Pengorbanan seorang ibu - 4

Bookmark and Share
Sampai di suatu pagi sekitar jam 6 pagi Surti merasa tubuhnya sedang digerayangi Bari, padahal ia merasa masih sangat mengantuk setelah semalaman bertempur seru sampai dini hari. Dibiarkannya Bari merenggangkan pahanya dan untuk kesekian kalinya menelusupkan zakar tegangnya lalu mulai mengocoknya. Keras, cepat dan semakin cepat seperti terburu-buru Bari mengayun pantatnya. Ia ingin menyalurkan nafsunya yang muncul di pagi hari, sementara jam tujuh ia juga harus masuk sekolah. Genjotan Bari yang sedemikian keras lambat laun juga merangsang Surti menggapai nikmat di pagi itu. Sayangnya selagi Surti baru mencapai tahap pemanasan, mendadak tubuh Bari sudah terkejang-kejang lalu buru-buru ia mencabut penisnya dari lubang nikmat ibunya serta merta menyemprotkan sperma dengan deras ke perut ibunya. Disusul mengoser-oserkan zakar tegang itu ke seluruh dada hingga berakhir di jepitan tetek Surti.

Vagina Surti masih berdenyut-denyut ingin dipuasi ketika Bari sudah meloncat keluar kamar untuk bersiap ke sekolah. Tinggallah Surti sendiri kecewa sambil mengelus-elus vagina dan meremasi teteknya sendiri. Nafsunya belum tuntas! Bari egois, hanya mau memuasi dirinya saja, tak peduli ibunya kelojotan menahan nafsu. Baru sekitar jam tujuh pagi Surti bangkit mengelap noda-noda di badan dengan CD-nya lalu mengenakan dasternya dan merapikan ranjang yang hampir tiap hari harus ganti sprei karena penuh bercak sperma dan mani mereka. Dibawanya sprei dan pakaian kotor ke tempat cucian, direndamnya dan ditaburi deterjen bubuk.

Terdengar ada yang sedang mandi, pasti Banu pikir Surti. Banu, kakak Bari, termasuk rajin cari tambahan penghasilan. Meski kadang pulang dengan tangan hampa tapi ia selalu rajin bangun pagi, mandi lalu pergi entah kemana. Cari obyekan, katanya setiap ditanya.

Pintu kamar mandi terbuka, Banu muncul.

"Mau kemana Nu?" tanya Surti.

"Cari motor, Bu. Kemarin ada teman cari motor bekas yang murah-murahan. Moga-moga motor Pak Panut belum dijual."

"Rumah Pak Panut agak masuk ke desa kan?"

"Iya, Bu, saya tahu. Paling nanti sampai sore baru pulang"

Sementara Surti menjemur pakaian, terdengar Banu pamit mau pergi.

"Saya pergi ya, Bu!" serunya.

"Ati-ati ya Eh, Basuki dimana?"

"Biasa, belum bangun, Bu" jawab Banu sambil keluar rumah. Pintu rumah ditutupnya. Selesai menjemur pakaian, Surti lalu mandi, dicucinya sekalian daster yang dipakainya. Seusai mandi ia hanya berbalut handuk menutupi payudara hingga pahanya, menjemur pakaiannya. Melangkah masuk ke rumah, dilihatnya Basuki duduk bersarung dan telanjang dada di kursi makan, melamun. Pandangannya kosong. Surti kasihan juga melihat sulungnya yang 25 tahun itu tak juga kunjung bekerja lagi.

"Sudahlah Bas, jangan melamun terus" bujuk Surti sambil mengambilkan segelas teh.
Diangsurkannya teh itu kepada Basuki, kemudian dijangkaunya kepala Basuki dan dielus-elusnya seperti kebiasaannya waktu kecil dulu. Basuki memejamkan mata dan mendadak tubuhnya seperti menggigil.

