Rere Gadis SMU yang Malang (1)
Rere masih duduk termenung di bangku sekolahnya. Rok abu-abunya terangkat 5 centimeter ketika dia menyilangkan kakinya yang panjang semampai membentuk betis yang indah, walaupun terbalut kaus kaki putih setinggi lutut. Bu Santi guru biologinya menerangkan betapa pentingnya sistem metabolisme tubuh dan memerlukan omega 3 lebih banyak dari omega 6 untuk mendapatkan kesehatan tubuh yang positif. Tetapi pikiran Rere melayang entah kemana, tangannya menyangga dagunya yang malas untuk menengadah tegak, semua energinya hilang.
Memang minggu ini adalah minggu yang berat untuk Rere. Dia baru saja bertengkar hebat dengan Lola sahabatnya sendiri yang juga satu sekolah. Pertengkaran mereka dIka renakan laki-laki yang disukai Lola ternyata menyukai Rere juga, sedangkan Rere sejak dulu juga memendam perasaannya untuk laki-laki yang sama, Albie.
Rere bersumpah untuk mempertahankan persahabatannya dengan Lola dan mengesampingkan perasaannya demi sahabatnya itu. Baginya persahabatan lebih penting daripada pacar. Tetapi berbeda dengan Albie. Dengan tanpa menyerah dia terus mendekati Rere di sekolah untuk mendapatkan cinta teman sekolahnya. Hal itu membuat Lola semakin marah dan kecewa kepada Albie dan Rere. Rere berusaha mati-matian untuk menghindari Albie walaupun sebenarnya dia menyesal kenapa sahabatnya bisa suka pada pria yang sama.
“Re, lo kenapa?“ Ika teman satu kelasnya menghentIka n lamunannya. Memang selain Lola, Rere juga berteman dengan Ika. Karena Lola beda kelas, jadi dia menjadIka n Ika sebagai temannya juga walaupun tidak sedekat dia dengan Lola.
“Gak apa-apa ka, gue cuma lagi gak konsen aja“
“Kok lo pucet sih? Lo sakit ya? Mau gue anter ke ruang BP?
“Gak ka, g cuma gak konsen aja kok. Tau nih pelajaran ngeBTin banget! Gara-gara omega 3 gue harus banyak makan Ika n deh...“ celetuk Rere berusaha ceria. Dia tidak mau masalahnya sampai tersebar dan diketahui Ika dan yang lainnya.
“Serius lo gak apa-apa? Gue punya air mineral nih, kalo lo mau... Lumayan buat melekkin mata, bentar lagi dah mau pulang biar lo segeran dikit” Ika menawarkan dengan tulus kepada teman sekelasnya itu. Rere pun langsung mengambil sebotol air mineral yang ditawarkan Ika, memang dia haus dan jenuh dengan keadaannya sekarang. Langsung Rere menyeruput botol mineral Ika dan mengosongkan seperempat dari setengah isi botol itu yang langsung menyegarkan kerongkongannya.
“Thanks ya Ka... sumpah, jadi seger lagi gue..“
“No problemo” kata Ika tersenyum dan mengambil botol yang ada dari tangan Rere. Rere pun kembali menatap Bu Siska dan mencoba keras memperhatikan ke papan tulis yang isinya menjelaskan klasifikasi omega 6 dan makanan apa yang harus dihindari dan tidak perlu banyak dikonsumsi.
Lima menit kemudian bel sekolahpun berteriak memerintahkan bahwa pelajaran hari ini selesai, serentak seluruh murid di kelas 3 IPA 4 membereskan buku-buku mereka dan buru-buru menjejalkan kedalam tas sekolah mereka masing-masing.
“Ayo Re kita ke parkiran bareng...” ajak Ika. Memang sesudah seminggu bermusuhan dengan Lola, Rere selalu pulang bareng Ika. Walaupun tidak betul-betul pulang bareng, paling tidak Rere punya teman untuk jalan ke parkiran sekolah. Semenjak ulang tahunnya yang ke 17 dua bulan yang lalu, papanya menghadiahkan mobil Honda Jazz untuknya. Dan selama 2 bulan terakhir dia selalu menyetir sendiri setiap sekolah dan dengan senang hati menawarkan untuk mengajak dan mengantar Lola walaupun hanya untuk hang out atau sekedar pulang. Hampir setiap hari mereka pulang bareng, Lola pun sengaja menyuruh supirnya untuk tidak menjemputnya. Tetapi seminggu terakhir ini, Rere selalu pulang sendiri. Buat orang seceria Rere, akan sangat menyedihkan untuknya kalau pulang sendiri.
“Lo duluan deh Ka, gue mau toilet, cuci muka dulu... Suntuk banget nih, entar gak konsen lagi nyetirnya...“ Tolak Rere halus. Dia memang berniat untuk ke toilet sebelum pulang. Mungkin sepercik air bersih bisa menyegarkan pandangannya yang semenjak seminggu ini selalu layu.
“OK deh... see ya...“ sahut Ika sambil berlalu.
Sepeninggal Ika, Rere berjalan menuju toilet yang berada di sudut sekolah di lantai 2. dia berusaha bersemangat agar bisa segar cepat langsung meluncur ke rumahnya dan istirahat untuk menjalani hari esok yang akan sama menjenuhkannya tanpa Lola ada disampingnya. Rere menuju ke toilet booth paling ujung karena tampaknya seluruh booth penuh terisi oleh murid-murid yang lain. Entah kenapa hatinya sangat hampa dan seluruh perasaannya kosong tak bergairah hari ini. Dengan lunglai ia mengunci pintu toilet dan menuju wastafel untuk mengguyur mukanya dengan sedikit air. Air segar langsung menyiram wajahnya. Rere berusaha untuk tetap terjaga dan melebarkan matanya agar tidak sayu. Tetapi kedua matanya seolah tidak berkompromi. Rere merasa badannya lemas luar biasa dan kepalanya pusing tidak tertahankan. Sambil terhuyung dan berusaha keras dia memegang kedua sisi wastafel menahan berat badannya sendiri. Tetapi perasaan aneh membuat lututnya lemas dan seolah-olah berat badannya bertambah 10 kali lipat, Rere pun jatuh tak sadarkan diri di lantai wastafel.
Entah berapa lama Rere pingsan di toilet perempuan itu. Tetapi begitu sadarkan diri, dia masih tetap di toilet tak berpindah sedikitpun. Rupanya tidak ada satu muridpun yang menyadari bahwa Rere pingsan di toilet. Dengan kepala berat Rere melirik jamnya yang melingkar diam di tangan kirinya. Sudah jam 3 sore. Memang sekolah swasta tempat Rere belajar, kegiatan operasional dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12.30 siang. Dan gerbang akan ditutup pada jam 2 siang. Tidak ada kelas siang di sekolah tersebut. Otomatis hal ini menyadarkan Lola bahwa dia sendirian di gedung sekolah ini. Tidak betul-betul sendirian sebenarnya. Ada pak Somad penjaga sekolah yang memang tinggal di dalam gedung sekolah khusus untuk menjaga dan membersihkan sekolah. Rere pun menjumput tas sekolahnya dan berjalan menelusuri koridor toilet untuk menemui pak Somad. Barangkali dia bisa membukakan gerbang sekolah untuknya. Sambil merogoh tas mencari kunci mobilnya, sebelum mencapai pintu toilet, tiba-tiba daun pintu ditarik terbuka dari luar dan muncullah 4 orang pemuda yang juga masih berseragam sekolah. Rere berusaha mengenali mereka, tetapi dia sama sekali tidak punya petunjuk siapa mereka.
“Akhirnya ketemu juga... dicari-cari dari tadi. Gue bilang juga apa kan Ben, dia pasti masih di dalam. Mobilnya aja masih ada di parkiran“ kata salah satu dari mereka yang badannya tinggi jangkung yang berwajah Indo-Pakis. Rere bisa mengenali karena untuk anak laki seumuran dia bulu-bulu halus sudah tumbuh di bawah hidungnya yang mancung di atas rata-rata orang pribumi.
“Iya... Gue pikir dia mungkin nebeng temennya“ jawab Ben yang ternyata ada paling depan di antara mereka berempat. Ben juga tinggi dan wajahnya tak kalah tampannya dengan yang pertama bicara. Alis mata Ben sungguh tebal, hidung mancung dengan kulit yang lumayan putih untuk ukuran laki-laki.
