Obsesiku - 1

Bookmark and Share
Aku Surti, masih muda, seorang istri dari suami yang sangat kucintai. Tetapi aku punya obsesi yang terus terang (sebagai istri menjadi kurang ajar dan tidak tahu diri) yang belum pernah terpenuhi hingga saat ini. Aku ingin seorang lelaki di luar suamiku, lelaki yang macam gimana tidak penting, tetapi penisnya besar dengan tubuhnya yang berotot. Aku ingin tidur dengannya. Itu obsesiku, hingga pada suatu sampai kejadian itu terjadi.

Karena ada sesuatu urusan, suamiku harus pergi ke Malang untuk 5 hari termasuk perjalanan. Aku tidak dapat ikut karena kebetulan ada perbaikan rumah, menambah ruang untuk gudang dan aku bertanggung jawab agar semuanya dapat berjalan sesuai rencana, termasuk mengawasi pekerjaan para tukangnya.

Setiap hari kusiapkan minuman dan makanan kecil untuk 3 orang tukang batu dan kayu. Mandornya Saridjo orang Tegal. Kebetulan Saridjo, kira-kira berumur 45 tahun, orangnya cekatan dan rajin. Dan kebetulan juga tanpa kusadari sebelumnya, orangnya besar dan berotot. Dengan kulitnya yang kehitaman, Saridjo bekerja ditimpa panas matahari dari pagi hingga sore hari. Oleh karenanya dia selalu hanya pakai celana kolor pendek dan kaos singlet untuk membungkus tubuhnya, agar mengurangi gerahnya selama bekerja.

Sore itu kira-kira pukul 15.00 pekerjaanku telah selesai, sehingga aku dapat sedikit beristirahat di kamar tidurku. Sementara itu para tukang di bawah mandor Kang Saridjo, bekerja di luar nampak dari jendela kamarku tanpa aku khawatir mereka dapat melihatku tergolek di tempat tidur karena memang demikian adanya. Pandangan dari luar sulit menjangkau ke dalam dengan adanya kaca pada jendela yang membuat silau.

Kuperhatikan Saridjo, setiap kali dia membungkuk mengambil semen untuk ditemplokkan ke dinding. Badannya basah mengkilat penuh keringat. Sebentar-sebentar tangannya menyeka keringatnya itu.
Ahh.., badan itu.. celana pendek dan ketat itu..
Obsesiku tiba-tiba menyeruak timbul dan jantungku berdegup keras.

Kepergian suamiku telah 3 hari, aku memang merasa mulai sepi. Dan 2 hari lagi suamiku akan sampai di rumah kembali. Ya, 2 hari lagi. Sementara di luar jendela ada lelaki berotot mengkilat penuh keringat sangat sesuai dengan obsesiku selama ini. Bagaimana bau keringatnya itu..? Ketiaknya..? Atau selangkangannya..? Aku tertegun. Ada rangsangan yang menyelusuri tubuhku dan mendesak kesadaran untuk meninggalkan ingatan pada suami. Aku terdorong untuk mengambil kesempatan yang tersisa 2 hari ini. Inilah kesempatan mewujudkan obsesiku, impian mengenai lelaki lain untuk teman tidurku.

Tiba-tiba kulihat tukang-tukang di luar beres-beres sebagai tanda selesainya jam kerja hari itu. Biasanya mereka membersihkan badan dan mandi sebelum pulang. Dan pikiranku berjalan cepat seperti kilat, jantungku berdegup semakin keras hingga terdengar dari telingaku. Aku gemetar, sejenis gemetar yang nikmat. Ahh.. ooh..

Aku keluar kamar dan, "Kang Saridjo sebelum pulang tolong saya sebentar..!"
"Ya, Bu.., apa Bu..? Saya mandi dulu sebentar."
"Nanti dulu.. Biar temennya saja mandi dulu, Kang Saridjo bantuin saya.. Sedikit koq..!"
Demikian peristiwa itu berjalan cepat. Aku menahan Kang Saridjo yang masih bau keringat untuk membantuku melakukan sesuatu yang dia belum tahu. Pokoknya aku harus dapat menahannya.

