Suami, kekasih dan anak kost - 1

Bookmark and Share
Akhirnya jadi juga kukirim. Setelah lama kutimbang-timbang dan beberapa kali kuedit sana-sini. Maklumlah, sebenarnya aku malu membeberkan kisah hidupku sendiri sebagai ibu rumah tangga baru yang terlibat love affair. Rasanya aku sedang mencoreng wajahku sendiri. Tapi tidak apalah, selama semua nama yang terlibat disamarkan. Juga agar pembaca tahu tentang salah satu pernik kehidupan seorang isteri yang kesepian. Dan yang tidak dapat menahanku untuk bercerita ini adalah karena aku memang gemar menulis sejak di bangku Sekolah Dasar. Seseorang telah mengenalkanku pada dunia maya ini beberapa bulan lalu, kemudian suatu saat aku menemukan situs ini, maka jadilah kisah nyataku ini.

***

Aku wanita 'udik' 23 tahun, telah berkeluarga dan punya satu anak lelaki umur 2 tahun. Aku memang kawin muda, 18 tahun. Begitu tamat SMU aku dinikahkan dengan pria pilihan orang tua. Suamiku, sebut saja Bang Mamat namanya (samaran) waktu menikah denganku usianya 35 tahun, sudah mapan, punya usaha sendiri.

Kenapa aku mau menerima lamaran seorang pria yang 17 tahun lebih tua? Pertama, karena aku memang dididik untuk patuh kepada orangtua dan aku anak tunggal. Kedua, lingkunganku di pedalaman selatan Jakarta memang mengharuskan gadis seusiaku segera menikah. Ketiga, Bang Mamat memang baik hati. Dia begitu sibuk mengurus usahanya sampai 'lupa' mencari calon isteri. Keempat, meskipun aku punya banyak kawan lelaki dan beberapa di antaranya naksir denganku, tapi semuanya hanya sebagai teman biasa saja. Tidak satu pun yang pernah ku-'jatuhi' cintaku, kecuali seseorang yang sempat mengisi hatiku, tapi banyak halangan (nanti Aku ceritakan tentang Mas Narto ini).

Pendeknya, aku belum punya pacar.
Kelima, aku termasuk tipe penyayang anak-anak. Sudah banyak anak-anak tetangga yang ku-'pinjam' untuk kuasuh. Aku ingin menjadi seorang Ibu. Tahun-tahun pertama masa perkawinanku memang membuatku bahagia. Bang Mamat begitu mengasihiku, penyabar, penuh pengertian. Apalagi setelah Si Randy, anak kami lahir, rasanya Aku adalah ibu yang paling bahagia di jagat ini.

Bang Mamat juga sangat menyayangi anak lelakinya. Makin semangat mengurusi usahanya yang akhir-akhir ini terkena dampak krisis ekonomi.
"Aku berjanji akan bekerja keras hanya untuk kamu dan Randy," katanya suatu ketika.
Terharu aku mendengarnya. Aku berterimakasih kepada orangtuaku yang telah mempertemukanku dengan Bang Mamat. Menikah dengan pilihan orangtua memang tidak selalu pilihan yang salah.

Kerja keras Bang Mamat dan anak buahnya membuahkan hasil. Perusahaannya telah berhasil memperluas pasar sampai Kualalumpur dan Chiang-mai. Krisis ekonomi tidak hanya berdampak buruk, tapi malah membuat produk usaha kami jadi mampu bersaing dalam harga. Keberhasilan ini membawa dampak lain, yaitu padaku sendiri. Waktu Bang Mamat banyak tersita oleh pekerjaannya, sehingga mengurangi waktu buatku. Apalagi Randy sudah dapat 'dilepas', aku jadi punya banyak waktu luang.

Aku sering kesepian. Dalam sepi ini aku sering mengharapkan Bang Mamat pulang, lalu mencumbuku, dan diteruskan dengan hubungan seks yang nikmat. Ya, akhir-akhir ini kehidupan seks kami jadi meredup. Bang Mamat menjadi jarang memberiku 'nafkah bathin', jarang menyetubuhiku. Kehidupan seksku waktu remaja boleh dibilang 'kuno'. Kawan lelaki banyak, pacaran baru sekali, itu pun secara back street, diam-diam, karena orangtua tidak memberi restu.

