Namaku Kevin bukan salahku kalau aku terlahir berbeda dari yang lain. Kalau aku bisa memilih lebih baik aku tidak pernah dilahirkan. Setidaknya itu kata hati kecilku, satu-satunya unsur kebaikan yang tersisa dalam diriku.
Aku berasal dari keluarga warga keturunan yang minoritas di negeri ini. Ayahku pengusaha yang berhasil dan cukup kaya. Aku kira cukup beralasan mengingat dia memiliki beberapa toko elektronik di Mangga Dua serta beberapa toko kelontong yang tersebar di kawasan Pisangan, Kelapa Gading dan Pasar Baru. Disamping itu ia adalah pemilik sebuah bengkel yang cukup besar di daerah Kemayoran. Kami sekeluarga tinggal di kawasan Pantai Mutiara Pluit. Aku adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki di keluargaku. Kakak laki-laki tertuaku meninggal waktu masih SMA sekitar lima tahun lalu. Keluargaku jauh dari harmonis. Ayah bagiku lebih mirip diktator yang kejam serta berhati dingin. Ibu dan saudara-saudara perempuanku pun tidak jauh berbeda. Di dalam keluarga aku dianggap anak pembawa sial. Aku tidak tahu apa sebabnya demikian, yang jelas kakak tertuaku yang sudah meninggal merupakan putra kesayangan ayah dan ibu, juga idola buat saudari-saudariku yang lain. Semenjak kematiannya keadaanku semakin memburuk karena bila terjadi hal-hal yang kurang baik dalam keluargaku, maka akulah yang dianggap sebagai penyebab.
Sejak kecil aku akrab dengan sumpah serapah bahkan kutukan dari orang tuaku maupun saudara-saudaraku yang lain. Pukulan badan menjadi makanan sehari-hari bahkan untuk kesalahan yang paling sepele sekalipun. Akan tetapi secara keuangan aku tercukupi dan aku mulai terbiasa bahkan menyukainya. Siapa butuh keluarga bila kita punya uang? itu yang ada dalam pikiranku. Sadar atau tidak sadar aku memupuk dendam. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana membalas segala perlakuan ini. Yang jelas aku menikmati perasaan dendam dan amarah dalam batinku. Ayah bagiku adalah iblis yang selalu menghalangi jalanku. Dalam hatiku aku berharap agar dia segera lenyap dari dunia ini. Ibu bagiku bagaikan wanita yang tidak tahu diri dan hanya mabuk dalam kesenangannya akan kemewahan. Sedangkan kakak dan adik perempuanku ibarat pelacur-pelacur binal yang mencari muka pada sang iblis demi kepuasan dan kemanjaan mereka. Semuanya berjalan seperti itu sampai pertengahan bulan Mei tahun 1998. Aku menyebutnya sebagai Hari Penghakiman.
Saat itu usiaku 21 tahun dan masih kuliah di sebuah PTS di Jakarta Barat. Aku ingat saat itu terjadi kerusuhan di Jakarta dan keadaan sedang panik. Aku tinggal di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah warga keturunan yang saat itu sedang dilanda ketakutan yang amat sangat. Beberapa tetangga telah mengungsi, tapi ayahku dengan sifat arogannya (seperti biasa) bersikeras untuk tetap tinggal di rumah. Dia berkata kalau dia sudah menghubungi kenalannya seorang yang berpangkat di militer untuk melindungi daerah tempat tinggal kami. Nyatanya itu adalah arogansinya yang terakhir.
Saat itu pukul setengah sebelas malam, ketika aku terbangun karena suara gaduh di rumahku. Bibir dan mataku masih lebam dan kakiku masih terpincang-pincang bekas di pukul ayahku dengan raket tenisnya karena malam sebelumnya aku keluar membawa mobil Mercedes Benz kesayangannya. Aku mendengar suara teriakan dari luar. Salah satu suara yang kukenali adalah suara ciciku yang kamarnya satu lantai denganku di lantai atas. Terdengar juga suara bentakan yang keras. Jelas bukan suara bentakan ayahku yang kudengar. Dengan tertatih-tatih aku segera membuka pintu menuju arah suara itu. Alangkah terkejutnya ketika di depan pintu kulihat seseorang pria berbadan kekar dengan menggenggam parang di tangannya maju ke arahku. Saat itu seluruh persendianku lemas dan aku hanya menunduk menutupi wajahku ketika dia mendekat. Saat itu kematian begitu dekat bagiku, bahkan aromanya dapat tercium hidungku. Kutunggu pria itu mengayunkan parangnya menghabisiku. Sesaat aku sempat merasa kelegaan dalam hatiku. Aneh tapi nyata, sepertinya aku tersenyum menghadapi kematianku. Tapi ayunan parang itu tak kunjung datang dan waktu sedetik itu berlalu lama serasa sejam bagiku. Tiba-tiba aku melihat kaki mengayun menendang perutku.. "Aaahh!" aku berteriak keras. Lalu kemudian aku merasa kepalaku dipukul benda keras. Keras sekali sehingga segala sesuatunya menjadi gelap gulita, aku pingsan.
