Lily Panther 07 Sayap-Sayap Tak Berkepak - 2

Bookmark and Share
Pengalaman serupa kembali terulang ketika aku menemani Pak Ari, orang penting di jajaran Angkatan Laut di Armada Timur yang berpusat di Surabaya, ARMATIM.

Diantar Om Lok dan seorang Chinese yang aku tak kenal, kami menyusuri jalanan Surabaya menuju Hotel Majapahit yang terletak ditengah kota. Seorang pejabat penguasa kota Jakarta adalah tujuan kami, sebenarnya bukan dia yang minta tapi Yongki, si Chinese, berhasil membujuk Om Lok untuk "mengumpankan" aku ke pejabat tersebut, siapa tahu setelah melihat penampilanku hatinya tergoda, katanya. Aku keberatan kalau nggak pasti seperti itu, tapi dengan persetujuan bahwa begitu aku keluar kamar, maka "argo carteran" sudah mulai jalan, akupun mengikutinya.
"Kalau dia nggak mau juga, berarti dia laki laki bodoh atau nggak normal, jangan khawatir, kalau dia nggak mau juga, aku yang akan booking", tantang Yongki pada Lok.

Kami langsung menuju kamar suite beliau, ternyata banyak tamu disana dan juga 2 gadis seusiaku, melihat "sainganku" aku merasa bahwa mereka bukanlah kelasku apalagi sainganku, nggak level. Aku dan 2 gadis itu menunggu di ruang tidur, sepertinya mereka memberi kesempatan beliau untuk memilih gadis yang dia mau, baru kali ini aku diperlakukan menunggu untuk dipilih, agak malu juga diperlakukan seperti itu, biasanya tamu sudah ngantri untuk menikmatiku tapi kini aku harus ikutan antri, tapi toh aku akan dibayar penuh, baik dipilih maupun tidak, nggak ada ruginya.

Aku masih belum tahu siapakah beliau ini, karena banyak orang di ruang tamu, tak sempat aku mengamati siapa siapa yang hadir disitu terus masuk kamar tidur. Yongki cuma memberitahu bahwa tamunya adalah seorang penguasa Jakarta. Lima belas menit kami menunggu ketika Yongki menyuruh kedua gadis itu pulang, tinggallah aku sendiri di kamar itu.
Aku tak berani rebahan di ranjang atau mulai melepas pakaianku menunggu kedatangannya, meski aku yakin sudah terpilih, trauma atas perlakuan Pak Yono tempo hari masih kurasakan.

Tinggallah aku, Om Lok, Yongki, pejabat itu ditemani ajudannya, ternyata beliau adalah Pak Sur, memang dia penguasa yang "punya" Jakarta, aku sangat mengenalnya dari seringnya beliau muncul di TV.
"Ly kamu temani Pak Surya, kalau beliau minta nginap ya ikutin aja", pesan Om Lok sebelum meninggalkanku berdua dengan beliau.

Kulihat wajah dingin beliau seolah tanpa ekspresi menyambutku, disuruhnya aku duduk di sebelahnya, aroma minyak angin begitu menyengat, sepertinya beliau lagi tidak enak badan.
"Kamu duduk aja di sini, aku nggak tahu apa maunya mereka, kamu disuruh tinggal ya tinggal aja disini", katanya dingin tak ada senyum meski terdengar ramah, memang beliau dikenal tidak bisa tersenyum.
Aku tak tahu harus berbuat apa, nggak mungkin kalau beliau nggak tahu maksud dan tujuanku berada di kamar ini. Aku diam saja tak berani bertindak lebih jauh, secara halus sebenarnya ada isyarat penolakannya, entah kurang cocok denganku atau memang lagi nggak enak badan atau juga memang nggak suka perempuan, seperti isunya selama ini.

"Mau dipijitin Pak?", aku memberanikan
"Nggak usah, sebentar lagi dipakai tidur juga hilang".
Sebentar lagi dipakai tidur? apa berarti dia nggak mau sama aku?, pikirku, belum pernah kudengar penolakan dari laki laki seperti ini.
"Dipijitin sambil tiduran kan bisa cepat tidur Pak", pancingku mulai mengarah.
"Ntar malah nggak bisa tidur, tambah pusing nanti", beliau tetap menolak halus sambil menggosok minyak angin ke kepalanya.
"Sini aku bantuin Pak".
"Gini aja udah enakan kok".

