Kejadian ini merupakan suatu sejarah kehidupan biruku beberapa tahun  yang lalu, tepatnya 27 Maret 1993, hampir setahun setelah lulus SMA di  Magelang dan sedang menunggu panggilan bekerja dari sebuah perusahaan  penerbangan di Jakarta.
Pagi itu, aku bangun dengan penuh  semangat, ada janji jalan-jalan bersama mantan adik kelasku di SMA ****  (edited). Hari itu hari libur sekolah. Namanya Enno **** (edited), dia  seorang penyiar remaja yang cukup dikenal di kota kecil itu, pada masa  itu. (kalau ada yang kenal, tolong salamin ya?)
Dengan Astrea 800  warna merah kesayangan, kujemput dia sekitar pukul sembilan pagi. Saat  kebetulan sampai di sana Enno memang baru menungguku. Sementara menunggu  Enno mandi, aku ngobrol dengan mamanya. O iya, si Enno tinggal berdua  dengan mamaknya (dia panggil ibunya 'emak')
Tak lama kemudian  Enno selesai mandi, emaknya masuk ke ruang tengah. Ruang tamu cuma kita  bedua, setelah Enno berganti baju, adegan French kiss mengalun begitu  saja. Singkat cerita, kayaknya kok tidak nyaman kissing di ruang tamu,  lalu kita sepakat untuk jalan-jalan saja.
Tepat pukul sepuluh,  setelah sedikit berbasa-basi dengan mamanya, kita pergi menuju ke  pinggiran kota. Sepanjang jalan kami sama-sama diam tak tahu mau ke  mana. Kuarahkan sepeda motorku ke arah Borobudur, sebelum sampai ke  kawasan candi, kubelokkan motorku ke arah kali Progo (melewati Mendut)  menuju daerah Ancol salah satu tempat pacaran favorit di pinggiran kota  Magelang. Dan di sana kissing kita teruskan lagi, maklum waktu itu  status kita belun resmi pacaran, baru hobby sama lagu Slank "Ameican  style" gitu.. Kita belum terpikir untuk melakukan hubungan badan yang  terlalu jauh waktu itu. Namun, setiap hal pasti memiliki sebuah awal,  dan hanya alamlah yang tahu dari mana sang awal itu berasal.
Tiba-tiba  langit menjadi gelap (Padahal pagi tadi cerahnya bukan main). "Nduk..,  (begitu panggilan sayangku padanya) kayaknya mau ujan nih..".
Gendhuk  diam saja, Untuk beberapa saat dia memandangi mukaku yang hancur  seperti si Komar 4 sekawan itu. Pandangannya agak meredup, lalu dia  memelukku, satu kecupan mendarat di bibir tebalku, sesaat kemudian  kulihat Gendhuk tersenyum penuh arti dan matanya seolah ingin mengatakan  sesuatu. Meskipun tiada kata cinta yang terucap, aku hanya mengerti,  apa arti senyumannya itu.
Tanpa banyak tanya, aku starter lagi  motorku yang sejak tadi kuparkir di pinggiran sungai Progo, aku pacu  seolah ingin berburu dengan hujan yang sewaktu-waktu mungkin tiba.  Kupegang tangannya, kutarik agar dadanya lebih menempel di punggungku,  terasa payudaranya yang mulai ranum itu menusuk lembut mata punggungku.
Setelah  beberapa kilometer kuhentikan motor dan kusuruh dia duduk di depan.  Kujalankan lagi motor pelan-pelan. Saat itu gerimis mulai turun.  Sementara dari kejauhan, kota Magelang sangat gelap, mungkin sudah deras  hujannya. Posisi duduk kami di motor sangat romantis, Aku duduk di  belakang, tangan kananku memegang stang gas, tangan kiriku menggenggam  erat tangan kanannya. Tangan kiri Gendhuk memegar stang kiri.
Sambil  menyanyikan lagu Nothings Gonna Cahange, kusuruh tangan kanannya  berpegangan pada speedometer. Sementara secara naluri, tangan kiriku  mulai masuk ke sweaternya. Kucari dua gundukan itu, lalu kuremas-remas  setelah kudapatkan.
Motor kami masih berjalan pelan menyusuri  jalan Borobudur - Magelang. Kendaraan lain hanya terkadang lewat,  suasana alam cukup mendukung keberadaan kami untuk berduaan saja.
Setelah  beberapa menit, langit semakin menghitam, sementara Enno mulai  menggeliat sembari mendesis-desis kecil. Saat tanganku berpindah ke arah  celana jeans-nya, Enno tak melarangnya. Aku buka ritsluitingnya,  kudorong sedikit duduknya sehingga posisinya agak kupangku, kumasukkan  tangan kiriku ke dalam celananya, kumainkan jariku sedapat-dapatnya.  Teman-teman, meski kejadiannya di atas motor, namun sensasi yang kami  rasakan lumayanlah. Bulu-bulunya terasa halus di ujung jemariku dan  sedikit ke bawah kemudian, jariku menyentuh kewanitaannya secara acak  demikian juga klitorisnya. Sedikit desahan tersendat kurasakan di dadaku  karena memang posisiku menempel ketat di belakangnya, sementara itu si  ucok sudah tidak peduli terhadap cuaca yang lumayan dingin karena  gerimis.
