Meskipun malam hampir pagi, di ruang makan rumah besar itu lampu masih menyala terang benderang. Seandainya bisa berpikir, mungkin meja makan berbentuk elips itu kebingungan, untuk apa orang-orang mengelilinginya di waktu seperti ini.
"Oke, aku rasa kalian sudah tahu masalahnya." Pak Jimo angkat bicara sambil melangkah berkeliling ruangan, mengitari meja makan tempat di mana Leo, Santi, dan Vin duduk manis.
"Hm.. saya rasa gitu." jawab Leo, "Kita harus segera mencari hadiah untuk Boss itu kan..?""Benar..!" jawab Pak Jim keras, seraya meniupkan asap pipanya ke bawah, "Sebelum matahari terbenam."
"Kita masih punya waktu panjang." ujar Santi tenang, "Masih banyak yang bisa dilakukan."
"Tidak semudah itu..!" tukas Pak Jim, "Apalagi di jaman seperti sekarang ini."
"Engg.. seandainya persembahan itu gagal diberikan, apa akibatnya..?" terdengar suara Vin bertanya.
"Ia akan murka." sahut Leo, "Dunia akan kembali ke masa-masa yang tidak enak.. sangat tidak enak, maksudku."
"Seberapa tidak enak..?" tanya Vin dengan wajah penuh perasaan ingin tahu.
"Jauh lebih tidak enak dari yang kamu pernah bayangkan." ujar Santi lirih sambil matanya menerawang jauh ke langit-langit.
"Apakah kita juga akan dirugikan karena kondisi tidak enak itu..?" tanya Vin memaksa keingintahuannya.
"Sebenarnya tidak." sahut Leo lagi.
"Tapi orang-orang tak bersalah itu yang akan menanggung kemarahan Big Boss." sahut Pak Jim seperti menyambung omongan Leo.
"Hm.. Adakah pengganti persembahan itu..?" tanya Santi analitis, "Maksud saya, mungkin persembahan dalam bentuk selain kesucian dan kehormatan..?"
"Sebenarnya ada sih." jawab Leo ragu sambil menatap ke arah Pak Jim yang juga balik menatap ke arahnya.
"Apa itu..?" tanya Vin tidak sabar.
"Nyawa salah satu dari kita." jawab Pak Jim sambil menunduk lesu.
Suasana kembali hening.
********
Matahari terbit, suasana di rumah besar itu tidak seceria pagi-pagi biasanya. Meja makan dikelilingi empat orang berwajah lesu dan tegang, yang duduk tanpa saling bicara.
"Selamat pagi..!" seru Karina sambil berlari menuruni anak tangga di tangga putar.
Keempat orang yang duduk mengelilingi meja makan itu melirik ke arahnya sambil hanya memperlihatkan sedikit senyum.
"Ngg.. aku salah omong ya..?" ujar Karina merasa bersalah ketika mendapatkan wajah keempat orang yang dikenalnya itu seperti dipenuhi hawa yang aneh.
"Nggak apa-apa kok, Khris." ujar Santi menghibur, "Cuman lagi omong-omong aja."
"Oh, diskusi toh..?" jawab Karina sambil duduk di kursi makan dan mulai mengoleskan selai ke atas rotinya, "Tentang apa..?"
"Ngg, tentang perluasan rumah kost." jawab Vin sekenanya, berusaha menyembunyikan perkara.
Sebagai yang paling junior di antara ketiga rekannya, ia merasa jeri juga dengan apa yang bakal terjadi malam nanti.
"Waah, kebetulan dong..!" seru Karina, yang disambut oleh tatapan bingung orang-orang lainnya, "Nanti malam akan ada beberapa teman kuliah yang menginap di sini mengerjakan tugas, siapa tahu mereka jadi tertarik kost di sini kalau sudah diperluas nantinya."
Serentak wajah-wajah keempat orang lainnya berubah menjadi ceria.
"Jam berapa mereka datang..?" tanya Santi.
"Cowok apa cewek..?" tanya Vin.