“Eh, sorry... tapi toilet anak laki ada di bawah. Ini toilet anak perempuan” Jawab Rere polos. Dia berusah ramah terhadap sekelompok pemuda itu.
“Halo Rere... pa kabar?“ sahut salah satu mereka. Rere tampak terperanjat, kenapa mereka tahu namanya.
“Siapa ya? Kok gue gak kenal sama kalian semua? Bukan anak sekolah sini kan?” Rere masih berusaha ramah seolah ini adalah percakapan biasa yang pantas antara seorang gadis dengan sekelompok anak laki-laki di koridor toilet perempuan.
“Lo emang cantik banget... ramah lagi. Pantesan Albie naksir banget sama lo. Ya nggak Dave?” timpal si Indo-Pakis sedikit menyeringai. Rere mulai tidak suka dengan perlakuan mereka. Dan kenapa ada Albie yang terlibat dalam percakapan ini.
“Emang Albie gak salah pilih! Renata aja kalah sama lo Re” jawab Dave yang Rere nilai tidak kalah gantengnya dengan yang lain. Dave berperawakan tinggi dan lumayan atletis. Wajah oriental Indo juga menghiasi mukanya. Indo mana? Rere tidak bisa memprediksi.
“Eh, siapa sih kalian? Kok kenal gue sama Albie...” Nada suara Rere sedikit panik karena dia sekarang merasa terpojok.
“Kita-kita dateng kesini cuma mau nyulik elo... Jangan tersinggung ya... tapi kayanya gue mau lebih dari nyulik... tul gak guys?” Jawab Ben santai seolah ini adalah pernyataan yang normal. Dan teman-temannya di belakangpun mengiyakan dengan kompak sambil menunjukkan mimik seperti orang haus dan berseringai.
“Eh jangan becanda dong... jangan sampe gue teriak” ada nada panik disuara Rere. Dengan reflek Rere merogoh tasnya. Tangannya yang tadi di dalam tas untuk mencari kunci mobil sekarang berubah untuk mencari handphonenya dengan gugup. Mungkin dia bisa menekan speed dial untuk menelepon siapa saja agar bisa mendengarnya walau dari dalam tas.
Tetapi terlambat. Ben mengetahui gelagatnya dan segera merampas tas Rere dan melemparnya jauh-jauh ke dalam toilet. Sedetik kemudian semua buku-buku, kunci mobil, handphone dan make up Rere berhambur keluar. Ada sesuatu yang terdengar pecah disana. Rere melengos. Apa itu Hpnya. Atau mungkin salah satu alat kosmetiknya.
“Mau telpon siapa say...“ kata Ben sambil memegang tangan Rere dengan mendekatkan seringai dan mukanya tidak lebih dari 2 centimeter dari muka Rere.
Rere tahu, ini saatnya dia lari atau kabur. Cari pertolongan, teriak atau menangis minta belas kasihan. Tetapi hatinya merasa ini bukan saatnya untuk berkompromi lagi. Dengan sekuat tenaga dia menghentakan kakinya menginjak kaki Ben yang sangat dekat dengan kakinya. Ben pun melepas pengangan tangannya dan megaduh memegang kakinya sendiri. Tidak menyia-nyiakan kesempatan. Rerepun langsung berlari menuju pintu toilet menerobos sekelompok pemuda itu. Merekapun berusaha menahan Rere, tetapi entah kenapa Rere bisa mencapai pintu dan menarik daunnya, membuat pintu terbuka dan berlari keluar sekencang mungkin. Rere berbelok menuju ke tangga untuk turun ke bawah. Dia tidak punya kunci, dia juga tidak punya HP untuk menelepon siapa saja minta tolong. Rere berlari sekencang mungkin, dia tidak berani menengok ke belakang. Dia Cuma berharap ini adalah mimpi buruk. “Bangun Re!” teriaknya dalam hati berharap sesuatu akan terjadi. Tetapi dia tetap menemukan dirinya masih berlari dan terus berlari.
Tiba di gerbang dia mendapati gerbang itu sudah terkunci dari dalam. “Oh tidak!” seru Rere dalam hati. Rere memutar otak. Pak somad! katanya lagi. Mungkin dia bisa ke tempat Pak Somad untuk minta tolong. Rere pun membalikkan badannya. Dia lihat tak jauh dari tempatnya 4 orang pemuda berseragam putih abu-abu sedang berlari kencang ke arahnya. Sejurus kemudian Rere berlari membelokkan badan menuju ke tempat pak Somad. Pak Somad tinggal di belakang sekolah dan Rere pun tahu jalan memutar menuju ke tempat pak Somad. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Keempat pemuda itupun masih mengikutinya. Jantung Rere berdegup kencang. Dia tidak boleh lemah. Dia bisa berlari kencang.
Setiba di tempat pak Somad. Rere mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dilihatnya ke dalam. Terlihat pak Somad sedang tertidur di tempat duduknya. Secangkir kopi, sebungkus rokok dan sepiring roti donat ada di meja di depat pak Somad terlelap. “Thanks God” seru Rere dalam hati. Dengan keras dia mengetuk pintu membangunkan pak Somad.
“Pak Somad... pak..., bangun pak tolong saya!!” tanpa permisi Rere masuk ke dalam rumah dan mengguncang tubuh pak somad, berharap dia akan bangun dari tidurnya. Tetapi pak Somad tak bergeming sedikitpun. “Pak... pak Somad! Bangun pak!! Tolong saya pak... ada orang yang mau mencu...” sambil mengguncangkan dan membangunkan pak Somad, Rere menunjuk dan menoleh ke luar seolah-olah ingin menunjukkan ada orang jahat yang mau menculikntya. Tetapi di arah Rere menunjukkan jari telunjuknya, keempat pemuda tersebut sudah berdiri berjajar dengan tenangnya sambil melipat tangan seolah-olah mereka berpose untuk suatu pemotretan. Rere merasa keadaan sudah sangat buruk.
“Ngapain say... pak somadnya lagi tidur... jangan dibangunin... kasihan dong... kan udah capek kerja seharian..” lagi-lagi Ben yang berkata. Dengan santai dia masuk ke dalam dan mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Seperti obat kapsul berwarna biru muda. Ben membuka kapsul itu dan menuangkan isinya ke dalam cangkir kopi pak Somad. Rerepun mengerti. Pak Somad sedang tak sadarkan diri.
“Kok gak ngenalin sih say... kamu kan tadi minum ini juga... lupa ya?” masih sambung Ben. Rere ingat, tadi dia sempat tak sadarkan diri.
“Tapi... gimana caranya??” jawab Rere pelan tak bernada. Dia bingung kapan dia meminum obat tersebut.
“Duh, kaya investigator aja deh kamu... kasih tau deh Zack...“ sahut Ben dengan malas dan orang yang bernama Zack itu pun menyahut. Ternyata orang keempat yang dari tadi Rere tidak mengetahui itu namanya Zack. Rere pun mulai memperhatikan keempat orang tersebut. Mereka sungguh laki-laki yang wajahnya di atas rata-rata. Semuanya berpenampilan ok dan tampan.
“Tadi kita titipin ke Ika...” sahut Zack sedikit santai. Rere pun seperti tersambar petir, dia kaget luar biasa. Tidak di sangka temannya sendiri menjebaknya.
“Kenapa...” seru Rere tanpa sadar. Dia terbengong. Di kepalanya sekarang menari-nari wajah Ika sambil tersenyum licik kepadanya.
“Gimana say... mau ikut kita. Kalo kamu nurut, semuanya akan baik-baik saja..” Ben dengan santai meraih tangan Rere menggandeng gadis itu. Rere tersadar, tanpa berlama-lama dia menepis tangan Ben dan mendorong Ben berharap dia akan pergi jauh-jauh meninggalkannya. Ben terdorong mundur 3 langkah. Wajahnya menunjukkan perasaan marah. Sedetik kemudian Ben melangkah maju kedepan dan PLAK!
