The Angels - 1

Bookmark and Share
Seseorang mengetuk pintu ruang pribadiku. Ah, selalu saja begitu, kenapa mereka tidak datang di saat aku sedang senggang atau bosan menanti? Tapi, yah, itulah manusia, mereka selalu saja ceroboh dan tidak berusaha berhati-hati tentang apa yang bisa terjadi di masa depan, dan terus saja menganggap bahwa masa lalu adalah gambaran masa depan.
"Tunggu sebentar!" teriakku ketus sambil mengeringkan tubuhku yang baru saja kusegarkan dengan beberapa tetes air.
Ketukan itu terus saja terdengar.
"Iya, iya, lima menit lagi!" teriakku lagi, mencoba membuat orang itu mengerti.
Ketukan itu terus saja terdengar, membuatku tidak bisa berkonsentrasi mendandani diri di depan cermin di sudut ruang ini, dimana aku selalu melenggok mengagumi keindahanku. Keindahan yang tidak dimiliki manusia ataupun bidadari manapun.

Hmm, sejenak kuintip melalui lubang kecil di pintu ruang pribadiku, ah, ternyata seorang pria muda dua puluhan tahun. Aha, muncul rasa isengku. Sejenak aku berdiri di depan cermin untuk menampakkan wujud indah yang seringkali membuatku berdecak kagum sendiri. Tubuh indah semampai yang jangkung, sepasang betis ramping dan paha jenjang yang menyangga pinggul yang kencang, perut datar berbingkai pinggang langsing, dan hmm, sepasang dada indah berukuran sedang yang tampak membusung manis tersangga sepasang bahu tegak yang terjalin dengan leher jenjang. Wajahku? Hmm, wajah yang tidak mungkin mendapatkan penolakan dari pria manapun. Ketukan kembali terdengar, membuyarkan kekagumanku.

Pintu kubuka kencang, dan kulihat pemuda itu berdiri mematung di depannya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh, celana jeans kumal, dan sepatu kets yang sudah tidak jelas warna aslinya. Meski cara berdandannya demikian buruk, wajahnya tampak bersih dan sorot matanya bersinar-sinar, walaupun terdapat garis kesedihan dan ketakutan di sana.
"Ayo masuk!" kataku mempersilakan.
Pria itu tidak menjawab, bahkan tidak melihat ke mataku, khas anak muda yang belum dewasa, belum tahu sopan santun. Ia hanya melangkahkan sepatu bututnya memasuki kamar pribadiku yang beralaskan karpet berwarna hitam pekat. Ia langsung melemparkan pantatnya di kursi malas empuk yang terhampar di tengah ruangan.

"Ini tidak adil!" pekiknya seperti kesetanan.
Aku tidak terlalu perduli, karena sebagian besar orang yang masuk ke ruang kerja pribadiku belakangan ini selalu mengatakan demikian. Dengan santai aku berdiri bersandar di dinding di hadapan pemuda itu, menatapnya, membiarkan bola matanya yang sejak tadi tertunduk itu bergerak ke arahku perlahan-lahan.
"Kenapa tidak adil?" tanyaku dengan nada datar.
"Ini bukan saatnya bagi saya!" bentaknya dengan nada protes.
Seberapapun kerasnya nada protes tadi, pandangannya yang tadi kaku dan kasar berangsur berubah melihat penampilan tubuh indahku yang hanya terbalut kain kelabu tipis, nyaris transparan.

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyaku pelan, dengan mataku yang ujung-ujungnya menyudut ke atas ini tetap menatap tajam ke arah matanya.
"Masih ada yang harus saya selesaikan." jawabnya lagi, "Lagipula waktu saya masih jauh!"
"Apa yang harus kamu selesaikan?" tanyaku lagi, "dan seberapa pentingnya itu bagi orang lain?""Kalau saya sudah berada di sini sekarang, pacar saya dalam bahaya!" jawabnya, masih dengan nada tinggi.
"Oh?" jawabku sambil melangkah mendekat, "Hanya karena seorang kekasih?"
"Saya mohon, beri saya kesempatan sekali lagi, hanya sampai semua itu tuntas!" jawabnya lagi.
"Hm.. baik."
Aku menghela nafas panjang mengamati bentuk tubuh pria muda di hadapanku, "Dengan satu syarat kecil." "Apa itu?" tanyanya lagi, namun hanya itu kata-kata yang bisa keluar, karena ia segera terpana melihat ke arahku.