Berbagai usaha yang mengarah sudah aku lakukan tapi tetap saja keluar penolakan darinya, aku menyerah, belum pernah kutemui laki laki yang membiarkanku sendirian seperti ini. Aku jadi serba salah, sepertinya dia tak mau ditemani tapi nggak mungkin kalau aku meninggalkannya begitu saja, satu satunya jalan keluar adalah dia menyuruhku pergi, tapi itu terlalu menyakitkan bagiku, ada perasaan terusir.

"Kalau Bapak nggak enak badan dan mau istirahat, aku pulang boleh?", akhirnya menyerah.
"Gini lho mbak, bukannya aku nggak suka kamu, sebagai laki laki normal aku menyukai wanita apalagi secantik kamu, tapi itu bukan berarti aku harus tidur sama kamu kan? Kalaupun aku mau ingin rasanya ngobrol denganmu sampai pagi, tapi aku lagi nggak enak badan jadi kamu ngerti kan?".

Beliau mengatakan banyak hal yang sudah tak kudengarkan lagi, aku hanya menunduk malu, melihat pintu keluar sudah terbuka lebar, cuma sekarang bagaimana meninggalkan beliau tanpa ada yang sakit hati, terutama aku.
"Kalau begitu Bapak istirahat saja, mungkin kalo aku disini Bapak terganggu istirahatnya, aku pulang saja gimana?", tanyaku sambil menatap matanya yang tajam berwibawa, tak sanggup aku menatapnya lebih lama lagi.
"Kamu nggak usah tersinggung, aku memang nggak biasa melakukan ini", tetap sopan meski tanpa senyum.

Akhirnya kutinggalkan beliau sendirian di kamar tanpa terjadi apa apa, dalam hati aku menghargai dan hormat pada sikap beliau, tak tega juga kalau memaksa merayu dia untuk bertindak lebih jauh. Kulihat Om Lok dan Yongki masih duduk di Lobby bersama si ajudan, segera kuhampiri mereka dan kuceritakan yang terjadi.

"Nah, aku menang", teriak si ajudan dan kulihat Om Lok memberikan beberapa lembar 50 ribuan ke ajudan itu. Ternyata mereka taruhan, Om Lok dengan percaya diri bertaruh bahwa aku berhasil meruntuhkan Imannya, dia kalah. Pak Sur telah menyuruhku pulang, berarti aku harus menemani Yongki, bagiku nggak ada masalah toh dengan Yongki atau lainnya sama saja bagiku, tak ada yang istimewa.
"Berarti memang rejekimu", kata Om Lok pada Yongki.

Tak kusangka ternyata Yongki masih punya "Plan B", kembali aku disodorkan pada pejabat lainnya yang tak kalah tinggi pangkatnya, seorang laksamana di Angkatan Laut wilayah Timur, ARMATIM, namanya Pak Ari, entah ada acara apa banyak penggede negeri yang menginap di hotel ini.
"Kalau dia nggak mau juga, baru itu jatahku, tapi rasanya dia nggak akan menolak kok, aku pernah servis dia sih sebelumnya", katanya.

Ternyata benar kata Yonki, singkat cerita akhirnya aku menemani Pak Ari yang berpangkat Laksamana itu (kalau nggak salah sih), orangnya tinggi besar agak botak tapi tertutup model rambutnya, meski dia seorang tentara tapi tutur katanya sopan dan lembut. Sebelum sempat aku berbuat apa apa, dia sudah membuatkan teh hangat dan menyodorkan ke arahku, biar segar, katanya. Aku yang biasa melayani agak canggung juga menerima "kebaikannya".

Sebelum sempat melepas pakaianku, beliau sudah memijit kakiku, terasa enak dan nyaman pijatannya, beliau hanya memandangku meringis keenakan. Aku berusaha mencegahnya lebih lanjut tapi beliau menyuruhku diam dan menikmati pijitannya, sebenarnya aku menikmati pijitan itu, tapi bukan tugasnya, adalah tugasku untuk melayani beliau.