"Kamu kenapa Bas?" tanya Surti heran melihat putranya.
Dan lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba Basuki bangkit dan berbalik memeluki dirinya seperti orang kesetanan.

"Bu.. tolong aku.. Bu" desisnya membuat Surti tambah panik.

"Bas, Bas! Kamu kenapa?" Surti bingung dan berusaha melepaskan diri.
Tapi tenaga dan tubuhnya yang hanya setinggi pundak Basuki tak mampu menahan ketika perlahan namun pasti Basuki mendorongnya ke kamar. Bahkan pergulatan mereka serta gesekan dengan kulit dada Basuki membuat handuknya terlepas dan sarung Basuki melorot. Surti geragapan ketika tubuh bugilnya diangkat Basuki ke atas ranjang dan digeluti.

"Bas! Bas! Gila kamu.. ini aku ibumu!" Surti terus berontak sambil mendorong dan memukuli. Namun Basuki terus menggelutinya.

"Bu tolong Bu, aku pingin sekali aku butuh." dan sadarlah Surti bahwa saat itu Basuki sedang dilanda birahi. Ia pasti pernah merasakan tubuh wanita dan sekarang, setelah lama puasa, butuh penyaluran.
"Apakah aku harus memenuhi hasratnya?" pikir Surti cepat.

"Bas Bas jangan Ibu kau jadikan pelampiasan Ugh" Surti tak menyelesaikan kata-katanya karena putingnya dihisap keras sementara tangan Basuki menggosok-gosok dan memasukkan jemari ke vaginanya dengan ganas. Mengaduk-aduknya. Surti tergerinjal, nafsunya yang tadi belum dituntaskan Bari kembali bangkit.
"Ah, kenapa lagi-lagi aku dinodai anakku?" jerit hati Surti.
Tenaganya melemah.

"Bas egh jangan Bas," lemah suara Surti ketika melihat zakar Basuki tegang panjang memerah dengan urat-urat kehitaman di sekelilingnya.

"Aku tidak tahan lagi, Bu" Basuki menempatkan pantatnya di antara paha Surti, mengarahkan pedang tumpulnya ke lubang nikmat ibunya lalu.
"Sleepp sleep bless bless" Surti sampai terangkat pantatnya ketika zakar panjang nan tegar milik Basuki mencapai rahimnya dan menyentuh-nyentuh pusat kenikmatannya. Kemudian dengan cepat menusuk-nusuk dan memompanya bertubi-tubi.

"Shh shh sudah Bas.. cukup stop Ibu nggak tahan" bibir Surti bergumam menolak tapi entah kenapa tangannya justru merangkul erat leher Basuki dan membuka pahanya semakin lebar. Basuki tak peduli, terus bergoyang dan bergerak naik turun.

"Hshh hshh cukup Bas jangan kamu keluarkan spermamu di dalam Ibu bisa hamil" Surti semakin terhanyut oleh gerakan Basuki yang jauh lebih lihai dibanding Bari.
Tanpa sadar ia mulai mengimbangi dengan putaran pantatnya Basuki sendiri seperti tak mendengar suara Surti dan benar saja beberapa menit kemudian, dengan zakar tetap menancap, tubuhnya mulai terkejang-kejang berkejat-kejat lalu
"croott croott.." bersamaan dengan tekanan pantat ke vagina ibunya sekeras-kerasnya muncratlah sperma membanjiri rahim Surti. Gilanya Surti justru menggapitkan pahanya erat-erat ke pantat Basuki serta memeluk punggungnya erat-erat dan maninya pun mengalir deras. Basuki ejakulasi. Surti orgasme. Bareng.