Rere tersungkur jatuh menerima tamparan keras di pipi kirinya, terjerembab menabrak meja pak somad. cangkir kopi pak Somad jatuh dan pecah sesudah mengguyur badan Rere menumpahkan isinya ke seragam putih Rere dan menembus kedalam kulitnya menunjukkan gundukan kembar Rere yang tersiram, memetakan garis bra Rere yang berwarna hitam sehitam air kopi yang mengguyurnya. Pipi kirinya terasa panas dan perih. Perutnya sakit sehabis menghantam tepi meja pak Somad. sekarang, perasaan kalut menguasai hatinya. “Bagaimana ini...” dalam hati Rere. Kemudian Rere merasa badannya diangkat ke atas dipaksa berdiri oleh tangan Ben. Rere pun berdiri. Tangannya tak sengaja mengelus pipi kirinya yang perih. Ben melihat setitik darah mengalir dari pinggir bibir Rere. Lalu Ben menghapus darah itu dengan punggung tangannya. Rere berusaha mengelak, sehingga darah itu masih meninggalkan bekas di sisi bibir Rere.
Rere tidak menangis walau rasanya perut, pipi dan hatinya sakit dikhianati. Dia tidak mau terlihat lemah di depan keempat pemuda tersebut.
“Sorry ya say... abis kamunya gitu sih... Kita cuma mau bawa kamu doang kok...” Sahut Ben sambil membelai rambut Rere mesra seolah-olah seorang kekasih bicara kepada gadisnya. Rere benci nada suara itu. Dia memutar otaknya. Bagaimana dia bisa keluar dari masalah ini.
“Tolong... jangan ganggu gue...Gue.. gue bakal bayar...bayar tiga kali lipat dari orang yang bayar lo..” dengan terbata-bata Rere mencoba untuk bernegosiasi kepada Ben.
“Engga bisa gitu dong say... emang kamu pikir kita-kita ini orang yang butuh uang. Enggak sayang...lagian ini udah termasuk urusan perasaan... right guys?” Ben bertanya ke teman-temannya dan sekali lagi mereka mengiyakan dengan kompak.
Rere pun merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk dirinya. Dia juga mendiamkan Ben yang meraih tangannya dan menggandengnya keluar. Dengan menurut Rere berjalan keluar. Sesampai di luar tak jauh dari pintu rumah pak Somad. Rere kembali menghempaskan tangannya dan berusaha melepaskan diri berlari. Kaget dengan pegangannya, tanpa sadar tangan Rere sudah terlepas dari Ben. Rere pun kembali berusaha berlari. Namun Dave, Zack dan si Indo-Paskin dengan cekatan mengejar Rere. Dengan perut yang masih sakit, Rere tidak bisa berlari sekencang tadi. Tapi dia terus berlari. Dia tidak berani melihat ke belakang. Dan tidak lama kemudian dia merasa bajunya dipegang dan ditarik dari belakang. Tetapi Rere tetap berlari berharap tarikan baju itu akan terlepas. Tetapi pegangan itu begitu kuat dan kencang sehingga merobek baju belakang seragam Rere. Rere pun kembali jatuh terjerembab di rumput belakang sekolahnya. Terjatuh tertelungkup. Dia coba untuk bangun tanpa menghiraukan bajunya. Tetapi tiba-tiba dibelakang tubuhnya ada yang menindih dan menahannya untuk tetap berada terlungkup di rumput.
“Lepasin gue!.. Lepasin!!! TOLONG!! TOLONG!!!” teriak Rere berusaha berontak. Sedetik kemudian tangan kasar membalikan badannya dengan kuat. Di lihat Ben berada di atasnya. Dan PLAK!! PLAK!!
Dua tamparan kembali dihadiahkan di pipi kanan dan kiri Rere. Kembali Rere merasa seperti di hantam dengan benda yang sangat keras di kedua pipinya. Rere merasa seakan rahangnya ikut terlepas setelah tamparan kedua itu mendarat di pipinya. Ben masih menindih Rere yang sudah terlentang. Dengan geram dia mencekik leher Rere. Rere tidak bisa mengelak lagi. Dia merasa akan mati. Dia tidak bisa bernafas. Dia juga tak bisa bicara. Tangan Rere dengan segera memegang tangan Ben mencoba melepaskan cekikannya. Kakinya menendang-nendang rumput di bawahnya. Muka Rere sudah memerah. Sungguh satu menit yang menyiksakan setelah dengan tiba-tiba Dave mengingatkan Ben untuk melepaskan cekikannya.
“Ben, Gila lo... bisa mati dia!! Lepasin!” Lalu Ben tersadar dan melepaskan cekikannya. Rere pun terbatuk-batuk. Lega dia bisa bernapas lagi, meskipun kalau boleh memilih dia mau langsung tertidur, mati... atau pingsan dan bangun di tempat yang jauh dari sini. Selamat dan hidup normal lagi.
Tiba-tiba Ben bangun dari tubuh Rere dan menarik Rere untuk berdiri. Rere pun terbangun.
“Sam, pegangin dia! Biar enggak kabur lagi!” si Indo-pakis langsung bergerak memegang Rere, rupanya dia bernama Sam. Ben kembali melihat ada sebersit goresan yang mengeluarkan darah di pelipis kanan Rere. Rupanya Rere tergores ketika jatuh tadi. Dan sedetik kemudian Ben menarik seragam putih Rere dan langsung merobeknya terbuka tepat di dadanya. Kancing seragam Rere pun terlepas semua saking kencangnya robekan tangan Ben. Spontan buah dada Rere yang masih terpampang memperlihatkan isinya kepada keempat pemuda tersebut. Rere segera berusaha menutup dadanya dengan menyatukan robekan seragamnya. Tetapi Sam dengan cepat meraih tangannya menekuknya ke belakang sehingga Rere tidak bisa berkutik lagi. “PLAK!”
Tamparan sekali lagi mendarat di pipi kiri Rere, darah segar kembali mengalir dari tepi bibir Rere.
“Jangan ngelawan lagi dong sayang...aku udah capek nih main lari-larian...!” Kata Ben. Ada nada mengancam di sana. Ben memandang buah dada Rere. Lalu dia meraih rok abu-abu Rere. Rere pun berusaha menghindar, tetapi pegangan Sam sungguh kuat sehingga dia tidak bisa mengelak lagi. Dengan kasar Ben merobek rok Rere dari bawah ke atas. Belahan panjang terobek tepat di tengah-tengahnya sehingga memperlihatkan celana dalam hitam Rere. Kaki Rere yang jenjang pun ikut terpamerkan seperti dada dan perutnya. Kembali Ben mengoyak rok abu-abu Rere, kali ini tempatnya di sisi kiri yang dapat memperlihatkan paha Rere yang putih mulus. Rere sekarang merasa bahwa sekarang seragamnya tidak bisa melindunginya dari keterlanjangan. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Say bagus banget sih bodynya...” Seru Dave tiba-tiba mendekat dan memegang buah dada kiri Rere yang menggantung indah meskipun masih tertutup pembungkusnya.
“Iya ya... si Albie bener-bener pinter pilih cewek” Sam ternyata mengambil kesempatan memegang buah dada Rere yang sebelah kanannya. Tetap Rere tidak menangis dalam keadaan seperti ini. Dirinya sudah hampir telanjang. Pipinya panas, pelipisnya perih, perut dan hatinya sakit memikirkan kenapa Albie dan Ika bisa sejahat itu padanya.
Lalu Ben mendekat. Dia mendekatkan tangan kanannya ke tubuh Rere. Rere langsung memejamkan mata, mengira Ben akan menamparnya lagi. Dia sudah tidak tahan lagi dengan tamparan Ben. Tetapi ternyata Rere salah terka. Ben meletakan tangannya di kemaluan Rere yang masih terbungkus celana berbahan silk tipis yang mempesona.
“Re... masih perawan ga??” tanya Ben sambil mengelus kemaluan Rere. Rere terdiam. Dia merasa pertanyaan itu tidak untuk di jawab. Lalu Ben menampar Rere lagi. Lalu menjambak rambutnya dengan tangan kirinya membuat kepala Rere menengadah sementara tangan kanan Ben masih meraba benda kehormatan Rere.
“Jawab say!” kata Ben dengan nada tetap halus. Rere bingung kenapa orang seperti Ben bisa berbuat kasar tetapi berkata halus. Hal itu membuat Rere semakin panik.
“I iii iiya...!“ jawab Rere gemetar.
“SHIT!!“ serapah Ben sambil melepas pegangannya menjauh dari Rere.
“Kenapa bro? bukannya harusnya kita seneng?” timpal Zack bingung.
