Jakarta yang metropolitan dan ibu kota Indonesia ini dikunjungi oleh segenap warganya dari Sabang sampai Merauke. Disamping masyarakat umum, dengan alasan tugas negara para pejabat dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah silih berganti datang pergi dari daerahnya ke Jakarta. Ada yang wakil rakyat, bupati, sekda, ABRI, guru, polisi, camat, tenaga ahli, politisi, gubernur, pengusaha, utusan para petani atau buruh dan berbagai profesi lainnya. Menjelang pemilu kemarin banyak pula Caleg yang mondar mandir ke Jakarta.
Tapi, yaahh.. Namanya manusia. Kalau sudah sampai Jakarta, urusan tugas bisa jadi lain. Kebanyakan urusan-urusan itu jadi mengembang. Tetapi bukan berarti tugas yang makin nambah banyak. Yang berkembang adalah selingannya. Dengan akibat urusan utamanya jadi kapiran dengan alasannya kurang waktu atau waktunya terlampau singkat.
Yang namanya tugas khan hanya berlangsung pada jam kerja. Diluar itu orang ber-hak untuk bebas. Dan sebagai abdi negara orang khan juga memerlukan istirahat, relaks atau mencari hiburan agar pikiran tidak lelah atau tegang demi pengabdiannya kepada negara dan bangsa tercinta. Ah, romantis banget nih..
Untuk itu mereka perlu shopping ke Mangga Dua atau Sogo Grand Hyyat. Atau pijat sana dan pijit sini di panti pijat yang banyak terserak di seantero Jakarta. Atau sekedar jalan-jalan 'window shopping' dan 'site seeing' ke berbagai tempat di pelosok-pelosok metropolitan ini. Salah satu tempat yang paling populer dikunjungi oleh para tetamu Jakarta adalah Taman Lawang, tempat mangkalnya para waria di daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Taman Lawang ini oleh para waria juga bisa dipandang sebagai metropolitan atau ibukota republik tercinta dalam skala kecil atau mini. Alasannya antara lain adalah, walaupun tidak menampilkan pakaian daerahnya yang tradisional, para waria dari berbagai suku bangsa setanah air bisa ditemui di sini.
Mereka bisa ditandai dari omongannya yang suka diseling dengan bahasa daerahnya atau dari ciri-ciri fisiknya yang khas. Misalnya warna kulitnya. Rambutnya atau lainnya. Ada yang berkulit coklat, ada yang hitam, ada yang kuning, ada yang sipit, ada keriting dan macam-macam ragam lainnya. Yang pantas menjadi teladan nasional adalah, di taman ini yang namanya semangat NKRI atau semangat persatuan dan kesatuan Indonesia tak pernah tergoyahkan. Tak pernah ada perkelahian antar waria, antar suku, antar warna kulit, antar ras dan sebagainya di taman ini.
Kalau toh di tempat ini ada semacam kerusuhan, justru ditimbulkan oleh para petugas Kamtib yang maunya 'sok' bikin tertib para waria. Dan akibatnya para waria pada lari tunggang langgang atau ngumpet sampai Kamtib-nya pergi. Sepertinya ada korelasi antara ciri-ciri penghuni dengan ciri-ciri tamunya di keramaian Taman Lawang ini. Tetapi adanya sentuhan persamaan asal usul antara tamu dan penghuninya itu bukan merupakan motivasi utama adanya kehadiran mereka di sana.
Pada dasarnya mereka, masing-masing pihak, baik tamu maupun penghuni memiliki motivasi sendiri-sendiri. Dan kalau boleh disimpulkan motivasi yang nampaknya dimilki setiap orang yang ada di Taman Lawang boleh dibilang terbagi dalam 2 kelompok besar. Yaitu, demi kepuasan syahwat dan demi uang. Kalau toh ada yang lain, adalah paduan keduanya, yaitu mencari kepuasan syahwat sekaligus mendapat uang. Soal mendapat uang ini bukan semata-mata monopoli pihak penghuni.
