Pagi itu aku harus lebih bagi ke studio foto Maxi, salah satu studio  foto terbesar di kotaku. Ada beberapa foto bencana alam yang harus  kucetak untuk dikirim segera kepada Supri, kawan lamaku yang jadi agen  berita luar negeri, berbasis di Jakarta. Sudah dua tahun ini, kujalani  profesi fotografer freelance untuk Supri. Lumayan juga hasilnya, bisa  buat nambah biaya hidupku yang selama ini hanya menggantung nasib  sebagai tukang foto panggilan. Maklum peluang kerja dikotaku agak sulit,  kendatipun aku sarjana pertanian dengan nilai yang tak jelek-jelek  amat.
"Wah.. wah.. sialan, kok malah hujan.. numpang teduh ya  Bu," entah sial apa pagi itu, hujan mendadak turun tanpa mendung, aku  pun terpaksa menghentikan laju sepeda motorku dan segera berteduh  disebuah warung pinggir jalan.
"Ndak apa Dik, memang hujannya deras,  kalau diteruskan nanti basah semua bajunya," jawab pemilik warung, ibu  berusia baya seumur ibuku.
"Saya pesan kopi susunya Bu, jangan  banyak-banyak gulanya ya," pintaku setelah mengambil duduk dalam warung  itu. Sambil menunggu pesananku, kuamati kamera Nikon dalam tas  cangklong, untung kamera itu tidak sampai terembes air.
Warung  tempat kuberteduh terlihat sangat rapi dan bersih, walaupun ukurannya  kecil. Sungguh, aku baru kali itu singgah disana, meskipun sehari-hari  kerab melintasi jalan di depannya. Pagi itu, ada tiga orang yang turut  berteduh sambil sarapan, kelihatannya mereka itu sopir dan kenek angkot  yang pangkalannya tak seberapa jauh dari warung itu.
Belum lagi kopi susu yang kupesan tiba dihadapanku, kulihat dua wanita muda masuk ke warung.
"Uhh,  gila hujannya ya Fin.., untung sudah sampai sini," kata yang berbadan  agak gemuk pada temanya yang lebih langsing. Dari penampilan mereka aku  bisa menebak kalau mereka adalah sales promotion girl (SPG), dibelakang  baju kaos yang mereka pakai ada sablonan bertulis Susu Siip (sengaja  disamarkan), produk susu baru buatan lokal. Keduanya langsung duduk  dibangku panjang tepat di depanku.
"Ini Dik kopi susunya, apa nggak sekalian pesan sarapan Dik?" ibu pemilik warung membawakan pesananku.
"Makasih  Bu, ini saja cukup. Saya sudah sarapan kok," jawabku, Ibu itu pun  berlalu, setelah sempat menawarkan menu pada dua wanita muda  dihadapanku.
"Hm maaf Mas, apa tidak mau coba susu kami?" sebuah  suara wanita mengejutkan aku. Hampir saja aku tersedak kopi yang sedang  kuseruput dari cangkirnya, sebagian kopi malah tumpah mengotori lengan  bajuku.
"Duh maaf, kaget ya Mas. Tuh jadi kotor bajunya," wanita yang agak gemuk menyodorkan tisue kepadaku.
"Ohh, nggak apa Mbak, makasih ya," kuterima tisue pemberiannya dan membersihkan lengan bajuku.
"Maaf, susu apa maksud Mbak?" aku bertanya.
"Hik.. Hik.. Mas ini rupanya kaget dengar susu kita Fin," canda sigemuk, si langsing tersenyum saja.
"Ini  loh Mas, susu siip. Susu baru buatan lokal tapi oke punya. Harganya  murah kok, masih promosi Mas, ada hadiahnya kalau beli banyak," si  langsing menjelaskan, ia juga menerangkan harga dan hadiahnya.
Sebenarnya  aku ingin lebih lama diwarung itu supaya bisa lebih lama bersama dua  wanita SPG susu itu, tapi nampaknya hujan sudah mulai berhenti dan aku  harus melanjutkan perjalanan karena waktunya sudah mepet untuk aku  mengirim foto kepada Supri.
