Petualang cinta - 1

Bookmark and Share
Suasana kantor pada hari Jumat jam setengah empat sore kali ini hampir tidak berbeda dengan biasanya. Dari ruang pribadiku terdengar hiruk pikuk teman-teman sekerja yang bersiap-siap pulang, canda ria yang terdengar lepas, dan tulat tulit ponsel mereka yang sudah mulai ditelepon dari rumah untuk rencana week end. Seperti biasanya juga, aku pulang agak terakhir. Bukan karena rajin, tapi karena aku malas mengemudikan Katana hijauku dalam antrian panjang berkelok-kelok yang memenuhi gedung parkir pada jam-jam segini. Aku tetap duduk di kursi kerjaku, mengerjakan beberapa hal untuk persiapan hari Senin nanti, agar hari Mingguku bisa terasa lebih bebas. Setelah aku rasa cukup, aku membuka-buka beberapa situs favoritku di internet, seperti FriendFinder, nba.com, dan lain-lainnya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
"Yak, masuk Nov!" kataku singkat. Pintu terbuka, dan masuklah Nova, seorang teman kerja yang waktu itu baru diangkat menjadi asistenku.
"Kok tahu kalau aku?" tanyanya keheranan sambil menutup pintu kembali.
"Yah.. siapa lagi kalau bukan kamu?" jawabku tanpa memberitahunya kalau aku sudah hafal pola ketukannya yang agak lebih keras dibandingkan teman-teman lain.

Wanita itu meletakkan tas kerjanya di sofa putih di seberang ruangan lalu mendatangi meja kerjaku sambil matanya sesekali melirik kesana-kemari untuk mencari benda-benda aneh baru yang memang sering kupajang di situ. Ketika matanya menemukan sebuah album foto di meja samping, ia lalu membelokkan arahnya ke situ dan mencomotnya. Dalam hati aku tertawa geli melihat tingkahnya yang agak kekanak-kanakan meski usianya hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Kini ia mengamati foto-foto itu dengan mimik serius, sementara aku mengamati dia.

Nova adalah seorang mantan atlet yang bentuk tubuhnya terpelihara dengan baik meski warna kulitnya agak kecoklatan karena dulu sering diterpa matahari. Wajahnya cukup manis menurutku, sementara pakaian-pakaian yang menempel di badannya selalu mengikuti apa yang kupakai, ia juga selalu mengikuti ke mana aku pergi, dan melakukan apa yang aku lakukan. Pendeknya, di mana ada Sari, di situ ada Nova, entah dalam bisnis atau just for fun, singkatnya, dia seorang sidekick sejati buatku. Ia adalah seorang petualang baru yang memilih menjadi petualang karena kebetulan ia sangat dekat denganku.

Agak merasa berdosa juga aku, jika mengingat saat pertama ia datang ke kantor memenuhi iklan lowongan koran. Waktu itu aku sendiri yang mewawancarainya, dan waktu itu ia tampak masih lugu dengan kacamata berbingkai hitam tebal dan rambut panjang sebahu serta pakaian yang.. well.. konvensional. Namun sekarang? Dari tempat dudukku aku bisa mengamati posturnya yang semampai (sekitar 170-an lah) dan berbahu bidang itu sedang berdiri di sisi ruangan dengan terbungkus setelan pakaian kerja Escada merah menyala yang elegan namun terkesan seksi. Kacamata berbingkai tebal juga sudah digantikan dengan contact lens coklat, sementara rambut ikalnya kini dipotong persis seperti rambutku, pendek seleher dan simpel. Untung saja rambutku lurus, hingga masih tetap ada bedanya.

"Ini foto waktu kapan, Mbak?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Oh, pas SMA", jawabku singkat.
"Kenapa emang?"
"Mbak Sari yang mana?" tanyanya balik dengan tetap mengamati album foto itu dengan mimik serius.
"Yang mana, hayoo?" Godaku sambil mematikan Macintosh dan beranjak berdiri dari kursi kerjaku.
"Yang ini ya?" tanyanya sambil menghadapkan album foto itu padaku dan menunjuk sebuah foto.
"Iya, yang itu", jawabku sambil membenahi tas kerjaku.
"Cantik 'kan?"
Kata-kata terakhir itu tadi mendapatkan jawaban berupa ekspresi mengejek dari wajahnya.
"Norak, ah!" katanya sambil menutup album itu dan melemparnya kembali ke meja.
"Kaki kepanjangan gitu masa pakai celana kependekan, apa nggak malah berkesan kerempeng?" lanjutnya lagi, yang kubalas dengan sebuah tinju agak keras di lengannya.

