Namaku Aldi, dan umurku sekarang sudah 26 tahun. Aku sudah lulus kuliah sejak tahun 2005 lalu dan sekarang sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Badanku sih biasa-biasa saja, tidak kurus tapi juga tidak gemuk atau berotot. Yah seperti pada umumnya seorang cowoklah. Tinggiku sekitar 175 sentimeter dengan berat proporsional.
Aku mempunyai seorang kekasih yang berusia sama denganku. Kami dulu teman satu kampus. Walaupun bukan satu fakultas tetapi kami satu angkatan dan lulus serta wisudanyapun diwaktu yang sama. Sudah 5 tahun kami berpacaran. Segala kesenangan dan cobaan sudah pernah menimpa kami berdua. Mulai dari pertengkaran karena cemburu atau karena ketidak cocokan tetapi semua dapat diatasi karena pengertian dari kedua belah pihak. Sekarang dia (pacarku) bekerja disebuah agen perjalanan wisata.
Oh iya, aku belum memperkenalkan dirinya. Namanya Lusi, tinggi 165 cm dengan berat badan proporsional dan rambut lurus sebahu (lebih panjang dikit). Kulit kuning langsat dan terawat. Wajahnya lumayan cantik walaupun diluar sana masih banyak gadis yang lebih cantik dari dirinya. Tetapi yang membuat aku jatuh cinta pertama kali padanya adalah alis matanya yang tebal dan bentuknya yang mengesankan bahwa dia adalah seorang gadis yang galak walaupun sebenarnya bukan.
Selama kami berpacaran bisa dibilang sedikit membosankan. Karena daerah tujuan kami kalau bukan kamar kost yah tempat yang enak buat makan atau beli buku di shopping center terdekat. Paling sering sih bertemu di kampus. Membosankan memang tetapi apa mau dikata karena Lusi bukan tipe cewek yang suka pergi ketempat-tempat hang-out baik itu tempat hiburan malam maupun tempat wisata macam pantai dan sebagainya. Aku sendiripun juga mempunyai selera sama dengan Lusi, malas bepergian. Mungkin hal itu jugalah yang membuat hubungan kami bertahan lama, karena banyak kecocokan dalam menjalani hidup kami.
Pasti ada diantara kalian yang membaca bertanya-tanya, apakah kami selama berpacaran pernah melakukan hubungan intim? Well, maaf mengecewakan. Kami belum pernah melakukannya karena dia gadis yang cukup berpegang teguh pada nilai-nilai pernikahan. Adapun hal terjauh yang kami lakukan hanyalah peting. Itupun hanya sebatas dia melakukan oral seks padaku sementara aku mempermainkan payudaranya sampai dia puas. Itupun membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkannya agar mau melakukan hal tersebut.
Karena saat kami lulus dan bekerja kami berada di kota yang berlainan terang saja hal tersebut membuat kami berdua tersiksa. Maklum biasanya kami kemana-mana selalu berdua dan dengan jarak yang jauh ini kami tidak dapat berduaan terus dan apalagi bermesraan. Aku sendiri terpaksa self-service.
“Sayang?” suara ditelepon genggamku kembali berbunyi. Aku dan kekasihku sedang bertelepon ria. Yah, hanya itu yang dapat kami lakukan karena untuk bertemu cukup susah karena waktu dan lagi bisa menghabiskan biaya khan.
“OK! Nanti sore aku berangkat ya. Paling jam sembilan malam aku sudah sampai ditempatmu.” Sahutku lalu telepon terputus.
Aku dan Lusi berjanjian akan bertemu. Ini adalah malam minggu, jadwal kami berdua untuk bertemu. Kadang Lusi yang main ketempatku tapi seringnya aku yang main ketempat kost dia. Maklumlah, pria khan harus mengalah demi wanita heheheh.
Sekitar jam sembilan malam aku sampai di kost Lusi. Kost dua lantai ini memang dipenuhi oleh para pekerja yang kebetulan mereka bekerja didaerah yang sama dengan Lusi. Karena memang daerah tempat kantor Lusi berada merupakan daerah khusus perkantoran.
“Hei. Kehujanan yah tadi?” tanya Lusi sambil menghambur keluar memelukku. Memang tadi sempat hujan deras, ini merupakan hujan pertama diawal musim.
“He-eh. Sedikit. Tadi pas turun dari bus. Lupa kagak bawa payung sih heheh.” Sahutku lalu masuk kedalam area kost. Begitu aku masuk kekost Lusi aku melihat ada yang aneh. Biasanya Lusi selalu membiarkan kamar kostnya ditata sederhana tanpa banyak perhiasan. Tetapi sekarang kamar ini seolah ada yang baru. Penuh hiasan warna pink dan ungu. Seolah seragam. “Wow! Kamarmu udah dipermak yah Lus?” tanyaku pada Lusi yang sedang sibuk menyiapkanku minuman hangat.
