Gairah sesama jenis - 2

Bookmark and Share
Jemarinya bergerak melepaskan kaitan bra sport di punggungku. Lalu penutup dadaku itu terlepas dan terlempar jauh menyusul kaosku tadi. Ira melepaskan tubuhku yang kini tersandar lemah di dinding kaca yang dingin. Matanya menatap tubuhku yang bagian atasnya telah terbuka. "Sari.. kamu indah sekali.." Aku hanya diam menatapnya dengan sayu. Aku mencoba tersenyum dan menegakkan berdiriku. Ira memegang pinggangku dan menyuruhku berbalik menghadap ke dinding kaca. Karena di halaman lebih gelap daripada di dalam ruangan, aku dapat melihat bayangan tubuhku. Semampai dan ramping. Aku juga melihat bayangan Ira di kaca itu, telanjang dada. Ia berlutut di belakangku, memeluk paha kananku dan menyingkapkan sedikit rok miniku ke atas. Aku terus melihatnya mengagumi dan mengusap-usap tungkai jenjangku yang senantiasa kurawat dengan baik. Diusapnya, dibelainya dengan penuh perasaan. Uh, rasanya geli sekali ketika Ira menjalankan lidahnya di paha sebelah dalamku. Kegelian yang tak tertahankan menyerangku ketika Ira memainkan jari-jari lentiknya pada celana dalamku, menggosok dan mengusap kewanitaanku yang masih terbungkus celana dalam.

Aku menggeliat dan menggelinjang, kakiku terasa sulit menahan berat tubuhku, hingga aku harus tersandar pada dinding kaca lagi. "Ohh.. Mmmbak Iraa.." Rintihku menahan geli dan birahi. Ia segera melepaskan jarinya dari celana dalamku yang kini mulai sedikit lembab. Tangannya mengurut-ngurut betisku, pahaku, dan pinggulku. Lalu ia kembali berdiri dan membalikkan tubuhku kembali menghadapnya. Kami saling pandang sebentar sebelum ia memegang kedua pergelangan tanganku dan menariknya serta memeganginya menempel dinding kaca. Aku terdiam. Kedua tanganku terentang ke samping dan dipeganginya. Kedua payudaraku terpampang membusung ke hadapan Ira, bersentuhan dengan kedua pangkal payudaranya yang juga ramping, kencang dan indah. Ia mendekatkan bibirnya ke dadaku, dan aku dapat melihatnya menjilat-jilat bongkah payudaraku, dibasahinya dengan lidahnya hingga akhirnya mulutnya yang mungil menangkap pentil susuku yang kiri.

"Ahkk.. Mbak Iraa.." Ia menjilat-jilat kecil, menghisap lembut, dan menggigit-gigit kecil pada pentilku bergantian yang kiri dan kanan. Membuatku meringis menahan geli yang luar biasa. Gempuran rasa geli dan birahi yang amat sangat. Aku tak mampu lagi terdiam, nafasku serasa tersengal-sengal, aku tak mampu menggerakkan kedua tanganku yang dicengkeramnya erat-erat di dinding kaca. Di sela perbuatannya, ia bertanya,
"Gimana rasanya Sari sayang?"
"Ngg.. Mmbak.. ggelii sekali.. mmhh.."
"Merintihlah, Sayang, mengeranglah, aku pengen dengar suara kamu."
Lalu Ira semakin liar menjilat dan melumat-lumat puting-puting susuku yang kini telah memerah dan mengacung tinggi. Aku merasa lemas dan sulit bernafas karena serbuan birahi yang sudah tak mampu lagi aku tahan-tahan.
"Merintihlah, Sari.."
"Aduhh.. Mmbaakk.. offhh.."
"Gimana rasanya, sayang?"
Ia meracau terus menyuruhku merintihkan kegelianku sambil terus saja menjilat, melumat, dan mengulum-ngulum kedua putingku yang semakin terasa geli dan sedikit ngilu karena sudah begitu tegang namun terus dilumatnya. "Ohh.. enaakk sekali Mbakk.."

Tangannya kini melepaskan tanganku, dan kembali menyerang celana dalamku di balik rok miniku yang telah tersingkap ke atas. Disibakkannya celana dalamku ke samping, lalu jemari lentiknya pun dengan bebasnya mengusap dan menggosok kewanitaanku. "Agghh.. Mmmbakk.. Aaaku nggak tahann.." Aku mengerang dan menggeliat tak karuan merasakan kewanitaanku diucek-uceknya hingga terdengar suara seperti berkecipak air. Cairan pelumas telah berleleran cukup banyak dari situ, membasahi celana dalamku, membasahi rambut-rambut kemaluanku. Tak mampu lagi berdiri, aku rebah ke lantai ruang tengah itu. Terlentang menyerahkan tubuhku. Ira segera melucuti semuanya. Hingga tubuhku kini tak lagi tertutupi apa-apa. Begitu juga tubuhnya. Ia membaringkan tubuhnya di sampingku, memelukku erat, dinginnya lantai terasa kontras dengan kehangatan tubuhnya. Wajahnya tampak bersemu merah menahan birahi yang dari tadi ingin dilampiaskannya padaku. Dikulumnya bibirku, dijilatinya leherku. Paha kami saling berkempitan, hingga aku dapat merasakan kelembaban dan basahnya kewanitaan Ira pada pahaku.

