The owner - 1

Bookmark and Share
Badai krisis yang terjadi ternyata menerpa segala tingkat usaha. Walau demikian tidak semua orang mengalamai kesulitan, malah ada yang untung di dalam suasana seperti ini. Hari ini aku dihubungi sahabatku yang telah lama tidak bertemu, Pak Wirokusumo, orang Jawa yang tidak dapat berbahasa Jawa.

Selama ini kami berkomunikasi lewat email dan chating saja, dia butuh pertolongan dariku karena dia tidak berada di sini. Dia menunjukku sebagai wakilnya untuk menyelesaikan hutang piutang dengan penyewa, mengenai ruko yang di sewa oleh temannya dan tidak dapat membayar sisa uang sewa rukonya.

Setelah melakukan perudingan yang alot, aku terpaksa menyita barang-barang yang masih ada di ruko dan menjual untuk membayar sisa uang sewa (penyewanya bergerak di bidang asuransi, mereka ditarik ke kantor pusat), beberapa komputer dan peralatan kantor kulelang dengan cepat untuk menutup hutangnya, karena kantor pusatnya tidak perduli dengan urusan cabangnya.

Setelah selesai urusan keuangan, segera kukabari temanku, dia cukup gembira dengan hasil seperti itu, kemudian meminta bantuanku untuk memasarkan rukonya. Menurutku suasana seperti ini sangat sulit mencari penyewa, yang ada malah pada gulung tikar.

Beberapa hari kemudian aku dihubungi temanku, Pak Raymond (orang Batak yang kelakuannya seperti orang Jawa tetapi dapat berbahasa Karo) temanku yang berusaha di bidang panti pijat tradisional (papitra). Dia butuh pertolongan karena usahanya akan ditutup karena salah manajemen. Pertolongan yang dia butuhkan adalah menjual aset usahanya, guna membayar hutang yang melilit dan semakin lama semakin besar membengkak karena besarnya bunga pinjaman.

Satu masalah untuk memasarkan rukonya Pak Wirokusumo belum selesai, sekarang ditambah dengan menjual aset papitra. Menurutku siapa yang mau beli bekasnya papitra, terutama tempat tidur dan lain sebagainya yang nilainya sudah dianggap consumables.

Beberapa minggu tidak ada hasil sementara mereka berdua menanyakan terus menerus. Akhirnya aku mengundang mereka berdua dan memberikan usulan yakni, rukonya Pak Wirokusumo akan kujadikan Papitra, sehingga uang sewa rukonya kuanggap sebagai modal penyerta. Sedangkan untuk Pak Raymond asetnya kugunakan juga sebagai modal penyerta. Dia membeli asetnya sendiri dan dari hasil penjualan itu dibagi-bagikan ke para pemilik lama usaha papitranya. Singkat kata, jadilah kami bertiga memiliki sebuah papitra, yang kami sepakati dengan nama Panti Pijat Tradisional Sumber Hidup.

*** Persiapan ***

Lokasi rukonya Pak Wirokusumo, menurutku strategis. Lahan parkirnya luas, rukonya agak ke dalam (untuk para pemula, tidak akan sungkan-sungkan kalau parkir kendaraan agar tidak mudah diketahui). Tidak jauh dari lokasi ada Anjungan Tunai Mandiri dari beberapa Bank, menurutku ini sangat berguna untuk tamu yang 'kekurangan uang' atau tidak bawa uang tetapi saat melintas ingin mencoba, karena kami tidak menyediakan perlengkapan untuk menggesek.

Adalah sangat riskan mempunyai bukti pembayaran dari suatu papitra, terlebih lagi bila mempunyai lembar tagihan dengan transaksi papitra. Walau sebetulnya ada yang dapat mengganti 'header' dari tagihan tersebut menjadi 'rumah makan' dan lain sebagainya. Tetapi daripada ada masalah di kemudian hari, lebih baik kami mengambil jalan "cash only", masak mau menyalurkan syahwat saja 'ngutang'.

