One night service - 2

Bookmark and Share
Pagi hari aku bangun cukup pagi, karena desakan air seni yang akan keluar, buru-buru aku ke kamar mandi. Saat aku mengeluarkan kemaluanku, kok pada lengket. Sambil kencing aku perhatikan celana dalamku. Ya amplop, aku mimpi basah. Aduh, pengaruh si bapak sebelah nih. Segera aku mandi dan istirahat lagi. Rutinitas kehidupan rumah sakit berjalan sepeti biasanya.

Menjelang sore hari, aku pikir tetangga pasien pada edan, kalau nggak ikut edan bisa nggak kebagian, nih. Aku iseng telepon papitra yang sudah lama nggak kukunjungi. Tempatnya nggak begitu bagus, tapi suasananya lumayan, dan nggak bisa macam-macam di situ, karena managernya selalu mondar-mandir memeriksa ruang, sambil memperhatikan kaki WP-nya. Kalau mau macam-macam bisa pesan setelah kerja dan bisa dibawa ke motel terdekat. Biasanya ke Pondok Wisata. Lokasi Papitra di belakang Polres Jakarta, lurus dari Kejaksaan Agung, dan nanti pasti belok kiri. Nah sekitar situlah tempatnya. Semua WP-nya menggunakan jarik dengan wiron (kain kebaya dengan ujung kain dilipat, dan lipatannya di letakkan tepat jatuh di bawah pusernya hingga jempol kaki).

Aku buka phone-book, nomor yang aku simpan untuk papitra. Aku acak menggunakan rot1, kalau teks pakai rot13. Setelah menuliskan di secarik kertas, semua angka aku tambahkan satu, nah keluarlah nomor teleponnya. 02172*****(edited).

"Sari Perempuan, selamat sore," jawab di seberang telepon.
"Sore Mbak, bisa bicara dengan Mbak Dewi?" kataku.
"Sebentar saya carikan dahulu," jawabnya.
Tidak berapa lama, "Halo, siapa ini?" jawabnya.
"Budi, Mbak," kataku.
"Budi yang mana? Banyak nama Budi soalnya!" tanyanya lagi.
"Itu yang SETIA, SElingkuh TIada Akhir," jawabku.
"Oh, Eh, Mas Budi apa kabar, udah lama nggak ke sini," katanya mulai nyambung.
"Iya nih. Aku bisa minta tolong?" tanyaku.
"Tolong apaan?" tanyanya.
"Masih bisa ONS?" tanyaku lagi.
"Apaan sih ONS?" tanyanya.
"One Night Service," kataku.
"Oke deh. Di mana dan kapan?" nanyanya nafsu bener.
"Aku ada di rumah sakit xx kamar 302, datangnya kalau kamu selesai tugas aja," kataku. Setelah bercerita sedikit mengenai kondisiku, aku tutup pembicaraan di telepon.

Seperti biasa, Mas Manado sudah pergi jojing dan bapak sebelah juga sudah kelonan. Jam 22:00, Mbak Dewi datang dengan menggunakan pakaian tugasnya. Gila bener nih sih mbak, masak besuk sudah malam pakai kebaya lagi.
"Nggak kesulitan ke sininya?" tanyaku.
"Ke rumah sakitnya sih nggak masalah, tapi masuk ke ruangannya yang sulit. Aku bilang sama suster kalau aku saudara dari kampung, besok segera kembali. Akhirnya dia memaklumi, oleh sebab itu aku nggak ganti pakaian selain berhemat waktu juga sebagai alasan," jelasnya. Pinter juga nih si Mbak cari alasan. Harusnya jadi lawyer aja.
"Bawa perlengkapan?" tanyaku. Maksudku kondom, lotion, dan lain-lainnya.
"Iya dong," jawabnya.
"Pakai CD, nggak?" kataku perlahan.
"Mana sempat. Keburu telat," katanya sambil mencubit hidungku, dan minta ijin untuk membersihkan badan di kamar mandi.