"Udah Pak, gantian Bapak yang aku pijitin", desakku.
"Ah nggak usah, paling juga pijitanmu pijitan nakal", tolaknya.
Pijitannya sudah mencapai betis dan sebentar lagi ke paha.
"Lepas dulu celananya".
"Bapak juga lepas dong".

Akhirnya kulepas piyamanya setelah aku melepas pakaianku, meninggalkan bikini pink yang semi transparan. Tubuhnya yang tegap tak menyisakan lemak di perutnya aku kagum dengan postur seperti itu, tapi tak kulihat sorot kekaguman di matanya melihatku semi telanjang, sepertinya beliau udah biasa mengamati tubuh seperti ini, justru beliau memintaku langsung tengkurap karena dia mau melanjutkan pijatannya, masih mengenakan celana dalamnya. Tak ada salahnya kuturuti, toh beliau yang mau, bukan kehendakku.

Pijatannya memang menghanyutkan, apalagi ketika tangannya sudah mencapai paha mendekati selangkanganku, mungkin vaginaku sudah basah hanya karena pijitan itu. Cukup lama ketika tangannya mencapai pantatku, beliau melepas celana dalamku, sesekali pijitan itu ke celah celah selangkangan dan nyerempet ke daerah vagina, makin basah aku dibuatnya. Bra dilepasnya ketika sampai di punggung, kali ini beliau langsung memijat ke arah depan, diremasnya buah dadaku yang masih tergencet tubuhku, dia menolak ketika aku berusaha berbalik, remasan remasan halus menegakkan bulu romaku, terasa geli geli terangsang mendapat remasan dari tangannya yang kekar dan berbulu.

Aku makin merinding saat kurasakan ciuman di tengkuk dan punggungku, sementara remasan di dadaku masih lembut. Ciumannya turun ke punggung lalu ke pantat, tangannya kembali menyelip di antara kakiku, menggosok bibir vaginaku dari sisi belakang, aku mulai mendesah sambil menaikkan pantatku secara reflek. Desahanku semakin keras saat kurasakan lidahnya menjilati pantat, kutekuk kakiku hingga aku nungging, semakin terbuka daerah kewanitaanku.
Tapi beliau tak melanjutkan jilatannya, beliau telentang disampingku, meski agak kecewa akupun bergeser di antara kakinya, kulepas celana dalamnya.

Sesaat aku terkaget heran, ternyata kejantanannya tak setegar penampilan postur tubuhnya, terlalu kecil dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang tegap dan gagah, agak kecewa aku melihat kenyataan itu, tapi tak mungkin kuungkapkan kekecewaanku. Kugenggam penis tegangnya, hanya seukuran genggaman tanganku, segera kucium dan kubelai penis itu, meski tidak besar tapi tugasku untuk membuatku terpuaskan dan syukur kalau aku juga bisa ikutan terpuaskan, tapi kali ini rasanya nggak mungkin.

Lidahku menyusuri penis yang sudah menegang tak lama kemudian meluncur keluar masuk mulutku, semua batang kejantanannya bisa kumasukkan ke rongga mulutku sampai hidungku menyentuh rambut kemaluannya, beliau memegang kepalaku dan membenamkan lebih dalam ke selangkangannya.

Tak lebih tiga menit aku mengulumnya, beliau menarikku ke atas dan merebahkanku ke ranjang, menciumi pipi dan bibirku, baru kusadari kalau kami tadi belum sempat berciuman. Lidahnya dengan lembut menyapu kedua putingku, dikulum dan dipermainkannya dengan lembut. Beliau menolak ketika tanganku hendak meremas penisnya kembali, tarian lidahnya yang lembut membuatku mulai melayang.

Aku mulai mendesah sambil meremas remas rambut Pak Ari yang berada di dadaku, baru kutahu kalau ternyata dia agak botak, tak terlihat dalam keadaan biasa. Beliau kembali mencium bibirku saat kejantanannya mulai kusapukan ke bibir vaginaku. Tanpa melepas ciuman kami dia menyodokkan penisnya masuk, kupeluk dan kucium beliau dengan penuh gairah, berharap aku juga ikut merasakan kenikmatan dari beliau yang gagah perkasa ini. Satu, dua, tiga kocokan pelan telah dilakukan, aku merasakan kehangatan dekapannya, pada kocokan ke lima kurasakan cairan hangat membasahi vaginaku mengiringi lenguhan panjang Pak Ari, lalu tubuhnya menegang kemudian melemas telungkup di atasku.