“Iya. Habis aku udah sedikit bosan dengan dekorasi yang lama. Eh nih, diminum biar hangat!” kata Lusi sambil menyodorkan secangkir teh celup hangat. Aku menerimanya sambil melirik kearah tubuhnya yang berbalut pakaian tidur yang manis sekali. Warna pink dengan totol-totol bentuk strawberry warna merah tua dengan renda kecil di lipatan kerahnya. Benar-benar girlie sekali. Sesuatu yang belum pernah kulihat dari diri Lusi sebelumnya. “Hayo liat apaan?”bentak Lusi setelah tahu dirinya kuperhatikan.
Aku hanya nyengir sambil meniup teh supaya cepat dingin. “Tumben kamu pakai pakaian gini. Biasanya khan pakai pakaian tidur biasa.” Sahutku sambil mulai meminum tehku.
“Jelek yah? Padahal aku sengaja pakai ini buat kamu lho.” Balasnya. Ucapan balasan Lusi mengejutkanku. Tapi sebelum aku bertanya lebih lanjut, Lusi sudah mengalihkan pembicaraan. Sekarang dia malah mengajakku menggosipkan teman-teman kantornya dan bertanya tentang kegiatanku selama seminggu ini.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku dan Lusi ngobrol sampai lupa waktu. Tapi tak apalah karena memang aku ingin menginap di kamar kostnya itu. Memang kost tempat Lusi tinggal bisa dibilang bebas karena selain kost campur (untuk pria dan wanita) juga karena jika ada tamu bermalam tinggal memberi biaya tambahan 10ribu rupiah pada penjaga kost dan perkara selesai. Simpel bukan?
“Aduh udah malam nih. Hehehe…” kataku sambil melirik kearah Lusi. Lusi sepertinya mengerti kenapa aku melirik kearahnya. Diapun tersenyum dan mengajakku naik ketempat tidur,
“Al, kamu udah bener-bener ngebet yah?” goda Lusi sambil mempermainkan pita di bagian depan baju tidurnya.
“Memangnya kamu nggak Lus? Eh jangan-jangan kamu udah punya yang lain? Hayo ngaku…” godaku ganti. Namun respon Lusi dingin.
“Hari ini tepat 6 tahun sejak kita pertama kali bertemu yach. Kamu ingat pas kita bertemu hujan-hujan didepan perpustakaan kampus gara-gara kamu nggak bawa payung trus nekat nebeng aku?” tanya Lusi.
Aku kaget ternyata Lusi masih ingat hal itu padahal aku sudah sedikit lupa dengan peristiwa tersebut. “Iya sih. Kamu masih ingat betul yah. Berarti dua bulan lagi ulang tahun pacaran kita yang ke-enam dong.” Sahutku sambil membelai rambut Lusi.
“Iya. Dua bulan lagi kurang lebih. Tumben kamu ingat. Biasanya kamu pelupa soal ginian.” Ejek Lusi. Untuk yang satu ini aku benar-benar mati kutu karena aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Karena tahun kemaren aku lupa hari bersejarah buat kami itu dan tahun sebelumnya juga lupa. Hal tersebut sempat membuat Lusi ngambek tidak ngomong denganku selama seminggu.
“Tapi khan sekarang udah nggak lupa lagi sayang.” Rayuku sambil sekarang menurunkan tanganku membelai pundaknya dengan sesekali menyentuh buah dadanya yang masih terbalut baju tidur itu.
Lusi melihatku dalam-dalam. Dia bersandar di pangkuanku lalu dari mulutnya keluar kata-kata yang membuat diriku kaget. “Al, malam ini aku mau menyerahkan diriku kepadamu.” Katanya lirih dan seolah terkesan tersendat.
“Hah? Lus, kamu sadar dengan yang kamu omongkan barusan?” tanyaku mencoba meyakinkan dirinya dan diriku sendiri berharap ini bukan mimpi. Lusi menjawabnya dengan anggukan.
Aku tak habis pikir kenapa Lusi yang dulu mati-matian menjaga kehormatannya malah sekarang berinisiatif untuk menyerahkannya kepadaku. Aneh memang tetapi waktu itu aku tidak berpikir macam-macam dan menanggapi uluran tangannya untuk bercinta.
Akhir kata akhirnya kami berdua berciuman dengan mesranya diatas tempat tidur sementara pakaian kami nyaris tanggal semua. Entah siapa yang memulai pergumulan ini aku sudah tidak ingat lagi dan tidak peduli. Saat itu tubuh Lusi tinggal berbalut celana dalam saja sementara aku sudah telanjang bulat. Sembari aku memainkan buah dadanya yang menggelantung bebas itu kami berciuman dengan posisi Lusi diatas tubuhku.