Setelah selesai membersihkan badannya,
"Mau diapain?" tanyanya, sedikit berbisik di telingaku.
"Dipijat dulu deh Mbak," kataku sambil telungkup tanpa selembar benangpun. Nggak lama dia memijatku. Asyik juga lho pijat di rumah sakit. Habis kamarnya juga nggak beda jauh, ada tirainya, luasnya kamarnya mungkin nggak beda jauh.

Lagi asik mijat, tiba-tiba terdengar suara erangan dari sebelah. Kulihat wajah Mbak Dewi geleng-geleng, sambil meletakkan telunjuk secara horisontal di keningnya. Dia nanya setengah berbisik kearah telingaku, "Pakai krem nggak?"
"Nggak ah, nggak pakai aja udah enak!" kataku.

Kemudian aku disuruh berbalik atau terlentang dengan posisi kemaluan sangat tegang. Saat mijat dengan posisi telungkup dia sudah mencoba membuatku "keras" dengan meraba-raba bijiku.Setelah terlentang dia memijat sekitar mata kaki menuju ke atas, betis, paha, dan pangkal paha biji kemaluanku tersengol, sementara kemaluanku sudah keras banget. Dia tak sedikitpun berusaha memegangnya. Cukup lama dia memijat kakiku, kemudian pindah dengan kaki yang satunya, dengan cara yang sama pula dia melakukannya.

"Perutnya nggak bisa Mas kalau nggak pakai krem," katanya tanpa berbisik, soalnya di sebelah sudah agak keras lenguhannya. Mereka pikir kita berdua sudah tidur.
"Kalau gitu di massage aja deh adikku," kataku.

Kemudian dengan diraba bulu di bagian bijiku tanpa menyentuh daging, uh uh, tambah keras deh batangku. Kepalanya Mbak Dewi didekatkan ke kemaluanku, di jilatinya bijiku, mHP. Terus lidahnya berjalan di sepanjang batang kemaluanku hingga mencapai kepala kemaluanku. Dijilati ujung kemaluanku. Aduh makin mules aja perutku seperti mau ke belakang. Tidak berapa lama dia memasukkan bagian kepala kemaluan saja ke dalam mulutnya dan memberikan ludah cukup banyak, sehingga terasa lembut banget.

Diputar mulutnya seperti menghisap permen kojek (inget nggak sama si Teli savalas; aku nggak tahu ejaan; yang jelas bintang film jamannya aku masih muda), aku cengkram bed cover (sengaja dari tadi aku tidak menyentuhnya, bukan karena dia memakai kebaya, biar dia lebih intens merangsangku, harapan dia kalau aku sudah bener-bener konak pasti akan memegangnya).

Akhirnya hanya sekitar tiga menit muncrat di dalam mulutnya dan mantul di langit-langit mulutnya dan jatuh ke kemaluanku. Uh sedap.

"Kentel banget sih Mas?" katanya. Aku lihat, iya sih, seperti lem putih, maklum sudah lama nggak dikeluarin atau karena mutivitamin dosis tinggi yang aku minum. Kan yang kemarin ngimpi keluar sendiri.., kalau keluar sendiri artinya sudah penuh, nah kalau dikeluarin artinya dikosongin, tapi segera diisi oleh tubuh kita. Setelah selesai ejakulasi, dijilati kepala kemaluanku.
"Udah mbak, ngilu," kataku.
Diambilnya tisu untuk membersihkan sperma yang tercecer di sekitar kemaluanku. Aku benar-benar lemas, namanya juga pasien.
"Aku ke kamar mandi dulu yah?" katanya.
Kujawab dengan mengangguk. Tidak berapa lama dia masuk ke kamarku.
"Sekarang apa lagi?" katanya. Aku lihat jam sudah jam 12:00.
"Istirahat aja deh, aku capek," jawabku.
"Terus aku tidur di mana?" tanyanya.
"Di sini di sampingku!" kataku.
"Muat apa?" jawabnya.
"Dimuat-muatin!" kataku.

