwi kulihat masih terlelap tidur. Dia bangun ketika ibu-ibu yang duduk di sebelahnya terpaksa membangunkannya karena mau lewat untuk turun, dan dia hanya memiringkan tubuhnya untuk memberi jalan.
Mobil kami diparkir di paling ujung di sebelah sawah yang gelap di antara parkir bis-bis besar jurusan luar kota. Semua penumpang telah turun, dan aku hanya berdua dengan Mbak Dwi. Kupandangi wajah cantiknya, kuraih lehernya ke arahku, dalam kantuknya kucium dengan lembut bibirnya, kuhisap dan kumasukkan lidahku mencari lidahnya. Dia membalasnya setengah sadar, tetapi ketika kesadarannya mulai pulih, Mbak Dwi membalas ciumanku, lidahnya bergesekan dengan lidahku, hisapannya juga tumpang tindih dengan hisapanku. Tanganku sudah masuk ke dalam bajunya dan meremas buah dadanya, nafasku dan nafasnya mulai memburu. Batang penisku kembali menegang dengan besaran yang penuh.
Kucium lehernya, dia menggelinjang kegelian dan aku makin terangsang. Dan kuberanikan diri untuk meminta kepadanya.
"Mbak Dwi, saya pengin dimasukkan.., boleh kan Mbak..?"
Dia hanya mengangguk dan mengangkat pantatnya ketika aku melepaskan CD-nya. Kuperosotkan celanaku sampai ke lutut, sehingga batang kemaluanku mendongak ke atas bebas.
Ketika sedang berpikir bagaimana posisi yang pas untuk menyetubuhinya pada posisi duduk di jok belakang yang sempit itu, tiba-tiba Mbak Dwi bangkit, mengangkangi kedua pahaku menghadap ke arahku. Dengan mencincing roknya sampai ke pinggang, dipegangnya batangku dan di bimbingnya ke arah kemaluannya. Disapukannya kepala penisku dari ujung klitorisnya sampai bibir vaginya yang paling bawah berkali-kali. Kurasakan geli dan nikmat digeser-geser di daerah licin seperti itu. Aku mendesis kenikmatan karena untuk pertama kali inilah aku berhubungan badan dengan seorang wanita.
"Enak Dik Ton..?" tanyanya ditengah dia menatap wajahku yang keenakan.
"Mbak, masukin Mbak, saya pengen ngerasain..!" aku meminta.
"Mbak masukin, tapi jangan cepet dikeluarin ya.., Mbak pengen yang lama."
Aku hanya mengangguk, walaupun aku ragu apakah aku mampu lama. Aku terbayang suami Mbak Dwi yang hanya mampu 2-3 tiga menit saja.
Dia mulai menurunkan pantatnya pelan sekali, terasa kepala penisku terjepit bibir yang lincin dan hangat. Serr.., seerr.., terus makin ke dalam, sampai akhirnya sudah separuh kemaluanku terjepit di liang vaginanya. Pada posisi itu dia berhenti, kurasakan otot dalam vaginanya menjepit-jepit kemaluanku, nimat sekali rasanya. Sebagai pemula, aku berusaha mengocok kemaluannya dari bawah, kusodok-sodokkan penisku ke vaginanya, sehingga mobil terasa bergoyang.
Bersambung...