Dia sudah mencapai puncak kenikmatannya pada kocokan ke lima, hanya beberapa detik penis itu berada di vaginaku, kini sudah mengakhiri kenikmatan itu, tentu saja aku kecewa tapi sekali lagi kekecewaanku tak mungkin kutunjukkan pada tamuku. Napasnya masih menderu di telingaku, detak jantungnya seakan mau meledak di dadaku, begitu kencang. Kubiarkan tubuhnya masih telungkup menindih meski kurasakan agak sesak napasku terhimpit tubuhnya.

"Kamu belum ya", bisiknya ditelingaku dengan nada seperti sesal.
Aku hanya tersenyum, dia memandangku, kulihat tatapan kekecewaan dari sorot matanya, hilang rasanya ke-angkeran dan ke-gagahan yang tampak sebelumnya.
"Istirahat dulu, mungkin Bapak terlalu buru buru, ntar aku bantu deh", hiburku.
"Habis kamu nggemesin sih", dia turun dari tubuhku, kami telentang bersebelahan.

Beberapa saat kami beristirahat dan bersantai, kembali aku dibuatkan teh hangat, bersantai kami nonton TV sambil sesekali beliau mengomentari acaranya. Tangannya mulai menggerayangi dada dan pahaku, aku diam saja tak bereaksi terhadapnya, kubiarkan pula saat tangannya mulai meremas, hanya desahku yang terdengar ketika mulutnya mengulum putingku. Kubiarkan kejantanannya menegang dengan sendirinya, aku takut kalau dia terlalu cepat selesai. Namun aku tak bisa hanya mendesah ketika bibirnya sudah beradu dengan bibir vaginaku, desahanku makin keras, kuremas rambut dan kuelus kepala botaknya.

Untuk kesekian kalinya seorang Jendral bertekuk lutut di antara kedua kakiku dengan kepala terjepit di selangkangan dan mulut terkunci di vagina. Jilatan lidahnya makin ganas, sesekali seakan dia menyedot semua isi tubuhku dari vagina, aku menjerit nikmat, apalagi jari tangannya mulai ikutan mengocokku. Beliau berdiri dan menyodorkan penis kecilnya yang keras menegang, kubelai dan kuciumi dengan manja, sebentar kukocok, sebentar kuremas, desahnya mulai terdengar penuh nafsu.

Tanpa diperintah aku nungging di depannya, di atas sofa, dengan posisi ini dia punya keleluasaan untuk mengatur permainan. Kurasakan kejantanannya mulai memasuki vaginaku, aku mendesah pelan, beliau membiarkan penisnya berdiam di dalam beberapa saat lamanya sambil mengusap punggung dan pantatku. Aku tak berani menggerakkan pantatku seperti biasanya, khawatir beliau selesai sebelum waktunya, pelan ditariknya penisnya dan pelan pula didorongkan kembali, lalu didiamkan lagi. Sebenarnya ini merupakan siksaat tersendiri bagiku, tapi demi kepuasan tamuku, tentu tak boleh egois.

Beberapa kali dia melakukan dengan pelan, tarik, dorong dan diam, diremasnya erat pantatku ketika kucoba mengimbanginya, kuurungkan gerakanku, hanya terdiam menanti kocokan pelannya. Lima kocokan sudah berlalu, aku masih tetap mematung dan mendesah menerimanya, tak ada kenikmatan sama sekali bagiku, tapi mungkin bagi beliau ada kenikmatan tersendiri, biarlah demi kepuasan Bapak Jendral yang terhormat.

Rupanya beliau cukup percaya diri ketika pada kocokan selanjutnya tak terjadi apa apa, kocokannya mulai cepat dan akupun mulai memberanikan diri untuk menggerakkan pantatku. Namun seperti sebelumnya, tak lebih semenit aku menggoyangkan pinggulku mengimbangi gerakannya, dia sudah teriak dalam orgasme, kurasakan penisnya berdenyut pelan di vaginaku. Kudiamkan saja sampai dia puas menumpahkan spermanya di vagina. Tak ada kenikmatan sama sekali yang bisa kudapatkan darinya, kecuali pijitannya.

