Semua masalah berawal di bandara Juanda, 15 Juni 2001
"Hey, no tears, Maan," ucapnya seraya merangkulku sekali lagi. Ah, mungkin ini yang sering disebutkan oleh orang-orang sebagai perpisahan yang memilukan.
"Tears nenekmu," umpatku sambil tertawa. Garing memang, tapi mau bagaimana lagi. Jay melepaskan rangkulannya dan menatapku. Tatapan yang cukup mengingatkanku tentang setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan.
"Hahaha," tawanya, "Salam buat gadis-gadis."
"Gampang lah," sahutku tersenyum padanya. Kutatap punggungnya saat ia melangkah memasuki ruang keberangkatan. Huh, menyebalkan. Dan aku masih punya banyak tugas untuk diselesaikan sendiri! Bagaimana mungkin aku tidak merasa sebal. Tapi mungkin inilah rasa sebal yang kularikan dari kepergian salah seorang sahabat terbaikku yang sudah melanglang buana di sudut-sudut kota bersamaku selama tiga tahun ini. Kubalas lambaian tangannya dan bergegas meninggalkan tempat yang mulai terasa panas walau banyak TKI amatiran yang menggigil kena AC di sudut lorong. Lalu.. apa yang akan terjadi sekarang?
Keesokan harinya, saat pemotretan di hotel Nv
"Kenapa sih Boss ngga pernah punya model cakep yang ngga kampungan?"
Jodi menatap ke arahku dengan pandangan khawatir, "Ssshh, jangan begitu.. jaman sekarang kan susah nyari cewek yang berani pose menantang."
"Iya, tapi jangan tukang sayur begitu dong," tukasku sengit seraya memandangi kembali 'orang kampung' yang sekarang sudah sibuk sendiri membolak-balik tubuhnya di atas bangku kayu di samping kolam renang.
Jupri si tukang potret di sebelah kami tertawa ngakak, "Sudahlah, Ray. Yang penting masih ada juga kan tukang sayur yang beli tabloid kita."
Mau tidak mau aku tertawa juga mendengar selorohannya. Mungkin kalau ada Jay di sini lebih ramai.
"Sepi ya, ngga ada Jay," mendadak Jodi bisa membaca pikiranku.
"Ya," anggukku kemudian. Memang kami semua merasa kecewa saat Jay menerima tawaran dari LL, perusahaan besar yang bergerak di bidang event organizer dan periklanan di Jakarta itu. Tapi Jay kan berhak memutuskan masa depannya.
"Tapi, Ray," Jupri menyeletuk seraya memencet tombol kamera, "Katanya Pak Herman sudah menyiapkan partner kamu yang baru."
Partner. Tentu saja. Dan itulah masalahnya.
"Sudah, Bang?"
Kami langsung menatap sebal pada wanita berbikini itu.
Bang? Emang tampang kita kayak bangku?
Di kantor, siang harinya
"Tenang, duduk dulu," ucap Pak Herman sambil tersenyum-senyum. Dengan tidak sabar kududukkan diriku di kursi putar di depan mejanya.
"Mana, Pak?"
"Tunggu sajalah."
Kata orang kejutan memang menyenangkan, tapi terlalu terkejut juga tidak menyenangkan. Persis yang kualami hari itu.
"Ray, kenalkan partner baru kamu, Moogie salah seorang yang terbaik dari tabloid cabang group kita," ucap Pak Herman seperti seorang salesman kosmetik, "Moogie, ini Ray, yang terbaik dan yang terbengal yang pernah kita miliki."
Kubalik tubuhku dan yah, hanya bisa mengangakan mulutku lebar-lebar saat gadis berambut cepak itu mengangkat tangannya dan membentuk huruf V dengan jemarinya.
"Loh, kok cewek?" pertanyaan pertama yang keluar dari bibirku sebagai reflek keterkejutanku. Gadis itu menatapku dengan matanya yang entah bagaimana terlihat aneh.
"Memang kenapa kalau cewek? Ngga boleh?"
"Hah? Loh.. loh.. tunggu," ucapku terbata-bata.
"Sudah.. sudah," potong Pak Herman, "Sekarang saya pingin kalian keluar dari ruangan saya. Soalnya sebentar lagi tukang pijat mau datang, dan kalian masih punya kewajiban untuk diselesaikan."
Cewek? Cewek??!!?
"Hey, kamu dengar ngga sih?"
"Iya-iya," dengan malas kuangkat kepalaku dan menatap gadis itu, "Aku dengar kok, tentang bagaimana kamu begini.. lalu begitu.."