Sejurus kemudian dua tubuh layu yang berpelukan erat itu saling melepaskan diri. Terjelepak kelelahan, terbaring telentang. Dada mereka naik turun ngos-ngosan. Masing-masing dengan pikiran melayang-layang. Basuki dengan kesadaran sudah menyetubuhi Ibu kandungnya dengan nafsu sebagaimana ia dulu sering salurkan ke wanita bayaran. Sementara Surti sadar bahwa lagi-lagi ia telah bersetubuh dengan anak kandungnya. Lagi-lagi ia jadi pelampiasan nafsu anaknya. Tapi bukankah ia juga ikut menikmati lampiasan nafsu itu? Malah seperti membuka pintu kesempatan untuk terjadinya seks incest itu?

"Kamu sudah puas, Bas?" tanya Surti berusaha tegar, "kalau belum cepat lampiaskan lagi hasratmu ke tubuh Ibumu ini biar tuntas sekalian biar kamu tidak melamun yang tidak-tidak lagi" entah keberanian dari mana Surti mengucapkan tantangan ini.

Tentu saja Basuki terkejut. Perlahan ia memiringkan tubuhnya dan dipandanginya wajah wanita setengah baya yang adalah Ibu kandungnya itu. Wanita yang tubuhnya bugil telentang itu matanya terpejam. Mengingatkan Basuki pada seorang wanita sebaya yang dulu pertama kali merenggut perjakanya di rantau. Ya, Basuki ingat benar bagaimana ia melepas perjakanya di atas tubuh istri majikannya yang kesepian karena sering ditinggal suaminya pergi bisnis. Beberapa bulan mereka berhubungan. Dan entah kenapa sejak itu Basuki selalu menyukai berhubungan badan dengan wanita yang lebih tua, baik wanita bayaran atau yang sekedar cari teman bersebadan.

Kini, setelah berbulan-bulan puasa, Basuki tak tahan untuk meletupkan hasrat syahwatnya. Untuk mencari wanita bayaran ia tak lagi punya modal, untuk mencari istri-istri kesepian tak lagi semudah di kota besar dulu. Akhirnya diam-diam ia memendam hasrat nafsu pada Surti, yang semula ditahan-tahannya karena bagaimanapun dia adalah Ibu kandungnya. Namun bendungan itu jebol pagi ini ketika nafsu telah merasuk sampai di ubun-ubun Basuki dan kesempatan terbuka manakala rumah sepi dan Surti seperti menantangnya dengan hanya berbalut handuk. Sama seperti wanita yang dulu memperjakainya juga hanya berbalut handuk ketika menyeretnya ke ranjang nikmat.

Demi mendengar tantangan ibunya, percaya nggak percaya Basuki mendekatkan wajah ke muka Surti. Namun mata Surti terus terpejam, seolah menanti aksi Basuki selanjutnya. Pandangan Basuki menyapu seluruh wajah lalu menurun ke payudara montok meski agak kendor, perut yang masih langsing lalu bukit rimbun di bawahnya yang masih tersisa lengket cairan mereka tadi. Antara sadar dan tidak Basuki menggerayangkan tangan ke sekujur tubuh ibunya. Tubuh Surti jadi merinding. Digigitnya bibir bawah, coba bertahan dari rangsangan itu. Namun sulit sekali, terlebih manakala Basuki dengan piawainya mulai menggunakan lidahnya menggantikan tangan. Seperti lintah, lidah itu bergerak menelusuri wajah, leher, payudara, perut, pusar hingga akhirnya bermuara di kerimbunan semak-semak lebat Surti. Dikangkangkannya paha Surti lalu. dengan ganas lidah Basuki menyapu, menelusup dan menjilat-jilat liar lubang nikmat Surti. Menimbulkan rangsangan hebat yang membuat Surti refleks memegang kepala Basuki dan menekannya seolah ingin memasukkan seluruhnya ke lubang vaginanya.

Sekejap saja Surti telah orgasme dan sekejap itu pula Basuki membersihkan seluruh mani yang keluar dengan lidahnya, diminumnya. Lalu lidah itu terus mengerjai vagina Surti, kadang kasar kadang halus. Sampai beberapa menit kemudian Surti kembali harus mengejan berkejat-kejat mengeluarkan maninya lagi. Orgasme lagi. Lagi dan lagi Entah sudah berapa kali Surti kelojotan orgasme tapi Basuki tetap segar menggarap lubang nikmat itu dengan lidahnya.