"Yang cewek, oke nggak orangnya..?" tanya Leo.
"Kok pada rebutan ngomong sih..?" tanya Karina balik, "Mereka datang ntar sore, dan mereka cewek semua, puas..?"
"Oh gitu, Khris." ujar Pak Jim dengan nada bijak, "Rencananya, kamu dan teman-teman nanti mau tidur di kamar mana..?"
"Oh, di kamar saya aja, Pak." jawab Karina, "Nggak apa-apa kok dempet-dempetan."
"Pak Jim, mungkin ranjang-ranjang yang di gudang bisa dipindahin ke sini buat tidur teman-teman Karina..?" tanya Santi dengan nada bersemangat, namun matanya melirik tajam, memberi isyarat pada teman lain."Oh, ide bagus!" jawab Pak Jim, "Gini saja, teman-temanmu boleh tidur di ruang makan kalau mereka mau, berapa orang sih..?"
"Aduh, nggak usah repot-repot." ujar Karina sopan, "Cuman tiga orang kok, lagian cewek semua lagi. Kan takut tidur sendirian di ruang makan sebesar ini..?"
Mengakhiri kalimatnya itu, Karina berpamitan dan segera berlari keluar meninggalkan rumah karena sudah hampir terlambat.
"Gimana pendapat kalian..?" tanya Pak Jim sepeninggal Karina.
"Bisa diatur." ujar Leo singkat.
Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju.
"Hayoo..! Apanya yang bisa diatur..?" terdengar suara Boy tiba-tiba.
"Boy..? Dari mana kamu..?" tanya Vin lugu.
"Aku sedari tadi ada di kamar mandi, dan aku dengar semua yang kalian omongkan." jawab Boy merasa menang, "Kalian berencana ngerjain Karina yaa..?" sambungnya dengan nafas yang beraroma alkohol.
Semuanya hanya diam mendengar perkataan Boy yang agak mengagetkan itu.
"Dan.. perlu kalian ketahui juga," Boy kembali angkat bicara, "Aku duduk di tangga semalaman, mendengar pembicaraan kalian."
"Ooh, Well.." kata Santi setelah semuanya diam sesaat, "Lalu apa pendapat kamu..?"
"Cerita yang menarik untuk dipublish di website..!" jawab Boy menyebalkan, "Gue ngga sabar nunggu komentar teman-teman kalau ini semua diceritakan, Hahahaha! Pasti seru deh!"
"Hihihi, benar tuh!" sahut Vin sambil berdiri mengemasi peralatan makannya dan berjalan ke wastafel, "Pasti seru!"
"Gue juga akan cerita ke teman-teman gue yang polisi aah..!" kata Boy lagi.
Santi, Leo, dan Pak Jim saling berpandangan. Kini di mata Boy, ketiga orang itu tampak begitu konyol dan menggelikan.
"Gimana Boss..?" Boy kembali berkata sambil menatap Pak Jim dengan pandangan tidak fokus, "Apa kira-kira sepuluh juta cukup untuk ongkos diem..?"
"Maumu apa, Boy..?" tanya Pak Jim setengah membentak.
"Alaa, dia kan cuman cari tambahan ongkos untuk beli jamu-jamunya itu." tukas Santi dengan nada santai yang datar.
"Enak aja jamu..!" sahut Boy tidak terima, "Ini barang mahal tauu! Si Karina aja sampai mabuk kepayang dibuatnya..! Hahaha.."
Leo hanya diam, mencibirkan bibir dan menggeleng-geleng menatap ke arah Boy yang masih agak mabuk.
"Mau jadi apa elo ntar, Boy..?" ujar Leo seperti menasehati, "Ngga sayang duit elo..?"
"Lho..! Jangan membelokkan arah pembicaraan..!" jawab Boy lagi, "Kalian akan memelihara adik kesayangan kalian ini kaan..? Hehehe, seperti kata Mbak Santi, kalau tong sampahnya ngga ditutup, baunya akan kemana-mana..! Hihihi.."