"Saya tertarik Mbak, tapi kayaknya  saya harus lanjutkan perjalanan nih, tuh hujannya sudah berhenti. Emm,  gimana kalau saya kasih alamat saya, ini kartu nama saya dan kalau boleh  Mbak berdua tulis namanya disini ya," kusodorkan selembar kartu namaku  sekaligus meminta mereka menulis namanya dibuku saku yang kubawa.
"Oh  Mas Henky to namanya. Pulang kerjanya jam berapa Mas biar bisa ketemu  nanti kalau kami kerumahnya," si gemuk yang ternyata bernama Lina  bertanya sambil senyum-senyum padaku.
"Jam empat sore juga saya sudah  dirumah kok. Mbak Lina dan Mbak Wati boleh kesana sekitar jam itu, saya  tunggu ya," jawabku. Wati yang langsing juga tersenyum.
Aku  kemudian membayar kopi susu pesananku dan meninggalkan warung, untuk  segera ke studio foto Maxi. Untung aku belum terlambat mengirim  foto-foto pesanan Supri itu.
*****
Jam 1 siang aku sudah  selesai mengirim foto pesanan Supri, dan sudah bisa santai dirumah  kontrakanku yang agak jauh dari kota. Oh ya pembaca, umurku saat itu  sudah menginjak 28 tahun, aku coba mandiri merantau dikota ini setelah  menyelesaikan kuliahku yang juga dikota ini. Soalnya kalau kembali ke  kampung, mungkin aku hanya jadi petani, membantu bapak dan ibuku  menggarap sawah mereka.
Kuputar lagu-lagu melankolisnya Katon  Bagaskara di VCD Player sambil kunikmati berbaring dikasur tanpa dipan  kamarku. Foto Anis kupandangi, pacarku itu sudah tiga minggu ini pindah  ke Irian Jaya, bersama pindah tugas bapaknya yang tentara. Kayaknya  sulit melanjutkan tali kasih kami, apalagi jarak kami sekarang jauh. Dan  sepertinya ini takdirku, berkali-kali gagal kawin gara-gara terpisah  tiba-tiba, jadi jomblo sampai umur segitu.
Membayangkan kenangan  manis bersama Anis, aku akhirnya lelap tertidur ditemani tembang manis  Katon. Sampai akhirnya gedoran pintu kontrakan membangunkanku. Astaga  sudah jam setengah 5 sore, aku segera membukakan pintu utama kontrakanku  untuk melihat siapa yang datang.
"Sore Mas.., duh baru bangun  ya? Maaf ya mengganggu lagi," ternyata yang datang Lina dan Wati, SPG  Susu yang kujumpai pagi tadi.
"Oh Mbak Lina dan Mbak Wati.., saya  pikir nggak jadi datang. Silahkan masuk yuk, saya basuh muka sebentar  ya," kupersilahkan mereka masuk dan aku kekamar mandi membasuh mukaku.
Sore  itu Lina dan Wati tidak lagi menggunakan seragam SPG, mereka pakai  casual. Lina walau agak gendut jadi terlihat seksi mengenakan jeans  ketat dipadu kaos merah ketat pula, sedangkan Wati yang langsing semakin  asyik pakai rok span mini dipadu kaos kuning ketat.
*****
Rumah  kontrakanku type 21, jadi hanya ada ruang tamu dan kamar tidur yang  ukurannya kecil-kecil juga, selebihnya dapur dan kamar mandi juga sangat  mini dibagian belakang. Setelah basuh muka, aku menemani mereka diruang  tamu, tempat duduknya pun kursi bambu.
"Wah ternyata Mas Hengky  ini tukang foto ya, boleh dong kapan-kapan kita difoto Mas?" Lina buka  bicara saat aku duduk bersama mereka.
"Tentu boleh, kapan Mbak mau datang aja kesini," jawabku.
Selanjutnya  kami kembali bicara masalah produk susu yang mereka pasarkan.  Bergantian bicara, Lina dan Wati menjelaskan kalau susu yang mereka jual  ada beberapa macam dengan kegunaan yang beragam. Ada susu untuk ibu  hamil, ibu menyusui, anak-anak usia sekolah, balita, bayi, orangtua,  pertumbuhan remaja, sampai susu greng untuk menambah vitalitas pria.  Nah, untuk susu penambah vitalitas pria itu, bicara mereka sudah berani  agak porno dan mesum, membuat aku blingsatan mendengarnya.
