Pengirim cerita adalah Ibu Reni sendiri, dengan pertimbangan bagi para pembaca jika memiliki istri yang bekerja dan terpisah biar kejadian yang menimpa dirinya tidak terulang lagi.
*****
Namaku Reni, usia 27 tahun, kulit kuning langsat dan rambut sebahu dengan tinggi 165 cm berat 51 kg, dan telah menikah setahun lebih. Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Aku bekerja pada sebuah Bank Pemerintah yang cukup terkenal. Sedang suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang ia memiliki beberapa usaha perbengkelan. Kami pun menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih 3 tahun. Perjuangan kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Diantaranya ketidak setujuan orangtuaku dan orangtua suamiku, juga sebelumnya aku telah di jodohkan oleh orangtuaku dengan seorang pengusaha, namun kami dapat melaluinya dengan keyakinan hingga kami bersatu. Lalu kami memutuskan menikah dan kamipun sepakat untuk menunda dulu punya anak karena aku dan Bang Ikhsan cukup sibuk takut nanti tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga memiliki 2 unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua. Begitu juga dalam kehidupan sex tiada masalah diantara kami. Ranjang kamipun cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri. Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat aku atur. Akupun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan sex kami lancar.
Atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten baru yang merupakan sebuah ke pulauan. Aku tidak berani memutuskannya sendiri. Aku harus merundingkannya dulu dengan suamiku, sebab bagiku naik atau tidak statusku sama saja, yang penting bagiku adalah keluarga dan perkawinanku.
Suamikupun tanpa aku duga sangat mendorongku agar tidak melepaskan kesempatan ini, sebab inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan kinerjaku yang biasa biasa saja selama ini. Aku bahagia sekali rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Namun orang tuaku kurang suka begitu juga mertuaku, namun mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku dengan baik dan mereka mendorongku agar maju dan tegar. Suamikupun minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang, agar dapat berkumpul, akupun setuju dan berterima kasih padanya.
Kemudian aku mulai pindah ke pulau yang dari Padang ditempuh dengan naik kapal motor selama 5 jam itupun jika cuaca bagus. Suamiku turut serta mengantar aku dan ia sediakan waktu untuk bersamaku di pulau selama seminggu. Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan prasarananya terkecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana. Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput. Di pulau ini suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri karena memang belum lengkap prasarananya dan rumah dinas yang lain masih banyak yang kosong. Selama di pulau itupun suamiku tidak lupa memberiku nafkah bathin karena nantinya kami akan bertemu seminggu sekali. Akupun menyadarinya dan kamipun mereguk kenikmatan badaniah selama suamiku di pulau ini.
Suamikupun dalam tempo yang singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang ojek, hingga tanpa kusadari suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor, rupanya ia dapat meminjamnya dari tukang ojek itu. Salah satu tukang ojek yang di kenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak Sitorus ini adalah laki-laki berusia 65 tahun dan ia tinggal sendirian di pulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari kerja ke Jakarta. Maka laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri hidupnya di pulau itu dengan kerja sebagai tukang ojek.
Pak Sitorus biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan keras namun jika telah kenal ia cukup baik. Menurut suamiku yang sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan namun karena suatu sebab ia ingin merubah nasibnya dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor hingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir minggu aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan saat kebersamaan di ranjang. Rumah dinaskupun aku titipkan pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat di percaya. Akupun mengikuti kata kata suamiku. Kadang kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak balik ke pulau hanya karena kangen padaku. Dan sering kali iapun memakai sepeda motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor adalah bagian dari sahabatnya karena sesekali setiap ia ke pulau Pak Sitor diajak makan ke rumah dan Pak Sitorpun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah itu. Suamikupun sering memberinya uang lebih karena Pak Sitor akan menjaga ku dan rumahku jika aku tinggal. Mulai sejak saat itu akupun rutin di antar jemput Pak Sitor jika kekantor, tidak jarang ia membawakanku penganan asli pulau itu. Akupun menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih, kadang akupun sering membawakannya oleh-oleh jika aku pulang ke Padang.
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan di sekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan beasiswa untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan obsesinya sejak lama. Aku menerimanya, aku pikir demi masa depan kami juga dan kebahagian kami nanti tidak masalah bagiku. Suamiku sebelum berangkat sempat berpesan agar aku jangan segan minta tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku. Suamikupun titip uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-telponan dan kadang aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telpon, itu sering kami lakukan maklum untuk memenuhi libido kami berdua, hingga tagihan telpon meningkat. Aku tidak memperdulikannya selagi dengan suamiku sendiri dan aku menghayalkan suamiku ada dekatku tidak masalah dan kami berjauhan. Akupun mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada dan paling aku pulang sekali sebulan itupun aku kerumah orang tuaku. Rumahkupun aku titip dengan saudaraku.
Akupun melewatkan hari-hariku dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak Sitor rutin mengantar jemputku. Sesekali saat aku pulang Pak Sitor mengajakku jalan-jalan keliling pantai. Aku tolak dengan halus sebab aku merasa tidak enak apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya dan saat itupun aku sedang tidak mood dan aku lebih tenang dirumah saja.