Banyak penghuni yang justru sangat tergiur birahinya kepada sang tamu dan dia bersedia mengeluarkan uangnya untuk makan, hotel dan uang saku bagi tamunya. Lho, elok, khan? Tetapi aku nggak akan cerita yang itu. Aku akan kembali kepada Taman Lawang yang merupakan ibukota republik atau metropolitan mini. Yang penghuni dan tamunya datang dari berbagai penjuru tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Alkisah, ini hari Jumat malam Saptu. Besok libur. Dalam rasa senangnya menikmati week end Sophia (ini nama asal sebut, jangan ada yang GR, ya) sedang bengong nungguin pemuda favoritnya. Sophia sendiri kalau siang hari punya kesibukan profesional. Dia yang berusia 26 tahun ini adalah seorang disainer grafis pada sebuah biro iklan di Jakarta. Tentu pada saat kerja tak ada yang memanggilnya sebagai Sophia. Di kantornya dia dikenal sebagai Sofyan yang boss para disainer di perusahaan itu.
Namun karena orientasi seksnya, saat matahari telah tenggelam di ufuk barat, Sofyan yang tampan simpatik ini merubah dirinya menjadi Sophia cantik jelita. Di saat malam-malam yang dingin dia banyak menikmati kehidupannya di Taman Lawang yang sangat terkenal di Jakarta ini.
Dari sisi yang lain, Sophia adalah termasuk 3 besar. Dia adalah salah satu dari 3 waria tercantik di Taman Lawang. Ini berkat hasil survey LSTL atau Lembaga Survey Taman Lawang, yang disimpulkan dari hasil jajak pendapat dan gunjingan para tamu maupun para pesaing waria lainnya.
Secara obyektif, aku mengakui kecantikan luar biasa dari si Sophia ini. Lihat saja ukuran vitalnya, tinggi 173 cm, lebih dari persyaratan untuk menjadi peragawati. Berat 60 cm, artinya tingginya langsing, khan?! Dada 36, artinya tidak kalah dengan bintang Baywatch, Pamela Anderson. Pinggulnya 34 sama dengan pinggul Kyle Minoque. Dan daya sensual serta raut wajahnya mirip persis dengan Sophia Latjuba. Yang terakhir inilah yang menjadi sebab mengapa dia dikenal sebagai Sophia.
Aku sendiri sering berdecak kagum kalau melihat Sophia melangkahkan kakinya yang bak kaki belalang itu. Dengan sepatu hak tingginya dia pertunjukkan betapa betisnya yang padat berisi itu sepertinya tongkat base ball yang bergantian mengayun untuk melentingkan bolanya.
Kemudian saat dipadukan dengan bayangan pahanya yang nampak dari balik celana panjang, rok maupun short pantss-nya, dia benar-benar tampil sebagai seorang bidadari waria yang turun ke bumi Taman Lawang ini. Rasanya kalau ada Indonesian Waria Idol para jurinya nggak perlu berlelah-lelah memilih siapa yang terbaik saat berhadapan dan menyaksikan Sophia ini. Bagi orang awampun tidak terlalu sulit untuk menerima 'brand name'-nya yang merupakan replika dari bintang iklan dan sinetron yang panas dan cantik Sophia Latjuba.
Sophia bukan waria yang getol cari uang, walaupun dia mau uang. Dia lebih mengutamakan kepuasan batin. Di Taman Lawang ini dia bisa meng-ekspresikan dirinya. Sofyan bisa menyalurkan orientasi seksualnya dengan mengubah didirinya sebagai Sophia. Dia bisa mendengar dan menikmati decak kekaguman orang-orang pada penampilan Sophia-nya. Dia juga bisa menggapai kepuasan seksual dan menyalurkan hasrat syahwat birahinya kepada dan dari siapapun yang dia inginkan. Kalau toh ada uangnya, itupun dia lebih rasakan sebagai salah satu bentuk pengakuan orang lain atas kekaguman akan kecantikan serta daya pikat seksualnya.
