Antara Yogya dan Pantai Sanur - 3

Bookmark and Share
Dilepaskan bibirku dari gigitannya sambil memandangku tersenyum manis, kusentuh lagi bibirnya yang sensual itu, dia mencoba membalasnya, kuhindari dengan menciumi dagunya yang indah terus turun ke lehernya yang putih jenjang, turun lagi sampai di kedua susunya yang besar, montok dihiasi puting coklat muda yang amat menggemaskan itu. Kukecup puting itu dengan lembut dan mesra.

"Aduuh Dhitya.. teruuss Sayang.. aduuh kamu gila! kamu gilaa!" erangnya nikmat.
Akupun menjadi bertambah nafsu menggumuli buah dadanya yang montok itu secara bergantian kukecup, kuciumi, kujilati, kuhisap dengan keras dan kugigit agak keras saking gemasnya.
"Aaawww.. pelan-pelan Sayang, tapi terus.. oohh.." sahutnya penuh gairah.
Mulutku bergerilya di susunya sampai basah keduanya oleh air liurku. Sementara tanganku menyusup diantara kedua pangkal pahanya yang telah direnggangkan sehingga tanganku, jariku bebas menyentuh, mengusap serta memasuki lubang vaginanya yang mulai basah oleh cairan putih kental dan harum khas itu. Jariku masih bermain di klitorisnya yang lembut dan tangan Mbak Evie mendorong kepalaku ke arah vaginanya, kuikuti kemauannya dan akhirnya kukecup, kujilat kugigit kecil klitoris mungil itu dan tersa cairan hangat meleleh pelan menyentuh bibirku, kujilat dan kuhisap tanpa berpikir panjang.

"Aaahh.. nnggmmff.. aduuhh Sayang aku mau mm.." jeritnya kecil sambil menjepit kepalaku dengan pahanya yang indah dan montok itu disertai renggutan tangannya di rambutku yang agak gondrong. Jepitan pahanya mengendur dan rambutku, dijambaknya pelan sambil menarikku ke arah dadanya yang menantang itu. Tiba-tiba dia bangun sambil memeluk leherku dan berbalik sehingga dia berada di atas tubuhku dan memandangku mesra.

"Kamu memang gila dan pintar membuat aku kewalahan, Sayang.. sekarang aku akan perkosa kamu sampai lemas, loyo.." katanya dengan garang. Mbak Evie memeluk leherku dan mulai menciumi bibirku yang masih basah dari sisa-sisa cairan hangat vaginanya, mulutnya yang mungil menjalar ke dadaku dan kecupan lembut halus menyentuh luka yang sudah mengering bekas gigitannya di Yogya dulu, secara refleks aku bergerak.
"Kenapa Sayang.. masih sakit yaa.. maafkan Mbak yaa.." Dia memandangku dengan menyesal penuh kekhawatiran, aku menggelengkan sambil tersenyum ringan.

Bibirnya kembali menyentuh puting susuku dan lidahnya yang tipis menjilati dan aku menggigil dan serasa lemas tidak berdaya karena ini termasuk bagian yang sensitif dari tubuhku bahkan aku pernah orgasme gara-gara putingku dikecup oleh salah seorang gadis yang pernah menjadi kekasihku semasa SMA dan kejadian ini terulang lagi dan kali ini oleh Mbak Evi-ku dengan segudang pengalaman bercinta, aduh mati aku!

Mulut, bibir serta lidah mungil itu terus menelusuri tubuhku sampai ke penisku yang sudah tegak 16 cm, tangannya dengan lembut mengusap dan meremas penisku itu, aku terpejam menikmati remasan tangan Mbak Evie serta tanganku secara tidak sadar ikut meremas pinggiran kasur dan ada perasaan ngilu pada lubang penisku dan makin hangat, makin hangat. Aku merasa penisku makin hangat dan kepalaku terasa berdenyut, kubuka mataku sambil memandang ke arah Mbak Evie. Dengan garangnya penisku sedang dijiilati dan dikulumnya dengan sikap birahi yang tinggi, sebentar-sebentar terdengar desahan nikmat keluar dari mulut dan hidungnya yang bangir itu. Sang '16 cm'-ku sudah keras rasanya seperti kayu.

