"Iya non, soalnya sudah malam, sekalian pulang. Saya sudah ngantuk" kata Rudi dengan sopan. Mobil tua ini melaju terus, melewati masjid raya, supermarket HERO yang sudah tutup, dan tiba-tiba dengan cepat berbelok ke jalan kecil di kiri. Ini bukan jalur trayek kami, jalan di kanan kiri kosong dan sangat gelap. Kami melewati lapangan bola yang sudah kami rencanakan sebagai tempat pelaksanaan rencana kami. Di kejauhan terlihat samar-samar gubuk si Meeng yang terletak di sudut lapangan bola, dikelilingi tanaman bambu.
Si cewek kelihatan kaget:"lo, bang, kemana kita? Ini kan bukan jalan biasanya?" ia melihat ke kanan kiri yang sangat gelap. Dari suaranya terasa keheranan dan kebingungan yang merebak. Rudi menukas, kini dengan suara dingin:" tenang aja non, pokoknya non nggak usah ngelawan. Kita nggak ingin menyakiti non kok" Rudi terkekeh:'malah kita akan memberi non kenikmatan. Percaya deh".
Aku yang duduk di belakang segera bertindak cepat. Tanganku mengambil pisau di balik jaketku dan menodongkan ke lehernya yang jenjang dan putih:" betul non" kataku:"ikuti saja kami, pokoknya nikmat dan puas. Sekarang non turun dari mobil ini. Cepat!". Dengan tetap kebingungan, si cantik itu turun dari angkot dan segera kami ikuti. Rudi dengan cepat memegang tangan kirinya dan aku memegang tangan kanannya. Dengan dibimbing oleh kami berdua dan dengan pisau yang tetap mengarah ke lehernya, si cewek itu kami gelandang ke gubuk si Meeng di pinggr lapangan bola.
Gubuk itu gelap sekali dan kotor. Setelah kami masuk, Rudi menyalakan lampu minyak di dinding dengan korek apinya. Terlihat di depan kami ada kasur yang digeletakkan di lantai, sebuah meja reyot dan kursi yang sama reyotnya. Di sepanjang dinding tergantung alat-alat kerja si Meeng, antar lain palu, gergaji dan segulung tali kasar dari sabut kelapa. Bau apak dan pengap menyergap ke dalam hidung kami.
Dengan pura-pura kasar kami mendudukkan si cewek di kursi. Kami berdua berdiri di sebelahnya, agak canggung juga dengan apa yang akan kami lakukan. Aku tetap menodongkan pisauku ke lehernya. Si cewek tampak memandang kami, anehnya matanya lebih menampakkan kebingungan daripada ketakutan, " kalian.., apa yang kalian inginkan?" tanyanya sambil menatap kami berganti-ganti, "kalau mau uang, gih ambil saja di tas saya ini. Ambil aja semua..saya nggak apa-apa kok". Ia menunjuk tas tangan merk versace yang sekarang terletak di meja.
Si Rudi berdeham, dan mengeluarkan suara yang dibuat seperti mengancam, " he.., kamu kira kita ini perampok kampungan apa begitu? kita nggak perlu duitmu, tahu? Kita pingin ngerasain tubuhmu yang bahenol ini. Kita akan sedot seluruh kenikmatanmu, tahu? jangan ngelawan!!" sambil nyerocos begitu si Rudi meluncurkan tangannya ke dada si cewek dan meremas buah dadanya dengan kasar. Aneh, si cewek sama sekali tidak menghindar. Dia diam saja ketika si Rudi meremas-remas buah dadanya yang kelihatan cukup besar. Matanya tetap memandang kami berganti-ganti.
"Jadi.. jadi..kalian ingin memperkosaku? begitu? " walah, to the point banget pertanyaannya. Tapi anehnya tidak ada kesan takut di wajahnya. Malah sekilas kulihat bibirnya menyungging senyum. Rudi juga tampak kebingungan melihat respons si cewek ini, sehingga ia harus berdeham dahulu sebelum menjawab:" eh..kamu jangan norak gitu. Kalau kamu mau sama mau, kan namanya bukan diperkosa? pokoknya kamu nurut saja, nanti tidak ada yang disakiti. Ngerti?" Rudi membentak. Tetapi dari nada suaranya jelas bahwa bentakannya itu cuma dibuat-buat, untuk menutupi kebingungannya.
