Surabaya, 14 Desember 2000
Kepada sahabatku tempatku bersandar
di tempat
Halo sobat,
Heran yah? Setelah sekian lama baru aku menulis surat kepadamu. Maaf, mungkin selama itu aku terbuai oleh mimpi indahku yang semu. Namun kuminta sedikit waktumu untuk mendengar ceritaku, sayang aku lebih suka menulisnya lewat surat namun cara ini lebih efisien daripada telepon bukan? Lagipula aku tak ingin mendengar ocehanmu yang selalu sok tahu dan sok dewasa.. ah jangan marah, aku hanya bergurau.
Begini,
Hari ini aku menangis sepuasnya, bukan, bukan karena hasil ujianku yang kutahu pastilah sangat-sangat jelek, bukan pula karena kemarahan Papa karena uang jajanku yang selalu habis. Tapi cintaku.. sayangku.. pergi..
Masih ingat Raja? Raja adalah satu-satunya pria yang mampu membuatku tertawa, mampu membuatku menangis gembira, mampu menepis awan-awan kelabu yang singgah di hari-hariku, yang bisa memelukku dengan lengan-lengannya yang kekar dan dadanya yang bidang. Raja pulalah yang membangkitkanku dari ketenggelamanku dalam duka yang menyayat hatiku delapan bulan lalu, setelah secara begitu menyakitkan, seorang lelaki mencampakkanku demi mantan pacarnya, ah kau pasti tertawa mengingatnya. Raja menghiburku dengan kata-katanya yang manis, membuatku tertawa dengan gurauan-gurauannya, membuatku merasakan diriku sebagai seorang wanita seutuhnya dengan perlakuannya yang gentle terhadapku. Rajalah yang membantuku melalui masa-masa berat di kesendirianku sebagai seorang anak tunggal di keluarga yang terlalu pas-pasan untuk menggaji seorang pembantu rumah tangga.
Ah.. betapa aku menyayangi Raja, bahkan melebihi kasih sayangku pada orangtuaku yang jarang di rumah. Kau tahu kan, profesi Papa sebagai seorang pegawai kantoran, dan Mama sebagai guru sangat menyita waktu mereka untuk menemaniku. Hanya di waktu malam saja mereka menyempatkan waktu untuk membelaiku, dan di hari Minggu, saat kami berangkat ke gereja. Jadi kurasa kau pun tak heran, di samping karena keberadaanku sebagai anak tunggal yang selalu haus akan seorang teman, aku adalah seorang wanita yang memainkan perasaan dalam setiap tindakan dan pikiranku, betapa aku membutuhkan sosok seorang kekasih yang mendampingiku di hari-hari sepiku. Menghangatkan dan menghiburku.
Aku berharap banyak, padanya, kuakui hal itu, karena siapakah aku? Aku bukanlah anak seorang kaya yang mampu memikat lawan jenisku dengan pernik-pernik perhiasan dan baju-baju mewah, bukan pula gadis yang sangat cantik rupawan yang bisa membuat bahkan seorang pangeran pun bertekuk lutut dan mengemis cintaku. Alangkah berbedanya kondisiku dengan Raja, yang terlahir di sebuah keluarga kaya, yang selalu berganti mobil setiap tahun, yang selalu mengenakan pakaian dan parfum ternama di sekujur tubuhnya, yang selalu keluar masuk tempat-tempat gaul di sisi-sisi jalanan Surabaya. Seorang lelaki menarik yang dapat menjatuhkan hati wanita manapun dengan senyum dan daya persuasifnya yang luar biasa. Namun yang kupuja darinya hanyalah kenyataan saat itu bahwa ia begitu menyayangiku, begitu menunjukkan betapa ia tidak memandang harta dan kecantikan dalam kecintaannya padaku.
Bagaimana mungkin seorang wanita tidak terlena oleh kesetiaan yang diberikan seorang pria kepadanya, bahkan perkenalanku dengan seluruh personil keluarganya semakin memicu tercurahnya kasih sayang dan kesetiaanku padanya. Kami telah berhasil menyatukan kedua kelompok kami, yang semula tidak saling mengenal satu sama lain, yang semula berbeda kultur dan kebiasaan, sehingga menjadi satu kelompok remaja yang cerewet dan menggemaskan. Semua sahabat kami, termasuk kau, ingat, mengakui kami sebagai pasangan yang paling serasi, di saat teman yang lainnya bermain layangan dengan kekasih-kekasih mereka (tahu maksudku?).