Cara berpacaran pun tidak seperti remaja kota jaman sekarang sampai tidur bersama sewa hotel. Kami hanya sekedar cium-ciuman dan meraba-raba. Sehingga dengan Bang Mamat suamiku lah hubungan eksku yang pertama kulakukan. Kepada Bang Mamatlah keperawananku kupersembahkan. Kadang aku menangis sendiri dalam sepi, ingat beberapa tahun lalu Bang Mamat begitu menggebu-gebu melumatku sampai aku terasa melayang-layang, mandi keringat dan lalu kelelahan. Itu dilakukannya hampir setiap hari. Bahkan dikala libur, Bang Mamat 'minta' beberapa kali dalam sehari.

Senyum sendiri aku ketika ingat kejadian pagi di hari libur, kami bersetubuh di ruang tamu dan hampir 'tertangkap basah' oleh anak buah Bang Mamat. Aku dan Bang Mamat sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hari libur itu suamiku sedang menunggu stafnya yang akan melapor hasil penjualan bulan berjalan. Kami duduk saling merapat, lalu mulailah Bang Mamat mencumbuiku.

Diciuminya seluruh wajahku, lalu leherku. Tangannya mulai menyusup ke dasterku. Dengan lembut disentuhnya puting dadaku, sentuhan lembut beginilah yang membuatku terhanyut. Lalu diremasnya buah dadaku perlahan. Aku mulai terrangsang. Bang Mamat memang nakal. Dilepaskan sarungnya, dan muncullah batang penisnya yang amat tegang. Aku tidak menyangka dia tidak memakai celana dalam. Rasanya sehabis 'permainan pagi' tadi kami mandi dan Bang Mamat mengambil pakaian dalam lalu pakaian kebesarannya, oblong dan sarung. Entah kapan dia melepas CD-nya.

Ditariknya tanganku ke selangkangannya, kubelai-belai penisnya dengan penuh perasaan. Sementara aku sendiri tambah terangsang. Bang Mamat cepat-cepat melucuti pakaianku, lalu sarung dan oblongnya pun telah tergeletak di lantai. Kami telah telanjang bulat. Aku ingin Bang Mamat segera 'mengisi' selangkanganku yang telah melembab.

Kutarik Bang Mamat ke kamar.
"Di sini aja deh," katanya menahan tarikanku.
"Gile Bang, dilihat orang," protesku.
"Engga akan kelihatan dari luar deh," sahutnya.
Ruang tamu kami memang ada jendela kaca lebar, tapi tertutup viltrage. Pandangan dari luar memang tidak dapat menembus ke ruang tamu.

"Kunci dulu dong pintunya..!"
Bang Mamat melepaskan tindihan ke tubuhku, bangkit menuju pintu. Pria telanjang bulat dengan penis yang tegang, lalu berjalan adalah suatu pemandangan yang agak lucu, walaupun hanya beberapa langkah. Aku mempersiapkan diri. Rebah telentang di sofa, sebelah kakiku terjuntai ke lantai. Sebelah lagi kuangkat ke sandaran sofa.

"Oh..!" Bang mamat terperangah melihat posisiku.
Ditubruknya aku. Dibenamkan wajahnya ke selangkanganku. Nafsuku makin memuncak ketika kurasakan 'kilikan' lidah Bang Mamat di bawah sana. Untung Bang Mamat segera tahu bahwa aku sudah 'siap'. Dia bangkit, bertumpu pada kedua lututnya di antara kedua pahaku, mengarahkan 'si gagah' ke mulut vaginaku. Aku memejamkan mata menunggu saat-saat nikmat ini.

Tiba-tiba pintu diketuk. Bang Mamat bangkit, urung penetrasi. Secara refleks aku menyambar daster dan menutupi tubuh telanjangku. Dari posisi rebahku ini aku dapat melihat melalui kaca jendela lebar, seseorang berdiri di depan pintu. Pak Sakir (samaran juga) pagi ini memang diundang suamiku untuk melapor. Aku langsung beranjak sambil memunguti bra dan CD-ku, tapi Bang Mamat mencegahku sambil menutup jari telunjuknya di bibir. Lalu, hampir tanpa suara dia kembali merebahkan tubuhku, membuka pahaku lebar-lebar, lalu mulai menusuk.