“Bukan gitu Zack!!! Perjanjiannya, kalau dia udah engga perawan lagi kita boleh make. Tapi kalo masih, kita gak boleh make dia”
“Kenapa gitu?! Kok perjanjiannya tolol banget!” timpal Dave yang juga kecewa dengan keputusan Ben.
“Itu udah kontraknya sama dia!! Orang yang nyuruh kita itu gak mau ngambil keperawanan Rere. Tapi kalo emang udah enggak baru kita bisa make dia!”
“What the hell... I’ll fuck her! We’ve been this far!!” seru Dave kembali.
“No way bro... that’s the deal!!” Ben berseru.
“Fuck the dea!!. I’m still gonna fuck this girl..!!” Sam nampaknya tak mau ketinggalan argumentasi. Hal ini memberikan kesempatan pada Rere untuk mencari celah melarikan diri. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya Rere menhentakkan kakinya lagi menginjak kaki Sam yang menguncinya. Sam pun terkejut kesakitan pada telapak kaki kanannya yang di injak Rere. Sam melepaskan pegangannya, sejurus kemudian Rere kembali berlari. Dia terus berlari menuju gerbang depan. Atau mungkin dia akan bersembunyi ke dalam salah satu kelas. Terus sembunyi sampai ada kesempatan untuk menuju gerbang depan walaupun sampai malam. Seragam Rere yang sudah robek parah berkibar di belakang mengiringi pelariannya. Rere masih tidak berani menengok ke belakang. Lalu dia melihat satu kelas yang pintunya terbuka. Rere masuk ke kelas itu dan langsung menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu tertutup, seseorang mendorong keras dari luar membuka pintu dan pintu itu terjeblak keras terbuka menghantam wajah Rere. Rere kembali terjatuh. Lalu dia melihat Ben berada di bingkai pintu. Rupanya dia berhasil mengejar Rere, dan ketika Rere menutup pintu, dengan kasar Ben mendorong pintu itu sehingga Rere yang berada di baliknya terhantam keras tepat mengenai hidungnya. Dengan sadar dia meraba hidungnya. “Sakit...“ Katanya dalam hati. Setetes darah berhasil menempel di buku jari telunjuk Rere. Hidungnya sepertinya patah. Rere merasa panas dan sakit yang teramat dalam di hidungnya. Masih dalam posisi terduduk jatuh. Dengan murka Ben menarik Rere bangkit dari lantai keras dan menhempaskan tubuh Rere ke meja terdekat. Kembali perut Rere menghantam tepi meja. Ini lebih sakit dari tamparan-tamparan di pipi yang diberikan Ben tadi. Rere terhuyung jatuh ke bawah. Perutnya terasa berat dan mual. Rere melingkar tersimpuh menekan perutnya, berusaha menahan rasa sakit yang teramat sangat. Sedetik kemudian dia memuntahkan sesuatu. Tepat didepan matanya, darah segar keluar dari mulutnya yang mungil itu. Rere pun tetap bersimpuh di lantai kelas. Dia tidak sanggup untuk berdiri.
Kemudian, Ben menarik dagu Rere yang tertunduk membuat dia menengadah menatap Ben. Dia melihat keempat pemuda itu sudah ada di hadapannya lagi. Ben melihat setitik air mata tercetak di mata Rere. Bukan air mata sedih dan takut yang dikeluarkan Rere. Tetapi air mata menahan sakit di perutnya.
“Cantik juga ya kamu... kalau kaya gini...” senyum Ben menyeringai sambil menghapus aliran darah yang mengalir di dagu Rere.
“Kalo seandainya kamu nurut sama aku, gak bakal jadi begini sayang...”
“Tolong... jangan ganggu gue.. tolong, jangan perkosa gue. Gue masih perawan...”
“Perjanjiannya udah berubah sekarang sayang... kalau kamu seandainya nurut, mungkin aku akan membela kamu biar gak usah diperkosa rame-rame... sekarang kamu engga ada pilihan lagi say...”. Rere masih belum mau menyerah dengan kenyataan ini. Dengan melupakan rasa sakit diperutnya yang teramat sangat, dia kembali mendorong tubuh Ben sehingga menubruk teman-teman Ben yang tepat berada di belakangnya. Lalu dengan langkah seribu dia berlari kearah pintu menuju gerbang sekolah. Dia terus berlari. Entah kekuatan darimana tetapi dia memacu kakinya untuk terus berlari.
Tiba di gerbang, Rere menggedor-gedor gerbang dengan keras.
“TOLONG... TOLONG!!!!“ katanya kuat-kuat. Lalu Rere menoleh ke belakang dan di lihatnya keempat pemuda itu sudah semakin dekat. Rere kembali berputar untuk berlari. Dia tahu dia harus terus berlari. Menoleh sebentar kebelakang memastikan dia cukup jauh untuk bersembunyi dan tiba-tiba tanpa sadar, kakinya terantuk keras ke tiang penyangga rantai parkir dan terjatuh keras ke lantai aspal parkiran sekolahnya. Langsung saja, denyut kesakitan yang luar biasa di lutut Rere hampir mengaburkan pandangannya, berkunang-kunang sebentar kaki Rere terasa sakit bukan kepalang. Rere memegang kakinya. Bagaikan tertiban batu besar yang meremukkan kakinya, Rere merasa bahwa lututnya menyiksanya. Matanya langsung berair mencoba menahan sakit. Rere merintih menggigit bibirnya sendiri sambil memegang lututnya. Ketika dia coba untuk bangkit berdiri. Lutut dan tulang keringnya serasa tidak bersahabat. Rere terjatuh lagi.
“Ha.. ha.. ha...“ Terdengar tawa keras yang sangat dekat. Di depannya Ben dan teman-temannya sudah berdiri tepat mengelilingi Rere. Rere sangat takut kalau Ben akan memukulnya lagi. Dia sudah sangat kesakitan. Tetapi dia tidak bisa berlari lagi. Dia merasakan kaki kanannya yang terantuk tiang sepertinya patah dan tidak bisa diajak untuk berlari.
“Rere... kok bisa jatuh? Engga liat jalan ya say...!” Belai Ben di rambut Rere mengikuti cemoohannya. Rere sudah sangat ketakutan sekarang. Ben mulai menggerayangi Rere yang sudah tidak berkutik lagi walaupun tak ada Sam yang memeganginya dari belakang. Rere berusaha menyeret tubuhnya mundur menghindari keempat orang tersebut walaupun dia tahu hal itu tidak akan membantu banyak. Tiba-tiba Ben menjenggut kasar rambut Rere dan menjambaknya keras. Sementara tangan kanan Ben menekan keras lutut Rere dimana warna biru kemerahan sudah membilur pucat mengotori warna putih mulus di sana.
“Acchh...!” Rere mengerang kesakitan. Seakan Ben tidak menghiraukan Rere dan ingin membuatnya sakit lebih dalam lagi, Ben terus menekan kuat lutut Rere yang sudah membiru kehitaman. Air mata mengalir deras di pipi Rere menahan sakit yang teramat sangat di kakinya yang membiru. Dia sadar sudah tidak ada jalan keluar lagi.
“Sakit ya say...?” Tanya Ben mesra, sementara ketiga temannya tersenyum puas. Merasa mangsanya sudah tidak bisa berkutik lagi. Mereka senang tidak ada adegan kejar-kejaran lagi.
“Tapi kamu tambah cantik kalau kesakitan gini...!” sambung Ben lagi. Rere merasa jijik dan marah terhadap keempat orang tersebut. Tetapi yang pasti sakit di kaki ini tidak seberapa dibanding sakit hatinya terhadap Ika dan Albie. Kenapa mereka berdua begitu tega bersekongkol untuk menyakitinya. Dia tidak mengerti apa salahnya kepada Ika. Dan mengapa Albie bisa berbuat sejauh ini karena penolakannya.
Tiba-tiba Rere merasakan tangan Ben sudah berpindah dari lutut naik ke daerah sensitif segitiga Rere. Kali ini dia menarik celana dalam Rere. Menurunkannya kebawah sehingga celana dalam itu merosot ke bawah menunjukkan kemaluan Rere dengan jelas. Berusaha untuk terus sadar. Rere merasakan sakit kembali di lututnya ketika celana dalamnya ditarik paksa dan mengenai kakinya yang jenjang. Rere sadar dirinya sudah setengah telanjang saat seragam putih abu-abunya dirobek paksa oleh keempat pemuda tersebut. Tapi sekarang, tanpa pembungkus segitiga itu, Rere merasa sudah telanjang bulat meskipun seragam compang-campingnya masih tersanggah di badannya walaupun tidak bisa menyembunyikan sempurna seluruh anggota badannya.
