CHAPTER TWO
BAB I
"Kamu menginginkannya bukan, Thomas?"
Mata pemuda itu memandangku dengan matanya yang nanar. Mungkin pertanyaan-pertanyaan yang menerpa batinnya tidak seindah yang kubayangkan. Barangkali bukan "mengapa" atau "tak mungkin", barangkali justru "akhirnya" atau "tentu saja". Yang pasti ia sekarang tertegun dan mendelik menatap tubuhku yang hanya terbalut lingerie tipis. Jadi kudekati dia dan kutempelkan payudaraku di dagunya. Kuangkat wajahnya, membiarkan nafasnya memburu dan matanya yang nanar semakin lebar. Kutepis lengannya yang terangkat ke sisi tubuhku. Belum saatnya, adikku sayang.
"Katakan kamu menginginkannya."
"Aku.. aku.."
Kukecup bibirnya, memainkan rongga mulutnya dengan gerakan lidahku. Ia menikmatinya, matanya terpejam. Kutepis lagi lengannya yang terangkat. "Berjanjilah padaku, Thomas."
Kupegang rahangnya dan menatapkan matanya ke mataku. Kusapu wajahnya dengan hembusan nafasku. Mempesona.
"Jangan ada lagi orang lain selain kita."Kudesahkan kata-kata itu di depan bibirnya.
"Ya."
Dan kata itu cukup untuk membuatku membiarkan kedua lengannya merangkul pinggangku dan membaringkanku ke atas tempat tidur.
"Thomas sayang, jangan menangis."
"Tapi mereka memukuliku."
"Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi."
Anak kecil itu menangis dalam dekapanku. Lemah dan tak berdaya. Dan kulindungi dia dengan jiwa ragaku.
Dan kini batinku merintih saat batang penisnya memenuhi liang kewanitaanku. Kubiarkan tubuhnya menggeliat dan bibirnya menjilati sekujur tubuhku. Ah adikku sayang, berapa banyakkah pengalamanmu dengan wanita? Nol besar. Dan bahkan aku masih sempat bergurau. "Jangan di dalam." Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Mengherankan, mengapa seseorang yang begitu terpengaruh obat-obatan masih mempunyai sepercik rasa sadar?
Ah, sudahlah. Enjoy the trip.
BAB II
Empat hari sudah iblis itu tak pulang ke rumah. Dengan berbagai alasan, akhirnya aku berhasil mengusir pembantu tua itu keluar dari rumahku. Dan kini tak ada lagi orang lain. Selain aku dan adikku, kekasihku yang kusayangi. Dan aku tak ingin repot-repot memasak, karena itu bukan keahlianku. Kuputuskan untuk lebih sering memesan makanan lewat telepon, lagipula tidak seberapa jauh dibandingkan dengan masakan Mbok Ijah. Thomas sudah jarang keluar. Setidaknya apa yang kutawarkan padanya diterimanya dengan sepenuh hati. Ah. Mungkin kami sama-sama bejatnya. Tapi aku tak memusingkan hal itu lagi. Bukankah aku memang sudah tak lagi memiliki perasaan untuk menilai. Kuajarkan pada Thomas bagaimana cara menggunakan kondom. Aku tak mau meminum pil KB, karena aku tak ingin tubuh indahku menjadi rusak karenanya. Thomas merasa girang dengan pelajarannya yang baru, dan aku bersyukur karena pelajaran demi pelajaran seolah membuatnya sedikit lupa dengan obat-obatannya. Dan sejak semula sudah kusadari, segalanya takkan semudah itu.
"Pergi kalian!!"
Lelaki-lelaki itu memandang pisau di tanganku dan tertawa bersamaan. Salah seorang dari mereka menjilat bibirnya dan menatapku penuh nafsu. "Jangan, ah. Mending kita pergi bobok."
"Bangsat!" kuayunkan pisau itu dan membuat mereka mundur selangkah.
"Aku sudah memanggil polisi."
Lelaki yang paling belakang mendengus.
"Awas kalian. Tunggu, Thomas."
Kututup pintu rapat-rapat begitu mereka melangkah keluar. Kubalikkan tubuhku dan melangkah menghampiri sosok yang meringkuk di sudut ruangan. Kubuka lipatan lengannya dan menatap sedih kearah matanya yang lebam dan bibirnya yang berdarah.