Sementara aku kian tak mampu menahan rasa geli yang luar biasa karena pahanya sedang menggosok bibir-bibir kewanitaanku.
"Sar, gerakkan paha kamu, yang.. berikan padaku."
"Ohh.. Mbak.. Mbak Ira cantik sekali.."
"Kamu juga Sari, uhh.."
Paha kami saling menggosok kewanitaan masing-masing, rasanya sangat nikmat. Perasaanku tak karuan lagi, antara rasa nikmat, geli, dan kagum pada keindahan tubuh Ira yang kini menghimpit tubuhku dengan hangatnya. Gerakan kami kian liar, meski posisi itu melelahkan, namun kami tak peduli. Makin cepat kugesekkan pahaku pada kewanitaannya, makin keras pula kurasakan getaran pahanya pada kewanitaanku. Sedikit sakit dan ngilu, namun birahi kami mengalahkan segala rasa sakit.

Dengan gemas ia meremas susuku dengan kencang namun lembut, makin membuatku melayang-layang lupa daratan. Kujilati lehernya yang jenjang sempurna, kugigit. Ia juga melakukan hal yang sama pada pundak dan leherku, jari-jarinya menarik dan memilin-milin pentil susu kananku sementara payudara kiriku berhimpitan dengan payudaranya.
"Ohh.. Ssarii.. aaku hampirr.."
"Aduuh, Mmbakk.. aku juga.."
Kami bergerak semakin cepat, pelukan kami semakin erat. Mataku terpejam, aku seperti mendengar rintihan dan erangan kami memenuhi ruangan, begitu pula aroma kewanitaan kami. Keringat dingin membasahi tubuh telanjang kami, paha kami terus menggesek kewanitaan kami, kenikmatan terasa bergulung-gulung mendekati tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi, namun tiba-tiba tubuh Ira meregang dahsyat, ia mencengkeram tubuhku erat-erat, gerakannya terhenti. "Sarii.. Aaahhgg.." Gelombang orgasme telah melanda jiwanya, wajahnya tampak sayu dan meringis menahan kenikmatan yang luar biasa, ekspresinya itu memberikan sensasi yang luar biasa padaku, aku seperti teraliri listrik lain, menyengat seluruh tubuhku, aku merasakan otot-otot kemaluanku menegang, tubuhku meregang disengatnya.

Kenikmatan menyambar tubuhku, keras sekali merenggut kesadaranku untuk sesaat. "Aduhh.. Mbakk.. Ohh.." Aku memejamkan mata, menghayati perasaan itu. Nikmatnya terasa melambungkan tubuhku, aku tak lagi sadar bahwa aku sedang merengkuh erat tubuh sahabatku, sesama wanita. Semuanya terasa hangat, panas, mataku agak berkunang-kunang, lalu untuk beberapa saat semuanya gelap. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang bermuara dari kewanitaanku, serta hangatnya tubuh indah Ira yang erat memeluk tubuhku.

Beberapa menit kemudian aku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa ngilu dan pegal. Aku terbaring tanpa busana di lantai ruang tengah rumah Ira. Aku mencoba untuk mengangkat kepalaku yang terasa berat, mendudukkan tubuhku. Kakiku terasa kejang dan ngilu. Aku tersandar di dinding kaca. Melihat seluruh ruangan, dan mendapati tubuh Ira, teronggok lunglai di hadapanku. Keindahan tubuh itulah yang baru saja aku hangatkan, dan memberikan kehangatan pada tubuhku. Ira tampak terlelap dalam alam birahinya. Aku mengangkat tubuhku dengan susah payah, kedua tungkai jenjangku mencoba menahan berat tubuhku. Aku melihat bayangan pada dinding kaca. Menatap wajah dan badanku sendiri. Bekas-bekas gigitan berwarna merah kecokelatan tampak pada pundak, leher, dan seputar pentil susuku. Di bawah perutku yang langsing tampak rambut-rambut ikal yang kini seperti keriting karena terkena cairan kenikmatan yang mulai mengering.

Lalu kutatap wajahku sendiri. Ada perasaan yang aneh. Perasaan bersalah, perasaan bingung. Setelah petualangan bertahun-tahun dengan belasan pria. Baru kali ini aku melakukannya dengan sesama wanita. Tadi memang aku merasakan keindahan dan kenikmatan tiada tara. Tapi kini, ada rasa yang aneh. Rasa tidak enak pada diriku. Terlebih lagi, aku melakukannya dengan sahabatku Ira. Yang lebih tua, yang selama ini aku hormati dan hargai.