"Aku ganti pakaian dulu yah?" tanyanya.
"Jangan, udah gitu aja," kataku.
"Susah naiknya," katanya.
"Pantatnya dulu dong yang dinaikkin, sedikit loncat, baru kakinya diangkat," kataku sambil membantu mengangkatnya. Akhirnya kita tidur bersama-sama. Aku masih telanjang di bawah selimut. Dia juga ikut masuk ke dalam selimut, tapi masih memakai kebaya.

"Manja banget sih seperti anak kecil, tidur sendiri koq nggak berani," katanya, sambil mengangkat kepalanya dan ditahan oleh tangan kanannya menghadap arahku, sementara tangan kirinya mengusap dadaku. Aku hanya tersenyum. Dia mengecup keningku, turun ke arah telingaku. Daun telingaku dijilati, uh uh, meregang lagi pembuluh darah di sekujur tubuhku. Turun ke leher, emh, geli-geli enak, lidahnya berjalan maju mundur ke arah putingku.

Kasihan juga aku melihatnya. Dia khan juga punya emosi dan nafsu. Masih seperti yang dulu, di balik lipatan kainnya (wiron) ada reitstleting. Aku tarik ke bawah hingga lutut. Dengan menarik kakinya ke atas maka lepaslah kainnya. Dia membantu melepas kebaya hijaunya dan melepas bra hitamnya.

Kucium payudaranya. Terasa semburan hawa panas dari lubang hidungnya. Setelah dapat melepaskan diri dari kain kebaya, dia merubah posisi ke atas badanku. Kemaluanku belum begitu keras, pasti belum bisa dimasukkan. Dia hanya mem"parkir"nya di sekitar labia minoranya. Selanjutnya dia menjilati putingku kembali dan naik ke atas, kebalikan dari rute yang tadi. Saat di telingaku, terdengar hembusan nafasnya, menambah sensasiku. Kemaluanku mulai mengeras, tetapi belum keras sekali, tetapi cukup untuk melakukan penetrasi.

Dia menggoyang naik turun, mengusahakan agar kemaluanku masuk ke vaginanya. Kepalanya berada di sebelah kepalaku, karena dia sedang menjilati leherku bagian belakang, dari balik pundaknya aku melihat pinggulnya yang lebar sedang menggoyang. Ehm bulat bener, oups masuklah kemaluanku. Ya ampun basah banget.

"Mbak kamu terangsang banget yah?" kataku.
"He em," jawabnya sambil terus menjilati leherku dan kadang mengencup tanpa suara. Terus terang aku belum begitu konak, tapi dia melakukan gerakan naik turunnya sambil dicengkram dengan vaginanya. Gerakan pantatnya yang naik turun (tepatnya berputar berlawanan arah jarum jam kalau dilihat dari samping; saat klitorisnya menyentuh bulu kemaluan, pantatnya agak ke atas, kemudian dengan gerakan menjepit di vaginanya klitorisnya ditarik ke atas sehingga pantatnya agak ke bawah).

Gerakan tadi bukan lagi sekedar naik turun searah jarum jam, tapi ada gerakan menyamping, sehingga pantatnya yang naik turun satu persatu. Makin lama semakin enak dan vaginanya semakin longgar serta lendir yang dihasilkan goyangannya sudah cukup banyak; ini berarti tinggal beberapa saat lagi dia akan orgasme. Aku diam saja, tetapi gerakannya semakin cepat, cepat, dan cepat kemudian diam tanpa gerakan.

Kakinya menjepit kakiku, tangannya telah pindah ke belakang kepalaku melalui ketiakku, dan dengan jepitannya sangat kuat dan tidak ada deru nafasnya dalam beberapa detik dibarengi dengan kejutan vaginanya.