Tetapi respons si cewek benar-benar mengagetkan kami. Tiba-tiba ia tertawa terkikik dan berkata ceria:" waah.. asyiikk..". Kami berdua melongo mendengarnya. Lha, ini ada cewek mau diperkosa kok malah bilang asyik! Belum hilang keheranan kami, tiba-tiba tanpa diduga si cewek itu menjulurkan tangannya dengan sangat cepat dan menepis pisau yang ada di tanganku. Aku dengan reflek berusaha menghidar, namun terlambat. Tangannya yang halus dan mulus itu mencengkeram pergelanganku, dan dengan kekuatan yang sangat luar biasa meremasnya. Rasa nyeri dan ngilu luar biasa menyerang pergelanganku. Aku berteriak dan menjatuhkan pisau di tanganku. Belum lagi pisau itu jatuh di lantai, si cewek dengan sigap menangkapnya dengan tangan kanannya.
Rudi melongo dan terperangah melihat kejadian yang tidak diduga-duga ini. Dan sebelum dia sadar, si cewek melompat dan menendang perut Rudi sedemikian kerasnya sehingga aku mendengar suara tersedak seperti orang mau muntah. Rudi terpelanting dan terbanting menabrak tembok papan di belakangnya. Sebuah ember yang digantung di papan persis di atas kepalanya jatuh dan menghantam kepalanya. Ia jatuh terduduk dan tampak sangat pusing dan kesakitan.
Si cewek kuntilanak itu terus beraksi. Ia memelintir lenganku yang masih dipegangnya, sehingga aku berteriak kesakitan. Didorongnya tubuhku sedemikian kerasnya sehingga aku jatuh berdebam ke depan. Mulutku nyungsep di lantai tanah, rasanya sakit sekali. Cewek itu terkikik-kikik (benar-benar mirip kuntilanak) dan kini ia bergerak ke dinding. Diambilnya gulungan tali sabut kelapa di dinding (biasanya dipakai si Meeng untuk tali pagar), dan dengan gerakan kilat mengikat tangan kami di belakang punggung. Aduh, kami sekarang betul-betul jadi tawanan.
Si cewek itu sekarang berdiri di depan kami yang duduk menggelosor di lantai, tubuhnya yang bongsor menjulang tinggi. Ia menendang kami dengan mata liar, " he, denger nih kalian berdua" katanya, " kalo elu pikir bisa memperkosa gua, lo cuman ngimpi doang. Sebaliknya, gua sekarang yang akan perkosa elo" dia terkikik-kikik:" gua sudah lama berfantasi memperkosa dua cowok, nggak pernah kesampaian. Eh, sekarang ada yang menawarkan diri. Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba. Kita mulai yok" katanya. Dan dengan gerakan sangat cepat ia membuka celana dan jaketnya.
Sewaktu dia membuka jaket parasutnya, kulihat terdapat tulisan di punggung kaos t shirtnya. Dengan terkejut aku membaca:" PERGURUAN BELA DIRI .." (aku sensor, nanti ada yang tersinggung). Namun yang sangat mengerikan adalah tulisan di bawahnya "PELATIH". Aduh mak, ternyata kita mau memperkosa pelatih silat! dasar si Rudi brengsek, mau perkosa cewek saja tidak milih-milih dahulu. Habislah sudah kita, pikirku. Dasar kita orang malang, orang celaka, orang..
"Bangun!" bentak si cewek, membuyarkan lamunanku. Ketika aku menengoknya, astaga, dia sudah telanjang bulat di depan kami. Tubuhnya benar-benar bagus, kulitnya mulus, buah dadanya yang besar tegak menantang meskipun tanpa disangga bra. Perutnya benar-benar ramping tanpa lemak, dan pahanya yang putih mulus tegak panjang seperti kaki belalang. Dan pandanganku segera mengarah ke selangkangannya: tampak segunduk kecil bulu kemaluan berwarna kehitaman, hanya sedikit saja di atas bibir kemaluannya. Bagian lain kemaluannya bersih tanpa bulu, berwarna kemerahan dan sangat mulus.
Aduh, dalam keadaan biasa aku pasti sudah konak setengah mati. Tetapi dalam kondisi sekarang, rasanya sulit untuk sekedar membangkitkan nafsu. Apalagi di tangan si kuntilanak itu masih tergenggam pisauku yang terhunus.
Rudi seperti dicocok hidungnya menuruti perintah si dewi kuntilanak itu. Dengan susah payah ia mengangkat badannya sehingga kini ia dalam posisi duduk menggelosor di lantai. Wajahnya penuh ketakutan menunggu apa yang akan terjadi.