Ketika sadar aku mendapati diriku dalam keadaan tangan terikat. Kepalaku masih pusing saat aku melihat pemandangan yang mengerikan terpampang di hadapanku. Kulihat tepat di hadapanku ibuku tergeletak dangan mata terbelalak dan perut robek. Ususnya terburai dan darahnya menggenangi lantai. Darah itu mengalir sampai membasahi kakiku. Amis baunya bercampur bau asap yang ada di mana-mana. Kupalingkan wajahku dari dirinya hanya untuk menyaksikan suatu pemandangan lain yang tidak kalah mengerikan. Irene, ciciku yang berusia 24 tahun telentang di atas meja dengan tubuh telanjang. Kedua tangannya terikat tali plastik di belakang kepalanya, sedangkan kedua kakinya mengangkang terikat di kedua kaki meja. Aku juga melihat ayahku yang pingsan terikat di kursi. Ada perasaan senang melihat sang iblis tua itu dalam keadaan tidak berdaya. Aku tidak melihat Mirna adiku yang masih kelas 3 SMA.
Di ruangan itu aku melihat sekitar 5 orang pria berbadan kekar dengan kulit hitam. Mata mereka tampak merah seperti terbius oleh sesuatu. Tiga orang dari mereka sibuk menjarah barang-barang yang ada di ruangan itu. Sementara 2 orang lagi terlihat berada di samping ciciku. Yang berambut gondrong sedang meremas-remas buah dada ciciku dengan kedua tangannya yang kasar dan berbulu lebat. Seorang lagi yang berambut cepak menghampiri ciciku sambil membuka celananya. Aku bergidik mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Ingin kupalingkan wajahku agar tidak melihat kejadian itu tapi entah mengapa urung kulakukan. Aku mendengar ciciku berteriak memohon-mohon pengampunan pada mereka. "Ampuun.. jangaan", suaranya penuh nada ketakutan. Tubuhnya gemetar tertekan rasa teror yang nyata di depan mata.
"Diam lu amoy! diam dari pada lu mati sekarang juga", suara parau dan kasar keluar dari mulut pria gondrong yang terus menggerayangi payudara ciciku. "Mending lu diem dan mati enak.." timpal si cepak sambil mengeluarkan kemaluannya yang hitam dan besar. Terlihat ciciku bergidik memalingkan mukanya sambil menjerit bercampur tangis, "Toloong.. ampuun.. ampuun.. toloo.. Aaauuhshh!" teriakan tolong ciciku berubah menjadi jeritan ketika si cepak menghujamkan batang kemaluannya ke dalam liang kemaluan ciciku. "Diam lu anjing!" suaranya bagai kutukan dari neraka. "Eh Min.. si amoy ini rupanya udah gak perawan!" seru si cepak pada temannya. Rupanya dia merasa kalau ciciku memang sudah bolong. Dasar pelacur! dalam hatiku mengumpat. "Udah bagus lu kagak gue bakar hidup-hidup!" si gondrong menambahkan. "Heheh.. lumayan juga nih amoy.. gue serasa ngentot sama bintang film mandarin." Si cepak menimpali dengan nafas memburu. Dalam hati aku membenarkan ucapan si cepak. Wajah ciciku memang mirip-mirip Anita Mui (bintang film Hongkong yang main bareng Jacky Chan di film Rumble in Bronx dan Drunken Master 2) dia memang judes orangnya. Rupanya stamina si cepak cukup kuat juga.