Aku melonggarkan ikatan kain tipis penutup tubuhku dan membiarkannya jatuh ke atas karpet hitam yang tebal di bawah kakiku. Kubiarkan mata pemuda itu kini tidak berkedip melihat ketelanjangan tubuh seorang bidadari di hadapannya, yang polos tanpa selembar benang, dengan rambut lurus yang panjang sepinggang terurai, dengan tubuh sempurna yang tidak pernah dilihatnya, dengan wajah oriental yang menatapnya sendu.
"Mampukah kamu memberi aku yang selama ini ingin kudapatkan, eh, anak muda?" tanyaku sambil berlutut di lantai membiarkan wajah kami berhadapan dekat sekali, "Bukankah kamu ahli sekali dalam hal itu?"
"D.. d.. darimana.. kamu tahu?" tanyanya tergagap setengah ketakutan.
"Sangat sulit mencari hal yang aku tidak tahu." jawabku mengingatkannya.
"Eh.. aa.. aku.." tidak sempat lagi ia melanjutkan kalimatnya, karena bibirku terlanjur mengunci bibirnya dengan sebuah ciuman yang erat dan dalam.

Kubiarkan hasrat mudanya bergejolak. Kubiarkan telapak tangan dan jemarinya dengan kasar mulai menjamah badan ini. Mengusap punggungku, pinggangku, lalu meremas sepasang pinggul indah ini. Mmm.. mataku makin meredup sayu, membuatnya segera menarik bibirnya dari bibirku dan mendorong tubuhku hingga telentang jatuh ke atas karpet. Ia melompat dari kursi malas itu dan menelungkup di atas tubuhku. Kupejamkan mata menikmati apa yang lama tidak kunikmati lagi. Ciuman dan jilatan liar bertubi-tubi menyapa kulit tubuhku. Jemarinya hinggap meremas-remas kedua buah dadaku, ujung-ujung kemerahan di atasnya juga tidak luput dari sayatan lidahnya yang bergerak cepat. Aku menggelinjang merasakan nikmatnya puting ini menerima keangatan lidahnya, membuat kedua tonjolan merah jambu itu kini mulai mengencang kaku. Nafas ini terasa makin berat ketika lidahnya tanpa berhenti menjentik-jentik di daerah itu.

"Ohhmm.. indah sekali.." rintihku lirih seraya terpejam-pejam.
Telapak tanganku mengusap-usap punggungnya, merengkuh, ingin sekali rasanya menyatukan seluruh raganya padaku. Sebentuk kabut hitam menyelimuti kami, namun hasrat pemuda itu tetap tidak terhenti. Jemarinya makin leluasa menelusuri seluruh tubuhku, memberikan sensasi luar biasa yang makin tidak tertahankan ketika tiba di pangkal pahaku.
"Ungghh.." aku mengerang panjang ketika jemari itu mulai menggosok pelan lipatan-lipatan lunak yang menggerbangi kemaluanku.
Kurasakan kehangatan bibirnya meninggalkan putik-putik yang telah mengencang di ujung-ujung buah dadaku, menjilat-jilat turun, membasahi pusarku dengan sentuhan lembabnya.

Dalam sekejap mata aku telah menelentang di atas kursi malas di tengah ruangan. Sedikit keheranan terbersit di mata pemuda itu, namun hasrat gejolak dalam dadanya lebih memaksanya untuk terus menjelajahi tiap senti dari tubuh ini. Kupejamkan mata, terasa seolah begitu banyak jemari membelai kulit badanku, menghangatkan tubuhku, lalu sebentuk benda besar dan tumpul melesak masuk, menyatu dengan tubuhku.
"Ohh.." terasa dengusan nafas pemuda itu di wajahku.
Mataku yang setengah terbuka sempat menatap wajahnya yang kini melotot memperhatikan setiap ekspresiku.
"Uhk.." terasa kemaluanku didesak ke dalam. Lalu tergesek pelahan ke arah luar.
"Ahgg.." kembali benda itu menusuk dalam-dalam.
Semua terasa begitu indah dan nikmat. Kubiarkan pemuda itu sepuas-puasnya menggigit dan mengulum kedua putik merah jambu di dadaku, sementara kedua buah dada ini tidak luput dari remasan-remasan gemasnya.