Kuucapkan satu demi satu setiap kata yang semenit lalu diucapkannya. Gadis itu menatapku seperti melihat alien. "Gila, memang kamu wartawan tulen." Hanya itu, sebelum gadis itu kembali nyerocos tentang cerita kehidupannya.
Lima menit kemudian kepalaku sudah pusing lagi. Segera kututup novel Omerta yang semalam masih bisa kunikmati dan menatap ke arah gadis yang langsung terkejut itu. "Sudah?"
"Eh," ucap gadis itu, "Kalau kamu sudahan ya udah."
"Bagus."
"Tapi.."
"Duuhh," erangku gusar lalu bangkit berdiri dan menuju lemari arsip di sebelah dispenser. Seperti yang sudah kuduga, gadis itu mengikutiku.
"Akhirnya pekerjaan," ucapnya dengan suara nyaring seolah baru mendapat hadiah ulang tahun, "kupikir kita akan berkarat di sini."
"Nih," ucapku seraya mengeluarkan sebuah map berwarna kelabu. Moogie mengambil map itu dan mulai membukanya di atas meja.
"Apaan nih?"
"Itu kerjaan kita nanti malam."
"Dugem?" desahnya sambil mengerutkan alis.
"Iya," ucapku kasar lalu menyalakan rokok di bibirku.
"Dugem. Kenapa? Anak mama ngga boleh keluar malam yah?"
Di luar dugaan Moogie hanya diam saja.
Malamnya, aku jadi keledai dungu..
"Iya, Tante," ucapku dengan senyum termanisku, "Ngga sampai malem kok."
Wanita setengah baya itu memandangku dengan penuh selidik, apalagi kalau bukan mengira-ngira berapa meter rambutku dan menduga-duga jumlah tatoo di badanku, "Jam dua belas."
Moogie bisa melihat mataku yang membelalak.
"Iya, Ma. Jam dua belas."
"Eh?" ucapku hendak protes, tapi Moogie melirikkan matanya, "Iya Tante. Hanya sampai jam dua belas kok."
Di jalan beberapa saat kemudian..
"Gila, mana ada dugem cuman sampe jam dua belas," gerutuku seraya menginjak pedal gas mobil. Moogie hanya tertawa kecil. "Loh, pamitnya kan ke pesta ulang tahun." Iya juga sih pikirku dalam hati.
"Omong-omong, Ray," selanya kemudian, "Nanti kamu ajarin aku yah apa yang harus kulakukan."
Dengan heran kupalingkan wajahku ke arahnya.
"Loh, memangnya kamu dari tabloid mana sih?"
"Klenik."
Alamak!! Nggak nyambung amat.
Di diskotik S, salah satu yang terbesar di Surabaya.
"Ih, jangan pegangan dong, kayak pacaran aja," tukasku saat Moogie menggandeng tanganku ketika kami berjalan menuju pintu masuk. Gadis itu langsung kelihatan menciut dan memasang wajah penuh penyesalan.
"Kan aku belum pernah ke sini, Ray."
Sinting! Kapan lagi coba aku jadi babby sitter. Tak ingin berdebat lebih lama, kugamit tangannya dan setengah menyeret ke pintu masuk.
"Loh, Ray, kok sorean?" tanya bapak bertubuh tinggi besar yang berdiri di depan pintu masuk, "bawa cewek lagi. Gebetan kamu ya?"
Dengan wajah gusar kutatap bapak itu, "Ngga, Pak. Ini adik saya."
Moogie langsung cekikikan. Bapak itu mempersilahkan kami masuk tanpa bayar. Lha wong langganan tetap sejak 1997.
"Nah," ucapku sesampainya di dalam, "kamu tunggu saja di sini dan amati saja perilaku orang-orang di sini. Target kita adalah orang-orang yang menjajakan narkoba. Tapi kamu harus hati-hati, soalnya di sini kan gelap, jadi kamu pasang telinga baik-baik kalau ada seseorang menawarkan kamu sesuatu."
Moogie mengangguk-anggukkan kepalanya, "Lha cuman itu doang?"
"Ngga sih," senyumku kemudian, "enjoy-nya dong." Kuliukkan tubuhku mengikuti irama musik yang membisingkan telinga. Moogie menutupi mulutnya dan tertawa kecil. Kulirik jam di tanganku saat Moogie tertawa dan menghela nafas melihat waktu yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Moggie memukul pundakku, "Ray!" Dengan terkejut kupalingkan wajahku menatapnya, benakku terseret dari irama musik house yang sedetik lalu masih menyusupi sarafku, "Apaan?"
Gadis itu mendekatkan bibirnya ke kupingku, "Aku mau pipis."
