Kekhilafan Reni2

Bookmark and Share
"Ayah! Ngapain ke sini?" bentakku dengan suara tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah pembantuku.

"Reni, maafkan ayah. Kamu jangan marah seperti itu dong, sayang", ia malah berkata seperti itu bukannya malu didamprat olehku.

"Ayah nggak boleh. Keluar, saya mohon", pintaku menghiba karena kulihat tatapan mata ayah demikian liar menggerayang ke sekujur tubuhku.

Aku buru-buru menurunkan daster menutupi pahaku. Aku beringsut menjauhinya dan mepet ke ujung ranjang. Ayah kembali menghampiriku dan duduk persis di sampingku. Tubuhnya mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.

"Kamu tidak kasihan melihat ayah seperti ini? Ayolah, kita khan pernah melakukannya", desaknya.

"Jangan bicarakan masa lalu. Aku sudah melupakannya dan tak akan pernah mengulanginya", jawabku dengan marah karena diingatkan perisitiwa yang paling kusesali.

"OK. Ayah nggak akan cerita itu lagi. Tapi kasihanilah ayahmu ini. Sudah bertahun-tahun tidak pernah merasakannya lagi", lanjutnya kemudian.

Ayah lalu bercerita bahw ia tak pernah berhubungan dengan wanita lain selain ibu dan diriku. Dia tak pernah merasa tertarik selain dengan kami. Aku setengah tak percaya mendengar omongannya. Ia memang pandai sekali membuat wanita tersanjung. Dan entah kenapa akupun merasakan hal seperti itu. Ketika kutatap wajahnya, aku jadi trenyuh dan berpikir bagaimana caranya untuk menurunkan hasrat ayah yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Aku tahu persis ayah akan berbuat apapun bila sudah dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku mengalah dan mau mengocok batangnya agar ia bisa tenang kembali.

"Baiklah..", kata ayahku seakan tidak punya pilihan lain karena aku ngotot tak akan memberikan apa yang dimintanya.

Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin bahwa jalan keluar ini akan meredam keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana pendeknya. Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak memakai celana dalam lagi. Begitu celananya kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri seperti ada pernya. Aku agak terkesima juga melihat batang ayah yang masih gagah perkasa, padahal usianya sudah tidak muda lagi.

Tanganku bergerak canggung. Bagaimananpun juga baru kali ini aku memegang kontol orang selain milik suamiku meski dulu pernah merasakannya juga. Tapi itu dulu sekali. Perlahan-lahan tanganku menggenggam batangnya. Kudengar ayah melenguh seraya menyebut namaku. Aku mendongak melirik kepadanya. Nampak wajah ayah meringis menahan remasan lembut tangannku pada batangnya. Aku mulai bergerak turun naik menyusuri batangnya yang sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung telunjukku mengusap moncongnya yang sudah licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya. Kudengar ayah kembali melenguh merasakan ngilu akibat usapanku. Aku tahu ayah sudah sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air maninya. Selesai sudah, pikirku mulai tenang.

Dua menit, tiga sampai lima menit berikutnya ayah masih bertahan meski kocokanku sudah semakin cepat. Kurasakan tangan ayah menggerayang ke arah dadaku. Aku kembali mengingatkan agar jangan berbuat macam-macam.

"Biar cepet keluar..", kata ayah memberi alasan.

Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya karena kupikir ada benarnya juga. Biar cepat selesai, kataku dalam hati. Ayah tersenyum melihatku tidak melarangnya lagi. Ia dengan lembut mulai meremas-remas payudara di balik dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang setiap akan tidur, jadi remasan tangan ayah langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis. Sebagai wanita normal, aku merasakan kenikmatan atas remasan ini. Apalagi tanganku menggenggam batangnya dengan erat, setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk menahan diri dan melakukan semua ini demi kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini selesai ayah tidak akan berbuat lebih jauh lagi seperti dulu.

"Reni sayang.., buka ya? Sedikit aja..", pinta ayah kemudian.

"Jangan Yah. Tadi khan sudah janji nggak akan macam-macam..", ujarku mengingatkan.

"Sedikit aja. Ya?" desaknya lagi seraya menggeser tali daster dari pundakku sehingga bagian atas tubuhku terbuka.

Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang. Nafas ayahku semakin memburu kencang melihatku setengah telanjang.

"Oh.., Reni kamu benar-benar cantik sekali", pujinya sambil memilin-milin puting susuku.

Aku terperangah. Situasi sudah mulai mengarah pada hal yang tidak kuinginkan. Aku harus bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung kumasukan batang ayah ke dalam mulutku dan mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-cepat selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi. Aku sudah tidak memperdulikan perbuatan ayah pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan leluasa menggerayang ke sekujur tubuhku, bahkan ketika kurasakan bibirnya mulai menciumi buah dadaku pun aku tak berusaha mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan kulumanku pada batang kontolnya semakin mengganas sampai-sampai ayahku terengah-engah merasakan kelihaian permainan mulutku.