Aku pura-pura sibuk membongkar lemari dan menurunkan apa saja yang ada di dalamnya.
"Ini Kang banyak kecoaknya, tolong bantu dikeluar-keluarin dulu, saya mau ganti alasnya."
Dia mulai ikut membongkar isi lemari.
"Apa lagi, Bu..?"
"Ya, itu.. Ambil koran yang bersih.. eehh.., disapu dulu baru diganti alas korannya.." aku memberi tugas dan bersambung tugas hingga teman-temannya siap untuk pulang.

Aku berbisik, "Suruh mereka duluan..!" suatu omongan yang provokatif penuh menimbulkan tanda tanya bagi Kang Saridjo tentunya.
Dia melihat ke arah wajahku, dan aku berkedip sebelah mata. Dia senyum.., sepertinya mengerti.Aku sudah semakin nekat.
"Pulang duluan, geeh..! Aku masih bantuin Ibu, nih..!" katanya menyuruh teman-temannya pulang.
Aku tidak sabar dan semakin panas dingin.

Lima menit kemudian, kuperkirakan teman-teman Kang Saridjo sudah agak jauh. Intuisi dan reflek-reflekku mengalir. Dari sebelah dinding aku mengangkat bundelan buku dan aku menjatuhkan diri.
"Aduh.. duh.. duhh, achh.. Kakiku kesleo..!"
Buru-buru Kang Saridjo bangun menghampiriku, "Kenapa, Bu..?"
"Ini, nyandung buku.." aku menyalahkan buku sambil, "Aduuhh.. aacchh..!" dan mengurut-urut betisku.

"Tolong Kang..!" tanganku menggapai tangan Kang Saridjo, itu pertama kali aku menyentuhnya.
"Ibu istirahat saja.. Biar saya saja yang beberes.."
"Yaa.., tuntun aku ke kamar tidur..!" pintaku sambil terpincang-pincang memegangi betisku.
Kang Saridjo memapahku. Tangan dan bahuku menyentuh badannya yang masih lengket karena keringat. Saat itu sempat aku juga mencium bau badan Saridjo. Ooohh.. bau lelaki.

Aku kemudian telungkup berbaring di kasur.
"Tolong urut sini dong, Kang..!"
Mungkin dia menjadi bengong tetapi aku masa bodo, pura-pura tidak melihat, dan bergaya masalah demikian biasa, minta tolong karena kesakitan.

Dia mulai mengurut-urut betisku.
"Acch.. Oocchh.. Aaacchh..!"
"Sakit Bu..?"
"Ya.. iya to, kamu ini gimana sih..? Terus urut pelan-pelan..!"
Aacchh.., telapak tangannya yang kasar. Tapak tangan kuli, yang pada saat begini berubah menjadi tangan kasar penuh rangsangan.

Aku yang setengah tengkurap di kasur menggeliat-geliat pura-pura kesakitan.
"Hhaacch.. hacchh.. eecchh.." begitu aku merintih-rintih, makin membuat Kang Saridjo bingung tentunya.

Tangan Kang Saridjo terus mengurut-urut betisku dengan hati-hati. Sekali lagi reflek dan intuisiku mengalir. Rintihanku kusertai geliat tubuh. Terkadang pantatku yang mulus kuangkat, seakan dalam menahan sakit. Tetapi sementara itu rintihan yang keluar dari mulutku kusertai pula dengan meremas-remas bantal. Tentu ini menjadi pemandangan yang sangat erotis dan menggoda bagi lelaki. Dan Kang Saridjo, seperti yang kurasakan tidak banyak bertanya lagi, terus mengurut-urut betisku.

Makin lama rintihanku berubah nada, menjadi desahan. Aku tidak merintih sekarang. Aku mendesah sambil tanganku terus meremas-remas apa saja dengan maksud demonstratif agar didengar dan disaksikan Kang Saridjo. Dan.., rasanya ada hasil. Tangan Kang Saridjo terus mengurut lebih naik lagi hampir pada lipatan dengkulku. Kubiarkan dengan terus mendesah-desah secara erotis. Ya, erotis.

"Ahh.. aacchh..! Terus Kang, enaakk..! Ennaak Kangg..!" desahku lagi.
Tentu efeknya pada Kang Saridjo seperti pisau bermata dua. Enak apanya..? Enak bagaimana..? Sakitnya baikan atau..? Aku tidak perduli dan naluriku terus berjalan untuk membangkitan emosi Kang Saridjo.