"Hmm,  boleh-boleh.. Saya ambil susu grengnya dua pak, nanti kalau bagus saya  tambah lagi lain kali," aku memotong bicara mereka yang semakin ngawur.
"Nah gitu dong Mas, biar istri Mas senang kalau suaminya greng," Wati kembali bercanda.
"Duh..  Mbak, saya belum kawin nih. Maksud saya susu greng itu saya pakai buat  kerja, supaya tetap fit kalau kerja," kataku. Jawabanku itu membuat  mereka saling pandang, lalu keduanya tertawa sendiri.
"Wah kita kira Mas sudah punya istri, ternyata masih bujang. Kok ganteng-ganteng belum laku sih?" Lina menggoda.
Suasana  terasa langsung akrab bersama dua SPG susu itu. Mereka pun menceritakan  latar belakang mereka tanpa malu kepadaku. Lina, wanita berumur 26  tahun, dulunya karyawati sebuah bank, lalu berhenti karena dinikahi  rekan sekerjanya. Tapi kini dia janda tanpa anak sejak suaminya sakit  dan meninggal, tiga tahun lalu. Sedangkan Wati, bernasib sama. Wanita 24  tahun itu, pernah menikah dengan lelaki sekampungnya, tetapi kemudian  jadi janda gantung sejak suaminya jadi TKI dan tak ada kabarnya sejak 4  tahun lalu. Keduanya terpaksa menjadi SPG untuk menghidupi diri.
"Kami malu Mas, sudah kawin masih bergantung pada orangtua, makanya kami kerja begini," kata Wati.
"Kalau  Mas mau, gimana kalau saya seduhkan susu greng itu. Sekedar coba Mas,  siapa tahu Mas jadi pingin beli lebih banyak?" Lina menawarkanku setelah  obrolan kami semakin akrab.
Belum sempat kujawab dia sudah  bangkit dan menanyakan dimana letak dapur, ia pun menyeduhkan secangkir  susu greng buatku. Susu buatan Lina itu kucicipi, lalu kuteguk habis,  kemudian kembali ngobrol dengan mereka. Saat itu jam menunjuk angka  tujuh malam. Lima belas menit setelah meneguk susu buatan Lina, aku  merasakan dadaku bergemuruh dan panas sekujur tubuh, agak pusing juga.
"Ohh.. Kok saya pusing jadinya Mbak? Kenapa ya? Ahh..," aku meremasi rambutku sambil bersandar di kursi bambu.
"Agak  pusing ya Mas, itu memang reaksinya kalau pertama minum Mas. Mana coba  saya pijitin lehernya," Wati pindah duduk kesampingku sambil memijiti  tengkuk leherku, agak enakan rasanya setelah jemari lentik Wati  memijatiku.
"Nah, biar lebih cepat sembuh saya juga bantu pijit ya,"  Lina pun bangkit dan duduk disampingku, posisiku jadi berada ditengah  keduanya. Tapi, astaga, Lina bukannya memijit leherku malah menjamah  celana depanku dan memijiti penisku yang mendadak tegang dibalik celana.
"Ahh  Mbaak.., mmfphh.. Ehmm," belum selesai kalimat dari bibirku, bibir Wati  segera menyumpal dan melumat bibirku. Gila pikirku, aku hendak menahan  aksi mereka tapi aku pun terlanjur menikmati, apalagi reaksi susu sip  yang kuteguk memang mujarab, birahiku langsung naik. Akhirnya kubalas  kuluman bibir Wati, kusedot bibir tipisnya yang mirip Enno Lerian itu.
"Waduh..,  gede juga Hengky juniornya Mas," ucapan Lina kudengar tanpa melihatnya  karena wajah Wati yang berpagutan denganku menutupi. Tapi aku tahu kalau  saat itu Lina sudah membuka resleting celanaku dan mengeluarkan penisku  yang tegang dari celana. Sesaat setelah itu, kurasakan benda kenyal dan  basah melumuri penisku, rupanya Lina menjilati penisku.
"Ahh..,  tidak Mbak.., jangan Mbak," kudorong tubuh Wati dan Lina, aku jadi panik  kalau sampai ada warga yang melihat adegan kami.