Aku harus menutup mulutku dengan telapak tangan dan berusaha mati-matian untuk tidak mendesah, apalagi merintih. Padahal, pompaan Bang Mamat enak dinikmati sambil mendesah, melenguh, merintih, bahkan teriak! Apa boleh buat, kondisi tidak mengijinkan. Aneh juga rasanya. Kami sedang asyik menikmati seks, sementara beberapa meter di dekat kami, berdiri seseorang menunggu, sambil sesekali mengulang mengetuk pintu, tidak tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak tahu? Entahlah. Orgasmeku tidak optimal, sebab tidak 'lepas', harus menutup mulut. Tidak apalah, toh nanti malam kami akan lakukan lagi.

Aku cepat-cepat memunguti pakaianku yang berserakan di lantai, lalu masuk kamar. Bang Mamat menemui Pak Sakir hanya dengan belitan handuk di pinggangnya, seolah bersiap mau mandi.

***

Pembaca, perkenankan saya flash-back dulu, agar anda mendapatkan gambaran yang utuh tentang diriku. Masa remajaku cukup menyenangkan. Aku banyak dikenal di lingkungan sekolah, terutama cowoknya, karena aku gampang bergaul. Dari banyak teman cowok, beberapa di antaranya pernah mengungkapkan cintanya kepadaku, atau memintaku jadi pacarnya. Tapi semuanya kujawab sama, hanya berteman, aku belum ingin terikat. Mereka mengatakan aku mirip Ipeh, itu lho yang suka muncul bareng Bagito waktu melawak sebagai bintang tamu (makanya kupinjam namanya).

"Tapi kamu lebih seksi," kata mereka.
Seksi apanya? Mereka tidak mau terus terang mengatakannya. Akhirnya aku tahu sendiri. Bila aku sedang jalan-jalan, di Mall atau gedung bioskop, atau jalan kaki dari halte bus ke rumah dan sebaliknya, bila berpapasan dengan cowok, kuperhatikan mereka, terutama cowok dewasa, setelah menatap wajahku matanya langsung menuju dadaku. Mungkin bentuk dadaku ini sehingga mereka mengatakan aku seksi? (Di kemudian hari penegasan tentang hal ini kudapatkan dari Mas Narto, cowok yang sempat mengisi hatiku).

Mulanya aku memang tidak menyadari akan 'kelebihan'-ku ini. Bentuknya sama dengan umumnya buah dada, dua bulatan kembar. Tapi setelah hampir setiap mata cowok mengarah ke sini, aku jadi memperhatikan, apanya sih yang menarik perhatian mereka? Ukurannya barangkali. Kalau kami rombongan cewek pulang sekolah jalan-jalan di Mall mampir ke lingerie-corner, bra yang kubeli memang nomornya paling besar. Menyadari hal ini, aku jadi lebih berhati-hati mengenakan pakaian atasan. Kalau tidak perlu benar aku jarang memakai atasan yang ngepas, sebab tonjolan kembarnya semakin nyata, walaupun bra yang kupilih jenis yang tipis.

Ayah, Ibu, dan aku menempati rumah di selatan Jakarta ini secara turun-temurun. Ini memang rumah warisan dari kakek. Rumah sederhana tidak begitu besar, 4 kamar tidur, hanya halamannya cukup luas yang ditumbuhi banyak pohon rambutan dan belimbing. Waktu aku SD dulu, lingkungan kampung ini amat sepi. Tapi sekarang setelah wilayah ini berkembang menjadi lokasi pendidikan, banyak kampus baru dibangun, dari perguruan tinggi yang terkenal sampai institusi pendidikan yang kampusnya hanya 'ruko', serta berbagai macam kursus, daerahku jadi ramai.

Pembangunan kampus-kampus diikuti oleh pembangunan usaha ikutannya seperti restoran, warung makan (segala jenis makanan ada), toko buku dan alat tulis, usaha fotokopi, wartel dan warnet, kantor pos, bank, dan tentu saja usaha kost. Rumah kami sering didatangi mahasiswa yang ingin kost, sewa kamar, atau ngontrak. Ayah tidak pernah menerimanya.
"Tanggung," kata Ayah.
"Cuma punya satu kelebihan kamar."

Sampai pada suatu saat Ayah terpaksa menyewakan kamar yang kosong itu, karena diminta oleh sahabat Ayah yang tinggal di Bandung untuk anaknya, Didin. Didin tinggal setahun lagi menyelesaikan kuliahnya. Aku masih di SMP. Ketika Didin menamatkan kuliahnya dan 'cabut' dari rumah pindah ke Jakarta, kamar diisi lagi oleh anak lelaki kawan Ayah yang tinggal di Salatiga, Narto (bukan nama sebenarnya) namanya. Aku masuk SMU.

Bersambung . . .