Dia bangkit dan merayap di atas tubuhku dan aku pun mengulurkan kedua tanganku menyambutnya dalam pelukan mesra.
"Ooohh Dhitya sayang, sekarang.. sekarang Dhiitt.. now pleaase.." dia berkata dengan suara bergetar dan diangkat pantatnya sehingga rambut hitam lebat yang menutupi vagina terlihat dan aku mengarahkan penisku sambil menyibakkan rambut-rambut itu dan amblas penisku ke dalam lubang kenikmatan Mbak Evie yang langsung terasa hangat dan berdenyut-denyut akibat dari gerakan otot vaginanya disertai teriakan kecilnya, "Aduuhh.. Maass!"

Mbak Evie menjatuhkan tubuhnya yang montok ke atas tubuhku dan susunya yang besar menekan dadaku dengan lembut membuatku bertambah ngilu dan merinding nikmat. Pinggul, pantat yang bulat gempal itu digerakkannya dengan garang serta buas seakan-akan mau menghancurlumatkan penisku yang dijepit diantara celah bibir dan lubang vaginanya sambil mengerang, "Aahh.." mendesah, "Mmmff.." menjerit kecil, "Nnngg.."

Sekali-sekali kecupan bibirnya dengan liar mengunci bibirku dengan lidah tipisnya yang menelusuri lidahku serta kedua tangannya memeluk kepalaku dan sekaligus mencengkeram rambutku. Aku sendiri rasanya tidak bisa kontrol dengan tanganku yang sebentar-sebentar meremas pantatnya yang bulat gempal dan juga kadang-kadang naik untuk meremas rambut panjangnya yang tak pernah lepas dari model kepang satu itu.

Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya sambil memandangku sejenak dan perubahan air mukanya yang sambil menggigit bibir bawahnya dia menekankan vaginanya sehingga penisku habis tertelan olehnya disertai jepitan paha pada pinggulku dan jeritannya yang beberapa saat keluar dari mulut yang mungil itu dengan cepat kututup dengan tanganku karena kalau tidak akan terdengar keluar dan, "We are dead!"

Mbak Evie menjatuhkan kembali kepalanya di dadaku sementara rasa ngilu di ujung kepala penisku makin bertambah dan dengan kasar kubalikkan badanku sehingga aku berada di atas tubuhnya, segera aku pun menggerakkan pantatku naik turun dengan irama cepat serta putaran pinggulku yang ikut menjadi kasar dan garang.

"Oohh.. oohh.. aahh.. Mbaakk, akuu.. akuu.." sambil memeluk dadanya.
"Iyaa.. oohh.. iyaa Sayangg.. iyaa aahh!" sergahnya, desahannya dan akhirnya kami saling merengkuh, saling berpagut bibir dengan buas, jepitan pahanya mengeras, pahaku meregang dan, "Srroott.." spermaku, cairan nikmatnya saling keluar membasahi penisku dan lubang vaginanya.Rasanya lama kami berpelukan menikmati luar biasa Together Orgasme. Nafasku dan dan nafas Mbak Evie yang cantik terdengar tersengal-sengal beberapa saat. Luar biasa kali ini kami bermain cinta, hari masih pagi kira-kira jam 09:00, di tempat yang agak sepi lebih kurang 100 m dari pantai Sanur, hampir 1 jam aku bercinta dengan Mbak Evie dan kami bebas serta jauh dari semua orang yang kami kenal selama ini.

Aku bergerak ingin melepaskan tindihan tubuhku dari tubuh Mbak Evie tapi begitu aku memutarkan tubuhku dia memelukku dengan kaki yang dilingkarkan ke pinggangku seraya berkata, "Ngg.. jangan dilepas, jangaann.. aku nggak mau dilepas Dhit, biarkan kayak begini.. aku masih mau burungmu di dalam sarangku yang lamaa sekali.."
"Aku lemes banget Mbak.. dan lapar sekali, hanya telor setengah matang kan yang aku makan tadi pagi sebelum mengantar Mas sama Mbak Ranti ke airport." jawabku sambil mengelus puting coklat muda kegemaranku.
"Salah sendiri.. siapa suruh nggak sarapan.. rasakan akibatnya." celotehnya manja sambil menyusupkan wajahnya di dadaku.
Aku tersenyum sambil berbisik halus di telinganya, "Mbak Sayang, Dhitya tukang urut, playboy cap rantang.. lapaarr Mbak." Sambil meniup halus kupingnya, Mbak Evie menggelinjang dan mengangkat wajahnya sambil tertawa renyah, dia mengecup bibirku lembut dan mengusap pipiku mesra.
"Iya deh.. kita mandi dan cari makanan yaa, yuuk!" katanya seraya melepaskan pelukannya dan burungku keluar dari sarangnya.
Kami mandi membersihkan diri, saling menyabuni tubuh kami, saling siram menyiram dengan santai dan mesra. Hari itu kami berdua lewatkan dengan makan dan minum, jalan-jalan di pantai bergandengan tangan dengan sikap mesra dan masa bodoh dengan orangan-omongan di sekitar kami, tidur berpelukan sampai sore hari.