Malam ini Sophia sedang menunggu Antony yang masih berdarah semit itu. Bapaknya yang orang Yordania dan ibunya dari Bandung membuat Antony menjadi seorang yang sangat tampan, walaupun tetap menyukai oncom Bandung dan asinan Bogor. Badannya nampak bongsor dengan bulu-bulunya yang memenuhi tubuhnya. Hidungnya yang mancung bisa membuat seorang Antonio Banderas menjadi tidak tampan lagi kalau berdampingan dengan Antony ini.
Baik Antony maupun Sophia keduanya saling 'kesengsem'. Keduanya memiliki penis gede dan panjang yang kalau ngaceng keduanya menunjukkan bonggol kepalanya berkilatan mengundang orang untuk mengulum dan melumatinya. Lubang kencingnya yang lebar serta urat-urat pada batangnya selalu merangsang hasrat seksual mereka berkobar menyala-nyala.
Keduanya sangat tampan dan cantik. Bahkan demikian pula Sophia saat tampil sebagai Sofyan. Dan keduanya sangat saling membutuhkan serta mengisi relung-relung nafsu birahi mereka. Tadi siang Antony telpon dan berjanji menemuinya di Taman Lawang ini. Tetapi sudah terlalu malam Antony belum nongol juga. Sophia sih tak terlampau kecewa. Baginya Antony adalah semacam telur ayam kampung. Sesekali ditenggak untuk sekedar memulihkan staminanya. Dan untuk Antony-nya Sophialah yang selalu mengeluarkan uang.
Tiba-tiba sebuah Audi A3 tahun 2004 berhenti didekatnya. Kaca muka mobil terbuka dan nongol sebuah wajah. Tak ada yang pernah melihatnya. Mungkin pendatang dari luar Jakarta yang memang termasuk yang selalu meramaikan Taman Lawang ini.
Dia menyapa Sophia dengan, "Hai".
Sophia menerima tetamu dengan ramah, dia jawab pula dengan, "Hai".
Kemudian seseorang turun dari mobil, mendekat dan menyentuh tangan Sophia, "Apa kabar, Sophia?"
"Baik, dari mana Mas?" jawab Sophia bercampur bangga tamu asing ini telah mengenali namanya.
"Saya dari seberang lautan Teman saya ngasih tahu kalau ke Jakarta mampir ke Taman Lawang cari saja yang paling cantik, namanya Sophia" kata sang tamu dengan sedikit ber-humor penuh romansa pinggir jalanan.
Tak urung menambah bangganya hati Sophia, "Kok langsung ngenalin?".
"Tebak-tebak saja. Dan lagian mana sih yang lebih cantik? Dan ternyata kamu benar-benar mirip Sophia Latjuba, loh" lanjut tamu itu yang membuat Sophia makin tersanjung.
Pengakuan-pengakuan macam begini yang selalu ditunggu Sophia. Walaupun telah diucapkan oleh beribu orang lain, mendengar itu diucapkan kemabli oleh seseorang tetap saja bisa memberikan kepuasan batin bagi Sophia.
"Mas mau jalan-jalan kemana?" Sophia memberikan dorongan sambil tangannya meraih selangkangan
"Aku pengin puter-puter lihat Jakarta. Mau ikut? N'tar kalau lapar makan kalau haus minum kalau pengin lainnya cari tempat parkir. OK?!" woowww.. Rancangan yang 'nice'.
"Nggak takut nyasar?" pancing Sophia,
"Siapa takut?" gaya sang tamu menirukan 'copy write' iklan shampo.
Kalau hati sedang senang kenapa mesti mikir kelamaan. Ini ajakan yang eksotik dan erotik. Dari tampilan dan gaya bicaranya dia merasa sedang berhadapan dengan seorang tamu yang cukup 'handsome' yang menunjukkan kemewahan dan keramahan. Siapa tahu tamu ini bisa memberikan selingan dari rutinitas hidup yang dihadapi Sophia sehari-hari. Dia merasa pendekatan tamu ini padanya mesti direspon dengan baik. Dan.. Jadilah. Mereka menderu ditengah keramaian Jakarta diwaktu malam.