Kutinggalkan beliau sendirian di sofa setelah membersihkan kejantanannya, ketika aku kembali dari kamar mandi Pak Ari sudah telentang di ranjang menanti kedatanganku, kurebahkan tubuhku dan kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, terasa ada kedamaian dalam pelukan tubuh kekarnya, apalagi ketika beliau membelai ramputku sambil kami bercakap cakap, terasa romantis. Sebenarnya melihat postur tubuhnya yang terbilang sexy, aku sungguh berharap banyak mendapatkan kenikmatan darinya, tapi harapanku tinggallah harapan belaka.

Lebih dari setengah jam aku dalam pelukannya, beliau mengangkat daguku, dicium dan dilumatnya bibirku, dengan mesra kubalas kuluman bibirnya sambil mulai tanganku menggerayang ke selangkangannya. Kuremas dan kukocok kejantanannya, perlahan mulai menegang meski masih kecil dalam genggamanku, tak berani mengocok cepat, takut terlalu cepat berlalu. Kususuri leher dan dadanya, sesekali kukulum putingnya, ciuman dan lidahku bermain main di dada dan perutnya, kurasakan penisnya mulai mengeras.

Kembali kepalaku berada di selangkangannya, aku nungging di sampingnya sambil mencium dan menjilati kejantanannya, akhirnya penis itu meluncur keluar masuk mulutku tak lama kemudian. Pak Ari mendesah merasakan kulumanku, semakin kupercepat kocokan mulutku sambil mempermainkan lidahku di kepala penisnya, tangannya meremas remas buah dadaku penuh gairah. Aku ingin membuatnya benar benar siap sebelum kumasukkan penisnya ke vaginaku, namun kembali terpaksa menelan kekecewaan saat kudengar teriakannya.

Segera kukeluarkan penis dari mulutku tapi terlambat, penisnya berdenyut hanya beberapa saat setelah keluar dari mulutku, sedikit semprotan mengenai wajahku. Tanpa ragu kusapukan penis itu ke wajahku, beliau mengerang nikmat sambil meremas remas rambutku, kumasukkan kembali penisnya ke mulutku, dia mengerang kaget dan segera menarik kejantanannya dari mulut dan genggamanku.
"Ugh.. nakal ya", katanya, aku hanya tersenyum sambil membersihkan wajahku dengan sprei.

Pukul 2 tengah malam kutinggalkan beliau yang masih terlelap, tentu saja seijinnya. Si ajudan hanya tersenyum ketika melihatku melintasi lobby. Aku yang masih terbakar birahi terpaksa harus memendamnya, entah sampai kapan, sampai kudapatkan kepuasan dari tamuku nantinya, karena aku sendiri tak tahu siapakah tamuku besok, apakah aku bisa mendapatkan kepuasan darinya, itulah pertanyaan yang selalu menggelayut di benakku. Sempat terlintas dalam benakku, apa istrinya bisa terpuaskan dengan kondisi Pak Ari yang seperti itu, mengingat aku sering melihatnya di TV betapa cantiknya istrinya meskipun sudah termakan usia, namun masih menampakkan sisa sisa kecantikannya.

Keesokan siang harinya, si ajudan nongol di depan pintu kamarku dengan di antar Om Lok, rupanya dia iri ketika aku melayani komandannya, sekarang dia ingin mendapatkan service yang telah kuberikan ke atasannya malam sebelumnya.
Tentu saja aku terkaget, tapi apa salahnya sejauh dia bisa membayarku toh tak ada bedanya. Ternyata dari dialah akhirnya kudapatkan kepuasan dan orgasme yang berulang ulang, meski pangkatnya masih kapten tapi permainannya bahkan melebihi si laksamana yang hanya mampu bertahan tak lebih dari semenit.

Itulah manis, pahit dan getirnya menjalani profesi ini, meski tak banyak frekuensinya tapi cukup menyiksa untuk dilakoni. Banyak kisah seperti ini yang aku jalani, bahkan tak jarang juga dari mereka yang masih muda, tentunya merupakan siksaan tersendiri bagiku, mungkin akan kutuangkan dalam kisah kisah tersendiri.

Tamat