Lalu bagai tak sadar, tangan Enno merayap ke belakang,  mencari-cari pusakaku. Aku tahu posisinya agak sulit buat dia, makanya  aku membantu buka ritsluiting celanaku, kubimbing tangannya memasukinya.  Dan apa yang kami rasakan pastilah bisa kalian bayangkan  saudara-saudaraku..
Tak berapa lama kemudian, kami putuskan untuk  tidak langsung pulang ke rumah, kepalang tanggung, jam sudah menunjuk  angka dua. Setelah ber-petting di motor, kuarahkan motor melaju menuju  Muntilan. Karena arah Magelang - Muntilan adalah jalan utama, kami  menghentikan aktifitas kami yang cukup melelahkan perasaan dan tenaga  tersebut.
Kupacu sepeda motorku sampai di Blabag (sebelun  Muntilan) kubelokkan stang ke kiri mendaki menuju arah gunung Merapi.  Saat itu aku yakin, walau kubawa ke manapun dia tidak akan menolak.  Benih cinta itu kami rasakan sedang berkembang saat itu. O Iya,  sebelumnya kami sudah bertukar tempat duduk lagi sehingga aku di depan,  sedangkan tangannya sudah tak mau lepas dari kepala kentangku, malah  sekarang kedua tangannya telah masuk ke dalam. Motor tetap kupacu  sekitar 40 Km/jam, kendaraan banyak berseliweran tapi kami sudah tak  peduli. Enno masih melayang dengan kedua tangan di dalam celanaku dan  tertutup oleh ujung sweaterku, sehingga orang sekilas akan mengira  tangannya hanya memeluk pinggangku saja.
Sementara aku masih  berjuang untuk tetap konsentrasi mengemudikan motor ke arah Kedung  Kayang, suatu tempat sakral para sejoli mencari tempat pacaran. Kedung  Kayang terletak di tepian gunung Merapi, berupa sebuah jurang yang dalam  dengan panorama yang luar biasa indahnya. Teman-teman, sebenarnya aku  tak tahu kenapa kita ke tempat itu, (bukannya ke hotel misalnya..)  naluri membawa tanganku untuk menuju ka sana.
Sementara hujan akan segera mengucur..
Sampai  di Kedung Kayang suasana sangatlah sepi. Tak satupun kendaraan  terparkir di sana. Maklum mendung dan gerimis. Kami turun dari motor,  sedikit berjalan ke arah sebuah tempat berteduh, berjalan beriringan  tanpa satupun kata terucap, kepala kami terlalu sarat dengan apa yang  baru saja kami lakukan. (sebagai info: saat itu adalah pertama kali  melakukan petting, sebelumnya hanya French kiss aja..)
Gerimis  mulai lenyap berganti hujan, kami telah cukup selamat berteduh, meski  baju kami agak basah. Mata kami hanya saling beradu, cukup lama.. Kami  tidak tahu mau berkata apa, tetapi kami juga tidak merasa menunggu  apa-apa. Di beberapa detik berikutnya, tangan kami telah berpegangan.  Kuusap pipinya dengan beribu kata di hati. Terasa ada gemuruh, entah di  dalam dada, entah di luar sana geledek yang lewat.
Seiring dengan  beriramanya hujan yang makin menderas, secara refleks kepala kami  saling menyongsong, bibir kami saling berpagut.., lama dan mesra. Kedua  tanganku memegangi kedua sisi rahangnya, lidah kami menari bersama.  Kurasakan tangannya mulai naik merangkul leherku, semakin lama makin  erat pegangannya. Kuturunkan bibir dowerku ke arah leher jenjangnya,  kuciumi dengan nafsu yang sedikit kupendam sehingga tak meluap begitu  saja.
Tiba-tiba kepalanya terdongak, dan kali itulah aku melihat  seorang wanita menggelinjang.. indah sekali, tangannya yang mengejang  menambah erat pelukan di leherku. Kuhentikan secara mendadak ciumanku di  lehernya, sempat kulirik hujan telah turun dengan derasnya bagai  kesetanan.
Enno sempat kaget saat kuhentikan ciumanku. Aku  tersenyum, lalu dengan cepat kusambar lagi lehernya dengan nafsu yang  tak dapat kutahan lagi. Kujilati lehernya, aku cupang pangkal lehernya.
Irama  hujan seolah menabuhi apa yang kami lakukan. Desahan nafas kami  sama-sama memburu bagaikan bernyanyi dengan alam Kedung Kayang yang  angker keindahannya. Lalu dengan kasar kunaikkan t-shirtnya sampai ke  lehernya, kupegang pantatnya dengan tangan kiriku kuremas-remas dengan  gemas, dan tangan kananku menarik kutangnya ke atas searah t-shirt yang  kuangkat tadi. Kutemukan dua gundukan indah yang lebih ranum dari Merapi  yang usianya sudah seumur bumi. Kumainkan kedua putingnya bergantian,  kugosok sejadi-jadinya hingga wajahnya merah merasakan kekasaranku.
