Rumah kost di kawasan elit itu terlihat tidak berbeda dengan rumah lain di blok yang sama. Bertingkat dua, dengan beberapa kamar sewaan berkelas, dan garasi besar yang cukup untuk beberapa mobil. Namun di dalamnya, sedikit agak berbeda. Meskipun tidak banyak yang tahu apa bedanya.
"Selamat pagi..!" seru seorang wanita muda yang sedang menuruni tangga putar dengan terburu-buru.
"Pagi.." jawab tiga orang lainnya yang sedang duduk mengelilingi meja makan.
Dengan masih terburu-buru, wanita muda berambut coklat itu menarik salah satu kursi dan duduk menghadap ke sebuah gelas besar susu coklat dan dua butir telur rebus.
"Kok buru-buru, Vin..?" tanya seorang pria berkemeja hitam yang sejak tadi sudah sibuk dengan sarapan paginya.
"Iya nih, hampir telat." jawab wanita muda yang dipanggil Vin itu sambil mengetuk-ngetuk telur rebusnya dengan sebuah sendok kecil.
Wajahnya yang manis masih tampak dipenuhi ekspresi gugup, khas orang yang sedang terlambat.
"Emangnya ada apa..?" tanya seorang wanita bertubuh tinggi, berpakaian khas wanita karir yang juga sudah sejak tadi duduk di situ.
"Ada kerjaan yang mesti aku selesaikan siang ini, Mbak." jawab Vin sambil mengupas telur rebusnya.
"Emangnya kerjaan apa sih..?" tanya seorang bapak berkaos kuning yang duduk di sudut meja.
"Eng, sebenarnya proyek lama sih, Pak." jawab Vin, "Cuman saya lupa mengerjakannya, eh, tahu-tahu udah deadline.""Ooo, gitu.." jawab yang lainnya menggumam dan meneruskan sarapan, seperti sudah terbiasa dengan tabiat Vin.
Jam dinding berbentuk kepala kambing masih menunjukkan pukul enam pagi.
"Pagi semuanya..!" sapa suara seorang pria dengan nada malas dari atas tangga putar.
Semua yang duduk mengelilingi meja makan mendongak ke arah tangga putar besar di sudut ruang makan itu dan balas menyapanya.
"Kok belum mandi, Boy..?" tanya bapak berkaos kuning yang rupanya adalah pemilik rumah kos itu, "Mabuk lagi, ya..?"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Pria itu menuruni tangga pelan-pelan, dari kusutnya rambut, wajah, dan kaos dalam yang dikenakannya, tampak jelas bahwa pria yang dipanggil Boy ini masih belum lama bangun dari tidurnya.
Boy duduk di samping wanita bertubuh tinggi yang berpakaian kerja tadi, dan mengambil segelas air putih tidak dingin di depannya.
"Eh, kok minum punya orang lain sih..?" seru si wanita itu dengan agak jengkel, "Udah bekas aku, tahu..?"
"Hehehe, justru itu..!" ujar si Boy, "Aku malah nyari yang ada bekas lipstiknya Mbak Santi."
"Kok nggak langsung aja sekalian..?" tanya pria berkemeja hitam yang duduk di sisi lain meja makan, "Rugi kalo cuman gelasnya."
"Alaa, bilang aja kalau elo juga pengen..!" jawab Boy sekenanya sambil pergi ke kamar mandi.
Wanita bertubuh tinggi yang dipanggil Mbak Santi itu menyorotkan mata tajamnya pada si pria berkemeja hitam.
"Eh, apa salahku..? Kan dia yang ngomong..!" tanya pria itu dengan wajah tak bersalahnya. Tapi Santi malah tersenyum.
"Wah, aku udah terlanjur ge-er tadi, Leo." ujar Santi diikuti tawa kecil yang terdengar seperti tawa hantu.
Pak Jim, bapak kost itu ikut tersenyum melihat wajah Leo yang kini pucat, kontras dengan kemeja hitamnya.
"Oke, aku pergi dulu, dadaa semuanya..!" seru Vin sambil berdiri dengan terburu-buru dan berlari ke pintu keluar.