“Tolong... Ben...jangan perkosa gue... Gue akan kasih apa aja yang lo mau asal jangan perkosa gue... tolong...” Seru Rere memelas.
“Wah, dia udah tau nama lo Ben... Ha...ha...haa...ternyata cewe ini udah kenalan ma lo ya Ben?!” Celetuk Dave tepat di samping. Ada air mata menetes tepat di dada Rere yang terbuka. Ben menyeka air mata itu sambil berusaha membuka bra hitam yang Rere kenakan hari itu.
“Tolong... Ben,...jangan!” mohon Rere sambil memegang tangan Ben yang berusaha melepas bra-nya dengan kedua tangannya.
“Sebutin aja angkanya, gue bakal usahain...Tapi jangan perkosa gue... please...” Rere mengiba dengan berlinangan air mata. Tetapi rupanya Ben tidak merasa kasihan dengannya. Lalu Ben menghempaskan tubuh Rere kembali ke tanah. Sejurus kemudian, Ben mulai membuka ikat pinggangnya, membuka celananya mengeluarkan kemaluannya yang ternyata sudah tegak menjulang. Rere sungguh ketakutan. Dia terus berusaha menyeret badannya mundur. Tetapi Ben dengan tenang menindih Rere, gelagak tawa melatarbelakangi adegan ini. Ben kemudian menciumi bibir Rere dengan lembut dan sopan seolah ini adalah ‘malam pertama’nya. Dengan sekuat tenaga Rere menghindari ciuman itu.
Tetapi dia sudah tidak berdaya lagi. Ben sekali lagi mulai menggerayangi dan menjamahi tubuh lemas Rere. Dia bahkan menciumi tengkuk dan telinga Rere.
“Kan udah aku bilang sayang... sekarang tuh udah bukan urusan duit perasaan, tapi urusan hati. Aku gak butuh uang kamu kok... uangku juga banyak. Aku cuma mau membagi dan merasakan cinta untuk kita berdua...“ Darah Rere berdesir ketika dirasakan benda tumpul dan kenyal sudah menempel di kemaluannya yang sudah telanjang, memaksa masuk ke liang kehormatannya. Rasa takut dan putus asa mulai menguasai Rere. Akal sehatnya hilang. Air matanya mengalir deras menahan sakit di sekujur tubuhnya ketika tiba-tiba seseorang dari belakang menarik Ben ke atas dan meninjunya keras sehingga Ben tersungkur. Tanpa memberi ampun. Laki-laki itu terus memukuli dan menendangi Ben yang terjatuh dengan kepalan tangan dan kakinya ke segala arah di seluruh badan Ben. Menendang perutnya sangat keras. Rere tidak bisa melihat siapa orang itu. Tetapi dia bisa melihat Ben memuntahkan darah segar ketika orang itu menendang perutnya. Sesaat kemudian Zack, Sam dan Dave mulai tersadar dari bengongnya dan segera menolong Ben dengan menarik orang itu dan menguncinya untuk tidak berkutik lagi. Rere akhirnya melihat siapa dia.
“Albie...“ katanya dalam hatinya. Tanpa sadar dia menarik dan memakai lagi celana dalamnya. Sedetik kemudian dia hanya bisa terbengong melihat kejadian Albie di bekuk oleh ketiga teman Ben. Ben pun mulai bangkit berdiri. Memakai celananya kembali, menyeka bibirnya yang bersimbah darah dengan punggung tangannya. Buku-buku jarinya mengepal dan membentuk tinju. Kemudian dia sedikit berlari menghampiri Albie dan meninjunya keras-keras. Albie tidak tersungkur karena dipegangi ketiga teman Ben, tetapi Rere melihat Albie tertonjok telak dan langsung mengeluarkan darah di salah satu lubang hidungnya.
Albie berusaha melawan. Tetapi ketiga pegangan pemuda itu sungguh kuat menguncinya.
“SIAPA LO?!!” teriak Ben marah. Tangannya tetap terkepal membentuk tinju yang Rere yakin sangat menyakitkan kalau terkenanya.
“EH PENGECUT! KALO BERANI SATU LAWAN SATU. JANGAN KEROYOKAN GINI! DASAR BANCI LO!!! CUIH!!” Albie pun tak kalah geramnya sambil meludahi Ben dengan segala keberaniannya.
Seakan tersambar petir, Rere menyadari kalau mereka tidak mengenali Albie. Berarti mereka bukan suruhan Albie. Rere sungguh menyesal mengapa dia sempat menyalahi Albie. Ternyata Albie datang untuk menolongnya.
Rere tahu kalau saat Albie meludahi Ben, sesuatu yang buruk akan menimpa Albie. Dengan segala kemampuannya Rere bangkit berdiri, berlari terpincang-pincang dan segera memeluk Albie seolah melindungi Albie dari Ben dengan badannya yang kecil dan terluka.
“Albie...” tangis Rere sambil memeluknya keras menghiraukan keempat pemuda yang lain.
“kamu engga apa-apakan Re? Tenang aja Re, semua akan baik-baik aja...” jawab Albie berusaha menenangkan Rere meskipun dengan posisi terkunci dia tidak bisa membalas pelukan Rere yang sudah lama dia nantikan.
Ben rupanya tersadar kalau yang memukulnya bernama Albie. Lantas saja dia menarik tubuh Rere menjauh dari pelukan Albie ke pelukannya sendiri. Sambil memeluk Rere dari belakang, Ben mulai memperhatikan Albie yang masih memberotak kunci sekapan mati dari ketiga sahabatnya. Untuk pandangan seorang laki-laki, menurut Ben Albie memang laki-laki yang ganteng. Hidung yang mancung menghiasi wajahnya yang putih. Badannya tegap atletis. Tingginya juga sama dengan tinggi dirinya dan teman-temannya.
“Jadi elo yang namanya Albie...” Ben bertanya sambil terus memeluk Rere dari belakang.
“Jangan sentuh Rere lo bajingan!! Siapa yang nyuruh lo! Suruh dia berhadepan sama gue!! Dasar lo pengecut semua!!” Albie tetap menantang walaupun menurut Rere posisi Albie sekarang sangat tidak menguntungkan.
“Ben, kita bikin mampus aja nih anak! Belagu banget!!“ Zack menimpali tak sabar.
“Jangan... Dia gak boleh disakitin...Itu udah termasuk perjanjian. Katanya dia gak mau terjadi apa-apa sama dia” jelas Ben ke teman-temannya. Nampaknya Sam tidak setuju, tetapi dia tetap menepati perjanjian itu dan kedua yang lainnya pun akhirnya setuju.
“APA LO BILANG?!!” Albie kembali berteriak. “SIAPA... SIAPA YANG NYURUH LO SEMUA!!?? BILANG SIAPA YANG NYURUH LO!!!!!” Albie semakin geram. Rere berfikir kenapa orang di balik semua ini tidak mau menyakiti Albie? Kenapa Ben dengan gampangnya melayangkan tamparan dan pukulan ke dirinya tetapi tidak boleh menyakiti Albie? Sesaat kemudian Rere tersadar bahwa dirinya sakit, lututnya pun kembali mendenyut nyeri dan sedetik kemudian diapun tidak bisa menahan berat badannya dan terjatuh lunglai dalam pelukan Ben.
Dengan badan merosot lunglai dipelukan Ben, Albie melihat dengan jelas bahwa tangan Ben tepat berada di buah dada Rere menahan agar Rere tidak jatuh dan tetap berada di pelukannya, dan Albie pun menyadari bahwa Rere sudah setengah telanjang dengan seragamnya yang sudah compang-camping. Darah berdesir hebat di kepala Albie. Menahan amarah, Albie terus berkutat. Tahu bahwa mereka tidak boleh menyakiti Albie, Sam, Zack dan Dave hanya terus berusaha menahan dan mengunci Albie sementara sahabatnya yang satu lagi dengan santai menjamah tubuh perempuan cantik yang terkulai lemas di pelukannya.