Desahan-desahannya  sudah tak kuhiraukan lagi (kelak aku meyadari bahwa cinta dan nafsu  ternyata bagaikan Qobil dan Habil anak Adam dan Hawa). Kudorong tubuhnya  ke arah tembok agar tak terlalu berat menyangga beban berat tubuhnya  yang disesaki berahi itu. Kumajukan kaki kiriku ke arah selangkangannya,  kutundukkan kepalaku dan kujilati puting susunya, kusedot-sedot dengan  kekuatan penuh seperti dendam pada sang hujan kenapa baru sekarang aku  dikenalkan dengan kenikmatan seperti ini. Kugesek-gesekkan kaki kiriku  ke pangkal pahanya, matanya merem melek tak tahu sudah sampai di mana  otaknya yang melayang. Aku masih tak perduli, sex is sex..
Kini  badannya lemas tidak.., kakupun tidak, hanya kepasrahan saja yang  kudapati di raut mukanya yang tak lagi manis itu dan tak lagi cantik itu  karena mataku juga sudah khilaf.
Setelah beberapa cupanganku  menghiasi sekitar putingnya, kini dengan satu tangan kuremas pantat,  satu tangan lagi berkarya di ritsluitingnya. Kubuka celananya, masih  dengan nafas yang memburu, kulorotkan celananya sampai dengkulnya,  kumasukkan tangan kananku ke dalan CD-nya, bagai tanpa perasaan lagi  kumainkan dengan ganas vaginanya, kusentil-sentil sekitar clitorisnya,  dia melenguh di dunia tanpa akal. Kumasukkan jari tengahku ke arah  lubang vaginanya, kumasukkan dengan ganas, kuputar-putar jari tengahku  di dalam vaginanya yang sedamg ranum-ranumnya. Sambil kusedot dengan  kuat susu kirinya, aku mainkan tangan kiriku di lubang pantatnya, masih  terdengar jelas suaranya memanggil-manggil namaku dengan penuh  kenikmatan.
Akhirnya setelah orgasme yang kesekian baginya,  kubuka celanaku, kuturunkan sebatas dengkul, kuturunkan juga celana  dalamku, dengan posisi agak jongkok, kutarik kaki kiri pasanganku,  dengan galak kunaikkan sedikit kakinya lalu dengan penuh nafsu kuarahkan  moncong "hidung" pinokioku ke arah lubang sorganya. Susah, sempit dan  erangan perih terdengar lirih di antara erangan kenikmatannya.
Kini  matanya terbuka, dipandanginya aku dengan sorot yang tak bisa  kulukiskan dengan kata-kata, lalu dengan cepat mulutnya menyambar  mulutku. Permainan bertambah panas setelah itu, seolah-olah kami sudah  tak ingin membuang waktu lagi. Dengan isyaratnya, kuhujamkan penisku  dengan agak kasar, kurasakan mulutnya seakan menahan sesuatu saat  berpagut dengan mulutku, tapi kini kami tak perduli. Dengan saling  bantu, akhirnya sedikit-demi sedikit penisku berhasil ditelan dengan  mesra oleh vaginanya. Benar-benar basah, panas dan berjuta perasaan  meledak di dalam dada saat kurasakan vaginanya bagaikan mulut bayi yang  menghisap kempongnya dengan gemas.
Agak lama juga kami saling  menggocok, menggoyang dan bertempur lidah.., sampai akhirnya batas  kemampuan kami berdua telah sampai di ambang batas, dengan di awali  suara gelegar geledek di atas tempat kami berlindung, sebuah erangan  keras dan tubuh mengejang sama-sama mewarnai hari bersejarah tersebut.  Kami mencapai orgasme bersama-sama semenit sebelum kaki kami lunglai  menahan berat beban nafsu kami.
Sekitar setengah menit kemudian  kami berpelukan, kedua alat reproduksi kami masih berpelukan juga. Lalu  hujan berhenti berganti dengan gerimis. Kami rapikan lagi baju kami  berdua. Kami terdiam, menatap pemandangan basah di sekitar kami.  Indah.., seindah suasana selanjutnya saat kupeluk tubuhnya dari  belakang, dan kami menikmati sisa-sisa orgasme kami.
Beberapa  saat kemudian serombongan keluarga melewati kami. Aku bersyukur, mereka  tidak datang sejak tadi mengingat tempat kami berkarya tadi relatif  sangat terbuka. Seorang ibu sempat mengernyitkan dahinya melihat kami  berpelukan. Kulepaskan pelukanku, kumundur beberapa langkah ke belakang  dan kulihat bagian belakang kaosnya berwarna merah.
"Ndhuk..",  aku memanggilnya dan memberi tanda dengan mataku ke arah bagian bawah  kaosnya. Sedikit ekspresinya menandakan kekagetannya. Darah.. Ya, sore  itu kami melepaskan keperawanan kami berdua. Lalu dia tersenyum. Kami  berpandangan, lalu berpelukan.
Setelah gerimis agak reda, waktu telah menunjukkan pukul lima seperempat. Kami pulang dengan wajah sangat bahagia.
TAMAT