Kami lalu tertawa-tawa sambil menanti jam bergeser ke pukul setengah lima, supaya perjalanan mobilku lancar di gedung parkir. Nova menceritakan padaku tentang masa-masa hidupnya sebagai atlet, tentang latihan-latihan fisik yang dilakukannya, dan hal lain yang terkesan macho dan terlalu dibesar-besarkan. Sementara aku dengan tak kalah membual juga menceritakan tentang latihan yang kualami pada saat aku tergabung dalam sebuah klub basket.

"Eh, gimana rencana malam ini?" tanya Nova di tengah pembicaraan.
"Aku belum ada rencana lebih jauh", jawabku.
"Kamu ada rencana apa?"
"Yahh.." desah Nova panjang sambil merentangkan kedua tangannya dan menggeliat malas.
"Aku sih pengen jalan-jalan."
"Jalan-jalan apa jalan-jalan?" tanyaku dengan nada menggoda.
"Hmm.." Nova terdiam agak lama.
"Pengennya ya jalan-jalan biasa, tapi kalau nanti ada hasilnya, yah, nggak apa-apa kan?"

Pembicaraan terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada topik kesenangan wanita, yaitu membicarakan orang lain. Kami membicarakan seorang kawan yang kebetulan sering bekerja sama dengan perusahaan kami.
"Mbak Sari, kalau Mbak Ida itu orangnya gimana?" tanya Nova sambil mengamati pemandangan dari jendela lantai tujuh ini.
"Apanya yang gimana?" tanyaku balik sambil mengenakan blazerku kembali dan bersiap-siap pulang.
"Dia kan single", jawab Nova.
"Apa dia juga.. hmm.. seperti Mbak Sari?"
"Hihihi", aku tertawa kecil mendengar tuduhannya itu.
"Not really", lanjutku sambil mematikan lampu dan mencolek lengan Nova agar mengikutiku keluar ruang kerja.

Karena gedung parkir sudah lumayan kosong, Katana hijauku dengan bebasnya meninggalkan gedung kantor itu. Nova menumpang di mobilku, agar nanti bisa keluar jalan-jalan bareng, katanya. Tapi however kami masih belum punya tujuan yang jelas, hingga kami berputar-putar saja di daerah itu. Sempat terpikir untuk mampir ke Kafe Jendela tempat beberapa kawan sering nongkrong, tapi karena masih terlalu sore dan sepi, akhirnya nggak jadi. Sempat juga ada ide untuk mampir ke Colors Pub, tapi sekali lagi karena masih terlalu sore, kami mengurungkan niat itu.

"Nov, kamu tadi kok nanya tentang Mbak Ida kenapa?" tanyaku karena tidak ada topik yang dibicarakan.
"Nggak apa-apa sih", jawabnya sembari menggosok lensa sunglasses Gucci-nya dengan ujung baju.
"Just curious."
"Dengar-dengar.. dia orangnya nggak normal, yah?" tanya Nova lagi.
"Maksudmu dia sinting?" tanyaku balik, menghindari membicarakan kejelekan orang dengan cara mengambil ekstrimnya.
"Nggak gitu sih", jawab Nova tetap dengan mimik serius.
"Kata orang, dia nggak suka sama cowok."
"Kalo emang iya, kenapa? Dan kalo enggak, apa kamu nggak malu gosipin orang?" jawabku diplomatis.
Nova tertawa kecil mendengar sindiran itu.

"Aku cuman pengen tahu", jawabnya tak kalah diplomatis tapi masih amatiran.
"Kalo emang ternyata iya, apa kamu lantas mau nyoba kencan sama dia?" tanyaku to the point.
Wajah Nova tampak menunjukkan ekspresi aneh, perpaduan antara jijik dan mendapat inspirasi.
"Gini deh, daripada kita ngomongin orang, gimana kalau kita mampir ke rumah dia", jawabku sambil menyalakan lampu sen untuk belok kiri, karena Katana hijau kini telah sampai di depan rumah orang yang kami bicarakan.
"Lho, lho, lho! Mbak! Jangan doong!" Rengek Nova ketika Katana hijau kuparkir di depan rumah besar dengan design aneh itu. Aku tidak mempedulikan rengekannya karena setengah jengkel. Aku hanya membuka pintu dan keluar dari mobil, meski sambil merengek dan menggerutu tidak jelas, Nova ikut turun juga.