"Memangnya kamu tahu apa yang kami omongin..?" tanya Vin sambil mencuci peralatan makannya.
"Hmm.. honestly enggak sih." sahut Boy dengan nada dibuat-buat, "Tapi itu jelas rencana nggak baik kaan..?"
"Kalau aku cerita ke Karina," lanjut Boy lagi, "Pasti teman-temannya nggak akan jadi nginep di sini, hingga boss kalian akan nggak senang, iya kan..?"
"Ah, si Boss itu nggak peduli kok." jawab Pak Jim mencoba menutup-nutupi.
"Oh ya..?" goda Boy, "Berarti kalian nggak harus sediakan perawan-perawan gratisan buat dia dong..?" Boy kembali terkekeh.
"Tapi.. nggak apa-apa deh." kata Boy lagi, "Mungkin gue bisa nonton adegan seru Boss kalian itu dari atas tangga putar. Hahaha, pasti seru kaan..? Eh, si Karina boleh nggak ikutan ngeladenin Boss itu..? Dijamin barangnya oke deh..!"
Santi, Leo, Pak Jim, dan Vin hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah laku Boy. Remaja itu memang satu-satunya 'orang biasa' yang tinggal di situ selain Karina. Namun apa yang diketahuinya kini sudah terlalu jauh untuk ukuran orang biasa. Mereka tetap diam saja melihat Boy dengan perasaan menangnya kembali naik ke tangga putar, menuju kamarnya di lantai dua, tempat ia menghabiskan waktu dan uang orang tuanya setiap hari.
"Vin, tolong bereskan dia." ujar Pak Jim, yang disambut dengan anggukan setuju Leo dan Santi.
"I'll try my best." ujar Vin mantap.
********
Berbeda dengan kamar-kamar lain di rumah itu, yang umumnya rapih dan bersih, kamar yang satu ini nuansanya lain. Dindingnya dipenuhi gambar-gambar wanita tanpa busana dari halaman tengah majalah impor yang tertempel tak teratur, hampir di semua sudut tampak onggokan pakaian kotor, di sisi lain berserak botol-botol minuman mahal. Di tengah kamar yang cukup luas itu tampak sebuah botol kecil berisi spiritus yang disumpal kain bekas, beberapa kertas timah, dan bungkus koran bekas yang tadinya dipakai untuk membungkus barang-barang konsumsiorang-orang terbuang. Aroma ruangan pun tak kalah jeleknya, dipenuhi dengan bau aneh yang memusingkan kepala. Aroma itu tidak pernah bisa keluar, karena jendela kamar tidak pernah dibuka dan AC ruangan selalu menyala.
"Boy.." suara lembut seorang wanita membangunkan Boy dari tidur rutinnya pada jam sembilan pagi.
"Eh..? Vin..?" Boy terbangun dan mengenali sosok tubuh indah yang berdiri di hadapannya.
Sosok tubuh wanita yang polos tanpa tertutup apa-apa. Lekuk liku tubuh indahnya tampak begitu jelas di mata Boy, kulit yang putih bersih, rambut-rambut halus di bawah perut, dada indah yang berhiaskan tonjolan-tonjolan cantik berwarna kecoklatan. Boy menggosok-gosok matanya, tak pernah khayalannya tampak begitu nyata.
"Boy.." terdengar lagi suara Vin, kali ini seperti lebih merdu dan basah, "Ini nyata, bukan khayalanmu."
Pemuda kurus itu terduduk di ranjangnya, sejenak ia tampak terperangah, namun sorotan matanya yang agak kosong kembali tampak mengejek.
"Ya jelas ini kenyataan." ejek Boy, "Kalau ini khayalan, bukan elo yang berdiri di situ."
Vin tersenyum kecut agak tersinggung. Tubuhnya yang amat indah itu tak sepantasnya mendapat pernyataan seperti itu, namun gadis itu tetap berusaha tenang.
"Lalu siapa..?" tanya Vin, masih dengan suara manja, "Siapa yang kamu suka khayalin..?"