"Ayolah Mas.. Kan sudah tanggung. Nanti pusing lagi loh," Lina seperti tak puas, Wati pun menimpali.
"Maksud  saya jangan kita lakukan disini, takut kalau ketahuan Pak RT. Kita  pindah kekamar aja yah," aku mengajak keduanya pindah ke kamar tidurku,  setelah mengunci pintu utama kontrakanku.
Sampai di kamarku,  bagaikan balita yang akan dimandikan ibunya, pakaianku segera dilucuti  dua SPG itu, dan mereka pun melepasi seluruh pakaiannya. Wah tubuh  mereka nampak masih terawat, mungkin karena lama menjanda. Sebelum  melanjutkan permainan tadi, kuputar lagi lagu Katon Bagaskara dengan  volume agak keras supaya suara kami tak terdengar keluar.
Setelah  itu, aku rebah dikasurku dan Lina segera mengulangi aksinya menjilati,  menghisap penisku yang semakin mengeras. Lina bagaikan serigala lapar  yang mendapatkan daging kambing kesukaannya. Sedangkan Wati berbaring  disisiku dan kami kembali berpagutan bibir, bermain lidah dalam kecupan  hangat. Dalam posisi itu tanganku mulai aktif meraba-raba susu Wati  disampingku, kenyal dan hangat sekali susu itu, lebih sip sari susu sip  yang mereka jual kepadaku.
"Oh Mas, saya sudah nggak tahan Mas," Lina mengeluh dan melepaskan kulumannya dipenisku.
"Ayo  Lin, kamu duluan.. Tapi cepat yahh," Wati menyuruh Lina. Wanita  bertubuh agak gemuk itu segera menunggangiku, menempatkan vagina  basahnya diujung penisku Lina berposisi jongkok dan bless, penisku  menembusi vaginanya.
"Ohh.. Aaauhh.. Mass hengg," Lina meracau sambil  menggenjot pinggulnya naik turun dengan posisi jongkok diatasku.  Kurasakan nikmatnya vagina Lina, apalagi lemak pahanya ikut menjepit di  penisku.
Wati yang turut terbakar birahinya segera menumpangi  wajahku dengan posisi jongkok juga, bibir vaginanya tepat berada  dihadapan bibirku langsung kusambut dengan jilatan lidah dan isapan  kecil. Posisi mereka yang berhadapan diatas tubuhku memudahkan keduanya  saling pagut bibir, sambil pinggulnya memutar, naik turun, menekan,  diwajah dan penisku.
Lima belas menit setelah itu, Lina mempercepat gerakannya dan erangannya pun semakin erotis terdengar.
"Ahh  Mass.., sayaa kliimmaakss.. Ohh ammphhuunnhh," Lina mengejang diatasku,  lalu ambruk berbaring disamping kananku. Melihat Lina KO, Wati kemudian  turun dari wajahku dan segera mengambil posisi Lina, dia mau juga  memasukkan penisku ke memeknya.
"Ehh tunnggu Mbak Wati, tunggu," kuhentikan Wati.
Aku bangkit dan memeluknya lalu membaringkannya dikasur, sehingga akulah yang kini diatas tubuhnya.
"Mass..  Aku pingin seperti Lina Masshh.. Puasian aku ya.. Meemmppffhh.. Ouhh  Mass," Wati tersengal-sengal kuserang cumbuan, sementara penis tegangku  sudah amblas dimekinya.
"Ohh enakhhnya memekmu Watthh.. Enakhh ughh,"
"Engh..  Genjot yang kerass Mass, koontollmu juga ennahhkk.. Ohh Mass," Wati dan  aku memanjat tebing kenikmatan kami hingga dua puluh menit, sampai  akhirnya Wati pun mengejang dalam tindihanku.
"Amphhunn Mass.. Ohh nikhhmatt bangghett Masshh..," Wati mengecup dadaku dan mencakar punggungku menahan kenikmatan yang asyik.
"Iyah Watt.. Inii untukkhhmuhh.. Ohh.. Oohh," aku pun menumpahkan berliter spermaku ke dalam vagina Wati.
Setelah  sama-sama puas, dua SPG susu itu pun berlalu dari rumahku, kutambahkan  dua lembar ratusan ribu untuk mereka. Aku pun kembali tidur dan  menghayalkan kenikmatan tadi.
Tamat