Malam hari kami makan di restaurant yang terdekat kemudian pulang sambil menyusuri pantai sampai dekat home stay, dia menahan langkah.
"Sayang.. kita berenang yuuk.." katanya sambil memandang ke arah laut kemudian menoleh ke arahku dengan senyumnya yang manis.
Aku termenung sejenak memikirkan sesuatu sambil membalas tatapan mata hitam yang indah itu.
"Oke.. tapi dengan syarat.." jawabku sambil memandang dan memegang kedua lengannya itu.
"Apa syaratnya Dhiet?" katanya lagi dengan wajah bertanya-tanya.
Tanpa menjawab kugandeng tangannya dan kami berjalan menuju villa.
"Apa dong syaratnya, Sayang.. ayo jawab." katanya lagi sambil menggoyangkan tangannya yang kucekal lembut dengan suara penasaran. Aku tetap tidak memberikan jawaban tapi tersenyum sambil berjalan memandanginya menuntun ke arah villa.

Kami kembali keluar villa dengan masing-masing membawa handuk besar dan lebar, aku mengenakan celana pendek pantai yang lebar dan plong dan Mbak Evie juga mengenakan celana pendek pantai yang lebar dan plong dan kaos tanpa lengan yang plong juga, sambil bergandengan tangan kami berjalan berpelukan pinggang menuju pantai. Handuk kutebarkan berdampingan sebagai alas duduk/tidur, pantai Sanur di bagian kami tinggal telihat dan terasa sepi dari pengunjung, ada satu dua turis bule lalu lalang dan seperti biasa mereka acuh tak acuh dengan keadaan sekitarnya.

Malam yang indah dengan langit terang berbintang, kami berdua berenang dengan baju lengkap seperti yang kuceritakan di atas, berendam, saling menyiramkan air ke tubuh dan wajah masing-masing. Kutangkap tubuhnya yang menggemaskan dan kutarik ke tempat yang agak dangkal sehingga air hanya sebatas pantat kami, di bawah langit yang bersih serta bintang-bintang menyinari keremangan laut dan pantai, kami saling pandang dengan mesra, terlihat dalam keremangan itu Mbak Evie dengan rambut dilepas tergerai basah, wajahnya yang bersih dari segala macam make up, polos tapi tetap cantik, kaos tanpa lengan basah memperlihatkan lengannya padat menempel rapat ke tubuhnya yang indah, montok dan buah dada yang besar serta puting yang tercetak jelas pada bagian depan kaos yang dikenakannya karena dia tidak mengenakan BH serta celana pantai tipis yang menekan rapat pantatnya, pangkal pahanya menonjol jelas karena dia juga tidak mengenakan CD, itulah yang kumaksud dengan plong! dan itu yang menjadikan Syarat yang kuutarakan kepadanya waktu kami berjalan menuju villa.

Aku tertegun sejenak dan penisku mulai tegak dan jelas terlihat, tercetak di balik celana pantaiku yang plong karena aku juga tidak memakai CD, cukup fair dan cukup membangun birahiku dan juga Mbak Evie, aku yakin. Gila benar, aku tidak tahan dan memeluk pinggangnya.

"Mbak.. cantik sekali deh, Mbak.. aku rasanya nggak mau pisah sama Mbak." kataku lembut sambil mengeratkan pelukanku.
"Iya Sayang.. aku juga nggak mau pisah sama kamu, aku mau kamu menemaniku teruus." jawabnya sambil memandangku.
Perlahan wajah kami saling mendekat dan tanpa menunggu reaksinya yang lain kukecup bibir sensual itu, dibalasnya dengan memainkan lidahnya yang pernah membuatku tersengal-sengal di hotel di Yogya sambil tangannya mengusap dan meremas penisku di balik celana pantai yang tipis. Buah dadanya yang besar dan menggemaskan menempel lembut di balik kaos tanpa lengan tipis karena basah, aku tidak tahan, seluruh badanku gemetar saat berpelukan dengan Mbak Evie dalam keadaan basah seperti ini. Gila! aku merasa terangsang hebat dengan kondisi tubuh indah Mbak Evie dalam keadaan ini.