"Agh.. am.. ampun Bas cukup Ibu tak tahan lagi Ibu lemes banget" desis Surti sambil terus meremasi rambut kepala Basuki setelah orgasmenya yang ketujuh atau delapan.
Tulangnya seperti dilolosi. Sementara lidah Basuki masih mempermainkan klitnya, menggigit-gigit kecil, menarik-nariknya. Ibu dan anak sudah tak ingat lagi hubungan darah di antara mereka. Yang penting gejolak nafsu terpenuhi.

Surti tak mampu menggerakkan tubuh lagi ketika Basuki merayapi tubuhnya lalu sekali lagi menancapkan zakar tegarnya ke lubang vagina Surti menggantikan lidahnya.

"Jangan keras-keras, Bas" pinta Surti yang merasa ngilu di vaginanya. Rupanya Basuki tahu itu dan ia menggerakkan pantatnya dengan santai, tidak tergesa-gesa. Justru kini ia lebih mementingkan pagutan bibir dan lidahnya memasuki mulut Surti. Saling belit, saling sedot, sambil tangannya meremas-remas gundukan gunung kembar Surti hingga puting itu jadi keras.

Sampai berjam-jam lamanya Basuki memperlakukan ibunya seperti itu tanpa sekalipun ia ejakulasi. Sementara Surti entah sudah berapa belas kali orgasme, rasanya habis seluruh maninya. Setelah hampir tiga jam, Basuki berbisik, "Ak aku mau keluar, Bu"

"Jangan di dalam, Bas Ibu bisa hamil"

"Keluar di luar tidak enak, Bu" Basuki meneruskan genjotannya.
Cepat, cepat dan semakin cepat. Surti ikut terlonjak-lonjak mengikuti irama tarikan zakar Basuki. Tak mampu menolak kemauannya sampai akhirnya Basuki kejang-kejang sambil menyemprotkan sperma berliter-liter. "Creett.. Cruutt.." belasan kali bagai air bah. Lalu tubuh kekar itu diam menelungkupi Surti tanpa mengeluarkan zakarnya dari vagina. Denyut-denyutnya masih dirasakan Surti. Gila benar ini anak bisa tahan sedemikian lama.

Kelelahan membuat mereka tidur berpelukan. Surti tak ingat lagi untuk pergi ke pasar. Sudah terlalu siang setelah empat jam pergumulan tadi. Justru yang terbayang kini adalah kejadian yang bakal dilaluinya di hari-hari berikut, yakni harus melayani kebutuhan seks si sulung dan bungsu bergantian. Si bungsu di malam hari, dan si sulung di siang hari. Mereka tidak boleh saling tahu.

Namun, bagaimana dengan Banu, anak kedua. Apakah ia juga akan minta jatah untuk menyetubuhinya? Kuatkah Surti menghadapi tiga "pejantan" ini setiap hari? Bagaimana kalau suatu ketika ia digarap mereka bertiga ramai-ramai? Atau sepanjang hari digilir mereka? Surti tak mampu membayangkan itu semua.

Surti mengharap tanggapan pembaca, apakah skandal nikmat dengan anak-anak kandung ini akan terus dilanjutkan dengan anak kedua, atau cukup dengan si bungsu dan si sulung saja? Adakah pembaca yang mau memberi saran buat Surti? Kirim email ke penulis, akan disampaikan kepada Surti sehingga ia memiliki kepastian dalam bertindak. Yang jelas ia sekarang rajin minum pil KB supaya tidak hamil dan melahirkan anak sekaligus cucu sendiri. Terima kasih. Salam dari Surti untuk semua pembaca.

Bersambung . . . .