Dalam hatiku aku bersorak gembira karena aku berhasil mendapatkan apa yang menjadi impianku selama ini. Lusi akhirnya bersedia untuk bercinta denganku. Tangannya yang lembut menggenggam batang kemaluanku dan mulai mengocoknya perlahan sementara dia mengarahkan kedua tanganku untuk menarik lepas celana dalamnya. Jemariku bisa merasakan kehangatan dan basah dibagian selangkangan Lusi. Gadis ini sudah terangsang berat pikirku.
“Ehmm…Al sayang.” Lenguhnya disebelah telingaku. Kata-kata yang singkat namun dapat membuat birahiku naik setinggi gunung. Celana dalam seksi milik Lusi lepas juga akhirnya.
Entah berapa lama sudah kami bergumul yang jelas waktu itu mulut Lusi sudah melakukan oral seks kepada batang penisku sementara aku sendiri menjilati klitorisnya. “Al, jangan! Disana kotor!” sergah Lusi namun tak kupedulikan. Vagina Lusi memang hebat, selain putih dan rapat, juga bersih dan tidak berbau. Aku sendiri cukup heran, apakah dia menggunakan perawatan tertentu.
“Akhhh…sayang…” desah Lusi untuk kesekian kalinya ketika klitorisnya tersentuh sapuan lidahku sementara buah dadanya yang ranum itu aku pilin-pilin putingnya.
Penisku mulai berkedut-kedut karena permainan mulut Lusi. Dengan segera aku membalikkan tubuh Lusi menjadi terlentang. Lalu dengan semangat membara dihiasi gairah seorang perjaka, aku mengarahkan batang kejantananku itu ke bibir kemaluan Lusi.
“Akhh…pelan sayang.” Pinta Lusi ketika ujung penisku membelah dan melesak masuk perlahan kedalam vaginanya. Perlahan aku menyodokkan penisku lebih dalam lagi dari sebelumnya. Memang sulit dan aku sendiri takut kalau Lusi terluka karena hal ini. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya separuh penisku sudah berhasil masuk kedalam vagina Lusi. Lusi hanya meringis menahan sakit sementara aku bisa merasakan kalau dari dalam vaginanya mengalir cairan hangat. Aku bisa memastikan itu adalah darah perawan Lusi.
Aku mencium bibir mungil Lusi dan kembali melakukan penetrasi yang lebih dalam. “Akhhh…sakit. Al pelannn…!” rintih Lusi ketika aku agak keras melakukan sodokan kedalam liang kewanitaannya. Dan akhirnya berhasil juga seluruh batang kejantananku tenggelam di liang kemaluan gadis cantik ini. Aku bisa melihat air mata mengalir dari kedua mata Lusi. Apakah dia menyesal? Aku tidak tahu dan tidak berani bertanya.
Keringat mengalir dari tubuh kami berdua. Lusi sendiri menampakkan wajah pasrah. Wajahnya mengarah kesamping dan tidak berani menatapku, mungkin karena dia malu atau apalah, aku tidak tahu pasti.
Perlahan-lahan aku mulai memaju mundurkan penisku yang sudah seluruhnya bersarang di kemaluan Lusi. Gadis ini sesekali merintih dan terasa otot vaginanya memberikan perlawanan terhadap sodokan penisku. Namun hal ini malah membuatnya tambah enak. Benar-benar nikmat pikirku lagi.
Dibuai oleh kenikmatan, aku tak sadar mempercepat laju pompaan penisku sehingga tanpa sadar membuat Lusi kesakitan. “Al…sakit…” rintihnya. Aku meminta maaf kepadanya karena aku lupa kalau ini adalah kali pertamanya berhubungan badan dengan pria. Lalu aku memelankan irama goyanganku.
Masih dalam posisi yang sama, man on top. Aku berusaha memutar-mutarkan penisku ketika berada didalam liang kewanitaan pacarku itu. Vagina Lusi seolah diaduk-aduk hingga otot-ototnya mengejang seolah memberi perlawanan. Kembali darah segar mengalir dari dalam vagina Lusi. Sekitar 8 menit kami bercinta hingga tanpa sadar aku mencapai klimaks dan menyemburkan seluruh spermaku didalam vaginanya. Aku panik juga karena takut karena kecerobohanku nantinya Lusi hamil walaupun aku tahu ini bukan masa suburnya. Tetapi ketakutan sudah terlanjur menjalar diseluruh tubuhku.
Aku ambruk disamping tubuh Lusi yang bersimbah keringat. Lusi tergolek lemas, sepertinya dia kehabisan tenaga pula. Lusi lalu memelukku erat-erat, “Al, aku cinta kamu.” Itulah kata-kata indah yang diucapkannya yang seharusnya aku dengarkan lebih baik dan kusimpan dalam hatiku sebelum semuanya berubah.