"Mbaak.. aku mau.. aku nggak tahan Mbaakk.. oohh!" kulepaskan kecupan bibirku dari bibirnya yang sensual dan memeluknya erat sementara tangannya dengan lembut dan mesra terus meremas membelai penisku yang mulai terasa ngilu di bagian kepalanya.
"Iya Sayang.. aku juga mau sekarang Dhiiett..!" bisiknya di telingaku dengan desahan yang menggemaskan.

Kembali kukecup bibirnya yang sensual sambil menariknya ke arah pantai pasir putih yang hanya berjarak 10 m dari tempat kami berdiri. Kurebahkan tubuhnya di atas handuk yang sudah kami tebarkan di atas pasir, kupandangi matanya lembut dan kukecup bibirnya dengan sedikit kasar. Aku tidak tahan, tanganku meremas buah dadanya yang besar dan kenyal itu tanpa membuka kaos tipis basahnya, dia memegang kedua belah pipiku sambil membalas kecupan garang dariku. Tanganku turun terus mengusap pahanya sambil mencoba menaikkan celana pantainya yang memang seperti rok itu dan tanganku menyentuh rambut lebat vaginanya yang tidak memakai CD seperti yang kuceritakan di atas. Kuusap belahan bibir hangat dan akhirnya klitorisnya yang mungil dengan lembut tapi dengan penuh nafsu.

"Ooohh Dhitya sayang.. teruuss.. aahh.." desahnya lembut sambil memeluk dan mengelus rambutku yang basah.
"Mbaakk, sekarang Mbaakk, aku nggak tahan lagi Mbaak!" kataku kehilangan kontrol.
"Iyaa Sayaang, aku mauu sekaraanngg.. ayoo.." katanya sambil membuka kedua pahanya.
Kuturunkan celana pantaiku dan penisku tegang 16 cm! Kemudian dengan nafas agak tersengal-sengal kuangkat kaki celananya yang memang longgar seperti rok itu dan kuarahkan penisku ke lubang vaginanya dengan perasaan sebab di pinggir pantai itu agak gelap hanya keremangan cahaya bintang saja yang ada.

"Ooohh Sayang.. ayoo masukkan burungmu itu cepaatt.. aku nggak tahan lagii.." erangnya sambil mencoba menekan pantatku seraya membuka pahanya lebih lebar dan amblas penisku ke dalam lubang vaginanya yang hangat dan terasa rambutnya yang basah menempel di perutku. Dia mendesah nikmat di balik kecupan buas bibirku yang sudah hilang kontrol. Edan! kami bercinta dengan dahsyat di pantai pasir Sanur, malam hari dibawah cahaya bintang-bintang, dengan badan basah asin air laut, tanpa melepas celana masing-masing. Penisku masuk lewat salah satu kaki celananya tanpa dibuka, turun naik di dalam vaginanya yang hangat tanpa halangan apapun. Goyangan pinggul dan pantatnya yang membuat penisku terasa diurut oleh super otot dengan kuatnya. Aku mencoba meremas buah dadanya yang besar dan montok itu yang masih tertutup kaos tipis dengan putingnya terasa mengeras. Tiba-tiba kegilaanku muncul sesaat, kucengkram kaos tipis tanpa lengan dan dengan sekali sentak (sentakan tukang urut man!) "Breett..", robek dan muncullah pemandangan yang menggemaskanku, payudara, buah dada, susu Mbak Evie dengan puting yang menggairahkan langsung kujilati, kuhisap, kugigit-gigit dengan nafsu birahi tinggi dan gemas, sambil tetap menggenjot vaginanya dengan irama yang berubah-ubah diselingi oleh desahan-desahan nikmat Mbak Evie. "Ooohh.. aahh.. mmff.. Dhiieet.. ohh.. oohh.. teruuss sayaang!"

Entah berapa lama kami bersenggama dengan posisi lotus itu (menurut KAMASUTRA) dengan segala gerakan yang berusaha memuaskan diri masing-masing. Aku merasa badanku ngilu, bergetar hebat, kedua kakinya dilingkarkan ke pinggangku dan mulai terasa menjepit dan penisku terasa dijepit otot-otot vaginanya dengan kuat disertai desahan-desahan keluar dari mulutnya sanbil menciumi ubun-ubunku karena aku sedang menyusu bagaikan bayi minum ASI yang segar dan penuh air susu itu.

"Mmmff.. oohh, Dhiieett.. oohh.." erangnya dan aku merasa akan mencapai klimaks tidak lama lagi, kulepaskan kedua puting susunya dan kembali kukecup bibirnya yang sensual dengan ganas sampai nafasnya tersengal-sengal.
"Mbaakk.. aku nggak tahaann, Mbaakk.." jeritku tertahan sambil menyusupkan kepalaku di lehernya yang putih jenjang. Mbak Evie memelukku dengan hangat dengan kedua tangannya sambil mengecup kepalaku.