Dan ketika tangan Kang Saridjo kurasakan makin berani ke atas hingga menyentuh ujung pahaku, aku sudah yakin, Kang Saridjo sudah masuk perangkapku. Aku terus mendesah-desah sambil meremas-remas apa saja. Ya bantal, kain sprei, selimut, yang kemudian bahkan kupeluki guling sementara pantatku bergoyang naik turun sebagaimana orang menahan sakit. Dan ketika tangan Kang Saridjo yang kasar itu meremas pahaku, darahku berdesir sangat kuat, jantungku berdegup, mataku mulai kabur. Yang kurasakan hanya kenikmatan sentuhan Kang Saridjo yang demikian kutunggu.

Kudorong lagi keberaniannya dengan desahan dan rintihan erotis.
"Yaa.. aacchh.. ennaakk.., terus Kang..! Yaahh..!"
Dan tangan Kang Saridjo tidak lagi menunjukkan keragu-raguan.

Ketika akhirnya jari-jari tangannya yang kasar dan kaku benar-benar menyentuh bibir vaginaku, aku tahu bahwa Kang Saridjo benar-benar telah siap memegang kendali untuk mengajakku menuju kenikmatan dahsyat yang akan sama-sama kami alami. Aku bergelinjang hebat saat jari tangannya menyibak CD dan merengkuh bibir kemaluanku yang sejak tadi telah membasah karena birahi. Aku mulai benar-benar merintih karena nikmat yang menerpaku.

Seluruh tubuhku menggelinjang. Vaginaku banjir oleh cairan birahi. Pantatku kuangkat sedikit naik untuk memberi kesempatan tangan Kang Saridjo leluasa meremasi kemaluanku. Ternyata perkembangan ini disergap cepat oleh Kang Saridjo.
"Oohh.., Bu.. Aku nggak tahan, Bu..!""Aachh.. eecchh.." jawabanku hanya rintihan dan desahan yang penuh kehausan dan kebuasan atau keliaran.
Begitu juga Kang Saridjo, keliarannya langsung muncul tidak dapat lagi terbendung.

Rokku disibakkan hingga seluruh paha dan pantatku terbuka. Badannya menindihku dan wajahnya langsung menubrukku, dan bibirnya langsung menyedot dan menjilati paha dan pantatku, sementara tangan kanannya meneruskan meremasi vaginaku. Tangan kirinya menyelusup ke bawah blus meraih buah dadaku, meremasinya dan mempermainkan puting susuku. Woowww.. Dahsyat..! Belum pernah aku merasakan gelinjang senikmat ini selama masa perkawinanku.

Bau badan dan kelaki-lakian Kang Saridjo itu yang membuat segalanya menjadi bergolak terbakar sangat dahsyat. Dia mulai mengerang seperti singa yang lapar. Kemudian dengan tangannya yang kekar, tubuhku dibalikkannya hingga telentang. Tiba-tiba tangan-tangannya meruyak dan merobek-robek rokku. Aku sangat kaget dan serem dengan adanya kejadian itu. Sesaat aku tersadar, tetapi keburu mulutku disumpal dengan lidahnya yang dengan menggila menghisapi lidah dan ludah di mulutku.

Untuk sesaat birahiku mau lenyap. Kecewa, marah, takut, seram, panik campur aduk, tetapi ternyata itu hanya sesaat. Sebuah sensasi erotik tiba-tiba menggelegak melalui darahku. Kekasaran itu menjadi berubah menjadi sensasi birahi yang dahsyat bagiku, melengkapi obsesiku mengenai seorang lelaki berotot untuk meniduriku. Aku sepertinya hendak diperkosanya. Aku harus melayani nafsu singa lapar.

Tangan-tangan yang meruyak ke atas dan merobek-robek rokku telah menemukan sasarannya. Susu-susuku diremasinya. Tubuhnya yang entah berapa beratnya menindihku. Susuku dicemolinya. Digigiti, dihisap-hisap. Wajahnya membenam ke dada dan ketiakku, lidahnya menjilat, bibirnya menyedot dan menggigiti ketiakku.
"Ohh.. Kang Saridjo jangan lepaskan.. aahh..! Teruuss. Djoo.. nikmatnya akan selalu terukir di hatiku.. Djoo..!"

Bersambung . . . . .