Dua bulan kemudian, disaat ulang tahun pertemuan kami yang keenam. Lusi memintaku untuk menemuinya disebuah café didekat travel agent tempat dia bekerja sekarang. Selama dua bulan ini memang kami menjadi lebih dekat dan setiap minggu aku lebih rajin menemuinya, kadang kala malahan aku mencuri kesempatan bolos kantor hanya untuk bertemu dengan Lusi. Memang kalau sudah cinta bisa mengalahkan logika. Apalagi sekarang Lusi sudah bersedia melayani hasrat seksualku kapanpun selama dia tidak sedang datang bulan. Entah berapa kali sudah kami berhubungan intim. Memang bukan sesuatu yang bisa aku banggakan karena aku hanya bertahan selama 5 menitan tiap kali bercinta dengannya. Mungkin karena dia adalah perempuan pertama yang aku ajak bercinta jadi aku kurang pengalaman.
“Sudah lama menunggu?” sapa Lusi dari belakang. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum. Aku terkesiap melihat raut wajah Lusi yang serius dan terlihat lain dari biasanya. Terpancar sebersit rasa sedih di wajah cantiknya. Aku bertanya-tanya ada apa ini sebenarnya.
Cukup lama juga kami ngobrol di café itu hingga tak terasa dua gelas kopi cappuccino habis kami tenggak. Pandangan Lusi yang tadi lunak sekarang mendadak berubah menjadi pandangan tajam kearahku. Walaupun Lusi kekasihku tetapi aku juga dibuatnya risih dengan pandangan itu.
“Ada apa Lus?” tanyaku padanya. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Apakah aku berbuat salah padanya atau dia sedang dalam masalah, atau apa?
“Al, minggu depan aku akan bertunangan.” Kata Lusi tiba-tiba. Seperti disambar geledek aku menjadi seperti patung yang tak bisa bicara maupun bergerak. “Maaf Al. Ayahku dan ibuku sudah menyiapkan acara pertunangan ini sejak 4 bulan yang lalu. Aku sendiri tidak mencintai calon pasanganku tetapi aku terpaksa karena mereka menjodohkanku.” Kata Lusi melanjutkan kata-katanya yang tadi.
“Hah! Tapi kamu khan bisa menolak Lus. Kenapa dengan kamu ini? Lalu bagaimana dengan hubungan kita?” cecarku padanya. Setitik air mata sempat terlihat keluar dari pilipis matanya namun segera dia hapus mungkin dia ingin terlihat kuat didepanku.
“Orang tua pria itu dulu adalah sahabat papaku. Sekarangpun dia selalu membantu orang tuaku dan ekonomi mereka sehingga perusahaan yang dimiliki papaku nggak hancur waktu krisis moneter tempo hari. Kalau bukan karena mereka mungkin kami sudah jatuh miskin dan lebih parahnya lagi kami tidak mampu membawa mama kerumah sakit saat mama terkena serangan stroke. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi karena ternyata biaya kuliahku juga orang tuanya yang membiayai namun ditutupi oleh orang tuaku sehingga aku tidak tahu.” Lusi terdiam sejenak, kali ini air matanya mengalir deras tanpa bisa ditutupi lagi. Aku paham walaupun hatiku sakit tetapi hati Lusi juga tidak kalah sakitnya dengan hatiku.
Akhirnya Lusi mulai menguasai dirinya kembali dan melap air matanya. Dia lalu menatapku penuh rasa cinta dan mencium bibirku lembut penuh kasih sayang. Bibirnya tersenyum manis sebelum dia beranjak meninggalkanku. Meninggalkanku dalam kesendirian di café itu, sendirian dalam hatiku dalam cintaku dan dalam perasaan kalutku. Tanpa sadar aku jadi terbayang wajahnya yang manis, senyuman ramahnya dan juga kelembutan cintanya. Entah kenapa hal tersebut menjadi lebih berarti daripada seks yang kuidamkan. Entah kenapa aku menjadi sangat merindukan hal itu sekarang.
Lusi….aku mencintaimu, bahkan waktu pertama kita berjumpa. Hanya saja aku tidak menyadarinya.
Aku hanya bisa terdiam dalam kegelapan hati ketika sebulan kemudian tepatnya 3 minggu setelah pertunangan Lusi, aku melihatnya bersama seorang pria yang kebapakan dan terlihat mapan, bergandengan memasuki pintu lift disebuah pusat perbelanjaan. Aku melihat senyum bahagia dari bibir Lusi. Apakah dia bahagia atau hanya menebar senyum palsu?
Ingin aku merangkulnya dan memeluknya, mengatakan kalau aku begitu mencintainya. Namun aku tidak sanggup melakukannya. Selamat tinggal kekasih hatiku. Lusi….