Segalanya berjalan begitu sempurna, walaupun ada gejolak, namun semuanya terasa dapat terselesaikan dengan baik, di gereja, maupun di antara kami pribadi.
Sobatku tersayang,
Aku ingin mengatakan kepadamu mengapa aku merasa sangat bersedih hari ini, mungkin satu kata perpisahan yang biasa saja takkan membuat hatiku berkeping-keping. Namun kau tahu, sobatku? Ada orang bijak berkata, "jangan melakukan hal yang dapat mencegah terlaksananya hal lain" mungkin kau tak paham artinya. Ah.. mungkin setelah kuceritakan pengalamanku ini kamu akan mengerti.
Sore itu, tiga bulan yang lalu, Raja datang ke rumahku seperti biasa. Dan seperti biasa pula tanpa basa-basi ia langsung menuju ke sudut ruangan dan memainkan jemarinya di atas tuts-tuts organ tuaku. Masih teringat saat itu, ia memainkan lagu "Bunga Terakhir" kegemarannya. Aku mendengarkan dengan seksama, menikmati suaranya yang berat mengiringi lagu itu, dan betapa kulihat dari sudut-sudut matanya terpancar penghayatannya yang begitu dalam terhadap lagu yang sedang dimainkannya. Membuatku terharu terbawa oleh perasaanku sendiri, memeluk punggungnya dan mencium rambutnya yang mulai sedikit panjang. Merasakan kehadiranku di belakangnya, Raja menghentikan gerakan jemarinya, membalikkan tubuhnya, dan menengadah menatap senyuman penuh kasih yang kuberikan padanya. Kulihat ia tersenyum, menarik tubuhku dan mengecup bibirku, membiarkan tanganku menopang berat tubuhku di pahanya.
Ah, bahkan diriku merasa sangat romantis, saat bibirnya bergerak menyapu bibirku seakan menggumam, "Aku sayang kamu.." Bagaimana aku bisa menolak saat ia menciumiku dan menekan tubuhku ke dalam pelukan paha-pahanya yang membuka. Bagaimana aku bisa menolak orang yang begitu kusayangi, saat ia mengangkat bajuku dan memasukkan telapak tangannya untuk menyentuh buah dadaku. Sentuhan yang hangat di punggungku, gerakan jemarinya yang lincah saat membuka kaitan bra-ku. Ahh.. hanya kenikmatan yang dapat kurasakan saat jarinya menyentuh ketelanjangan puting susuku, dan mempermainkannya dengan bibirnya dan kecupannya yang lembut.
Bagaimana kau pikir aku dapat membisikkan, "Ada Mama.." di telinganya saat ia membuka kancing celanaku dan menurunkannya menelusuri kaki-kakiku. Bahkan dalam keterlenaanku aku hanya bisa mendesah manja saat ia meraba celana dalamku dan menurunkannya dengan penuh kelembutan. Tak ada lain yang bisa kulakukan selain membungkukkan kepalaku dan memandangi ujung-ujung kaki celananya yang terlipat saat ia berdiri dan melepaskan celananya. Bahkan aku pun tak berani memandangi ketelanjangannya saat ia menjatuhkan celana dalamnya.
Kupejamkan mataku saat jemarinya meraih ujung daguku dan mengangkat wajahku supaya ia lebih mudah mengulum bibirku. Tanpa terasa aku pun menaikkan tumit kakiku, saat pinggulnya turun dan mengangkat pinggulku dengan ketegangan kemaluannya yang terselip di pangkal pahaku. Dapat kurasakan telapak tangannya menempel di kulit pantatku, dan membantu ujung-ujung kakiku menopang tubuhku, menciptakan keleluasaan bagi kemaluannya untuk bergerak dan menggesek bibir-bibir kemaluanku. Hhh.. alangkah nikmatnya merasakan ketegangan itu bergerak-gerak di kemaluanku, mengusap dan membelai, terkadang menusuk dengan lembut, menimbulkan erangan lirih yang keluar dari bibirku. Lengannya merangkulku, mengangkat tubuhku dan membiarkannya bergelantungan pada tubuhnya dengan lengan dan kakiku, saat itu kurasakan betapa kemaluannya menegang dan menyesak di kemaluanku, kubayangkan dalam imajiku ketegangan itu berdiri dan menyusup di bibir kemaluanku, menyembunyikan ujungnya pada lubang keperawananku.