Dirumah aku beres-beres dan berbenah pekerjaan kantor. Aku merasakan juga bahwa Pak Sitor akhir-akhir ini amat memperhatikanku, tidak jarang ia sore datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa sebab di pulau itu ia amat di segani dan berpengaruh. Aku sadari juga kadang dalam berboncengan tanpa sengaja dadaku terdorong ke punggung Pak Sitor saat ia menghindari lubang dan saat ia mengerem. Bagiku itu biasa saja maklum dan resiko aku berboncengan dengan sepeda motor dan itu sering terjadi, sesekali aku juga merangkul pinggangnya karena aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitorpun sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Bagiku ini biasa saja sebab di pulau ini mana ada angkuta dan kalau di Padang aku kekantor terbiasa menyetir sendiri, jadi aku harus bisa menganggapnya biasa dan harus aku jalani.
Pada suatu senja saat hari kerja habis yaitu Jumat sore Pak Sitor datang kerumahku, seperti biasanya ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Lalu ia aku silahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Pak Sitor mengajakku jalan kepantai. Aku keberatan sebab aku masih agak capai dan kesal dengan kesibukan suamiku saat ku telpon tadi, ia tidak bisa terlalu lama di telpon. Lalu Pak Sitor mengajakku untuk main catur, kebetulan selama ini ia sering main catur dengan suamiku. Akupun setuju karena aku lagi suntuk dan untuk menghilangkan kekecewaanku saat ini.
Aku main catur dengan laki-laki itu beberapa kali ia kalah dan aku yang menang, taruhannya adalah sebuah botol yang di ikat tali lalu dikalungkan ke leher. Seumur hidupku baru kali ini aku yang mau bicara bebas dengan laki-laki selain suamiku dan atasanku. Tidak semua orang dapat bebas berbicara denganku, dan akupun termasuk type orang yang memilih dalam mencari lawan bicara, maka tidak heran jika aku di cap sombong oleh sebagian orang yang kurang aku kenal. Namun dengan Pak Sitor aku bicara apa adanya. Dan ceplas ceplos, mungkin kami telah saling mengenal dan juga aku merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa kami main catur telah lama hingga jam menunjukan pukul 10 malam. Diluaran tanpa aku sadari telah hujan deras diiringi petir yang bersahut2an. Setelah itu kami mengakhiri main catur, aku lalu membersihkan mukaku kebelakang, Pak Sitor juga. Lalu aku tawari Pak Sitor untuk ngopi biar nggak bosan kataku. Di pulau saat itu penduduknya telah pada tidur dan yang terdengar hanya suara hujan dan petir. Pak Sitor minta izin pulang karena hari telah larut setelah menghabiskan kopinya. Aku tidak sampai hati sebab cuaca tidak memungkinkan ia pulang karena rumahnya cukup jauh dan lagi pula aku kuatir jika nanti sempat terkena petir. Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja dan tampaknya ia bisa menerimanya. Dan akupun memberinya sebuah bantal dan selimut maklum cuaca dingin saat itu.
Secara tiba-tiba lampu mati, aku sempat kaget, untunglah ia punya korek api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami hidupkan dan satu untuk kamarku dan yang satu untuk ruang tamu tempat Pak Sitor tidur. Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku lalu tidur dikamar sementara diluaran hujan turun dengan derasnya seolah pulau ini akan tenggelam. Aku berusaha untuk tidur namun tidak bisa, ada rasa kekuatiran yang tidak aku ketahui sebab petir berbunyi begitu kerasnya. Hingga akhirnya aku putuskan ke ruang tamu saja hitung-hitung memancing kantuk dengan bincang-bincang dengan Pak Sitor. Malam itu aku tidak terlalu khawatir sebab aku merasa ada yang melindungi.
Sampai aku di ruang tamu aku lihat Pak Sitor masih berbaring namun matanya belum tidur, ia kaget dan disangka aku telah tidur. Aku lalu duduk di depannya dan bilang mataku nggak mau tidur, ia cuman senyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku. Padahal saat itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku dan aku tanpa sengaja bilang kekesalanku saat itu, mestinya aku tidak boleh bilang pada siapapun suasana hatiku saat itu, namun meluncur begitu saja. Dengan cara bijaksana dan kebapakan ia nasehati aku yang belum merasakan asam garam perkawinan.
Dalam suasana temaram cahaya lampu saat itu aku tidak menyadari kapan Pak Sitor pindah duduk kesampingku. Aku kurang tahu kenapa aku membiarkannya meraih jemariku yang masih melingkar cincin berlian perkawinanku dan merebahkan kepalaku didadanya. Aku merasa terlindung dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama ini. Dalam pada itu Pak Sitorpun membelai rambutku seolah aku adalah istrinya, lalu terus kebalik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat. Aku terlena dan membiarkannya terus berbuat itu, lalu ia cium telingaku dan terus bergeser ke bibirku. Aku tak menyadari bahwa itu orang lain. Aku salah langkah, dan menilai orang. Pak Sitorpun mengulum bibirku beberapa saat dan tangannya juga tidak tinggal diam dengan terus merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan kaos tidur itu.
Bersambung...