Tragedi malam pengantin - 1

Bookmark and Share
Aku adalah seorang bujangan yang mempunyai sebuah rumah di perumahan yang terletak di pedalaman pinggiran kota. Telah lama aku tak mengunjungi rumahku itu, karena aku telah lama kost di kota dan bekerja di sana. Sampai suatu hari aku memutuskan mengambil cuti seminggu untuk sekadar beristirahat setelah lama jenuh bekerja. Saat itulah waktu cutiku kugunakan untuk mengunjungi rumahku yang telah lama aku tinggalkan.

Lingkungan daerah rumahku memang masih sangat sepi sekali. Terlihat hanya beberapa rumah yang terisi pada setiap kompleknya. Keamanannya sudah tidak terjamin sejak pengembangnya terkena kredit macet. Lampu penerangannya di kala malam hari masih sangat kurang, sehingga aku malas untuk menginap disana. Tetapi kini guna untuk mengisi waktu luang cutiku, maka aku putuskan untuk menginap disana.

Hari itu telah gelap dan tak seorangpun yang tahu aku memasukki rumahku, namun aku sempat melihat rumah sebelahku tinggal terdapat tanda pengenal bahwa rumah itu adalah rumah sepasang pengantin baru. Sekejap hatiku tergetar, sejak kecil aku mempunyai hobi mengintip, terutama dalam hal mengintip perempuan dan yang paling aku berhasil melaksanakan aksiku adalah ketika ia sedang mandi, tak lebih dari itu. Namun saat ini keinginan untuk mengintip seperti apa sepasang pengantin baru ini begitu sangat menggugah hatiku untuk tidak menolaknya.

Kupastikan rumah sebelahku itu dalam keadaan kosong. Rasanya mereka masih berpesta dan belum pulang ke rumah baru mahligai tersebut. Kutatap seisi teras depannya, belum ada sendal atau sepatu diluar, menandakan penghuninya masih bepergian. Secepat kilat aku mempelajari situasi rumah tetanggaku itu, meskipun aku tak tahu siapa yang menghuninya, sebab sejak kubeli rumahku ini, rumah yang berdempetan dengan rumahku ini masih kosong, namun kini telah bersih dan dicat begitu rapihnya laksana rumah baru saja.

Aku yakin sekali bahwa kamar pengantin itu pasti bersebelahan dengan kamarku dan letaknya ada di lantai dua juga serta hanya terhubung oleh satu bata saja dengan rumahku. Kuambil sebuah bor dari perkakas tua dirumahku, tanpa pikir panjang lagi aku menduga-duga sebelah mana dinding kamarku yang harus kubor agar aku dapat mengintip kedalam. Setelah kira-kira pas dengan ukuran mataku, penuh nekat karena sudah mempunyai maksud yang kuat aku membor dinding itu. Suara bising dari bor tersebut menyadarkanku akan bahaya kalau aksiku ketahuan oleh si pemilik rumah sebelahku. Sesaat lamanya aku terdiam tanpa berani bergerak, khawatir kalau dugaanku salah bahwa penghuninya belum pulang dari resepsi pernikahan.

Dinding kamarku kini berlubang sudah, sebesar ibu jari orang dewasa. Kudekatkan bola mataku ke lubang tersebut, ada gelungan kelambu putih yang tembus pandang kedalam dan aku lega karena dengan adanya gelungan kelambu tersebut yang mungkin merupakan aksesoris kamar pengantin tersebut agak menutupi samar lubang yang telah aku buat. Aku dapat menatap ranjang yang terpampang di ruangan kamar yang tak begitu besar itu.

Dan benar, itu adalah kamar pengantin mereka, terlihat dari adanya hiasan-hiasan yang melekat di dalam kamar tersebut seperti pernak-pernik bebungaan yang menempel di tepian meja rias yang bercermin serta lemari dua pintu yang bercermin pula menghadap padaku. Terbayang di otakku jika nanti aku dapat menyaksikan malam pengantin mereka bisa dari berbagai sudut karena adanya cermin-cermin itu.

Suara deru mesin mobil dari kejauhan segera membuyarkan lamunanku dan aku segera mengintip dari jendela kamarku yang dilantai dua melihat kedepan rumahku. Ada dua mobil berhenti tepat di depan rumah sebelahku dan salah satunya benar mobil pengantin yang aku tunggu sejak tadi. Kulirik arlojiku, hmm.. masih jam 9 malam, namun daerah rumahku ini sudah seperti komplek mati saja sejak jam setengah sembilan tadi. Pintu mobil pengantin itu terbuka, keluarlah sang dayang pengiring pengantin terlebih dahulu untuk mengiringi kedua mempelai yang akan memasukki rumah, sedangkan mobil dibelakangnya adalah kerabat-kerabat dari kedua mempelai. Tetapi kini pandanganku terfokus kepada mempelai wanitanya dari balik tirai jendela kamarku yang lusuh aku menatap dan ingin tahu seperti apakah gerangan wajah dan tubuh si pengantin wanitanya.

Dan betis indah yang terbalut oleh stocking berwarna hitam serta kaki seorang dara yang bersepatu pengantin putih mempesona itu terjuntai keluar dari celah pintu mobil itu. Tampak begitu mulus dan kencang ketika sosok wanita yang menjadi pengantin itu telah keluar dari dalamnya, aku begitu terkesima dibuatnya. Ternyata gadis yang menjadi mempelai perempuan sebelah rumahku ini masih belia serta sangat cantik sekali dan itu terlihat dari wajahnya yang terlihat manis, bersih dan putih kulitnya. Tubuhnya begitu langsing padat berisi terbalut oleh busana pengantin masa kini yang menampakkan lekuk liku tubuhnya tanpa gembungan hola hop yang biasa dikenakan pengantin yang mempunyai bodi biasa-biasa saja. Ada mahkota geraian bunga-bunga di rambut hitamnya yang sebahu turut mempercantik penampilannya yang begitu sangat mempesona di mataku.