“LEPASIN TANGAN LO BANGSAT!! LEPASIN RERE!!” teriak Albie dengan nada kebencian yang luar biasa. Namun Rere tetap terpeluk. Tubuhnya meronta lemah dipelukan Ben.
“Tenang bro... kalau gue lepas, cewe idaman lo ini bakalan jatuh. Kayanya kakinya patah tadi...“ jawab Ben santai. “Kamu sih pake ngelawan, jadinya kaya gini tuh...“ sapa Ben ramah kembali kepada Rere sambil memberikan kecupan di bibir Rere sengaja membuat Albie panas. Rere pun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya air mata tak hentinya mengalir dari matanya yang sayu.
Albie terus memberontak berusaha melepaskan ikatan teman-teman Ben.
Pergelutan antara bibir Ben dan Rere tampaknya terus berlangsung sambil tak lupa tangan Ben terus menggerayangi seluruh tubuh Rere bahkan ke daerah-daerah sensitif Rere. Rere sedikit menggelinjang merasakan cumbuan Ben. Dia merasakan sentuhan itu tepat mengenai hatinya yang sakit. Rere pun kembali menangis. “Jangan... mmphh“ mulut Rere terus dilumat sementara Rere terus menolaknya.
Lima menit cumbuan itu berlangsung diiringi dukungan semangat dari ketiga temannya sementara Albie terus berkutat sambil berteriak-teriak berharap ada orang yang mendengarnya dari luar. Rere seperti sudah di vonis untuk diam tak berkutik. Diapun tidak bisa menghidari ciuman dan serangan tangan Ben diseluruh tubuhnya. Namun dia berusaha menutup bibirnya agar lidah Ben tidak masuk ke dalam. Sementara Ben semakin jenuh dengan penolakan Rere, lantas dia menekan keras dilutut tempat bagian tubuh Rere yang terluka sehingga membuat Rere mengerang kesakitan. Dan kesempatan disaat mulut Rere terbuka inilah Ben memasukkan lidahnya ke dalam dan memainkannya di sana.
Albie sungguh tersiksa melihat kejadian tersebut. Dia terus berteriak-teriak menyumpahi kata-kata kotor kepada Ben. Sampai akhirnya Ben tersadar saat Albie meneriakan “KALO LO SAMPE PERKOSA DIA!!! GUE SUMPAH, GUE BAKAL HABISIN KELUARGA LO. GUE JUGA BAKAL PERKOSA ADIK PEREMPUAN LO!!!!“ Ben menghentikan ciuman dahsyatnya. Kemudian dia terdiam. Selama 2 detik dia berfikir sampai dengan sangat tiba-tiba dia terbangun dan melepaskan Rere yang langsung otomatis terjatuh lunglai di tanah, berjalan menghampiri Albie..
“Denger ye, gue punya penawaran menarik buat lo.” Seru Ben pelan di wajah Albie dan teman-teman Ben. “Emang perjanjiannya gue gak boleh nyakitin elo dan gue gak boleh make dia kalo dia masih perawan. And guess what ?...She is a virgin...jadi emang gue gak boleh make dia” katanya sambil menoleh sebentar-sebentar ke arah Rere yang terduduk lemas di tanah sambil memegangi kakinya.
“Taaaaaapiiiiiiiiiiiiiii...” lanjut Ben dengan nada panjang, “Cewe idaman lo ini bener-bener OK banget bro... gue gak bisa nahan konak kalo ngeliat dia... temen-temen gue juga... mereka niatnya mau make cewe lo virgin atau gak virgin. Jadi apa boleh buat!??” Ben mengangkat bahunya santai.
“Cuman gue masih punya hati bro...Penawaran gue, berhubung dia itu cewe idaman lo, gue mau lo pake dia duluan. You take her virginity... abis dia udah gak virgin lagi, baru gue and temen-temen gue gantian yang make dia... Kan jadinya gue gak melanggar kontrak. Kalo lo dah pake dia, berarti kan dia udah gak perawan lagi. Jadi kita-kita bisa make dia... he...he... gimana?” Ben menjelaskan dengan tersenyum sinis.
“JANGAN MIMPI LO BANGSAT!!!!!” Albie nampaknya geram sekali dengan pernyataan Ben. Rere juga terkejut dengan rencana itu. Dia sampai meringkuk melingkar sambil berusaha menahan sakit di kakinya.
Ben nampaknya sudah yakin dengan keputusannya. Lalu dia berjalan mendekati Rere, sedetik kemudian dia merangkul dan membopoh Rere masuk ke dalam kompleks sekolah.
“Come on guys... Bawa tuh si Albie...” Ben memerintahkan teman-temannya yang masih menjepit Albie. Mereka pun langsung menggeret Albie mengikuti Ben.
Ben rupanya menuju ke salah satu ruang kelas yang belum (lupa) dikunci pak Somad. Rere mengenali dia masuk ke ruang BP. Dengan berusaha kuat dia menyeret kakinya yang sepertinya patah dan terpaksa mengikuti Ben yang membopong paksa menuju ke ruang BP.
Di dalam ruang BP terdapat beberapa Sofa kecil dan satu sofa panjang mengitari satu meja dengan rapi. Ben membuang Rere ke sofa panjang tersebut. Spontan Rere terpekik ketika dia terduduk jatuh ke sofa. Dan lagi-lagi Rere merasa kakinya sudah sangat tidak tertahankan. Rere melihat Ben menggeret dan memindahkan sofa-sofa kecil dan meja ke sudut ruangan. Dari bingkai pintu juga Rere melihat Albie yang baru tiba dengan Dave, Zack dan Sam. Mereka masuk ke dalam ruangan BP yang sekarang sudah sangat lega. Ben selesai menggeser sofa terakhir ke pojok ruangan dan segera menghampiri Rere. Sekilas Rere pikir akan di angkat lagi oleh Ben, tetapi Rere salah. Tangan Ben yang menuju arahnya menarik seragam putihnya dengan paksa. Lalu Ben juga mengoyak rok abu-abu Rere,menariknya terlepas. Rere sekarang hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Spontan dia langsung berusaha menutupi dirinya dengan kedua tangannya meskipun menyadari kalau itu sia-sia saja. Albie yang melihat hanya bisa memberontak kuat dari pegangan ketiga kawan Ben. Lalu Ben kembali menelanjangi tubuh Rere, dia segera melepas bra dan celana dalam Rere.
Tampak selama sepersekian detik Ben terbengong dan terkagum melihat keindahan tubuh hasil penelanjangannya itu. Tubuh Rere begitu indah, mulus dan putih. Buah dadanya pun masih sangat kenyal, kencang dan padat dengan ukuran 34 B. Ben juga menelusuri selangkangan Rere yang putih bersih. Bulu-bulu halus menghiasi permuaannya membentuk seperti bukit mungil. Rere berusaha menutup kakinya dan dia sekarang benar-benar sudah sangat ketakutan. Kalau boleh memilih, Rere ingin tubuh telanjangnya hanya boleh di nikmati Albie saja. Tetapi hal ini tidak mungkin.
“Tolong... Jangan perkosa saya...” Sekarang nada bicara Rere sudah sangat sopan dan ketakutan. Menyerah dengan keadaan, berusaha memohon dengan segala kehinaan kepada Ben yang masih mengagumi tubuh indahnya.
Albie pun tanpa sadar juga mengagumi tubuh gadis idamannya, “Bagus banget badan kamu Re...” kagum Albie dalam hatinya. Tetapi dia masih bisa mengendalikan diri dan segera memalingkan pandangannya ke sudut ruangan. Berusaha untuk tidak lebih menelanjangi Rere dengan tatapan matanya. Sementara ketiga orang yang memegang Albie pun sama-sama tertegun akan sosok telanjang gadis di depan mereka. Mata mereka tak pernah berpindah dari tubuh Rere, terutama buah dada dan kemaluan Rere, tetapi tangan mereka tetap memegang keras sekapannya.
“Sekarang lo pegang nih badan cewe lo...” jawab Ben santai. Albie yang sedari tadi masih memandang sofa yang tertumpuk dipojokan, tahu kata-kata itu akan keluar dari mulut Ben semenjak dia mengatakan ‘lo pake dia duluan’. Ben tidak beranjak dari tempatnya. Dia tidak mau menikmati tubuh Rere dengan cara seperti ini. Tidak untuk sekarang at least. Tapi dia juga tidak mau anak-anak ini menikmati tubuh Rere apalagi setelah Albie tahu Rere masih perawan. Sungguh sempurna wanita idamannya. Dia pikir, dengan kecantikan dan gaya hidup yang Rere miliki akan sulit untuk mempertahankan keperawanannya pada jaman sekarang ini. Tetapi princess-nya itu benar-benar sempurna. Albie jadi semakin cinta kepadanya. Albie segera sadar dari lamunannya ketika dia merasa badannya didorong paksa.