Aku tambah bersemangat dan semakin yakin dengan kemampuanku untuk membuatnya segera selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat fatal bagiku. Sudah hampir setengah jam, aku belum melihat tanda-tanda apapun dari ayahku. Aku jadi penasaran, sekaligus merasa tertantang. Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti takkan bertahan lama. Tapi kenapa dengan ayahku? Apa ia memakai obat kuat?

Saking penasarannya, aku jadi kurang memperhatikan perbuatan ayah padaku. Entah sejak kapan daster tidurku sudah terlepas dari tubuhku. Aku baru sadar ketika ayah berusaha menarik celana dalamku dan itu pun terlambat! Begitu menengok ke bawah, celana itu baru saja terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini terjadi. Aku menyesal kenapa memulainya. Ternyata kejadiannya tidak seperti yang kurencanakan. Aku terlalu sombong dengan keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat. Berantakan semuanya! Pekikku dalam hati penuh penyesalan.

Situasi semakin tak terkendali. Lagi-lagi aku kecolongan. Ayah dengan lihainya dan tanpa kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepalaku berada di bawahnya sementara kepalanya berada di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi enam sembilan! Tak lama kemudian kurasakan sentuhan lembut di seputar selangkanganku. Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau, kurasakan kenikmatan cumbuan ayahku di sekitar itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil menyesali diri. Aku marah pada diriku sendiri, terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak mau mengikuti perintah pikiran sehatku.

Tubuhku meliuk-liuk mengikuti irama permainan lidah ayah. Kedua pahaku mengempit kepalanya seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam selangkanganku. Kuakui ia memang pandai membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah lupa dengan siasat semula. Aku sudah terbawa arus. Aku malah ingin mengimbangi permainannya. Mulutku bermain dengan lincah. Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang membusung penuh dan masih kenyal.

Sementara kontol itu bergerak di antara buah dadaku, mulutku tak pernah lepas mengulumnya. Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian vital masing-masing selama lima belas menit. Aku semakin yakin kalau ayah memakai obat kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak cepat ke arah pusat kewanitaanku. Jilatan dan hisapan mulut ayah benar-benar membuatku tak berdaya. Aku semakin tak terkendali. Pinggulku meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh aliran darah serasa terhenti dan aku tak kuasa untuk menahan desakan kuat gelombang lahar panas yang mengalir begitu cepat.

"Auugghh..!" aku menjerit lirih begitu aliran itu mendobrak pertahananku.

Kurasakan cairan kewanitaanku menyembur tak tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku terkulai lemas sementara batang kontol ayah yang berada dalam genggamanku masih mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa makin kencang saja. Aku mengeluh karena tak punya pilihan lain. Sudah kepalang basah. Aku hanya tergolek lemah tak berdaya saat ayah mulai menindih tubuhku. Dengan lembut ia mengusap wajahku dan berkata betapa cantiknya aku sekarang ini.

"Kau sungguh cantik. Kini kau sudah dewasa. Tubuhmu indah dan jauh lebih berisi.., mmpphh..", katanya sambil menciumi bibirku, mencoba membuka bibirku dengan lidahnya.

Aku seakan terpesona oleh pujiannya. Cumbu rayunya begitu menggairahkanku. Aku diperlakukan bagai sebuah porselen yang mudah pecah. Begitu lembut dan hati-hati. Hatiku semakin melambung tinggi mendengar semua kekagumannya terhadap tubuhku. Wajahku yang cantik, tubuhku yang indah dan kini jauh lebih berisi. Payudaraku yang membusung penuh dan menggantung indah di dada. Permukaan perut yang rata, pinggul yang membulat padat berisi menyambung dengan buah pantatku yang 'bahenol'. Diwajah ayah kulihat memperlihatkan ekspresi kekaguman yang tak terhingga saat matanya menatap nanar ke arah lembah bukit di sekitar selangkanganku yang dipenuhi bulu-bulu hitam lebat, kontras dengan warna kultiku yang putih mulus. Kurasakan tangannya mengelus paha bagian dalam. Aku mendesis dan tanpa sadar membuka kedua kakiku yang tadinya merapat.

Ayah menempatkan diri di antara kedua kakiku yang terbuka lebar. Kurasakan kontolnya ditempelkan pada bibir kemaluanku. Digesek-gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik turun. Aku merasa ngilu bercampur geli dan nikmat. Cairan yang masih tersisa di sekitar itu membuat gesekannya semakin lancar karena licin. Aku terengah-engah merasakannya. Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi saat moncong kontolnya itu menggesek-gesek kelentitku yang sudah menegang. Ayah menatap tajam melihat reaksiku. Aku balas menatap seolah memintanya untuk segera memasuki diriku secepatnya.