Sampai ketika aku memencet bel pintu, Nova masih juga tampak tidak tenang. Ia berkacak pinggang sambil melihat ke langit yang kini berwarna ungu bercampur oranye. Rumah yang kami kunjungi itu terletak di tepi sungai kecil dengan lingkungan tertutup yang dipenuhi pohon-pohon besar (Dan para pembaca yang berasal dari kota S akan berpikir-pikir, kira-kira di mana letaknya, ya kan?) sehingga suasana jadi agak remang-remang dramatis. Seorang pembantu pria berwajah Maluku berbadan tegap keluar dari balik pintu dalam dan kembali masuk setelah aku menyebutkan nama orang yang kucari. Pintu kembali terbuka, tapi bukan si pembantu yang keluar, melainkan seorang, eh seekor anjing St. Bernard, sebesar meja makan.

"Aduh, Mbak.. ada anjingnya, pulang aja yuk!" seru Nova merasa mendapat alasan. Aku hanya memandangi wajah Nova dan wajah anjing itu bergantian, lalu menunjuk ke anjing yang kini menatap wajah Nova sambil menjulurkan lidah dan mengibas-ngibaskan ekor.
"Tuh lihat!" kataku.
"Dia menyukai kamu, jadi nggak ada masalah."
"Hm.. masa sih?" tanya Nova sambil berlutut dan mengamati wajah anjing yang berekspresi lugu agak bodoh itu dari balik pagar. Si pembantu muncul dan membukakan gerbang pagar yang terbuat dari kayu berat berlubang-lubang di sana-sini itu. Kami melangkah masuk. Aku melangkah dengan tenang, sementara Nova melangkah agak gelisah sambil sesekali melihat ke arah anjing besar yang kini berjalan mengikutinya. Besar sekali memang, tingginya saja hampir sepinggang kami. Si pembantu lalu mempersilakan kami duduk di kursi beranda, tentu saja dengan ditemani St. Bernard besar itu, yang kini duduk bersimpuh di lantai memandangi Nova dengan ekspresi yang seperti tadi, lugu setengah bodoh.

Nuansa rumah itu memang agak mendirikan bulu tengkuk bagi orang yang belum pernah mengunjunginya. Pagarnya terbuat dari kayu berwarna gelap yang terkesan berat dan tertutup. Pekarangannya yang tidak terlalu luas ditutup dengan paving block yang dicat cokelat gelap, senada dengan tembok rumah yang juga berwarna maroon gelap. Bangunannya sendiri mungkin cukup bagus, bangunan tua dengan arsitektur kolonial, namun sentuhan seni kontemporer di sana-sini membuatnya tampak aneh. Bayangkan saja, lampu temaram yang menempel di dindingnya berbentuk kepala wanita yang melotot, asbak di meja beranda pun berbentuk kepala seorang bayi (atau tuyul?) yang mulutnya menganga lebar. Perpaduan yang agak aneh karena meja dan kursi berandanya berwarna hijau tua dan berbentuk ukiran Jepara klasik. Di sudut beranda juga terdapat beberapa patung kayu ukiran Bali yang menggambarkan dua orang wanita tanpa busana sedang saling mencekik.

"Angker ya, rumahnya?" celetuk Nova yang rupanya juga mengamati situasi.
"Yah, tapi dia satu-satunya designer yang setuju dengan harga yang kamu tawarin!" jawabku mengingatkan Nova.
"Hm, iya ya. Mbak Ida partner kantor kita", gumam Nova.
"Apa nggak sebaiknya nanti kita ngomongin kerjaan aja?"
"Alaa, udahlah, sekarang Jumat malam", jawabku jengkel.
"Lagian kan kamu pengen kenal lebih jauh sama dia?"
"Siapa yang pengen kenalan sama aku?" tanya suara berat seorang wanita yang terdengar tiba-tiba dari samping beranda.

Nova dan aku sempat agak terjingkat karena kaget oleh suara Mbak Ida yang memang berat itu. Wanita berusia 30-an itu telah berdiri di samping beranda dan mengelus-elus kepala anjingnya. Meski usianya agak lebih tua dariku, Mbak Ida memiliki postur tubuh yang terjaga. Tidak seperti Nova dan aku yang meski ramping tapi terkesan lebar dan bidang, postur tubuh Mbak Ida cenderung tidak nampak lebar. Tingginya kurang lebih 160-an, dengan proporsi yang lebih panjang di kaki. Kulitnya agak gelap dan bentuk tubuhnya padat tapi khas wanita dengan dada yang agak membusung. Sore itu ia mengenakan sejenis kimono berwarna coklat gelap yang belahannya agak rendah hingga kami dapat dengan jelas melihat belahan dadanya. Rambutnya yang lurus dan panjang sebahu dicat merah. Merah beneran, merah bendera, bukan merah brunette. Wajahnya cantik namun matanya terkesan misterius di bawah alis yang hampir tidak ada rambutnya.

