Tanpa menunggu persetujuan, aku berdiri meninggalkan mereka menuju ranjang, langsung telentang diatas ranjang bersiap menerima cumbuan, terutama Dion.
Harapan tinggallah harapan, yang muncul ternyata Pak Taryo, tanpa mempedulikan mimik kekecewaanku, dia langsung mencumbu dan menindih tubuhku, menciumi leher dan bibir, melumat habis hingga putingku terasa agak nyeri.
"Oh yess.. Fuck me harder.. Yess faster.. Faster" sayup sayup mulai kudengar jeritan Ana dari kamar mandi. Sebercak iri melintas dibenakku membayangkan Ana mendapat kocokan dari si bule dengan penis yang besar dan kemerahan itu, sementara aku sendiri hanya mendapatkan sopirnya yang tua dan jelek, rakus lagi.
Pak Taryo mulai menyapukan penisnya ke vaginaku.
"Non, aku sungguh nggak nyangka akan mendapat kesempatan seperti ini, bisa bersama non yang cantik, malah lebih cantik dari neng Ana" katanya seraya mulai memasukkan perlahan penisnya. Aku sama sekali tidak merasa tersanjung dengan pujian seorang sopir seperti dia.
Penis Pak Taryo mulai merasakan nikmatnya vaginaku, diiringi wajah tuanya yang menyeringai penuh kepuasan dan nafsu bak singa tua mendapat kambing muda. Begitu melesak semua, digenjotnya vaginaku dengan kecepatan penuh bak mobil tancap gas, tubuh tua itu menelungkup di atasku, terdengar jelas desah napasnya yang menderu dekat telinga, aku sama sekali tak bisa menikmati kocokannya, justru perasaan muak yang kembali menyelimutiku.
Dari dalam kamar mandi Ana berteriak semakin liar, ingin aku melihat apa yang tengah mereka lakukan hingga membuat Ana terdengar begitu histeris.
"Oh.. Yaa.. Come on, Mark can do more than this" terdengar disela desahannya Ana membandingkan Dion dengan orang lain yang aku sendiri tak tahu.
Aku lebih menikmati desahan dan jeritan Ana daripada permainan Pak Taryo yang tengah mengocokku dengan penuh nafsu, justru suara suara itu lebih membangkitkan birah. Kugoyangkan pantatku mengimbangi gerakannya, bukannya karena aku mulai bernafsu tapi lebih berharap supaya Pak Taryo cepat selesai dan aku bisa melihat permainan Ana dan Dion.
"Oh no.. No.. Pleasse.. Not my ass.." teriakan Ana menarik perhatianku, Dion memaksakan anal sex padanya, kudengar Dion berkata tapi terlalu pelan tak bisa kudengar apalagi dengus napas Pak Taryo tepat di telinga.
"Please.. Please don't, I never.. Aauuww.. Sshit.." lalu senyap tak terdengar lagi teriakannya, entah apa yang terjadi, apakah dia pingsan? Tak sempat aku menduga duga karena Pak Taryo sudah melumat bibirku tanpa menghentikan kocokannya.
"Oh shiit.. Bule edaan..my ass.. Ugh.. Ugh.." desah Ana kembali terdengar, rupanya Dion telah berhasil mem-perawani anus Ana, membayangkan penis yang besar itu keluar masuk lubang anusnya, birahiku kembali naik. Goyangan pinggulku semakin cepat, ingin segera kutuntaskan tugas berat ini dan aku yakin Pak Taryo tak bisa bertahan lebih lama lagi, apalagi dengan sedikit berpura pura mendesah nikmat.
Dugaanku benar, dari raut wajahnya tampak dia sudah dekat dengan puncaknya.
"Keluarin di luar aja" pintaku sambil pura pura mendesah, rasanya tak rela kalau vaginaku dikotori spermanya.
Tapi terlambat, belum sempat aku memperhatikannya lebih lanjut tiba tiba kurasakan tubuhnya menegang seiring denyutan kuat penisnya pada vaginaku, aku menjerit keras, bukannya nikmat tapi karena marah, sopir itu telah "mengotori" vaginaku dengan spermanya, sperma yang selama ini disemprotkan pada wanita murahan di Dolly atau tandes.
Aku tak sempat mendorongnya keluar karena tubuhnya sudah ditelungkupkan di atasku bersamaan semprotan hangatnya.
"Sialan.. Sialan.. Sialaan, dasar sopir tak tahu diuntung" gerutuku dalam hati sambil merasakan denyutan demi denyutan.
"Maaf non, habis tanggung sih, lagian non Lily membolehkan aku tanpa kondom, biasanya mereka selalu meminta pakai kondom" kata Pak Taryo setelah denyutan itu habis. Aku tertegun mendengar kalimat terakhirnya.
"Ya udah turun gih, berat nih nggak bisa napas aku" kataku menahan marah sambil mendorong tubuh Pak Taryo yang masih menindihku (saat menulis cerita ini, aku teringat kalau tubuh Pak Taryo mirip Mat Solar dalam sinetron Bajaj Bajuri itu).
Desah kenikmatan dari kamar mandi masih terdengar, segera aku beranjak menuju kamar mandi untuk melihat mereka. Kulihat mereka sedang melakukan dogie di lantai, tampak penis kemerahan itu keluar masuk lubang anus Ana yang tengah mendesah. Tampaknya Ana benar benar sedang melayang tinggi hingga tak menyadari kedatanganku, aku mendekat sambil berharap Dion mau menjamah dan berbagi gairah denganku.