Ditengah mengalirnya cahaya lampu jalanan metropolitan yang menerobos ke interior mobilnya, sambil meraih kemudi di tangan kanan dan meremasi tangan Sophia di tangan kiri, sang tamu memperkenalkan dirinya lebih jauh. Namanya Danu Roso. Dia adalah seorang pejabat daerah. Seorang bupati dari sebuah propinsi di tanah air.
Jangan bengong atau heran, menurut para ahli ilmu kejiwaan, lebih dari 10% lelaki memiliki orientasi homoseksual atau cinta sesama lelaki. Dan lebih dari itu, mungkin s/d 30% para lelaki cenderung seorang biseksual. Orang itu bisa mencintai perempuan dan sekaligus cinta sesama lelaki. Dengan beberapa perbedaan yang dimungkinkan, orang macam Pak Danu yang suka waria ini, mungkin bisa dimasukkan dalam kategori biseksual. Dia mencintai kecantikkan perempuan sekaligus seorang lelaki. Dia menyenangi seorang 'ladyboy'.
Jadi bukan aneh atau tak mungkin dari sekitar 300 kabupaten yang ada di tanah air ini, setidaknya ada 30 orang bupatinya berorientasi seksual macam Pak Danu yang menunjukan minatnya pada seorang waria macam Sophia ini. Belum dihitung lagi macam pejabat lainnya.
Kabupaten yang dipimpin Pak Danu Roso ini memiliki Gross Domestic Bruto yang tinggi. Dan rakyatnya yang hanya sekitar dari 1 juta orang memiliki pendapatan per kapita tertinggi di nusantara ini. Danu Roso baru 4 bulan menduduki jabatannya. Beberapa milyar rupiah telah dia pertaruhkan untuk memperebutkan posisi strategis itu. Hasilnya adalah, dia dipilih secara 'demokratis' oleh para wakil rakyat.
Danu Roso adalah bupati yang dicintai rakyatnya. Buktinya tak ada satu pihakpun yang menolaknya. Tak ada demo dari LSM. Pokoknya, dengan modal yang dimilikinya semua pihak harus mendapat bagian, begitu pesan Pak bupati pada 'team sukses'-nya. Yaa.. Begitulah kwalitas para pejabat di tanah air kita ini. Itulah politik uang sang bupati. Jabatan baginya adalah sebuah lapangan usaha berdasarkan prinsip kekuasaan. Untuk itu memerlukan modal, kalkulasi dan keberanian.
Danu Roso yakin bahwa apa yang dipertaruhkan akan kembali. Seluruh investasinya akan mendatangkan untung. Analisa rasionya menunjukkan tingkat kelayakan yang tinggi. Jabatannya akan berlaku untuk masa 5 tahun. Tahun ke.1 dan ke.2 harus mengusahakan seluruh investasinya kembali atau Break Even Point-BEP, tahun ke 3 dan seterusnya mulai meraih keuntungan. Itu semua merupakan dialektika dan dinamika politik yang lazim bagi siapapun yang hidup di negeri koruptor no.1 di dunia ini.
Sepanjang jalanan mata Pak Danu tak lepas-lepasnya menikmati penampilan sensual Sophia. Dia sudah mengimpikan sesaat lagi tubuh cantik ini sudah berada dalam pangkuannya. Dia sudah membayangkan betapa nanti hidungnya, bibirnya atau lidahnya akan merambati lekuk liku tubuh indah itu tanpa ada bagian kecilpun yang terlewatkan.
Dia bayangkan betapa bibir Sophia akan dilumatinya. Dan dia yakin kegembiraan hati Sophia saat ini sedang berbunga-bunga karena berkesempatan berasyik masyuk dengan dia seorang bupati. Pasti waria semacam Sophia akan pasrah dan memenuhi apapun yang dia kehendaki. Tanpa 'politik uang' yang mahal dan pakai tinggi Sophia pasti akan melayani sepenuhnya dengan penuh bangga dan sukacita. Nampak membayang senyuman di sudut bibir Pak bupati kita ini.
Bersambung...