Pusat keamanan juga tidak jauh, hanya beberapa ratus meter. Ini juga merupakan unsur yang perlu dipertimbangkan. Apartemen dan hotel ada di berbagai penjuru, ruko ini dapat dikatakan sebagai pusat persilangan antar beberapa apartemen dan hotel di sekitar papitra. Unsur ini penting bila ada "kebutuhan" dari pihak hotel atau apartemen yang membutuhkan jasa, tidak kesulitan mencari karena dekatnya lokasi. Sebaliknya pun dapat terjadi, bila mereka ingin lebih bebas ingin melakukan di luar, dipersilahkan karena dekatnya hotel, dengan catatan membayar biaya untuk 'dibawa keluar'.

Aku juga mempertimbangkan tempat usaha yang sejenis dengan milikku, radius satu kilometer ada beberapa Panti Pijat. Di Utara ada tetapi bukan tradisional tetapi ada di dalam sebuah hotel, dan bukan pijat, hanya sekedar namanya saja, harganya pun jauh di atas tempatku. Di Barat ada tetapi agak kumuh sesuai dengan tarifnya yang memang murah jauh di bawah tempatku. Di Selatan ada hanya tradisional dari luar negeri, sementara di Timur ada pijat refleksi. Kesimpulannya kami berebut pelanggan dengan segmen yang berbeda-beda, tempatku tradisional dengan suasana Timur dengan pelanggan tingkat menengah ke atas.

Yang tidak kalah pentingnya, lalu lintas yang ada di depan komplek ruko ini selalu ramai searah pada waktu tertentu. Pagi hari kendaraan padat merayap ke arah Utara, sebaliknya sore hari kendaraan padat merayap ke arah Selatan. Beberapa kilo arah ke Selatan biasanya air cukup banyak tergenang bila hujan turun dan menambah kemacetan. Nah komplek ruko ini dapat dijadikan alternatif menunggu surutnya air dan kemacetan yang ada, karena di dalam komplek terdapat gedung bioskop, rumah makan, beberapa papitra.

Rukonya Pak Wirokusumo lebar 5 meter dan panjang 15 meter dengan jumlah lantai ada 4 untuk satu bloknya. Jadi luas lantai yang tersedia adalah 5 x 15 = 75 meter persegi x 4 lantai = 300 meter persegi, cukup luas bukan. Lantai satu kugunakan untuk ruang tunggu pekerja, ruang kerjaku, ruang tunggu tamu, serta ruang penerima tamu. Karena terbatasnya dana, maka kupersiapkan lantai dua dan tiga saja untuk ruang kerja, sementara lantai empat kukosongkan dulu.

Jumlah kamar tersedia sebanyak sepuluh kamar berukuran 2,5 meter x 2,5 meter dengan pembatas triplek dua lapis berjarak 6 cm, setinggi 2,5 meter, sehingga bagian atas kamar terbuka, gunanya untuk menyejukkan ruangan. Untuk satu lantai aku menggunakan penyejuk ruangan sebanyak dua buah dengan tenaga 2 pk.

Sebelah kanan ruko ada usaha salon kecantikan dan di sebelah kiri ada usaha di bidang optik. Sebelum ruko dimasuki berbagai perlengkapan, aku melakukan pemasangan beberapa kamera w/o-zoom yang built-in dengan microphone, yang kupasang di balik lampu dinding di seluruh kamar kerja. Lampu dinding adanya di seberang tempat tidur, juga di ruang tunggu tamu dan pekerja, serta ruang penerima tamu. Sinyal gambar dapat dikirim melalui kabel listrik 220 Volt AC bersamaan dengan listrik PLN yang digunakan sebagai sumber tenaga lampu dinding 25 Watt berwarna krem, kamera tetap dapat bekerja walau lampu padam. Sinyal gambar dikirim ke video tape recorder di ruang kerjaku.