Dara itu tersenyum manis pada suaminya yang juga seorang lelaki muda berbadan sedang dan ganteng, namun mengapa saat itu aku merasa ia tersenyum untukku? Ah! dasar aku ini seorang bujang lapuk yang hobinya hanya mengintip saja dan tak berani sama sekali untuk mendekati makhluk wanita dimanapun dan kapanpun, tetapi herannya kalau mengintip dan menguntitnya aku berani. Kutepak dahiku sendiri, tolol! Mana mungkin senyum gadis itu untukku? Itu hanya untuk suaminya seorang, tak lebih! Selain itu dia tidak melihatku yang tengah menatapnya dari sela-sela jendela kamar di lantai dua yang mana lampu terasnya tak kunyalakan, sehingga mereka menyangka kalau rumahku ini masih kosong dan tak berpenghuni.

Mereka semua di dalam rumah itu kini dan aku tak berkutik sama sekali serta hanya dapat menunggu acara ramah tamahnya kerabat-kerabat mereka. Namun ternyata hanya kisaran setengah jam saja mereka di rumah itu, setelahnya aku kembali mendengar suara mesin mobil keduanya dihidupkan dan deru kedua mobil itu semakin jauh di telingaku. Inilah saat yang aku telah nanti-nantikan sejak tadi, aku kembali ke kamarku yang dindingnya telah bolong itu dan dengan hati berdebar-debar karena masih takut ketahuan aku menempatkan bola mataku lagi pada celah lobang dinding yang telah tembus ke kamar pengantin tersebut.

Dari celah dinding yang berlubang itu aku dapat mendengar suara langkah kaki bersepatu dara itu yang tengah menaikki tangga dan di akhiri dengan suara bukaan pintu kamar pelaminan tersebut. Hatiku semakin dag dig dug tatkala aku kembali melihat gadis itu dari jarak yang begitu dekat. Betapa sungguh cantik wajah dara itu dan masih begitu belia diusianya yang berkisar dua puluhan tahunan ini dengan busana pengantinnya yang masih lengkap berikut sepatunya.

Tertegun aku menikmati kecantikannya yang aduhai tak terlukiskan ini bak mutiara indah yang meluluh lantakkan isi hati setiap pria. Gadis itu tengah mematut-matut diri di depan cermin meja riasnya membelakangiku, namun raut wajahnya masih dapat kulihat dengan jelas pada pantulan cermin yang menghadap ke posisi tempatku mengintip. Kulihat ia tersenyum manis sekali di hari dalam kehidupannya yang baru itu, mungkin ia sangat bahagia sekali berpasangan dengan suaminya yang telah kulihat pula begitu serasi dengannya tadi.

Aku semakin gembira saja membayangkan hal yang sebentar lagi akan terjadi diantara mereka itu, karena sebentar lagi mereka akan melakukan ritual malam pertama sebagai kewajiban dari pasangan suami istri yang telah mengikat diri dalam mahligai perkawinan. Kini untuk memastikan keadaan aman untuk selanjutnya, aku melihat situasi depan rumahku untuk kedua kalinya, namun kali ini aku melihat sesuatu yang membuat aku terkejut.

Pintu pagar rumah sebelahku tengah di loncati oleh tiga orang tak dikenal yang bertubuh gelap diantara penerang lampu yang begitu remang-remang dan kejadian itu begitu sangat cepatnya sehingga membuatku takut setengah mati. Pasti ketiga lelaki itu berniat jahat kepada penghuni rumah pengantin baru ini, namun belum lagi jelas aku melihatnya, tubuh ketiga lelaki itu telah melesat masuk kedalam rumah tersebut. Ingin rasanya aku berteriak untuk mencegah kejadian itu, tetapi aku sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Apalagi aku sempat melihat ketiga sosok lelaki itu bertubuh jauh lebih besar dariku yang kerempeng ini serta bernyali kecil. Otomatis aku hanya dapat terpana untuk beberapa saat.

Lalu terdengar suara dari daun jendela yang dibuka paksa di lantai bawah rumah sebelahku itu, disertai keributan sesudahnya. Aku mengintip kembali pada celah dinding kamar itu dan kudapati gadis pelaminan itu wajahnya yang cantik berubah menjadi pucat akibat dilanda keterkejutannya dengan adanya ribut-ribut di bawah itu. Ia bangkit dari duduknya dari meja rias dan bergegas membuka pintu kamarnya untuk melihat apa yang tengah terjadi di bawah dimana sang suaminya masih berada. Namun terlambat, karena salah satu sosok tamu tak diundang itu membarenginya masuk ke kamar itu seraya menahan laju tubuh gadis cantik ini dan mendekapnya.

"Ahh..! Siapa ini?! Lepaskan! Aah.. tol.. hmmpph!", jerit gadis itu yang langsung tertahan oleh bekapan telapak tangan sosok pria berkulit gelap yang bertubuh besar dan sangat kekar itu.

Seseorang dari belakang lelaki itu menyusulnya dan membantu lelaki pertama yang mendekapnya tadi yang masih dalam posisi berdiri berhimpitan sambil mendekatkan sebilah belati yang telah terhunus di leher jenjang gadis mempelai itu yang putih mulus.

Bersambung . . . .