Sekitar 5 menit dia memompa ciciku dan belum ada tanda-tanda mengendur. Malah garakannya semakin cepat, kasar dan buas. Sementara itu jeritan-jeritan histeris ciciku semakin melemah bahkan suaranya jadi erangan-erangan lirih lebih mirip orang yang dilanda kenikmatan daripada ketakutan. "Aaah.. udaah.. ampuun.. ammpuu.. aauhffssh!" wajahnya terlihat semakin merah padam karena perasaan malu terhina, takut tidak dapat membohongi kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. Beberapa kali matanya mendelik dan badannya bergelinjang tidak sanggup menahan rasa geli yang nikmat itu.
Akhirnya ciciku terlihat menggigit bibir bawahnya dan bola matanya memutih. Kepalanya mendongak, suaranya seperti tertahan-tahan. Ciciku mendekati orgasme. "Mmmh.. hhmmph..!" sepertinya dia hendak melepas gejolak perasaanya tapi malu karena berarti dia mengakui akan kenikmatan yang diberikan pria kekar bertubuh hitam legam yang terlihat kontras di atas tubuhnya yang putih bersih itu. Si cepak juga rupanya telah mendekati klimaksnya. Dia menggerakkan pinggulnya seperti mengocok liang kemaluan ciciku hingga mejanya berderit-derit. Saat itu ciciku rupanya tidak sanggup lagi menahan kenikmatan. Hampir 2 menit dia menahan orgasmenya, kini dia tidak mampu lagi menggigit bibirnya menahan jeritan puncaknya. Matanya terpejam sampai kedua alisnya seperti bertemu. Dia masih berusaha sebisanya menahan jeritan kenikmatannya. "Uuhhssh.. uuhhss.. uuhhss!" nafasnya berat satu-satu dan suaranya mirip ibu hamil yang sedang berkontraksi.
Ciciku memang pantang menyerah. Ia tetap berusaha menahan orgasmenya sampai saat-saat terakhir. Ia tetap tidak mau mengaku kalah terhadap pemerkosanya. Ternyata hanya sesaat dia berhasil. Ketika si cepak menghujamkan tusukan terakhirnya saat batang kemaluannya dia benamkan dalam-dalam ke liang kemaluan ciciku, akhirnya cici menyerah juga. Tubuhnya mengejang, kedua telapak tangannya terkepal kuat dan kedua kakinya yang terikat di kaki meja tampak mengejang. Ujung jari-jari kakinya terlihat meregang dan kontraksi otot dari ujung kaki sampai kepalanya terlihat jelas. Satu lenguhan panjang dan dalam menandai runtuhnya pertahanan ciciku. "Uuhh.. uhh.. uhh.. sshh.. aaffsshh!" jeritnya seiring tubuh pemerkosanya mengejang dan menyemburkan mani haramnya ke dalam liang kemaluan ciciku. "Walaah.. enak tenan!" si cepak berseru dengan suara menjijikkan melepaskan kenikmatannya.
Hampir bersamaan dengan itu, terdengar suara tangis dan jeritan pilu yang kukenali sebagai suara Mirna adiku. Dia dibawa paksa dengan setengah diseret ke ruangan ini oleh seorang pria bertubuh gendut brewokan. "Man.. dapat satu lagi nih.. dia rupanya ngumpet di gudang dari tadi", seru si brewok kepada si cepak yang sepertinya pemimpin mereka. Pakaian Mirna terlihat compang-camping pertanda dia mengadakan perlawanan. "Wah daun muda nih.. pasti masih perawan!" seru si gondrong. "Kagak kayak kakaknya yang udah bolong.. puihh!!" si cepak berkata mengumpat sambil meludahi tubuh ciciku yang tergolek lunglai. Darahku terasa panas membara melihat perlakuan itu. Saat itu aku agak merasa iba pada saudari-saudariku. Sejenak melupakan kebencianku pada mereka. Mirna begitu melihat ciciku langsung histeris dan menubruk tubuh ciciku. Segera sepasang tangan kasar si brewok merenggut kembali tubuh adikku.