Selain lampu dinding, ada juga lampu untuk menerangi semua ruangan berupa lampu tabung 20 Watt yang kupantulkan ke langit-langit agar tidak silau, sebanyak dua buah di ujung dan belakang masing-masing lantai. Ruang kerjaku kudesain sedemikian rupa. Di balik ruang tunggu tamu, di pojok ruang kerjaku secara diagonal dari pintu masuk ke ruang kerjaku ada meja besar dan di belakangnya ada kursi yang menghadap ke Timur, tanpa kursi di depan mejaku (kalau ada tamu aku cenderung menerima di sofa).

Di atas meja pojok kanan terdapat layar monitor komputer 17' yang menghadap ke Barat Laut. CPU ini dapat mengambil sinyal gambar dari keluaran Video Tape Recorder yang merekam setiap kegiatan di semua ruang secara bergiliran selama jam kerja tujuh hari seminggu. Di depan pintu masuk ruang kerjaku ada sofa tunggal sebanyak dua yang dipisahkan oleh meja kayu jati besar berukuran 1 x 1,5 meter setinggi 45 cm berbentuk kotak. Di depannya ada sofa panjang yang dapat kutarik menjadi tempat tidur, oleh sebab itu meja tidak kuletakkan di antara sofa tunggal dengan sofa panjang.

Di belakang sofa panjang ada dinding dengan gambar lukisan yang di baliknya ada kamera berukuran sedang dengan kemampuan zoom hingga 500 kali. Kamera tadi kuletakkan di kamar mandi kecil yang ada di ruang kerjaku. Peralatan tadi adalah milikku yang kudapatkan dari hasil lelang beberapa usaha yang mulai ambruk seperti halnya milik Pak Raymond.

Kembali ke aset bekas Pak Raymond, walau bekas alias tidak baru, tetapi masih layak pakai. Setelah melakukan sedikit modifikasi dan pembersihan di sana sini, jadilah tampak seperti baru. Nah sarana sudah siap, tinggal mencari pekerja nih. Kalau kubuka pengumuman penerimaan karyawan, aku yakin yang datang cukup banyak, tetapi yang benar-benar siap pakai khan sulit mencarinya, belum lagi siapa yang mau menguji. Minimal aku butuh 15 pekerja untuk memijat, kalau semua aku yang nguji.. wah, pijat nggak, ringsek iya!

Pekerja yang lain adalah seorang resepsionis yang merangkap kasir serta pembukuan, dan dua orang room-boy, yang masing-masing bertanggung jawab atas lantai 3 dan 4 untuk kebersihan dan kesiapan kamar, serta memandu tamu untuk mendapatkan kamarnya.

Aku mendengar untuk mendapatkan pemijat ada biro jasa (calo) yang siap mensuplai dengan biaya 250.000 rupiah per orang. Wah usaha belum tentu sukses pengeluaran utuk sesuatu yang belum jelas besar sekali, untuk 15 orang saja sudah mencapai 3.750.000 rupiah, dengan kualitas yang belum jelas.

Setelah berpikir cukup lama, waktu penyelesaian renovasi tempat dan peralatan semakin dekat, terpaksa aku menggunakan cara 'tidak terpuji'. Beberapa tempat yang pernah kukunjungi, kulakukan kunjungan ulang dengan melakukan pendekatan dan penawaran kepada para pemijat. Aku mencoba mempengaruhi primadona dari berbagai papitra yang pernah kukunjungi. Ini kutempuh untuk mempersingkat waktu tes penerimaan karyawan, karena sebelumnya mereka khan sudah pernah 'melayaniku', jadi aku tahu performance mereka.

Hasilnya ada yang mau dan ada yang tidak mau. Khan biaya pencarian karyawan yang tadi dapat kugunakan untuk melakukan kunjungan ulang ini untuk mendapatkan pekerja dengan kualitas yang jelas. Apabila mereka bersedia, aku meminta untuk mengarahkan tamunya ke tempatku, dengan cara membagikan nomor ponsel mereka. Hasilnya luar biasa. Soft Opening langsung ramai, tidak pakai diskon-diskonan, seperti tempat usaha yang baru buka, langsung harga regular.