"Cup-cup, sayang. Mereka sudah pergi."
Dan kudekap kepala yang bergetar itu di dadaku.
Ah, adikku sayang. Kekasihku sayang.
Sama seperti dulu.
Aku masih melindungimu.
Kukecup ubun-ubun kepalanya dan tanpa terasa akupun ikut menangis.
BAB II
Pemuda itu tak menyentuhku lagi setelah kejadian tiga hari yang lalu. Dan itu sangat melegakanku. Mungkin benar bahwa lecutan yang menyakitkan mampu membawa cahaya kembali dari kegelapannya. Thomas lebih sering menemaniku melalui hari-hariku dengan membiarkan kepalaku di dekapannya. Sebagaimana seharusnya seorang saudara laki-laki terhadap kakak perempuannya.Di saat-saat itu kusadari, bahwa akupun tidak sekuat yang kuduga.
Thomas berjanji takkan memakai obat-obatan. Dan itu berarti sebuah kemungkinan bahwa ia takkan berurusan dengan orang-orang jahat itu lagi. Aku senang. Walaupun akhirnya aku jadi sering bermasturbasi di kamar mandi daripada melakukan hubungan riil dengan seorang lelaki. Aku cukup bahagia dengan situasi ini. Dan aku tak ingin ada yang merubahnya. Tidak bahkan iblis yang menampakkan dirinya kembali. Hari itu.
"Kemana Ijah?"
"Pulang. Sudah bosan, katanya."
Kuletakkan piranti makan itu di atas meja.
"Hey," lelaki itu menepuk punggung Thomas, "tidak biasanya sang pangeran sudah ada di rumah."Dan yang ditepuk hanya menyeringai sambil melirik ke arahku.
"Makan, Pa."
Lelaki itu tertawa dan menyendok makanannya. Mungkin ia merasa bahwa aku yang memasaknya. Yah, sudahlah. Mana ia pernah tahu apa kesibukanku selama kepergiannya.
Jangan! Jangan lihat kemari!
Kugerakkan tanganku mengusir. Namun Thomas tetap berdiri di ambang pintu. Tubuh lelaki itu semakin liar di atasku, mulutnya mendesahkan kata-kata kerinduan yang luar biasa menyakitkan. Tangannya bergerak-gerak di sekujur tubuhku, pinggulnya bergerak naik turun, menghujam liang kewanitaanku dengan penisnya yang menegang. Air mata keluar dari mataku.
"Jangan lihat ke sini, Thomas." Kupandangi wajahnya yang tertutup bayang kegelapan.Apa yang akan dilakukannya. "Jangan, sayang. Pergi dari sini." Lelaki itu semakin liar, gerakannya jauh lebih kasar dari yang sudah-sudah. Kurasakan mataku terpejam dan bibirku tergigit.
"Ahh..ahk.." lelaki itu mengerang tidak jelas. Kedua lengannya membalikkan tubuhku dan batang penisnya memasuki liang kemaluanku dari belakang. Kuusahakan untuk melirik sekali lagi ke arah pintu. Dan ia masih di sana. Memandang tanpa berkedip.
Pergi! Jangan lihat aku!! Pergi!!
Isakan keluar dari mulutku.
Lelaki itu menegang, menggigit pundakku dan menyemburkan spermanya di liang kemaluanku. Tanpa kondom. Tidak. Tidak lagi. Kubuka mataku, dan Thomas sudah tidak di sana lagi. Kubiarkan lelaki itu menindih tubuhku dan terengah di atasku.
BAB IV
"Aku akan membunuhnya."
"Jangan!"
Kupegang lengannya dan menariknya dalam pekukanku.
"Jangan lakukan apapun."
Kulihat bahunya berguncang. Dan kubiarkan adik kecilku menangis di dadaku.
"Maafkan aku, Kak."
Bahkan sudah sejak dulu kau kumaafkan, adikku sayang.