Seluruh pesan Mama untuk menjaga harga diriku seakan hilang tatkala Raja menggendongku dan meletakkan tubuhku di sofa ruang tamu, berlutut di hadapan pahaku yang terbuka, dan bertanya dengan nada lembut dan mata yang penuh kasih,
"Kamu nggak pa-pa..?"
Tentu saja kamu tahu betapa hal itu sangat "pa-pa" bagiku. Namun yang kulakukan saat itu hanya tersenyum, dan memejamkan mataku. Sungguh saat itu seakan merupakan saat pembuktian seluruh kecintaanku padanya. Jadi kubiarkan saja saat ia mengecup ujung-ujung payudaraku, dan tangannya mempermainkan kemaluanku yang terasa sangat terbuka dan basah oleh kenikmatanku sendiri. Dan aku hanya bisa memejamkan mata menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk kemaluanku, saat kurasakan gigitan kecil di puting susuku diiringi tekanan-tekanan ketegangannya pada lubang kemaluanku.
"Ahh.."
Betapa rasa nyeri itu tak seakan tak kurasakan, bahkan kusadari aku pun membuka pahaku lebar-lebar, membiarkan lubang kemaluanku terbuka dan menerima setiap penetrasinya.
Kurasakan punggungnya yang tertancapi kuku jemariku bergerak-gerak, dan bibirnya menempel, menghisap seakan berusaha menelan seluruh gumpalan payudaraku. Kunikmati aroma rambutnya sebagai pengurang rasa nyeri di pangkal pahaku. Dan kurasakan ketegangannya memasuki kemaluanku semakin dalam.. semakin dalam.. Dan sobatku terkasih, di sinilah masalah itu dimulai. Mendadak ia menghentikan gerakannya, memegangi ujung kemaluannya sambil terduduk, walaupun kemaluanku masih terasa sangat nyeri, kuusahakan untuk duduk dan betapa terkejutku saat kulihat cairan putih kemerahan keluar dari sela-sela jemarinya.
"Ahhrrgg.. 'adikku', 'sobek' lagi.. aduh.."
Kudengar ia menggumam dan mengomel, peluh membasahi pelipisnya, segera aku berdiri, mengambil tissue dari meja dan menyodorkannya kepada kecintaanku. Ia mengerenyitkan wajahnya, seakan berusaha menahan sakit. Kuangkat lengannya membimbingnya ke kamar mandi, dan untunglah kamar mandiku ada di bawah tangga, sehingga tak mungkin terlihat oleh Mama yang saat itu kuduga sudah tertidur di kamar atas.
Raja segera memasuki kamar mandi dan dapat kudengar desahan dan erangannya, dari balik pintu. Raja keluar beberapa saat kemudian, alisnya masih berkerenyit, dan tangannya menutupi ujung kemaluannya, mulutnya berkerut sekan mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya saat itu. Waktu itu aku sudah memakai celanaku lagi. Jadi kulihat saja Raja menutupi ketelanjangannya, sambil tetap memegangi kemaluannya dan mengerutkan wajahnya.
"Kamu pernah luka.. di situ?"
"Iya.. enam bulan lalu, terjepit retsleting."
Ahh.. sudahlah. Lagipula, aku sayang dan percaya kepadanya. Kukesampingkan rasa nyeri dan mual di perutku, kupeluk dia dan kusandarkan pipiku di dadanya dengan menggumam manja.
"Uuu.. thayang.." kudengar ia tertawa lirih.
"Untung saja lukanya terbuka.. kalau tidak, bisa kebablasan kita."
Ah.. apapun, honey! Kuanggukkan kepalaku dengan perlahan. Mungkin kamu tidak mengerti kenapa kuceritakan hal percintaanku di atas, mungkin pula kamu akan merasa aku kotor dan merendahkan harga diriku sebagai wanita, mungkin kamu merasa terlalu tinggi dan jijik untuk mambacanya, namun di sinilah letak permasalahannya, oh, aku tidak menyalahkanmu apabila kamu melewatkan bagian itu, namun apabila kau langsung membaca isi suratku berikutnya dan merasa bingung, kumohon kau membaca bagian yang kau lewatkan.