Saat itu ayahku siuman dari pingsannya. Aku baru memperhatikan ada darah segar menetes deras dari belakang badannya yang duduk terikat di kursi. Rupanya dia terluka dan sekarat karena kehabisan darah. "Ampuun bapak-bapak.. jangan ganggu kami lagi.. nanti gue kasih uang banyak buat lu orang", suaranya kembali terdengar pongah di telingaku. Sejak tadi aku tidak diperhatikan lagi oleh para penjarah itu. Aku disangka masih dalam keadaan pingsan. Tapi dari posisi ayahku yang duduk berhadapan ke arahku terlihat jelas kalau aku sudah siuman. "Diam lu anjing.. ini emang hari naas lu!" seru si cepak sambil menaikkan kakinya ke dada ayah. Saat itu tatapanku bertemu dengan tatapan ayahku. Sejenak aku berharap disaat seperti ini dia akan menatapku dengan penuh rasa penyesalan atau setidaknya di ujung maut dia bersikap baik kepadaku walau untuk terakhir kalinya. Tapi apa yang kuterima adalah tatapan penuh kebencian yang seakan menyalahkanku.
Mulutnya bergumam seperti mengutukku. Tiba-tiba aku merasa gelap menutupi mataku, kebencian kembali bangkit tak tertahankan bagaikan orgasme yang tidak bisa di surutkan kembali. Tiba-tiba aku bangkit dan tanpa sadar aku berteriak-teriak histeris sambil berlari ke arahnya dalam keadaan tangan terikat. "Semuanya salah luu, semuanya salah luu!" aku tak terkendali lagi. "Kalau luu mau dengar kata orang-orang musti ngungsi.. kita selamat.. Mama nggak matii!" aku berteriak histeris sambil menubruk tubuhnya. Para penjarah sesaat terpaku melihatku yang histeris. "Bruuk!" kutabrak ayahku dan kita berdua jatuh di lantai yang sudah tergenang darahnya. Kurasakan tangan-tangan yang kuat menarikku dan menghujamkan kepalan ke wajahku berkali-kali.
"Walah yang ini kalap!"
"Hei anjing, diam lo atau gue sembelih nih!"
Kudengar suara-suara membentak dan sebuah parang mengkilat di tempelkan di leherku. Kembali lagi kematian terasa begitu dekat, bahkan aku merasa maut tersenyum padaku. Bagai di tarik ke dunia lain, aku dapat mencium aroma kematian secara jelas, bahkan dapat kuraba dengan tanganku.
Setengah sadar aku tetap berteriak-teriak histeris manyalahkan ayahku tanpa menghiraukan parang yang siap merobek leherku. Aku seperti mendengar salah seorang penjarah berkata, "Wah si babi ini kesurupan kali.. lepasin aja dan biar dia yang matiin si bandot tua ini." Setelah itu ikatanku dilepas. "Tuh lu bunuh aja babe lu!" Suara itu terngiang-ngiang di kepalaku. Aku tidak yakin itu suara salah satu dari penjarah atau suara dari dalam diriku sendiri. Kuhampiri ayahku dan sambil menangis histeris, berlutut di depannya. "Papa.. apa salah Kevin selama ini.. apa salah Keviin!" ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku.
Tiba-tiba tak kuhiraukan situasi yang sedang terjadi di rumahku. Yang aku tahu adalah kematian sudah berada di sisiku dan satu-satunya yang ingin kulakukan adalah meminta penjelasan yang terakhir kali dari ayahku mengapa aku mendapat perlakuan yang menyiksa fisik dan batinku selama ini. Alangkah kagetnya aku ketika ayah menatapku tajam dan dengan penuh kebencian berkata, "Kamu bukan darah dagingku! kamu anak haraam! anak siaal.. kamu bawa sial buat keluarga ini! pergi lu ke nerakaa!" Terlepas sudah semua bebanku selama ini mendengar kutukan itu. Aku memang sudah mati. Dan sekarang sudah berada di neraka, saat ini kematian tidak hanya dekat tapi sudah menggenggam erat tanganku. Iya di tanganku sekarang ada kematian. Segala dendam dan murka tertumpah di saat itu juga. Entah dirasuki apa aku saat itu sehingga tiba-tiba segalanya berjalan seperti slow motion. Aku merasa tubuhku bergerak cepat merebut parang yang dipegang si gondrong lalu segera mengayunkan parang tersebut ke arah ayahku! Aku merasa berkali-kali aku hujamkan parang merobek-robek tubuh ayahku, si iblis tua yang pongah itu.
Bersambung...
Home » pemerkosaan » Kevin demonic - Judgement day - 1