Rasanya aku bisa sinting! Buru-buru kubereskan ruangan kerjaku. Hari ini sungguh malang nasibku. Tadi pagi terlambat berat masuk kerja dan semua pekerjaan yang kulakukan rasanya nyaris tidak ada yang sepenuhnya terselesaikan dengan sempurna, ngaco semua. Mana kepala pusing!
"Sorry, saya nggak bisa nerusin kerjaan hari ini. Headache banget!"
Lindsey, manajer kami, mengernyit antara kesal dan heran. Biasanya aku nggak pernah bikin ulah, jadi terpaksa kali ini dia menelan kekurang ajaranku.
"Pulang?"
"Iya. Sorry banget, saya perlu istirahat."
Namaku Mel. Usiaku 28 tahun, asli Indonesia sekarang bekerja dan menetap di Inggris. Saat ini aku nggak terlalu berminat dengan 'hubungan', baik itu hubungan sayang-sayangan atau hubungan intim. Garing. Pulang kerja capek, mendingan istirahat atau olahraga. Laki-laki cuma bikin pusing! Perempuan lebih-lebih lagi!
Dua tahun lalu sahabat priaku sejak usia belasan, Duncan, menikah dengan wanita Indonesia. Istrinya nggak terlalu 'keen' denganku walau kami sama-sama asal Indonesia dan walau aku berusaha menjalin persahabatan juga dengannya. Ntah lah, mungkin insting wanita sebagai istri. Memang sih, dari dulu Duncan ada hati padaku, hanya aku pura-pura bego. Mereka tinggal di Pondok Mertua Indah. Justru setelah mereka menikah, kami sempat kelepasan berhubungan intim di kamar mereka sewaktu istrinya sedang belanja dengan keluarga mertua. Sampai saat ini aku tak pernah yakin dengan perasaanku yang sesungguhnya terhadap Duncan. Tapi sejak itu aku berusaha tahu diri, menjauh dari Duncan. Aku berusaha menghargai pilihan dan posisinya sebagai seorang Ayah setelah istrinya melahirkan. Mungkin sudah hampir dua tahun. Entah kenapa, hari ini tanpa kukehendaki pikiranku seolah melayang teringat terus pada Duncan. Sampai badanku terasa panas dingin.
"Duncan.." Namanya terlontar dari mulutku.
Berharap mandi di siang bolong akan membuat hatiku rada enakan. Air hangat membasahi tubuhku. Kutengadahkan wajah menjelang guyuran air shower. Kuraba kulitku yang coklat matang meratakan busa shower gel ke leher dan bahuku. Wajahku biasa saja, tapi Duncan selalu suka dengan kulitku yang sawo matang dan tubuhku yang kencang. Perlahan kuelus sendiri dadaku. Kupijati dan kuremasi payudaraku bergantian. Kedua puting payudaraku menegak dan mengeras.
"Ahh," kudengar diriku merintih menikmati rangsanganku sendiri.
Pikiranku melayang membayangkan pertama dan terakhir kali berhubungan intim dengan Duncan. Kuremas payudaraku bersamaan, membayangkan tangan Duncan meremasiku dan kulumannya bibir dan lidahnya waktu itu. Gigitannya di kedua putingku, rabaannya, tangannya mencengkram perut dan pinggulku. Mm..
Sialan! Kalau lagi ingin dengan seseorang, aku justru nggak bisa masturbasi. I gotta have him! Kubalut tubuhku dengan handuk, kuraih telpon di sebelah tempat tidurku.
"Duncan?"
"Hey! How are you?" Suaranya terdengar sangat kaget.
"Not good."
Hanya berbalut handuk, setengah basah di tempat tidur, sebelah tanganku bergerilya merabai selangkanganku. Kemaluanku basah, sedikit licin, jelas bukan air. Jari-jariku nakal menyelip menggesek masuk menjepit klitorisku. Refleks pahaku menyilang menjepit kenikmatan yang mulai membasahiku.
"Ada apa?" Suaranya kali ini terdengar bingung.
"Apa maksudmu ada apa?"
"Well, kenapa kamu mendadak menelpon dan ada apa dengan kamu. Kok suaramu kedengarannya lain?"
"Duncan.."
Jari-jemariku tak terkontrol lagi bergerak cepat menggosoki kemaluanku sendiri. Suaraku pasti mulai jelas terdengar horny. Tak kuhiraukan pertanyaannya.
"Mel, are you alright?" Walau bernada bingung, dari suaranya aku yakin Duncan bisa meraba apa yang sedang aku rasakan atau mungkin malah menebak apa yang sedang kulakukan.
Wajahku terasa hangat, panas, malu, tapi jemariku tak mau berhenti, selangkanganku berdenyut-denyut menuntut. Kedua pahaku mulai membuka, mengangkang lebar dengan lutut menekuk. Hanya dari luar, jari telunjuk dan jari tengahku menggesek klitorisku tanpa mengusik liang vaginaku.
Aku tak tahu lagi apa yang kukatakan pada Duncan lewat telpon. Tubuhku meregang menggelihat-gelihat lapar dan dari antara bibir yang kugigit menahan ribut suaraku tetap saja kudengar erangan dan rintihanku. Mataku memejam membayangkan tangan-tangan Duncan kokoh meremas tubuhku, menahan pinggulku agar panggulku selevel dengannya dan penisnya yang keras melesak memasuki vaginaku dari belakang.
Memori demi memori melintas di benakku. Hentakannya, penisnya menggesek vaginaku dari luar ke dalam dan keluar dengan ritmis. Kedua jariku bergerak semakin cepat seolah mereka punya pikiran sendiri.
"Mel, stop it, you're torturing me. Jangan terusin.." kudengar suara Duncan di ujung telpon.