Seluruh ruangan dipenuhi aroma kewanitaan yang menjadi tuan rumahnya, sudut-sudut yang tadinya gelap, kini berhiaskan bunga berwarna-warni yang bermekaran. Di tengah padang rumput hijau itu tubuhku terlentang menyatu dengan tubuh seorang pemuda penuh gairah, yang dengan sekuat tenaganya berusaha memompakan kenikmatan pada tubuh telanjangku.
"Ohh.." perasaan yang luar biasa kembali hinggap ketika putik-putik di ujung dadaku kian tegang dilahapnya. Rasanya seperti ia mengulum seluruh tubuhku.
"Uhh.." kemaluanku terasa kewalahan menerima benturan dan gosokan hangat ini.
Terasa menggesek kian cepat.. kian cepat.. kian cepat. Kupejamkan mata, kudekap kepalanya, kubiarkan giginya menjepit, menggigit-gigit putik buah dadaku, mengalirkan rasa ngilu namun nikmat dan melemaskan.
"Ohh.." aku tidak mampu lagi menahannya.

"Aahh.." rintihan panjangku mengakhiri permainan cinta singkat itu.
Terasa kemaluanku tiba-tiba tersengat oleh panasnya lahar yang dimuntahkan tubuh pria itu, menambah indahnya kenikmatanku. Lalu semua sunyi. Tidak ada lagi padang rumput dengan bunga warna-warni bermekaran. Hanyalah sebuah ruang kerja pribadiku, dengan kursi malas panjang di tengahnya, dan tubuh pemuda itu, menelungkup di atasnya dengan nafas-nafas panjang kelelahan.

Sinar mentari pagi membangunkan Eric dari tidurnya. Mata pemuda itu berkejap-kejap menyesuaikan diri dengan silaunya suasana. Ia terbangun dan mendapati dirinya sedang duduk tersandar di sebuah dinding tinggi yang penuh dengan coret-coretan cat semprot. Ia bangkit berdiri.
"Lihat kemari, Eric!" sapa suaraku dari belakangnya.
Pemuda itu berbalik, "Oh.. kkamu.."
Ia tampak ragu dan tergagap melihat sosok wanita yang baru saja dihangatkannya, terbalut rapih oleh jas panjang berwarna kelabu.
"Iya, ini aku." jawabku lirih, "Yang baru terjadi bukan mimpi."
"Apakah saya mendapat kesempatan sekali lagi?" tanyanya, masih tergagap setengah tidak percaya.

Aku hanya mengangguk mantap. Setitik air mata tampak berlinang di bawah mata bulat Eric.
"Jangan buang waktu untuk menangis!" bentakku, "Aku mempertaruhkan namaku untuk ini semua!"
"Dengan siapa kamu mempertaruhkan nama?" tanyanya keheranan sambil menengok kiri-kanan, memastikan bahwa lorong sempit dan kumuh ini sepi tanpa ada orang lain.
"Dengan dia." jawabku menunjuk ke ujung lorong yang tidak tersentuh sinar mentari.
Dari balik kegelapan ujung lorong buntu itu, seorang pria kurus melangkah mendekat. Wajahnya pucat dan kurus seperti orang sakit, matanya merah dan menatap tajam ke arahku dan Eric.

Setelah berada begitu dekat dengan kami, terlihat makin jelas sosok kerempengnya terbalut kaos dan celana ketat berwarna hitam. Agak tidak cocok untuk penampilan wajahnya yang tampak setengah baya dengan rambut yang keperakan.
"Juru kunci, aku tersinggung dengan ulahmu!" bentaknya sambil menatap tajam ke arahku.
Eric tampak ketakutan dan tidak mengerti. Kehadiran pria ini memang memberikan atmosfir yang dingin dan mencekam di sepanjang lorong kumuh ini.
"Death, biarkan ia menyelesaikan tugasnya." jawabku tenang, "Akan kuberikan apa yang menjadi milikmu nanti."
"Baik!" jawab pria kurus itu, "Aku beri waktu sampai matahari terbit besok pagi."
Pria kurus itu lalu menengok ke arah Eric yang wajahnya mulai memucat ketakutan.

"A.. ampun pak.." Eric tergagap ketakutan ketika pria kurus itu mendekatkan wajah kusutnya ke wajah Eric.
"Ingat.." bisik pria kurus itu, "Sampai jumpa besok."
"Ss.. siapa bapak?" tanya Eric memberanikan diri.
Pria itu melangkah mundur, kembali ke gegelapan ujung lorong.
"Mereka memanggilku Death!" terdengar suara beratnya menggema di sepanjang lorong.
Lambat laun kaos dan celana ketatnya berbaur dengan bayang-bayang gelap, menyatu dan berubah rupa menjadi sebentuk jubah hitam pekat. Wajah kurusnya tadi berangsur berubah perlahan, membentuk wajah tengkorak manusia yang matanya tertutup oleh bayang-bayang kerudung hitamnya. Dari balik jubahnya, tampak sebuah tangan tulang belulang menggenggam sebentuk sabit besar. Untuk kemudian ia menghilang sama sekali.

Bersambung . . . .