“Eh ngapain lo... JANGAN!! LEPASIN GUE!!” katanya ketika dia dipaksa menghampiri Rere, tangan Albie pun dituntun paksa untuk menyentuh tubuh Rere. Rere yang tersimpuh hanya bisa melihat Albie memberontak sambil didorong ke arahnya. Tak lama kemudian dia merasa buah dadanya sekarang sudah ada di remasan tangan Albie.
Albie merasa perasaannya sekarang ada di dua tempat. Marah dan bahagia. Dia senang menikmati tubuh Rere walaupun dia lebih suka dengan cara yang romantis. Tapi disaat yang sama dia benar-benar marah ketika dia dimanfaatkan keempat orang tersebut untuk menikmati tubuh gadisnya itu. Tangan Albie terus menempel atas paksaan Sam di dada Rere, Sam meremas tangannya dari atas dan otomatis juga membuat Albie meremas buah dada Rere.
Rere mendengar dirinya mengerang sendiri. Ada perasaan aneh mengalir pada dirinya. Rere merasakan seluruh dirinya bagaikan terbang ke awang-awang. Tanpa sadar Rere memejamkan matanya seakan meresapi remasan tangan Albie di buah dadanya. Remasan Albie pun sekarang berubah menjadi remasan yang sangat halus, berperasaan dan penuh kasih sayang. Rere membuka matanya dan dia melihat wajah Albie mulai mendekat dengan wajahnya. Pori-pori kecil di hidung Albie yang mancung sudah terlihat sangat jelas sekarang.
Albie pun mulai mengecup keningnya. Rere kembali menutup matanya. Ciuman itu sekarang berpindah turun ke bibirnya. Rere sekali lagi tanpa sadar membuka bibirnya membiarkan lidah Albie menari-nari menjilati dinding mulutnya dan menggelitik lidahnya. Remasan kasar Albie di dadanya tadi sekarang sudah mulai lembut dan halus menjamah seluruh tubuhnya berpindah kepunggung Rere, mengangkat tubuhnya dan memeluknya dengan mesra sambil mereka berpagutan terus menerus. Rere sungguh merasa melayang sekarang, dalam pelukan Albie, dia bisa mencium laki-laki dambaannya itu.
Mungkin Albie sudah tidak sadar atau sudah mulai terangsang, tetapi Rere merasakan Albie melepas pelukannya. Dengan terus berciuman, Rere membuka matanya dan melihat Albie juga sedang memjamkan mata. Namun tangan Albie sekarang tidak memeluknya lagi. Sambil berciuman Rere melihat Albie membuka bajunya sendiri. Sejurus kemudian Albie sudah tidak mengenakan apa-apa lagi.
Rere melihat kemaluan Albie yang sudah tegak keras berdiri. Rere memekik tanpa sadar memandang benda itu, sungguh besar dan panjang. Namun Albie dengan sambil terus menciumi Rere kembali memeluk Rere. Kulit mereka sekarang bersentuhan menempel erat seakan bersatu. Albie mulai menurunkan ciumannya turun ke bawah, leher Rere terus diciumi seakan dia menganggumi bentuk leher yang putih dan indah itu. Turun ke bawah, Rere merasa buah dadanya dijilati Albie, sementara tangan Albie terus menggerayangi seluruh tubuhnya.
Rere mulai mengaktifkan tangannya, dia sekarang berani memeluk Albie. Meremas-remas dan memainkan rambut Albie sambil meresapi jilatan Albie yang serasa maut di sekujur tubuhnya. Erangan Rere membuat Albie semakin naik birahi. Remasan tangan Rere di punggung dan rambutnya mulai memberanikan Albie membelai dan menyentuh pangkal paha Rere.
“Achh...“ desah Rere tanpa sadar ketika dirasakan sensasi yang luar biasa terasa di daerah selangkangannya. Albie pun semakin gencar. Kembali dia menciumi Rere sambil memainkan klitoris Rere.
“Aku sayang banget sama kamu Re...” bisiknya dengan mesra di kuping Rere.
“Bie... Aku juga sayang sama kamu...” balas Rere sambil terpejam.
Sekarang Rere merasakan tubuhnya dibaringkan oleh Albie. Rere tidak menolak. Entah ini karena keadaan atau ancaman dari keempat orang yang sekarang menonton mereka bergumul, atau memang hati Rere juga menginginkannya. Albie membuka kaki Rere dan dengan sangat hati-hati mulai mengarahkan batang kemaluannya ke bibir kemaluan Rere.
Seakan mengharapkan saat-saat seperti ini terjadi, Rere bersiap diri dengan menggigit bibirnya dan mengkonsentrasikan seluruh pikirannya di daerah kemaluannya. Seakan menanti saat-saat ini, dia memandang wajah Albie yang sudah berkeringat. Tatapan Albie seperti menunjukkan bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk saat ini dan bahwa dia memang sungguh-sungguh menyayanginya dan bahwa dia akan bertenggung jawab dengan segala konsekuensinya. Rere pun mengerti. sekarang dia merasakan suatu benda tumpul sedang menempel di pintu kemaluannya. Mencoba mendorong masuk sambil menekan. Rere pun masih menggigit bibirnya. “Sakit..“ katanya dalam hati ketika dia merasa sedikit dari benda itu sudah berada dalam dirinya.
Albie pun dengan sangat hati-hati memasukan kejantanannya ke dalam kemaluan kekasihnya itu sekarang. Sadar bahwa batangnya sudah masuk setengah, Albie menariknya kembali dan mulai menggoyang-goyangkan secara perlahan. Dilihatnya Rere yang masih memandangnya. Tetapi dia tidak menggigit bibirnya lagi. Mulutnya sedikit terbuka dan mendesah pelan. Albie pun tak kuat lagi untuk tidak menciumnya. Kembali ciuman itu terjadi dan kali ini dengan penuh nafsu. Albie kembali mendorong batangnya dan tersadar bahwa semuanya sudah menancap pasti di dalam kemaluan Rere. Merasa seakan tubuh Rere memijit batang kemaluannya. Dilihatnya Rere yang kembali menggigit bibir, berkeringat tetapi sangat menggarirahkan. Albie terus melakukan dorongan-dorongan. Semakin lama dorongan dan pompaan Albie di dalam kemaluan Rere semakin cepat. Rere pun sudah mendesah dan mengerang dalam tiap tusukan batang Albie di dalam tubuhnya.
15 menit sudah mereka bergumul dan menyatu ketika Rere mendengar Albie mendesah panjang. Butir-butir keringat mereka sudah bercampur menyatu. Albie terus mengerang sambil menggenjot kekasihnya. “Aku sayang banget sama kamu Re...Ughh...“ Itulah yang dikatakan Albie sambil berejakulasi di dalam rahim Rere.
Rere merasakan sesuatu yang hangat menyemprot rahimnya dan Albie semakin kuat memeluknya. Seakan waktu berhenti, Albie tetap memeluk Rere sekuat-kuatnya tanpa mencabut benda pusakanya dari dalam tubuh Rere, seakan dia tidak akan melepaskannya lagi. Tidak ada gerakan sama sekali kecuali pelukan dan nafas mereka yang terang-engah. Entah kenapa Rere baru tersadar dan air matanya kembali menghiasi wajahnya yang sekarang terlihat sayu dan lelah. Albie memandangnya, diakuinya Rere memang sangat cantik walaupun keringat dan sedikit darah menghiasi wajahnya. Sambil terus memeluknya, Albie menyeka air mata, keringat dan darah di wajah Rere.
“Aku akan tanggung jawab Re...Swear... please kamu jangan nangis... semuanya akan baik-baik saja...“ Albie menenangkan sambil mengusap wajah Rere. Albie bisa melihat dengan jelas butir-butir air mata Rere yang terus mengalir di pipinya.