Tiba-tiba jepitan kedua belah pahanya menguat menjepit pinggangku disertai cengkraman tangan dan jari-jarinya di leherku, di kepalaku, di rambutku yang agak gondrong dan basah itu dan, "Aaahh.. Dhiieett.. akuu.." jeritnya tertahan, penisku terasa ngilu, hangat, basah dan berdenyut. Mbak Evie-ku yang manis mencapai orgasme dan beberapa saat kemudian terasa perih di lubang penisku dan, "Crroott.. crroott.. croott.." entah berapa banyak spermaku juga cairan kenikmatan Mbak Evie saling menyemprot di dalam vaginanya yang gila benar nikmatnya. Kami berpagut dengan ketatnya seolah tidak akan terlepas selamanya.

Gila! Edan! Nikmat! Orgasme bersama di tepi pantai Sanur, dibawah keremangan cahaya beribu bintang. Aku, pemuda lajang berumur 27 tahun bersama Mbak Evie, wanita ibu rumah tangga berumur 38 tahun bercinta dengan kegilaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata yang jauh dari semua orang yang kami kenal dan kami cintai sebelum kami bertemu.

Sejenak kami masih belum saling melepaskan pelukan kami masing-masing, kami masih menikmati kebersamaan kami tanpa memikirkan di mana kami berada, pakaian basah kami yang masih melekat atau entahlah. Aku bergeser melepaskan diri, penisku masih tegang segera kunaikkan kembali celana pantai yang masih basah menutupinya dan berbaring memejamkan mata di sebelah Mbak Evie yang juga berputar menghadap ke arahku sambil berusaha menutupi payudaranya, buah dadanya, susunya yang sudah menjadi milikku setiap kali kami bercinta itu dengan mencoba menarik kaosnya yang robek.

"Dhitya sayang.. aku cinta kamu.. aku.." katanya pelan dengan sebelah tangannya dia mengusap bibirku sementara aku masih memejamkan mata mencoba menikmati apa saja yang baru terjadi dengan diriku. Sambil masih terpejam mataku, kuraih tangannya yang lembut itu, kukecup pelan, aku berputar menghadapnya dan membuka mataku memandangnya sambil tersenyum.

"Mbak Evie yang manis, mari kita jalin hubungan kasih ini tanpa meninggalkan orang-orang yang kita cintai sebelum kita berdua bertemu, Oke Mbak?" sahutku lembut sambil tetap menggenggam tangannya, dia mengangguk lembut juga sambil tersenyum sementara tangan yang satu tetap memegang ujung kaosnya untuk menutupi itu, payudara indahnya. Aku bangkit sambil membereskan alas handuk kami, dia masih terduduk memandangku dengan sayu, kuulurkan tanganku yang segera disambutnya, kutarik perlahan dan dia berdiri. Kututupi tubuh yang basah itu dengan handukku dan sambil berjalan menuju villa kami berpelukan di mana kepalanya disenderkan ke dadaku.

Malam berikutnya kami lewati dengan menikmati jalan-jalan, belanja oleh-oleh untuk Cempaka dan Melati, kedua puteri Mbak Evie, makan, medengarkan musik di beberapa pub/kafe kemudian pulang dan bercinta, bercinta dan bercinta seolah tiada habisnya.

Kesokan hari kami kembali ke Jakarta, dan seperti biasa aku laporan sama Mas Echa dan Mbak Ranti tentang apa yang diminta Mas Echa selama aku menemani Mbak Evie dan tentu saja 'Petualangan Bercinta' kami berdua tidak pernah keluar dari mulutku or I'M DEAD MAN.Hubunganku dengan Mbak Evie berlanjut sampai dengan tahun 1980 dalam konteks pembuatan film bersama Mas Echa dan juga hubungan 'Istimewa'.

Setelah aku lulus berkat bantuan Mas Echa sekeluarga, aku bekerja di bidang perminyakan. Dan perpisahan yang tak terelakkan dengan Mbak Evie karena Mas Irawan mendapat tugas dari perusahaannya ke Jepang selama 3 tahun yang mana mereka bermukim di sana lebih dari 3 tahun. Hubungan kami terputus total, tidak ada surat menyurat, telepon maupun komunikasi lainnya. Salah satu pengalaman yang amat berkesan bagiku, Mbak Evie.. oh Mbak Evie!

Tamat