Tak berapa lama kemudian, kurasakan nafasnya mulai tenang, dan kubelai rambutnya saat kusadari bahwa ia sudah tertidur. Namun sejak saat itu kusadari setiap hawa kematian yang memancar dari matanya saat menatap laki-laki itu. Sebenarnya aku inginkan hal yang sama dengannya. Untuk mengakhiri ini semua. Namun aku tak sanggup. Tangan dan hati ini melarangku. Walau bagaimanapun merekalah keluargaku yang tersisa. Sejak mama mulai jarang menghubungi kami. Dan aku selalu berusaha keras meyakinkan Thomas untuk tidak melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bisa menghancurkan sisa-sisa ini. Mungkin itu suatu hal yang salah menurut orang-orang lain. Tapi bagiku, yang terpenting adalah bagaimana aku bisa mempertahankan dan memperbaiki segala sesuatu yang tertinggal di hidupku. Karena aku telah banyak kehilangan.
"Kamu keluar saja malam ini. Tapi jangan nge-drugs. Cari gadis yang bisa kamu kencani. Karena kamu tampan dan gagah. Karena kamu adikku yang pasti takkan gagal."
Kubetulkan kerah kemejanya dan memandang wajahnya yang tampan sambil tersenyum. Pemuda itu mengusap air yang menitik di ujung matanya.
"Kakak begitu baik."
Aku baik? Hahahaha. Ironis sekali untuk seorang pelacur.
"Tidak juga," senyumku sambil mengecup dagunya.
"Dia. Dia akan melakukannya lagi?"
Sudah pasti.
"Sudahlah, nanti kamu terlambat pergi ke pesta."
Thomas berbalik, namun ia menoleh kembali dan menggapai lenganku. "Kakak ikut."
"Hush. Jangan seperti anak kecil."
Thomas mengerenyitkan alisnya, lalu mengecup bibirku. Kali ini tanpa nafsu yang membayang di matanya. Hanya seberkas kasih sayang dalam getaran bibirnya.
"Aku sayang kamu."
"Aku juga."
Sejak kapan aku terakhir mengatakan sayang yang begini tulusnya. Ah. Steve. Sudah lama sekali bukan? Kugigiti cincin di jari manisku saat adikku melangkah keluar.
Kuangkat lengan lelaki itu dari tubuhku dan melangkah keluar untuk menyambut adikku. Kulihat jam dan sedikit heran karena baru pukul setengah sebelas. Pikiranku berkecamuk. Sebuah perasaan aneh menyelinap ke sel-sel otakku, membuatku merinding dan meremang saat melalui koridor menuju ke ruang tamu. Suara-suara mengiang memperingatkan.
Jangan buka pintu itu!
Jangan buka pintu itu!
BAB V
"Sudah lama sekali, D."
Kupeluk tubuh itu dan kubenamkan kepalaku di dadanya. Kubiarkan air mata dan isak tangis yang selama ini kutahan lepas begitu saja. Tangannya memelukku dan membelai rambutku. Alangkah indahnya. Bibirnya mengecup ubun-ubun kepalaku dan telapak tangannya menepuk punggungku seperti seorang ibu mendiamkan anaknya.
"I miss you. So much."
"Sshh. Aku di sini untukmu."
Kuangkat kepalaku dan tersenyum menatapnya. Kuangkat lenganku dan menunjukkan cincin di jari manisku kepadanya.
"Lihat! Bahkan cincin ini masih ada di sini."
Pemuda tampan itu tertawa dan kulihat air mata mengalir di pipinya.
"Aku tahu. Aku tahu."
Steve memeluk tubuhku hangat dan mencium bibirku. Kulumat seakan tak ingin melepasnya pergi dari sisiku.
"Steve.. ahh.."
Kudesah nafasku saat jemarinya membuka jubah putih yang kukenakan. Kurasakan dada telanjangnya menempel di kulitku. Aku menikmatinya. Sungguh-sungguh menikmatinya. Dan kuangkat kakiku di sisi pingangnya, membiarkan bibirnya menelusuri leherku dan membasahinya.
"Aku merindukanmu, Steve."
Erangan dan rintihan keluar dari bibirku saat kurasakan batang penis yang menegang itu memenuhi liang kemaluanku. Tangannya menahan punggungku untuk tetap berdiri. Pinggulnya bergerak dan memainkan hasratku yang semakin menggila.