"Ohh.. Mel."
Suara Duncan mengerang membuatku semakin horny dan.. Kugigit bibirku kali ini kuat-kuat sampai terasa perih! Gerakan jemariku memendek tapi menekan kuat dan kasar memaksa kedua pahaku menggelepar terkangkang. Kenikmatan berbaris menyergap selangkanganku, dari situ dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhku. Kedua pahaku kembali merapat, kejang menjepit menahan tanganku di selangkangan. Seluruh tubuh sampai wajahku terasa panas dingin. Nafasku memburu setelah kenikmatan yang mendadak datang membanjir perlahan mulai mereda.
Lelah dan setengah mengantuk, kesadaranku perlahan merangkak datang kembali. Meringkuk di tempat tidur dengan sebelah tangan masih memegang telpon, kubiarkan Duncan mendengar nafasku yang masih tersengal-sengal. Aku rindu sekali tapi tak tahu harus berbuat apa atau bilang apa. Wajahku terasa hangat campuran malu dan nafsu.
"Mel," sekarang justru suaranya yang terdengar malu.
Aku hanya bisa diam menunggu vonis dan hinaan. Hampir dua tahun kutinggalkan dia dan istrinya dalam damai, kini rasanya hilang semua wibawa dan harga diriku di hadapannya.
"Ini persis dua tahun sejak terakhir you're in my arms. I realy miss you. Malam ini aku boleh datang ya, Mel?"
Seluruh panas dan hangat yang tadi melanda tubuhku mendadak lenyap. Dingin kembali menyelinap di rongga paru-paruku. Ternyata sudah dua tahun. Aku masih belum juga bisa melupakan dia. Telpon dimatikan dari ujung sana. Aku hanya diam. Dia tidak menunggu jawabanku. Kuletakkan gagang telpon kembali ke tempatnya dan kupejamkan mataku.
Jam 18.30. Hari masih terang. Spring's here. Malam ini mungkin dia akan datang. Aku masih dalam kimonoku termangu ragu dan tak percaya dengan apa yang kulakukan siang tadi. Phone sex? Sialan! Apa sekarang dia pikir aku sudah jadi anggota wanita single yang kesepian dan desperate? Apa aku cinta dia? Apa dia masih cinta padaku? Kenapa selama ini dia tidak pernah muncul? OK. Aku menghilang, tapi kenapa dia tidak pernah mengejarku? Ah. Dia pasti sudah bahagia tanpa aku. Sialan!
Suara mobil masuk ke drive way-ku. Kuintip tamuku dari lubang intip pintu.
"Hello."
Dua tahun. Sekarang dia kembali di depanku.
"Kulkasku kosong." Jawabku asal-asalan menutupi kekakuan.
Tanpa diundang dia masuk mendahuluiku, naik ke lantai dua. Kamarku, TV, dvd, komputer, semua di atas.
"Ada disk baru?" Dengan gaya kekanakan Duncan naik ke ranjangku, menyensor koleksi dvd dan kaset-kaset yang berhamburan di lantai kamar.
Wajahnya terlihat lelah. Aku rindu sekali. Kuhampiri ia, duduk di sebelahnya. Rambutnya yang pirang, matanya terlihat biru agak tua. Hidungnya masih kegedean dan bibirnya tipis membuatku penasaran. Aku selalu tertarik dengan bibir tipis. Dua tahun ternyata belum lama, wajahnya belum berubah.
"Sorry, tempat tidurku rada lembab.." entah kenapa suaraku terdengar pelan berbisik.
"Nggak apa-apa." Matanya menatapku lekat.
Kupejamkan mataku, kurasakan wajahnya mendekat. Nafasnya terasa hangat di wajahku. Kubuka bibirku menyambut bibirnya, lidahnya.. Kudengar eranganku waktu tangannya membelai leherku. Kutarik tali kimonoku dan kuraih wajahnya turun ke leherku. Aku selalu cepat terangsang kalau leherku diserang. Dengan mata terpejam kuremas-remas rambutnya sambil menikmati lidahnya hangat dan lekat menjilati leherku. Tangannya menyelinap merabai tubuhku di balik kain kimono satin yang masih menggantung longgar di badanku.
Duncan mendorongku perlahan berbaring. Aku tidak mengenakan apa-apa di balik kimonoku sejak 'tadi siang'. Vaginaku terasa lembab dan sensitif. Entah untuk apa dengan kedua tangan kututupi payudaraku, mata kami tak lepas dari satu sama lain, sambil menatapku Duncan melepasi semua pakaiannya. Astaga! Itu badan masih tetap seperti dulu. Kulitnya kecoklatan 'tanned' untuk ukuran kulit putih, badannya tegap berotot walau jelas jauh dari Ade Rai. Cahaya terang dari luar jendela kamarku menimpa kulitnya membuat rambut-rambut halus rada pirang di dadanya terlihat jelas.
"Let me.." katanya pelan.
Belum lagi aku ngeh, ditariknya tubuhku dari pinggang bergeser ke bawah hingga belakang lututku bertumpu pada pinggir tempat tidur lalu kedua pahaku dikangkangkannya dengan tangan. Duncan berlutut di lantai, menatapku sambil jarinya meraba selangkanganku. Lalu masih dengan jari sebelah tangan merangsang klitorisku, dia merundukkan wajahnya ke selangkanganku.
"Adduh!Ough.."
Panggulku sampai naik-turun belingsatan menerima kulumannya di bibir luar kemaluanku. Ibu jarinya turun ke luar liang vaginaku, menggesek dan menekan membuatku licin. Kugigit bibirku menahan eranganku terlalu kuat.
"Mm-ahh! Duncan! Ouggh, ya. Don't stop.."
Bersambung . . . . .