Rere menangis dalam diam. Ekspresinya datar walaupun air mata tak kuat dibendungnya, terus tumpah mengaliri pipinya yang mulus. Dia terus menatap Albie yang tepat di atasnya, memeluk kuat dirinya dengan batang kemaluan masih tertancap ditubuhnya. Tak disangka dia sudah kehilangan keperawanannya, tak disangka dia menyerahkan keperawanannya kepada Albie atau Albie yang merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya? Keperawanan yang dijaga yang suatu saat nanti akan diberikan kepada orang yang dicintainya. Tetapi kepada siapa keperawanan ini akan diberikan? Rere berpikir dalam hati. Suaminya nanti? Siapa?
Dirasakannya Albie mengendurkan pelukannya dan dengan hati-hati bangkit berdiri. Mencabut batang kemaluannya yang sudah mengecil. Rere sekali lagi merasakan sensasi yang unik pada saat batang itu keluar dari tubuhnya. Sesuatu mengalir keluar dari dalam kemaluannya. Dilihatnya cairan kental putih bercampur darah keluar dari kemaluannya. Rere sadar itu darah perawannya. Albie pun melihat dan langsung kembali memeluk Rere sambil menciumi wajahnya.
“Aku cinta banget sama kamu... Aku sayang kamu... Re, aku akan selalu bersama kamu...” Rere tidak tahu harus membalas dengan kata-kata apa. Dia bingung bercampur sedih, marah, senang dan bahagia. Tetapi apa yang harus dikatakannya pada Albie.
“Aku capek Bie... Aku mau pulang... Kaki ku sakit. Badanku rasanya hancur... aku mau pulang Bie... Aku capek...!“ Seru Rere sambil menangis dipelukan Albie. Memang ini hari yang panjang buat dirinya.
“Iya sayang... Ayo kita pulang... kamu harus istirahat...enggak deh, kamu harus ke dokter dulu... aku cari dulu baju buat kamu“ Albie menenangkan Rere. Tetapi ketika Albie berbalik kebelakang untuk mencari seragam Rere tiba-tiba pukulan keras mengenai tengkuk Albie. Sekejap kemudian Albie jatuh tak tersadarkan diri.
“Albie...!” teriak Rere.
“Enak aja lo... udah make mau langsung pulang!!” Rupanya Sam memukul Albie dari belakangnya. Rere sama sekali lupa dengan mereka berempat. Tadinya dia pikir dia sudah bisa pulang dan istirahat. Namun rupanya mereka berempat masih belum selesai dengannya. Dilihatnya keempat kawanan tadi masih tetap berada diruang itu. Rere juga kembali tersadar bahwa persetubuhannya tadi dengan Albie ditonton mereka secara gratis.
Ben kembali berjalan memposisikan dirinya di depan teman-temannya. Rere beranggapan mungkin dia adalah ketua dari geng tersebut.
“Payah deh cowo kamu nih... masak abis selesai ngewe langsung pulang... SMP banget sih!“ gerutu Ben sambil menjentikkan jarinya memerintahkan teman-temannya untuk menggeser tubuh Albie. Mereka pun langsung membopong tubuh Albie dan diletakan di sofa kecil di pojokan yang tadi di tumpuk Ben.
“Nah, say... sekarang giliran kita-kita ya...“ seru Ben sambil kembali menjamah tubuh telanjang Rere.
“Tolong...jangan... saya capek... saya udah gak kuat... sakit...sakit...Agghh...mmpphf ...” begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Rere sebelum dibekam oleh ciuman dari bibir Ben.
Dengan ganas Ben mecium bibir Rere. Melahap seperti orang yang haus akan ciuman. Sambil meremas buah dada Rere yang menggantung indah didadanya, Ben terus menggarap Rere tanpa ampun. Dalam sekejap. Keempat orang itu sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Keempatnya langsung mengelilingi tubuh Rere yang masih telanjang.
Rere pun tak bisa mengelak ketika tangan-tangan nakal menggerayangi setiap sudut tubuhnya. Seakan sudah diatur, Sam langsung menciumi dan menjilati buah dada Rere, Dave pun langsung mendarat di leher dan tengkuk Rere, memberIka n tanda merah tua berkat cupangannya nafsu di leher Rere. Sementara Zack membilas kemaluan Rere dari sperma Albie dan darah dengan tissue basah yang entah dari mana didapatnya dan langsung menjilatinya dengan nafsu.
Rere merasa tidak kuat dengan perlakuan mereka, dia terus saja mendesah dan mengerang oleh perlakuan mereka, entah karena rangsangan atau siksaan. Tetapi dia tidak bisa meneruskan erangannya ketika dengan tiba-tiba Ben memasukan batang kejantanannya ke mulut Rere.
“hisap dong sayang...“ katanya sambil menjambak rambut Rere dan membuat kepala Rere maju mundur dalam selangkangannya. Sekilas Rere merasa ingin muntah dan jijik. Dia tidak bisa bernafas. Serasa mulutnya yang disumpal oleh benda besar panjang, kenyal tetapi keras itu juga menutup hidungnya.
Rere berusaha mendorong selangkangan Ben dari wajahnya. Tetapi jambakan pada rambutnya yang kuat membuatnya tak kuasa untuk memaju-mundurkan wajahnya dengan batang kemaluan Ben di mulutnya. Dalam menit pertama Rere merasa hal ini sangat menyiksa dirinya, tetapi jilatan-jilatan dari ketiga yang lain membuatnya serasa terbang ke awang-awang. Dia pun sekarang tidak melawan ketika Ben menuntun kepalanya bergerak untuk memberikan pijatan pada batang yang ada di dalam mulutnya. Dan Rere langsung mengalihkan perhatiannya ke bawah ketika Rere merasakan sesuatu berusaha masuk ke dalam kemaluannya.
Rupanya Zack sudah siap dengan penetrasinya. Rere tahu dia tidak akan bisa lolos dari itu, maka dia berusaha untuk menikmatinya mengingat semakin dia melawan maka akan semakin lama penyiksaan ini. Rere berusaha untuk mengimbangi setiap genjotan Zack di dalam kemaluannya sambil terus menghisap batang kemaluan Ben di mulutnya. Sementara leher dan dadanya di remas dan dicium bergantian oleh Dave dan Sam.
Lima menit sudah ketika Zack mengeluarkan spermanya yang langsung menyemprot ke dalam rahim Rere. Langsung saja Dave menggantikan posisinya tanpa harus membilas kemaluan Rere sampai 7 menit berakhir ketika dia berejakulasi di dalamnya yang kemudian digantikan oleh Sam yang langsung menggenjot dengan nafsunya. Sementara Ben semakin mempercepat pemerkosaannya di mulut Rere dan mendorong kepala perempuan di selangkangannya dengan cepat sambil menggoyang pantatnya maju mundur. Rere merasa ujung batang Ben sudah ada di kerongkongannya. Mata Rere kembali berair saking tidak bisa bernafas dengan teratur. Lalu tak lama kemudian Ben mengeluarkan sperma di dalam mulut Rere yang langsung meluncur lancar ke tenggorokan Rere. Rere langsung terbatuk tetapi Ben segera mengatup mulutnya.
“Ditelan dong sayang... jangan di buang, mubajir...” katanya sambil tersenyum. Rere pun dengan terpaksa menelan sperma kental itu. Dia berusaha tidak merasakan rasa cairan yang mengalir licin ke tenggorokannya, tetapi air matanya kembali mengalir. Di bawah sana Rere mendengar Sam mengerang panjang sambil menancapkan batangnya dalam-dalam di liang sanggama Rere. Rere tahu dia dan kedua orang sebelumnya sudah berejakulasi di dalam liang kemaluannya.
Bagi Rere sepertinya waktu berjalan sungguh lambat hari ini. Ketiga orang yang bersanggama di dalam kemaluannya tadi sekarang masih mencoba untuk meneguk manisnya tubuh Rere dengan berbagai macam posisi. Sementara Ben masih dengan nafsu tinggi mencumbunya tanpa sedikitpun menyentuh kemaluannya. Rere tidak mengerti kenapa Ben tidak menyentuh daerah vitalnya sama sekali, yang pasti Rere sudah merasakan lelah yang teramat sangat, luar biasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya dan seakan dunia sedang berputar-putar di sekelilingnya, matanya berat, kepalanya sakit dan tubuhnya sangat berat sampai akhirnya Rere tergolek pingsan tak sadarkan diri.