Karena terburu-buru, ia tidak menyadari kalau kaos ketatnya tersingkap, mempertontonkan sedikit kehalusan pinggang dan punggungnya.
"Hati-hati di jalan." kata Pak Jim pada anak kostnya itu, tentu sambil matanya memperhatikan ke arah kaos yang tersingkap tadi.
"Iya, hati-hati..! Biar ntar malam tetap fit untuk Pak Jim..!" canda Santi keras-keras, yang disambut tawa terbahak oleh Leo dan wajah cemberut Pak Jim.
"Kok tahu sih..?" bisik Pak Jim setelah Vin keluar dari ruangan.
"Alaa, Pak Jim nggak usah sok deh..!" jawab Leo, "Siapa yang semalam ngintip Vin di kamar mandi..?"
"Enak aja..! Bukan saya itu..!" seru Pak Jim membela diri.
"Iya, Leo. Pak Jim bener kok, dia nggak ngintip Vin." jawab Santi dengan nada penuh pembelaan, "Yang dia intip itu aku..!"
Mengakhiri kalimatnya, Santi berdiri dan berjalan ke arah dispenser, mengambil air minum di gelas baru, karena gelasnya yang tadi sudah dipakai oleh Boy. Pak Jim tampak tersipu, sementara Leo tersenyum nakal mengejeknya.
"Oke, aku pergi duluan yah..!" seru Santi sambil mengeringkan tangan setelah mencuci peralatan makannya di wastafel.
Tubuh tinggi semampai yang tertutup blazer biru muda itu melenggang ke pintu keluar, rok span pendek yang membalut pinggulnya tampak bergoyang-goyang mengikuti gerakan kedua tungkainya yang jenjang terbungkus stocking transparan.
"Ngeliat apa kalian..?" bentak Santi sambil tiba-tiba membalikkan badan.
Pak Jim dan Leo yang sejak tadi memperhatikan tubuh wanita itu jadi salah tingkah dan pura-pura sibuk dengan sarapannya. Dengan tawa lepas, Santi meninggalkan ruangan.
"Lho, udah pada cabut semua nih, bidadari-bidadarinya..?" tanya Boy yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk, segumpal pakaian kotor, dan cangkir plastik kecil berisi sikat gigi.
Meskipun sudah mandi bersih, jalannya tetap saja gontai karena pengaruh alkohol dan obat-obatan yang dipakainya tiap hari.
"Masih ada yang satu lagi kan, Boy..?" jawab Pak Jim sambil membereskan peralatan makannya.
"Iya, nih." sahut Leo, "Karina kok belum bangun yah, udah enam seperempat."
"Wah, pasti kecapean semalam." kata Boy sambil berjalan naik lewat tangga putar.
Pak Jim dan Leo berpandangan sejenak dengan wajah bingung.
"Emangnya semalam dia tidur di kamar elo..?" seru Leo agak keras agar Boy yang berada di lantai dua bisa mendengarnya.
"Iyaa..!" terdengar teriakan Boy dari lantai dua.
Pak Jim dan Leo kembali berpandangan dengan wajah bingung.
"Ah, nggak usah dipikirin deh Boss." ujar Leo, "Mendingan kita omongin rencana buat tanggal 13 nanti."
"Iya, yah. Bener juga." jawab Pak Jim sambil mengisi tembakau di pipanya dan mulai merokok ala Sherlock Holmes.
"Sebenernya gimana rencana utamanya..?" tanya Leo sambil mencuci piringnya di wastafel.
"Gini, tanggal 13 nanti kan Big Boss datang, nah, dia mau nginap di sini." Pak Jim memulai ceritanya.
"Nginap di sini..?" sahut Leo agak kaget, "Wah, kita mesti kasih sambutan dong..?"
"Ya justru itu yang aku pikirin." jawab Pak Jim sambil mengelus-elus rambut ubannya, "Kamu tahu apa yang dia inginkan, toh..?"
"Tahu sih," jawab Leo kembali ke kursinya, "Tapi apa anak-anak sini ada yang bisa..?"
"Itulah." jawab Pak Jim menghembuskan asap pipanya ke atas, "Santi dan Vin udah nggak mungkin, tadinya aku harap Karina bisa, tapi kayaknya Boy udah mengacaukan rencana kita nih."