Dion yang tengah mengocok anus Ana melihatku, dia menarik tubuh telanjangku dalam pelukannya, inilah pertama kali aku berpelukan dengan seorang bule, telanjang lagi. Maka akupun tak mampu menghindar saat bibir Dion mendarat ke bibirku dan bibir kamipun bertemu. Aku hanya tertegun tak membalas lumatannya, setelah tangan kekar Dion yang berbulu itu mulai menjamah dan meremas remas buah dadaku, barulah seakan tersadar.
Namun sebelum aku membalas kuluman itu, ternyata Ana menyadari keberadaanku, disela sela desahan kenikmatannya Ana masih sempat menghardik.
"Ly, stay away from him, don't even think about it"
Spontan Dion melepaskan pelukannya dan akupun menjauh melihat mereka dari pintu kamar mandi, rasanya birahiku terbakar hebat tanpa bisa berbuat apa apa, tanpa malu kupermainkan sendiri klitorisku, Dion hanya tersenyum melihat tingkah lakuku.
Beberapa menit berlalu, mereka belum juga selesai, malahan berpindah ke ranjang tempat Pak Taryo tadi melampiaskan nafsunya padaku. Aku sengaja duduk menjauh dari Pak Taryo sambil melihat Dion dan Ana bercinta, berbagai posisi telah mereka lakukan, namun belum juga terlihat tanda tanda menuju puncak, tapi aku yakin sekali kalau Ana telah berkali kali menggapainya. Dalam hati aku mengagumi Dion yang begitu jantan, baik penampilan maupun gaya bercintanya, kembali aku Iri pada Ana.
Ketika Ana sedang bergoyang pinggul di atas Dion, dia melihatku.
"Ly, sini" ajaknya untuk ikut naik diatas ranjang, akupun dengan senang hati menurutinya, akhirnya kesampaian juga untuk merasakan kejantanan Dion, pikirku.
Namun aku harus menelan sekali lagi kekecewaan pada detik berikutnya.
"Pak Taryo, kenapa duduk saja, tuh Lily sudah nganggur dan telah siap" kata Ana lalu melanjutkan goyangan dan desahannya.
Pak Taryo yang merasa mendapat angin segera menuju ranjang dan langsung menubrukku, tubuh telanjang kami kembali menyatu.
Selanjutnya kamipun memacu nafsu di arena yang sama, ranjang. Berulang kali kulihat Ana menatapku dengan sorot penuh kemenangan, dibiarkannya Dion menyentuh dan menjamah tubuhku, tapi tak sekalipun aku diijinkan untuk menyentuh pasangannya, sepertinya dia benar benar menikmati kemenangannya.
Ana dan Dion bercinta seperti tak ada hari esok, mereka benar benar liar, mungkin aku juga melakukan hal yang sama kalau mendapatkan pasangan seperti Dion, tapi kini yang kudapat adalah Pak Taryo, sopirnya.
Hingga akhirnya akupun menyerah kalah atas permainan Ana dan terpaksa harus kurelakan sperma Pak Taryo mencemari vagina dan rahimku dua kali lagi.
"Neng boleh tahu nggak kalau sama non Lily itu berapa ya bayarnya" kata Pak Taryo saat hendak keluar kamar.
"Ha? Udah sana sana pergi, yang jelas kamu nggak akan mampu sampai kapanpun" hardik Ana lalu mengusir Pak Taryo keluar kamar.
Sepeninggal Pak Taryo aku masih bersama mereka, sebenarnya berharap untuk mendapatkan sepenggal kenikmatan dari Dion, tapi hingga batang rokok kedua kuhabiskan sepertinya Ana tidak akan memberi kesempatan itu.
Sesungguhnya aku bisa saja meninggalkan mereka karena taruhan sudah terbayar tapi seberkas harapan masih menahanku untuk lebih lama tinggal bersama mereka. Kalaupun aku tak bisa mendapatkannya paling tidak bisa mengulum penis kemerahan itu atau paling tidak memegang dan meremasnya.
"Ly, aku mau tinggal sampai besok, terserah kamu mau disini atau pergi, tapi jangan harap aku membagi Dion dengan kamu, karena pasti aku kalah kalau harus bersaing denganmu, seperti yang sudah sudah" kata Ana menggoda.
Daripada menjadi penonton pasif, maka kuputuskan untuk meninggalkan mereka. Lebih baik aku mencari tamu lagi, toh masih belum terlalu malam. Aku bertekad untuk melayani tamuku nanti dengan penuh gairah, beruntunglah tamuku malam ini karena akan mendapat bonus sampai pagi, akan lebih baik kalau bisa 2 in 1 atau bahkan 3 in 1, sekedar pelampiasan birahi, bila perlu bercinta sampai pagi.
Kutinggalkan mereka diiringi jeritan kenikmatan Ana saat penis Dion sudah kembali keluar masuk lubang anusnya.
Dalam 2 hari ini aku telah mengalami kejadian yang luar biasa, kemarin telah memecahkan rekor untuk melayani laki laki dalam sehari dan berbuat liar seperti pelacur jalanan. Hari ini aku harus melayani seorang sopir dan mulai membayangkan nikmatnya bermain dengan seorang bule seperti Dion.
Ketika aku melintasi area parkir, kulihat Pak Taryo duduk bergerombol dengan rekan sesama sopir di pojok, kupanggil dia.
"Kalau kamu ngomong macem macem pada siapa saja, awas!!" ancamku, dia hanya manggut manggut.
Sambil menyusuri jalanan malam kota Surabaya, kuhubungi beberapa GM untuk menanyakan orderan, ingin kulampiaskan birahiku segera dengan satu, dua atau bila perlu tiga laki laki sekaligus seperti yang sudah kualami sebelumnya.
Tamat
Home » pesta seks » Lily Panther : Tantangan - 10