Dan sobat, setelah kau mengerti permasalahannya, apakah kamu bisa menyalahkanku sebagai seorang wanita yang sangat menyayangi kekasihnya? Kita lanjutkan saja. Tepat sebulan yang lalu, kami bersama berikrar untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu, dan dapat kaubayangkan girangnya hatiku mendengar janji itu, betapa tidak..? Namun sobat tersayangku, betapa hidup ini terasa sangat getir, saat kemudian ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hatiku, sekitar pukul 01.30 kemarin pagi.
"Lena, maaf.. aku nyeleweng."
Ahh.. sobat.. bagaimana semua ini bisa terjadi? Apakah salahku kepadanya? Sehingga ia tega berkata demikian kepadaku?
Raja pun bercerita mengenai pekerjaan sampingannya dan berbagai prosesi penempatan dirinya sebagai public relations di tempatnya bekerja. Raja lalu bercerita tentang tender seorang investor bernilai 2,5 miliar yang hanya bisa dimenangkannya melalui pendekatan dengan kekasih gelap si investor. Raja bercerita bagaimana ia terpilih sebagai si approacher. Raja bercerita bagaimana tender ini merupakan segala yang pernah ia cita-citakan, Raja pun bercerita mengenai percintaannya dengan si kekasih gelap di rumahnya. Raja mengatakan kepadaku betapa malunya ia menjumpaiku, dan ia mengatakan itulah alasannya mengapa ia terkesan manjauh dariku selama dua minggu ini, dan kau tahu? Saat kutanya beberapa hari lalu, ia selalu menghindar dengan mengatakan, "Aku sibuk.. aku sibuk.." Oh, pantaskah menurutmu seorang pria mengucapkan hal-hal menyakitkan seperti itu lewat telepon? Tidakkah ia ingin melihat air mata yang mengalir di pipiku? Walaupun aku berkata, "Ya.." terus, lalu seakan tanpa beban? Haruskah aku mengatakan kepadanya rahasia itu?
Bahwa tiga bulan lalu, saat ia berpura-pura meratap dan mengaduh di kamar mandi, kumasukkan telunjukku ke lubang kemaluanku, dan menitikkan air mata kebahagiaan ketika kulihat gumpalan darah kental di ujungnya setelah kukeluarkan? Namun akankah kukatakan bahwa aku juga berpura-pura mempercayai alasan 'adik'-nya yang 'sobek' itu? Alasan yang konyol itu? Bahkan beberapa minggu kemudian setelah kejadian itu, aku masih sempat membuktikan kemulusan batang kemaluannya, sesaat sebelum ia memintaku memasukkannya ke dalam mulutku. Aku pun tahu, alangkah sulitnya bagiku membuktikan bahwa diriku bukan seorang perawan lagi, dan betapa lemahnya alasan bahwa hanya karena ia pacarku, berarti ia yang melakukannya. Betapa alasan yang sangat bodoh, bukan?
Ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ternyata selera humorku belum hilang. Dapat kubayangkan alis-alis dewan juri yang terangkat, sudut-sudut bibir mereka yang tertarik, entah karena menganggapku terlalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh cintaku, ataupun karena membayangkan oleh-oleh mewah yang bisa mereka bawa pulang untuk keluarganya dari uang segepok yang mereka terima sehari sebelumnya. Ahh.. malangnya nasib seorang wanita, bukan begitu pendapatmu sobat? Kamu tak usah bersedih untukku, jangan khawatir, aku tidak selemah itu untuk menenggak obat nyamuk ataupun mengunyah racun tikus, walaupun sempat terlintas di benakku, namun satu hal yang kutahu pasti, aku akan tetap berjalan tegak di atas kedua kakiku, menatap garang ke semua laki-laki perayu, dan mengatakan kepada mereka, sobat.
"Ke laut aje lu!"
Tapi, terima kasihku pada Tuhan yang menguatkan imanku dan kepada dirimu, sobat untuk waktu yang kauberikan kepadaku. Eh, mungkin kita bisa bersama menikmati sore lagi seperti dulu?
Salam sayang,
Lena
TAMAT