"Hmm.. belum tentu juga sih." kata Leo sambil menyiapkan tas kerjanya di meja, "Apa Santi dan Vin udah jelas nggak bisa..?"
"Ya udah pasti." jawab Pak Jim sambil mengencangkan ikatan sarungnya, "Si Vin, sejak ketemu dengan segerombolan preman dulu, dia jadi hidup rada bebas sekarang, sementara si Santi.. yah, kamu tahu reputasi dialah.."
"Ooh, si Big Boss itu mintanya yang masih ting-ting, yah..?" tebak Leo.
"Begitulah..," jawab Pak Jim, "Sulit nyarinya kan..? Belum lagi yang secara sukarela mau menyerahkan diri pada dia."
"Apa harus sukarela..?" tanya Leo sambil menutup resleting tas kerjanya.
"Nggak sih, ya cuman nggak tega aja melihat orang terpaksa." jawab Pak Jim dengan nada bijaksana.
"Hmm.." sebersit senyum dingin tampak di wajah Leo, "Aku sih malah lebih suka ngeliat yang kepaksa."
"Mending kita omongin lagi ntar malam deh." jawab Pak Jim, "Ntar kamu telat juga, lho."
Leo segera membawa tas laptop-nya dan meninggalkan ruangan.
"Pagi Pak Jim." sapa suara seorang wanita dari tangga putar, Pak Jim melihat ke arahnya.
"Pagi, Karina." jawab pria setengah baya itu sambil matanya berusaha mengamati gadis manis yang sedang menuruni tangga putar itu.
Gadis itu berwajah manis dengan senyuman misterius dan cerdas, khas wanita yang lama tinggal di negeri orang. Cara berjalannya pun anggun, namun pagi ini Karina tampak agak aneh berjalannya.
"Karina, kamu kenapa kok jalannya gitu..?" tanya Pak Jim tiba-tiba.
"Eh.. Engg.. Nggak apa-apa kok, Pak." jawab Karina sambil duduk di kursi makan.
Pak Jim hanya diam, namun matanya meneliti tubuh gadis di hadapannya. Dilihatnya leher jenjang gadis itu putih bersih dan halus, namun agak di samping kiri tampak bekas merah, seperti bekas 'cupang', tertutup oleh rambut indahnya yang tergerai sebahu. Pasti ulah si Boy, pikir Pak Jim.
"Semalam kamu tidur sama Boy..?" tanya Pak Jim tanpa basa-basi lagi.
"Iya." jawab Karina sambil meminum secangkir kopi, tanpa basa-basi juga.
"Gimana, gimana, gimana..?" tanya Pak Jim penuh semangat sambil mengeluarkan kertas dan bolpen dari saku kaos kuningnya.
"Ahh, Pak Jim ini pengen tau aja..!" jawab Karina tersenyum, "Mau ditulis di website yah..?"
"Hehehehe.." pria gemuk itu tertawa renyah, "Siapa tahu ceritanya seru."
"Wah, seru sekali pokoknya..!" seru Boy yang ternyata sudah berada di tangga putar, "Dunia seperti milik berdua..!"
Karina tampak tersipu ketika Boy duduk di sampingnya dan mengecup kening gadis manis itu.
"Hmm.." Karina menggumam sambil memandangi langit-langit seolah berpikir-pikir, "Kalau sama Leo rasanya gimana yaa..?"
Wajah Boy tampak memerah, sementara Pak Jimo terkekeh.
"Kalau mo tanya tentang macam-macam rasa, tanya sama si Santi tuh..!" seloroh Pak Jim, "Dia tahu tempat memilih barang bagus, yang belum terkontaminasi obat dan tidak berbau alkohol."
Wajah Boy tampak makin memerah.
********
Malam tiba, garasi rumah besar yang seharian kosong itu kembali terisi oleh beberapa mobil penghuninya. Plat-plat nomor polisi di mobil-mobil itu menunjukkan sikap posesif para pemiliknya.
"Masuk, nggak dikunci..!" seru Santi ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Pintu terbuka, dan tampak Leo berdiri di situ.