"Hmm.." Boy menggumam sambil menyalakan sebatang rokok, menambah pengap suasana, "Cameron Diaz, Vivian Chow, atau.. paling enggak Mbak Santi deh." lanjutnya dengan nada mengejek.
"Kalau aku..?" tanya Vin, pura-pura memasang wajah kecewa.
"Kalau yang seperti elo mah, di pinggir jalan juga banyak." ejek Boy terus, "Paling-paling cepek ceng (seratus ribu) dapet dah."
Vin nyaris tak dapat menyembunyikan amarahnya, untung poninya cukup panjang untuk menutupi wajah manisnya yang kini mulai bersemu merah menahan jengkel.
"Kalau Karina..?" tanya Vin memancing, "Masa dia lebih oke dari aku..?"
"Hahahaha..!" Boy terbahak sambil mematikan puntung rokok di dinding, menambah kotor, "Dia mah cuman sampingan. Gratisan lagi..! Hihihi, lumayan deh, dapet perawan gratis, seperti Boss elo..!"
********
Sebuah gedung perkantoran di pusat kota. Tempat di mana orang-orang dengan 'sense-of-urgency' tinggi berlalu lalang sibuk. Di salah satu koridor di lantai sebelas, tampak seorang wanita betubuh tinggi melangkah cepat dengan membawa beberapa lembar berkas kerja.Sesekali ia tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.
Terdengar bunyi melodi dengan nada tinggi dari HP yang terselip di saku blazer wanita itu.
"Halo, Vin. Ada apa..?" jawab Santi yang telah mengenali nomor HP Vin yang tampak di monitor HP-nya.
"Aduuh, lagi repot nih..!" seru Santi lagi, kali ini dengan wajah agak menahan jengkel.
Orang-orang yang lalu lalang berpapasan dengannya tidak ada yang berani menyapa kalau wajahnya sudah seperti itu.
"Oke, aku balik deh, sekitar setengah jam lagi." seru Santi lagi, seraya menutup flip dan mengantongi HP-nya kembali.
"Nova, tolong kamu cancel appointment-ku ntar sore yah..?" seru Santi setibanya di kamar kerja pribadinya.
"Oh..? Memangnya mau kemana, Mbak.. eh, Bu..?" jawab asisten Santi yang juga teman dekatnya itu.
"Urusan biasa lah." jawab Santi acuh tak acuh, sambil memasang bando di kepala, agar poninya tidak menganggu pandangannya.
Dengan kacamata kecil dan bando merah jambu itu, wajahnya tampak makin cantik dan menggemaskan tiap lawan jenis. Namun kali ini wajah menggemaskan itu tampaknya sedang tidak dalam 'mood' untuk bersenang-senang.
"Masa siang-siang gini mau hunting, Bu..?" tanya Nova si asisten, "Ngajak-ngajak doong.."
Santi hanya tersenyum dingin sambil menatap tajam pada Nova, membuat si asisten itu mengerti bahwa atasannya sedang serius.
Sejenak kemudian wanita itu telah meluncur cepat di atas mobilnya.
********
Di sebuah cafe kecil, di sudut sebuah plaza, tempat dimana para yuppies makan siang, dan para pengusaha kelas teri membicarakan proyek-proyek imajiner, juga tempat sejumlah anak pejabat melobi para tukang pukulnya, agak ke sudut, tampak tiga orang pria berpakaian rapih duduk mengelilingi sebuah meja bundar kecil dengan secangkir Espresso di hadapannya masing-masing.
"Nah, jadi gimana proposalnya udah kamu bikin..?" tanya salah seorang pria itu pada temannya.
"Udah, malah udah aku kirimkan." jawab temannya yang mengenakan kemeja hitam dan dasi putih.
Deringan suara ponsel mengganggu keasyikan bicara mereka.
"Halo, Santi..? Ada apa..?" tanya si kemeja hitam menjawab ponselnya, "Aku lagi repot nih."
"Eh.. what..?" katanya lagi, "Oke, oke, oke.. Nggak usah marah-marah, akuakan balik sekarang juga."