"Huh." Semburan udara yang sempat parkir beberapa detik di paru-parunya terdorong keluar menerpa daun telingaku, hampir mirip suaranya Lara Croft saat keluar dari menyelam di Tomb Rider Chronicle.
"Sampe?" tanyaku.
"Bukan nyampe lagi," katanya dengan nafas ngos-ngosan. Kepalanya masih di atas pundakku.
"Belum keluar yah?" tanyanya.
"Udah tahu nanya!" kataku.
Kemudian dengan badan tidak bergerak hanya ada gerakan nafas yang cukup cepat saja, dia menggerakkan rongga vaginanya, tekan, lepas, tekan, lepas, dan seterusnya. Kemudian diikuti dengan gerakan pantatnya secara perlahan.

Siapa yang tahan dielus-elus dengan rongga vagina yang cukup licin. Karena gerakan dia hanya perlahan, aku yang nggak tahan terpaksa aku menggerakkan pantatku naik turun. Pinter banget dia memancingku agar aku bergerak. Uh sedap, kalau lagi olahraga disuruh begini pasti capek mungkin hanya dapet beberapa kali, tetapi kalau lagi hubungan sex begini capeknya nggak terasa, ibarat pepatah mengatakan sekali dayung dua pulau terlampaui, capeknya nggak hilang berhari-hari.

Dia bangun dari tidur sehingga posisinya berubah dengan menduduki kemaluanku. Dia tidak bergerak naik turun melainkan seperti orang naik kuda, maju mundur tetapi pelan, hanya di dalam vaginanya yang bekerja seperti meremas-remas kemaluanku, sementara tangannya memutar putingku. Jebol juga tanggul pertahananku. Uh lega rasanya. Sudah selesai ejakulasi, masih aja dipijat dengan rongga vaginanya sambil keluar masuk, layaknya memeras kemaluanku guna mengeluarkan semua spermaku yang masih tersisa di batang kemaluanku.

Aku biarkan saja, walau terasa agak geli-geli gimana gitu. Terasa spermaku mengalir melalui celah-celah antara dinding vagina dan kemaluanku, jatuh di biji kemaluanku, dan diikuti dengan keluarnya kemaluanku yang telah mengecil.

Buru-buru aku tarik kain kebayanya agar spermaku tidak jatuh ke sprei rumah sakit. Dia bangun dan ke kamar mandi. Setelah bersih dia berganti pakaian dan membersihkan diriku, memasukan perlengkapannya ke dalam tasnya, dan akhirnya aku dikeloni sampai pagi.

Saat dokter datang, dia lihat statusku. Suhu 36.8 derajat celcius, tekanan darah 110/70, SGPT dan SGOT dalam batas yang wajar walau ada ditepi, dan aku nggak punya keluhan, akhirnya aku disuruh pulang.

Bapak yang dari Irian Jaya juga nggak jelas penyakitnya, yang jelas dia tidak mengalami keluhan (hanya kalau malam suka melenguh), jadi diperbolehkan pulang.

Sementara Mas Manado, SGOT dan SGPT, masih terlalu tinggi, bahkan tadi pagi sempat jatuh. Dia belum diperbolehkan pulang. Makanya kalau dibilang bed rest sama dokter harus nurut, buktinya aku sama bapak sebelah bed rest walaupun melakukan bed action, jadi biar cepat sembuh.

Saat akan pamitan sama suster sambil mengucapkan terima kasih, juga sama kepala ruangan, aku bilang, "Bu, pasien yang itu diiket aja, biar total bed rest," kataku. Bapak dari Irja mengangguk. Bukannya apa-apa, demi nyawanya dia sendiri, jojing melulu nggak lihat modal kesehatannya. Kepala Ruangannya hanya tersenyum, pasti nggak tahu yang kami (aku dan si Bapak) maksud.
Kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan uang, harta, bahkan wanita tiada artinya.

TAMAT