"Masuk aja." Santi mempersilakan, sambil tetap membersihkan make-up pada wajah tirusnya di depan cermin rias di sudut kamar.
Leo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suara nafasnya terdengar agak keras karena situasi di kamar itu hening dan dingin oleh suhu AC. Pria itu memandang berkeliling, mendapati dinding dan langit-langit yang dicat hitam. Di sudut ruangan tampak sekantongpakaian kotor yang siap di-laundry, di sisi lain tampak sebuah meja rias panjang yang juga berfungsi sebagai meja kerja, dengan seperangkat palmtop, laptop, dan telepon seluler dihubung-hubungkan dengan beberapa kabel pendek.
"Mau membuktikan omongan si Boy tadi pagi yah..?" kata Santi sambil tetap memandangi wajahnya sendiri di depan cermin.
Leo tetap diam. Ia menatap tubuh wanita langsing itu dari belakang. Lingerie hitam hampir transparan samar-samar menutupi keindahan tubuh pemakainya. Mata Leo terpaku pada sepasang tungkai jenjang yang telanjang bersilang, begitu halus dan bersih kedua paha itu. Pikiran pria itu segera melayang kesana kemari.
Santi berdiri dan membalikkan badannya menghadap ke Leo, hingga pria itu kini leluasa melihat segalanya, yang hanya terlapisi oleh lingerie hitam agak transparan. Namun sikap dan ekspresi wajah Santi tampak menganggap kondisi itu wajar saja.
"Tumben main ke kamarku." ujar wanita itu sambil tersenyum dan melangkah mendekati Leo yang berdiri terpaku di depan pintu.
Setelah keduanya berhadapan begitu dekat, Santi mencolek dagu Leo, membuat wajah pria itu terangkat agak ke atas hingga matanya bertatapan dengan mata Santi yang agak lebih tinggi.
"Kamu keren pakai kaos hitam begini." puji Santi sekenanya, karena memang Leo tidak punya baju berwarna selain hitam.
Leo tersenyum dingin, matanya menyorot tajam ke arah mata Santi yang juga tidak kalah tajam. Santi malah mendekatkan wajahnya dan makin tajam memandangi mata Leo.
"Udah, nggak usah pakai ini segala..!" ujar Santi sambil memasukkan tangannya ke kantong celana Leo dan mengeluarkan sebuah borgol.
"Ini juga nggak usah dipakai..!" ujar wanita itu lagi sambil merampas cambuk dari tangan kanan Leo dan membuangnya ke lantai.
"Duduk situ..!" Santi menyuruh Leo seperti menyuruh anak kecil, "Mau ngomong apa kamu..?"
"Ada yang pengen aku omongin." ujar Leo setelah duduk di sofa yang terhampar di sudut kamar Santi yang dindingnya dicat hitam itu.
"Kok kayaknya serius amat sih..?" jawab Santi sambil melempar tubuh lencirnya ke atas springbed di samping sofa tempat Leo duduk.
"Ya, emang serius." jawab Leo, "Pak Jim pengen ngomong sama kita."
"Lho, kan uang sewa udah aku bayar di muka untuk setahun..?" kata Santi dengan nada tidak terima.
"Bukan tentang itu." jawab Leo lagi, "Tapi tentang Jumat malam."
Santi menjulurkan lengannya yang panjang ke meja rias meraih Palm IIc-nya yang tergeletak disitu.
"Oh, iya yah, jatuh pas tanggal tiga belas." gumamnya setelah melihat kalender di komputer sakunya itu, "Emang apa bedanya dengan Jumat tanggal 13 yang tahun lalu..?"
"Bedanya adalah.." Leo menghela nafas panjang dan menyandarkan kepala di sandaran sofa, "Big Boss datang."
"Kan emang tiap Jumat tanggal 13 dia selalu datang..?" jawab Santi sambil mengembalikan Palm-nya ke meja rias.
"Iya sih," jawab Leo lagi, "Kali ini dia mampir dan menginap di sini."
Wajah Santi yang biasanya tampak tajam itu kini agak mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan, sesuatu yang jarang terpancar dari wajah tirusnya.
Bersambung . . . .