Setiap pemijat mendapat 10.000 rupiah dari tarif yang kukenakan ke tamu sebesar 75.000 rupiah per jam atau kelipatannya. Sementara uang tips yang mereka dapatkan adalah hak mereka sepenuhnya. Mereka wajib masuk enam hari selama satu minggu dan bekerja selama delapan jam sehari. Kukenakan dua shift, jam 10.00 hingga 18.00 dan 14.00 hingga 22.00.

Kuprediksi mereka kerja satu hari rata-rata menerima 3 tamu, sehingga pendapatan di luar tips adalah 30.000 rupiah sehari. Dengan demikian mereka mendapat penghasilan sebulan sebanyak 780.000 rupiah belum termasuk tips. Misalkan rata-rata tiap tamu memberi tips sebesar 10.000 rupiah saja, maka pendapatannya sudah dua kali lipat, yakni 1.560.000 rupiah.

Kutekankan untuk tidak berbuat asusila, juga jangan menggunakan narkoba. Pesan ini kutempel di setiap kamar, karena banyak tempat seperti ini yang melanggar larangan tadi sehingga ditutup, hasilnya semua pihak menjadi rugi. Seragam pemijat rok pendek, tapi tidak mini, dengan blazer, tetapi bukan montera, warna putih-putih, ruangan kerja juga bercat putih, room-boy seragamnya coklat-coklat.

Masing-masing ruang berisi jam dinding, kursi plastik, tempat sampah, cermin, sisir dan sandal jepit. Aku juga harus mempunyai persedian sprei, handuk, kimono, sabun dan samphoo, kecuali barang 'habis-pakai', semuanya kudapatkan dari bekasnya Pak Raymond.

*** Mulai Operasi ***

Setelah mulai operasi, ternyata pendapatan tidak terlalu jauh meleset dari perkiraanku. Biaya operasional tertinggi ada di listrik (44 Kilo Watt 3 phase), karena pemakaiannya cukup besar, terutama untuk penyejuk ruang, pemanas untuk sauna dan pemanas air untuk mandi. Kemudian 'sumbangan-sumbangan' tidak resmi yang tidak berkwitansi cukup lumayan besar mulai dari tingkatan bawah hingga tingkatan atas. Sisanya kutabung.

Apabila 3 tamu per pemijat x 65.000 rupiah per tamu = 195.000 rupiah x 15 pemijat = 2.925.000 rupiah x 30 hari = 87.750.000 per bulan. Itu kalau penuh, kuestimasi tingkat pendapatan adalah 50% saja atau sekitar 43 jutaan saja sudah 'cukup baik'.

Dari hasil pengamatanku melalui kamera yang ada, jarang sekali tamu yang hanya pijat, banyak juga yang membutuhkan pelayanan lebih. Untuk itu kuperhatikan pekerjaku hanya memberi batasan hingga memasturbasi saja, berarti mereka mengikuti sesuai kesepakatan yang kami buat, selebihnya mereka menjanjikan di luar setelah jam kerja.

Ada juga yang bersedia diraba-raba dengan imbalan yang cukup besar, yang lebih mahal dari biaya pijatnya sendiri. Tetapi dasar 'hidung belang', kalau sudah ada 'maunya' tidak berpikir realistis.

Berdasarkan tanya-jawab secara acak dan hasil 'nguping', nampaknya pelangganku ada yang lokasinya jauh-jauh, tidak tahu benar atau bohong. Ada yang berjarak hingga 30 km, gila. Memang pria kalau sudah 'othok-othok' biar pun hujan kulalui, gunung pun khan kudaki, lautan kuseberangi, kalau hanya 30 km dan keluar uang plastik dua lembar pun kujalani, GILA.

Semakin hari kulihat semakin banyak tamu yang antri, kasihan juga melihatnya. Pernah mencapai tingkat pendapatan 100%. Kalau tidak tanggap wah bisa lari nih pelanggan setiaku. Lantai empat kutambah lagi untuk lima kamar dengan uang tabungan yang tadi, hingga saat ini aku punya 15 kamar, dengan 15 pemijat. Jelas kurang jumlah pemijatnya, aku mencoba "berburu" lagi, akhirnya mendapatkan beberapa pemijat lagi.

Bersambung . . . .