"Ini, si Nova yang pengen kenalan sama Mbak Ida."
"Lho, kan udah kenal?" jawab Mbak Ida sambil menjabat tangan Nova yang malu-malu dan agak gemetar.
"Ayo masuk!" seru Mbak Ida mempersilakan kami masuk.
"Bas, kamu jaga di luar ya!" serunya, kali ini ditunjukkan ke si anjing.
"Mbak, nama anjing kamu siapa sih?" tanyaku ingin tahu.
"Lubas Herera", jawab Ida singkat sambil membukakan pintu ke ruang tamu.
Aku hanya memandangi anjing dan pemiliknya bergantian, setengah heran karena jarang ada anjing yang punya nama belakang.

Suasana ruang tamu yang amat luas itu berbeda 180 derajat dengan beranda dan pekarangan yang gelap dan misterius. Dinding ruang tamu berwarna putih cerah, lantainya juga terbuat dari keramik putih. Sementara perabotannya bergaya modern, terbuat dari pipa-pipa besi berlapis chrome mengkilat dengan bantalan-bantalan kursi biru cerah. Satu-satunya hiasan dinding adalah jam yang tepinya terbuat dari ban penyelamat kapal berwarna merah terang bergaris putih, dan jarum jamnya juga berwarna merah terang, kontras dengan nuansa ruangan yang biru-putih. Tidak ada coffee table (meja tamu), yang ada hanya sebuah meja makan di tengah ruangan yang kakinya terbuat dari pipa-pipa mengkilat dan mejanya sendiri dari kaca dengan bentuk yang tidak simetris, seperti sirip ikan hiu. Di sudut ruangan terdapat tiga buah komputer Macintosh yang casing dan monitornya berwarna biru transparan, semuanya masih menyala dan screen savernya berbeda-beda, di monitor paling kiri ada huruf I yang berputar-putar, di monitor tengah huruf D, dan di monitor paling kanan huruf A, ketiganya membentuk huruf nama pemiliknya, benar-benar nyentrik, pikirku.

Sementara dinding belakang dari ruang tamu ini bukan tembok, melainkan kaca yang menghadap ke sebuah kolam renang kecil berbentuk pisang. Yang paling aneh adalah dinding dan dasar kolam renang itu tidak polos seperti umumnya kolam renang, melainkan dipenuhi sebuah anime yang dibelit gurita. (Setelah diamati lebih jauh, ternyata bukan gurita, melainkan kejantanan pria yang jumlahnya banyak dan panjang-panjang seperti ular melilit badan wanita-wanita tanpa busana itu).

"Yah, ginilah rumahku", kata Mbak Ida memecah keheningan.
"Gimana?"
"Hm.. bagus, bagus sekali", jawab Nova mengangguk-angguk tanpa mampu menyembunyikan ekspresi gugup setengah takut.
"Berbeda sekali dengan waktu aku ke sini pertama dulu", jawabku sambil mengamati jam dinding aneh yang kuceritakan tadi.
"Iya dong Sar", jawab Mbak Ida.
"Kami kan tipe pembosan, kaya kamu!" lanjutnya penuh arti.

Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk sirip hiu itu, menghadap ke beberapa gelas sirup yang dihidangkan si pembantu yang tadi membukakan pintu. Nova tak henti-hentinya memandangi rambut Mbak Ida yang dicat merah menyala itu, sementara aku sendiri berusaha untuk tidak menunjukkan ekpresi heran, takut dia tersinggung.

"Nah, ada apa ini kok kemari? Ada order lagi yah?" tanya Mbak Ida mengawali pembicaraan setengah bercanda.
"Ah, enggak, hanya nggak ada acara aja sore ini", jawabku sambil menyeruput minuman di gelas berbentuk kepala Miki Tikus. Agak kaget juga aku ketika minuman di gelas itu menyembulkan sedikit aroma alkohol, aku hanya meneguk sedikit saja karena aku memang tidak suka minuman yang memabukkan. Aku melirik ke Mbak Ida sambil mengangkat alis kiriku.
"Apa nih minumannya?" tanyaku dengan mata menuduh namun masih terkesan ramah.
"Oh, iya!" jawab Mbak Ida dengan ekpresi datar.
"Aku lupa kamu nggak minum."
Mbak Ida lalu berjalan ke dispenser di sudut ruangan dan menuangkan segelas air putih untukku. Ketika ia berjalan meninggalkan meja makan, aku melirik ke arah Nova.
"Nov, kalau nggak suka nggak usah diminum, lho", bisikku mencegahnya.
"Hmm?" tanya Nova sambil melihat ke arahku dan meletakkan gelasnya yang telah kosong ke meja. Ah, ya sudahlah. Aku mengurungkan niatku mencegah Nova meminum minuman aneh itu.

Bersambung . . . .