Lengannya membaringkanku di atas rerumputan. Bibirnya mencumbuku dan merayu tanpa kata-kata, kurasakan dengusan dan helaan nafasnya di pori-pori kulitku. Penetrasinya membuatku semakin liar dan terbang bersama sentakan-sentakan tubuhku.
"Do you still love me.."
Kudesahkan pertanyaan itu di sisi kepalanya yang menempel di payudaraku. Steve mengangkat kepalanya dan tersenyum, sejenak meninggalkan protesku atas gerakannya yang terhenti.
"Selamanya, D. Selamanya."
Dan kukecup bibirnya mesra. Tubuh pemuda itu bergerak di atasku, membuatku semakin terengah dan berkeringat. Dan kenikmatan ini seakan tiada habis-habisnya, membuatku mengejang dan mengejang. Berulang-ulang tanpa henti. Dan segalanya menjadi gelap seiring hentakan tubuh pemuda yang kusayangi.
"Steve?"
Namun semuanya terasa begitu gelap. Gelap sekali. Dan aku kembali sendiri di ruangan tanpa batas.
"Bertahan, D. Sedikit lagi."
Orang-orang berjubah putih itu. Thomas? Pergi, Sayang! Mereka mencarimu! Plafon-plafon yang memutih di atas mataku. Rasa perih di punggung dan selangkanganku. Mana Papa?
"Siapa yang berbuat ini.."
"Bangsat-bangsat itu.."
"Ini sekarang urusan kami.. mohon.."
Steve? Di mana kamu, Sayang?
BAB VI
Surabaya, awal 2001
Angin berhembus lembut menyibak rambutku. Kulirikkan mataku pada pemuda yang berdiri di sebelahku. Kerutan di wajahnya membuatnya semakin mirip dengan iblis itu sendiri. Namun satu hal yang membedakan, yang berdiri di sini adalah malaikatku.
"Sudah, D?"
Kugerakkan bola mataku, dan memandang untuk yang terakhir kalinya ke arah nisan di hadapanku.Ah, semuanya berakhir sungguh jauh dari dugaanku. Untungnya polisi-polisi masih sigap untuk menangkap bangsat-bangsat itu. Yah, setidaknya bangsat-bangsat pengedar narkoba itu berhasil menyelesaikan permasalahanku. Walaupun untuk itu aku harus rela melepaskan kebebasanku sebagai seorang mahluk hidup normal dengan luka di tulang punggung yang melumpuhkanku.
Selamat tingal, Pa.
Semua sudah beres sekarang.
Thomas mengusap air mata yang mengalir lagi di pipiku. Kurasakan kursi roda yang kunaiki bergerak menjauh. Ya. Aku ingin menjauh dari segalanya ini. Kulihat mama bersama Oom Frans menunggu di kejauhan. Seandainya aku bisa menghambur ke pelukannya, dan mengatakan betapa girangnya aku untuk kembali berkumpul bersama dan berkeluarga. Aku perlu banyak penyesuaian dengan Oom Frans, begitu pula Thomas. Namun kurasa itu suatu hal yang ringan, karena pandangan mata Oom Frans jauh berbeda dari pandangan iblis itu. Ah. Maafkan aku, Pa. Mungkin aku masih terlalu trauma untuk memanggilmu Papa.
Enjoy the hell, Dad.
Kulirik cincin emas yang melingkar di jari manisku.
I will survive just for him.
Wait for me, Steve.
Sagabor, I love you.
Dan kenyataan kisah ini tersimpan dalam diri dua anak manusia. Aku dan adikku Thomas. Aku percaya bahwa suatu hari nanti akan ada seseorang yang memperbaiki sisi-sisi terkoyak dalam kehidupan kami.
Seandainya Tuhan memang ada.
Biarlah Ia yang mengurus sisanya.
----------
"Let's put an end to this, shall we?"
I can feel nothing
But the pleasure inside
I can cry no more
'cause I enjoyed it
Then it's just something
(they called it 'LOVE')
Pushing the 'must go on' ride
The ride that'll never go ashore
And makes everything all right
So I'm just a simple being
With pains masked the otherside
Truly I'm a whore
'cause I enjoyed it
Oh well, it was Me anyway
Goodbye for now
I have a life to go on
Do you?
TAMAT