Leo mematikan ponsel dan memandang ke arah dua rekan kerjanya itu.
"Kenapa..? Ada panggilan dari bini yah..?" tanya seorang pria yang lainnya.
"Hahaha, Son..!" ujar yang satunya lagi, "Sejak kapan Leo punya bini..?"
"Eh, sorry yah." Leo memotong gurauan kedua temannya, "Kevin, Sonny, aku mesti cabut nih, kita lanjut besok, oke..?"
Tanpa menunggu respon dari kedua temannya, Leo beranjak berdiri dan melangkah cepat meninggalkan cafe.
"Sejak pindah rumah itu, dia jadi aneh ya Son..?" ujar Kevin mengomentari Leo.
"Yah.." Sonny mengangkat bahu, "Bukan dia kalau nggak aneh gitu."
********
Kembali ke rumah kost besar di awal cerita tadi. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Di ruang makan, empat orang gadis muda berpakaian trendy sedang mendiskusikan sesuatu yang tampaknya penting bagi mereka.
"Oh, ini teman-teman kamu, Karina..?" tanya Pak Jim yang baru saja pulang.
"Iya, Pak, kenalkan, Sweety, Tessa, dan Widya." sambut Karina memperkenalkan teman-temannya.
"Wah, cantik-cantik sekali teman kamu." kata pria setengah baya itu sambil berpikiran macam-macam, "Saya jadi merasa terlalu cepat dilahirkan."
Keempat gadis itu tertawa mendengar gurauan si bapak kost.
"Tapi Om dulu pasti keren deh." kata Sweety.
"Iya, sekarang aja juga masih keren lhoo." goda Widya menambahkan.
Keempatnya lalu tertawa-tawa lagi.
Diam-diam, dari tangga putar di sudut ruangan, bapak kost itu mengintai keempat anak itu dengan pandangan menganalisa. Keempatnya sama-sama muda, cantik, ceria, dan enerjik. Tapi yang namanya Tessa itu agak pendiam, dia tidak ikut menggoda aku tadi, pikir Pak Jim.
"Aku pulang..!" terdengar suara Santi ketika wanita itu muncul dari pintu masuk ke ruang makan.
"Eh, Mbak Santi, tumben udah pulang..," kata Karina menyambut kedatangan 'kakak kost'-nya itu, "Kenalin teman-temanku."
Santi berkenalan dengan ketiga teman Karina, matanya meneliti satu persatu wajah ketiga gadis muda itu.
"Mbak jangkung deh." kata Tessa mengomentari tinggi badan Santi, "Dulu pernah jadi model yah..?"
"Model apaan..?" kata Santi sok merendah, "Model iklan obat pelangsing..?" tambahnya seperti membanggakan bentuk tubuhnya.
"Bukan..!" tukas Widya, "Model iklan alat peninggi badan di acara TV media..!"
Mereka tertawa-tawa mendengar gurauan itu.
Di tengah keceriaan itu, mata tajam Santi melirik ke arah teman Karina yang bernama Sweety. Gadis ini tampak hanya tersenyum kecil ketika teman-temannya terbahak. Hmm, gadis lugu berpikiran polos, ini yang kami cari, pikir Santi dalam hatinya. Wanita itu segera meninggalkan ruang makan, bergegas melangkahkan kaki panjangnya ke lantai dua.
"Brakk..!" terdengar pintu ruang makan terbuka dan ditutup dengan keras, tampak Leo baru saja datang.
"Wow..! Kereen..!" bisik Sweety pada Tessa.
"Eh, makasih lho Dik..!" tukas Leo sambil menatap ke arah gadis-gadis itu dengan mata penuh selidik.
"Hihihi, komentar kamu kedengeran..!" seru Tessa sambil mengejek Sweety.
Karina memperkenalkan Leo pada ketiga temannya, lalu dengan sangat sopan meminta Leo naik ke lantai dua agar konsentrasi kerja teman-temannya tidak terganggu oleh penampilan Leo yang seperti itu.
Bersambung . . . .