"Duh," helaku gusar lalu menyeret gadis itu melewati kerumunan orang-orang.
Dengan sabar kutunggu gadis itu keluar dari toilet. Saat itulah seorang pemuda dengan rambut botak dan baju serampangan menghampiriku dan membisikkan kata-kata ajaib yang sudah kutunggu-tunggu.
"Enam lima?""Empat lima," sahutku lirih.
Si Botak menghela nafasnya, "Lima puluh."
"Di luar?" senyumku padanya. Mendadak aku jadi lupa bahwa aku tidak sendirian ke situ. Si botak melangkah ke luar toilet dan menghampiri beberapa orang yang bergoyang di sudut gelap, sebelum menghampiriku.
"Nih," ucapnya seraya meletakkan di tanganku sebutir obat yang berdiameter satu senti. Lumayan.
"Wawancaranya?"
Si Botak langsung pasang wajah terkejut lalu berusaha mengambil lagi barang yang barusan dimasukkannya ke tanganku, "Polisi?" Kulihat beberapa orang di sudut gelap itu mulai menghampiri kami. Dengan masih tersenyum kugelengkan kepalaku, "Wartawan." Si Botak melirik gelisah.
"Ada apa, Zir?" tanya salah seorang yang berambut karatan.
"Ada apa, Ray?" mendadak Moogie sudah di belakangku.
Dalam perjalanan pulang
"Gila, Ray. Kamu berani sekali," Moogie menatap kaset kecil di jepitan jemarinya.
"Part of the job," jawabku singkat. Sebenarnya malam ini aku beruntung sekali, dari target lima sampai enam orang, aku malah mendapat tujuh narasumber.
"Tapi aku jadi heran, Ray."
"Kenapa?"
"Kok ngga ada bagian sensualnya?"
Dengan tertawa terbahak-bahak kupalingkan wajahku menatap gadis itu.
"Yang ini liputan khusus non seksual."
"Oh, begitu ya?"
"Kecuali.."
Moogie menatapku dan menunggu akhir kata-kataku, "Kecuali?"
"Hehehe," dengan kekeh nakal kupalingkan lagi wajahku menatap jalan raya, "kecuali.. kalau kamu ngga pulang jam dua belas dan kamu pakai baju seksi, yang ngga pakai lengan dan rok mini ketat."
"Kok begitu?"
"Ngga tau. Iseng saja ngomong begitu. Hayo, kamu ngeres, ya?"
Gadis itu lengsung berteriak gusar dan meninju lenganku. "Kamu itu yang jorok!"
Ternyata selama perjalanan pulang kami sudah bisa mengakrabkan diri.
Kantor, keesokan siangnya
"Jadi udah dapat apanya?"
"Nenek elo dapet semangka," ucapku dengan tertawa.
Jodi langsung keki, "Nenek gua udah tewas."
Jupri tertawa terbahak-bahak.
"Sungguhan nih, Ray."
"Emangnya mau dapat apaan?" tanyaku kemudian setelah lelah tertawa, "Nih."
Kedua orang itu menatap kaset kecil di atas meja.
"Bukan yang ini, bego," ucap Jupri sesaat kemudian, "si Moogie itu."
"Moogie? Moogie katamu?" ucapku dengan wajah misterius.
"Iya-iya," mereka langsung pasang wajah bernafsu.
"Bibirnya," bisikku mendesah, "lehernya.. putih, bo."
"Terus, terus?"
"Pulang dari disko, di parkiran, dia diam saja waktu kujilati belakang kupingnya. Terus tanpa dia sadari gua buka tuh bajunya dan jilat payudaranya yang montok. Merah jambu, maan." Jodi dan Jupri menahan nafas, "Lalu?"
"Lalu gua susupin jemari gua ke balik roknya dan dianya basah banget, bo."
"Terus?"
"Cabuull!!"
Mendadak sesuatu mendarat di kepalaku. Jodi dan Jupri langsung tertawa terbahak-bahak. Ternyata mereka sudah tahu kalau Moogie ada di belakangku. Dengan ikut tertawa kubalik tubuhku dan menghindar dari ayunan tas berikutnya. "Awas kamu, Ray," cibir gadis itu seraya melangkah menuju kantor Pak Herman. Jodi menepuk pundakku dan berbisik, "Sikat aja, anaknya manis kok."
Jupri ikutan nyeletuk, "Iya. Toketnya gede."
"Nenek elo bedua saling sikat."
"Nenek gua udah tewas," ulang Jodi dengan wajah sewot.
"Udah tau," ucapku seraya bangkit berdiri dan ngeloyor ke ruangan Pak Herman.
Bersambung . . . .