"Sari.." Rupanya Ira telah tersadar dan melihatku sedang menyesali diri di hadapan kaca. Ia masih terbaring telentang dengan indahnya di tempatnya. Namun ia kini mulai berdiri dengan gontai. Dipeluknya tubuhku dari belakang. Bukan pelukan birahi, bukan pelukan penuh nafsu, namun pelukan seorang kakak.
"Sari, maafin aku, ya?"
"Nggak apa-apa Mbak, Aku cuman merasa bersalah aja."
"Karena apa? karena itu aku? atau karena itu sesama wanita?"
"Bukan Mbak, tapi karena aku sendiri."
"Nggak usah kamu sesali, Sari. Kita melakukannya karena menginginkannya. Bukankah itu yang selalu kamu omongin pada semua orang?"

Untuk sesaat aku tersentak mengingat kata-kata yang pernah aku ucapkan sendiri dengan bangga pada semua orang itu.
"Aku sayang kamu, Sari."
"Ngg.. Aku juga, Mbak. Tapi.. ini berbeda."
"Iya, aku tahu. Kamu memang bukan sepertiku."
"Maksud Mbak.. aku benar-benar straight?"
"Yup! Straight as an arrow. Petualanganmu tidak mengubah hatimu. Kamu tetap Sari yang dulu, yang lucu, yang lugu, dan serba ingin tahu."
Aku mencoba tersenyum mendengar kata-kata Ira. Mungkin ia benar. Mungkin sudah waktunya petualangan ini diarahkan untuk mencari yang tepat. Bukan lagi untuk mencari kesenangan atau perasaan menang. Bukan lagi untuk meniti jenjang karir. Bukan lagi untuk mencari perasaan menaklukkan.

"Sari, ingat tidak, waktu kamu bilang, bahwa sebebas-bebasnya kamu bertualang, kamu tidak akan pernah merugikan orang lain, atau merusak rumah tangga orang lain?"
"Iya.. aku ingat."
"Aku yakin, dibalik keliaran kamu selama ini, kamu sebenarnya hanya sedang mencari yang terbaik buat diri kamu."
"Jadi?"
"Jadi.. well.. hiduplah dengan wajar seperti semula. Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita barusan. Anggap saja ini sebagai ugkapan persahabatan. Seperti yang sering kamu lakukan dengan teman-teman priamu."
"Aku tidak tahu lagi, Mbak. Mungkin selama ini aku hanya mencari kesenangan aja. Mencari kepuasan. Dan bukannya mencari yang terbaik seperti yang Mbak barusan bilang."
"Aku ngerti. Apakah yang kita lakukan barusan ini akan mengubah kamu? Kalaupun iya, seberapa lama?"
"Aku benar-benar tidak tahu Mbak."

Ira mebalikkan tubuhku menghadapnya, lalu memelukku. Kehangatan tubuhnya tak lagi terasa seperti membakar birahi. Namun seperti kehangatan seorang ibu, yang sudah lama tidak pernah aku rasakan sejak orang tuaku meninggalkanku di sebuah panti terkenal di kota ini, tempat aku pertama kali mengenal Ira.
"Dengar, Sari.. Lakukan yang kamu rasa terbaik. Untuk orang tertentu, Cobalah untuk melibatkan cinta, melibatkan kasih sayang, tidak hanya berorientasi kenikmatan, kepuasan, atau karir."
"Hmm.. aku akan coba, Mbak.."
"Tapi, kalau untuk sekedar memberimu rasa senang.. well, I think it'll be OK to do it just for fun! Just like we did just now!"
Kami tersenyum, lalu kembali tertawa, suasana kembali mencair.
"Sari, nothing can change you but yourself. Ikuti aja kemana pikiranmu membawamu. Selama kamu pikir itu akan memberimu kemajuan, lakukanlah, kalau tidak, ya.. pikirkanlah lagi."
"OK, Mbak. Aku akan mencari yang terbaik. Tapi kalau lagi pengen.. well.. yaah.. boleh kan kalau kadang-kadang nelfon Mbak Ira lagi?"

Kami tertawa-tawa lagi, meski di dalam kepala ada rasa haru mengingat kembali betapa para pengasuhku menaruh harapan besar padaku, untuk menjadi yang terbaik. Cukup lama kami berpelukan sebelum kami mandi dan berpakaian, sampai akhirnya beberapa sahabat tiba di rumah Ira, untuk makan malam. Sampai semuanya pulang, aku berpamitan dengan Ira. Dan dia mengecup bibirku, lalu berkata.
"Sari.. thanks yah. Yang tadi itu.."
Ira mengedipkan mata kirinya, kami tertawa-tawa kembali. Lalu aku mengemudikan kembali Katana hijauku ke apartemenku, istanaku. Tempat dimana si pemburu beristirahat dan menggantung senapannya. Sebelum keesokan hari membidik sasaran baru. Sambil berharap suatu saat akan menemukan yang terbaik.

Tamat