Cewek itu tertawa terkikik kikik melihat ekspressi Rudi, yang bercampur antara memelas dan takut. Tangannya mengelus-elus rambut Rudi yang ikal:" jangan takut sayaang..aku Cuma mau kamu menghisap kenikmatanku kok" katanya, menirukan ancaman kami tadi. Tiba tiba ia menarik rambut Rudi ke belakang sehingga wajahnya mendongak:" sekarang, kalau kamu mau menghisap kenikmatanku, nih..hisaplah". Ia bergerak ke depan, ke kepala Rudi. Tangan yang satu tetap menarik kepala Rudi ke belakang, sedang tangan lainnya meraba ke kemaluannya yang kini hanya beberapa senti saja di depan wajah Rudi. Jemarinya yang lentik dan mulus dengan lembut membelai-belai bulu kemaluannya yang tidak begitu lebat itu, dan akhirnya jari tengah dan telunjuknya membuka bibir kemaluannya lebar-lebar.
Aku dapat melihat bagian dalam kemaluannya yang sangat merangsang, berwarna merah muda dan tampak basah. Ia merendahkan badannya sehingga kini kemaluan itu benar-benar menempel di mulut Rudi. Kulihat mata temanku membelalak, napasnya megap-megap karena sulit menarik udara bebas. Hidungnya tersumbat oleh kemaluan cewek ganas itu. " Ayoo, monyong, cepetan keluarkan lidahmu" kata si cewek memerintah. Napasnya juga kedengaran memburu, tampaknya ia sangat terangsang. Kulihat Rudi menuruti perintahnya, menjulurkan lidahnya panjang-panjang dan mulai menyapukannya ke bibir dan bagian dalam kemaluan si cewek itu.
Pemandangan selanjutnya sungguh menakjubkan (sekali lagi, dalam situasi lain aku pasti sudah sangat terangsang). Si cewek menggerak-gerakkan pinggulnya ke depan dan ke belakang, sehingga kemaluannya bergesekan lebih keras dengan lidah Rudi. Mulutnya mendesis desis menahan kenikmatan, " ooh..hebat kamu. Terus, jilatiin..masukin lidahmu ke dalam lobangku". Rudi tampaknya menurut, ia menegangkan lidahnya dan mengarahkan ke lobang kemaluan si cewek. Kini gerakan si kuntilanak berubah, tidak maju mundur lagi tetapi ke atas dan ke bawah.
Aku melihat lidah Rudi keluar masuk lobang kemaluannya, yang semakin lama tampak semakin basah, "aah.. enak, enak,.. lidahmu enak. Ayo terus", desah si cewek tidak terkontrol lagi. Tangannya yang memegang kepala Rudi tampak bergetar, dan akhirnya pisau yang digenggamnya jatuh berdenting ke lantai. Kesempatan bagus, pikirku. Aku mulai bergerak ke arah pisau itu, tetapi langsung berhenti karena si cewek memandangku dengan pandangan penuh ancaman. Tanpa menghentikan goyangannya, ia mendesis padaku:" awas, jangan coba yang aneh-aneh. Gua akan gorok leher lo kalau berani-berani ambil itu pisau ". Mendengar ancaman itu langsung nyaliku ciut dan kuurungkan niatku.
Tampaknya si cewek sudah puas dilayani oleh lidah Rudi. Ia mengangkat pinggulnya dan berhenti sejenak dengan napas tersengal-sengal, "Huaaduuh.. enak sekali. Tetapi aku belum keluar nih. Kamu harus bikin aku keluar yah." Dan dengan berakhirnya perkataan itu, sekali lagi ia merendahkan tubuhnya dan menempelkan kemaluannya ke mulut Rudi. Kali ini benar-benar menempel, tidak ada ruang sedikitpun untuk bernapas bagi si Rudi.
Si cewek menggerakkan pinggulnya ke depan dan kebelakang dengan cepat dan liar, "sekarang hisap. Ayo hisap!" perintahnya pada si Rudi. Temanku yang malang itu tidak bisa mengelak lagi, disedotnya kemaluan si cewek begitu rupa sehingga kulihat pipinya cekung ke dalam:" aaghh..hisap terus. Monyet, mulutmu enak sekali " si cewek benar-benar kehilangan kontrol, seluruh tubuhnya yang telanjang bergoyang-goyang dan bergetar, merasakan rangsangan yang sangat hebat di kemaluannya.
Akhirnya, tak lama kemudian, ia mengejan dan mengeluarkan teriakan yang (benar-benar) keras. Mulutnya mendongak ke atas:" aawww.. aku keluaar.. auu.." aduh, kalau saja gubuk si Meeng ini tidak begitu jauh dari rumah penduduk, pasti suara teriakan itu akan terdengar. Tapi namanya juga gubuk di tengah lapangan bola, sudah hampir tengah malam lagi, pasti tidak ada yang mendengar.
Bersambung . . . .