Sabtu awal bulan, di pagi menjelang siang hari tepatnya jam 10:30 yang cerah, aku sudah duduk di rumah makan cepat saji yang cukup populer di Jakarta. Setelah memesan makanan, kupilih tempat duduk dekat kaca, agar dapat melihat situasi di luar. Dari pantulan cermin aku melihat di belakangku ada pria dan wanita. Yang pria sedang membaca surat kabar dengan posisi mengahadap kaca di sampingnya sedangkan wanitanya melahap makanan yang tersaji di hadapannya sehingga tidak ada suara, hanya suara musik yang terdengar sayup-sayup.
Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh, ternyata lagi ada pertengkaran, namun suaranya tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita cemburu terhadap pasangannya, namum disanggah oleh si pria. Dia tak mungkin berseligkuh dikarenakan semua penghasilannya sudah diberikan padanya.
Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita berjalan dengan cepat sambil membawa tas plastik merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat. Oh iya, itukan Mbak Indah. Kulihat jam menunjukkan jam 11:30, berarti mulai berdatangan WP di depan rumah makan ini, tetapi ini masih yang juniornya alias yang baru lulus training. Aku sudah tidak memfokuskan ke pembicaraan orang di belakangku. Tak lama sepeda motor berpenumpang melintas dan menurunkan penumpangnya tepat di belakang kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah makan dan hanya tiga blok dari sebuah panti pijat tradisional (Papitra). Dia turun dan memberikan uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan Mbak Anita. Saat Mbak Anna masuk, sebuah bajaj berhenti lagi di belakang kendaraanku. Setelah bajaj berlalu tampak Mbak Ayu, dengan cepat melangkah masuk. Lama kelamaan parkir mulai penuh di sekitar Papitra, dan banyak pengemudi masuk ke situ. Nampak roda kehidupan Papitra mulai berputar.
Tanpa terasa suasana rumah makan mulai ramai. Pengunjung sudah bergantian keluar-masuk. Makananku pun sudah mulai habis. Aku pesan makanan penutup, sambil tidak sedikitpun membuang pandanganku ke arah sekitar mobilku. Bukannya takut kehilangan mobilku, tetapi di situlah rata-rata para WP turun dari kendaraan yang mengangkut mereka - mungkin malu dengan "pengantar"nya bahwa mereka bekerja di Papitra, sedangkan yang naik bis pasti berjalan kaki untuk mencapai tempat bekerjanya.
Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam 13:00. Wp masih berdatangan. Ada yang muda dan kecil, rata-rata mereka menggunakan pakaian serba ketat atau hanya bawahannya saja yang ketat, nanti setelah masuk mereka akan menggunakan pakaian dinasnya yang setiap hari berganti warna tetapi dengan model yang sama, mempunyai bordiran nama di dada kanan sedangkan rok mininya ditulis nama WP dengan spidol di bagian dalam lipatan pinggang. Nah jam segini yang datang biasanya para senior-senior. Ada yang keluar dari taksi sambil bicara dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang digunakan keluaran terbaru.
Tidak berapa lama ada seorang wanita berpakaian ungu muda keluar dari taksi. Begitu taksi pergi, dia jalan menuju ke Papitra. Siapa yah? orang barukah? kataku dalam hati sambil menyentuh daerah antara hidung dan bibir atas dengan telunjuk kiriku - rasa penasaran dan petualanganku mulai tumbuh - dari penglihatanku umurnya kurang lebih sekitar 30 tahun. Yang menarik adalah pinggulnya cukup besar. Bila berjalan seperti bebek, megal megol, seperti orang hamil (??), apa mungkin orang hamil bekerja di Papitra?
Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke Papitra di depan rumah makan itu.
"Hallo selamat siang," suara resepsionis.
"Siang Mbak Ani," jawabku.
"Mau pesan, Pak Budi?" katanya, masih ingat namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang karena nggak ada uang kecil. Dia hanya menyediakan uang terkecil 10.000,- jadi di bawah nilai ini tidak akan dikembalikan - "pemerasan terselubung" alias tip maksa. Aku kalau bertemu dengan orang ini, selalu aku membayar lewat WP, agar kembaliannya tidak jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke tangan WP - khan dia yang "memeras").
"Mbak Ani, yang barusan baru masuk menggunakan baju ungu siapa sih?" tanyaku.
"Oh itu Mbak Desi," jawabnya.
"Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?" tanyaku sambil menebak.
"Emang bener, Pak," jawabnya.
"Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih, kalau lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?" tanyaku mendesak.
"Dalam kamar siapa yang tahu Pak?" jawabnya diplomatis, benar juga.
"Sudah ada yang pesan?" tanyaku, jadi ingin coba, karena rasa keingintahuanku.
"Belum, Pak Budi mau pesan?"
"Iya deh."
"Untuk jam berapa?"
"Hmm," mikir dikit, dia baru sampai, butuh istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah 30 menit cukup lah.
"Setengah jam lagi deh Mbak," jawabku.
Empat puluh lima menit kemudian aku sudah tanpa baju hanya menggunakan CD dengan isi sudah pada posisi. Tidur telungkup menghadap tembok di kamar lantai tiga ukuran 2x3 dengan penyejuk ruangan. Tak lama tirai dibuka dan ditutup kembali.
"Selamat siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku sambil menolehkan muka ke arah atas, tetapi tetap tidur telungkup.
"Mau minum apa?" tanyanya, sambil meletakkan barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan cairan pelicin untuk pijat di atas satu-satunya sofa yang ada di ruang itu.
"Air mineral nggak dingin," jawabku. Dia keluar dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia tidak menanyakan pijat berapa jam, karena aku berada di ruang VIP yang mempunyai waktu minimal satu setengah jam.
Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya (padahal suhu ruang cukup dingin). Menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.
"Sebentar ya Pak, mau ke toilet," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali, mungkin terlalu lama berdiri saat memijat tadi, sehingga dia naik ke tempat tidur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa pahanya dibungkus dengan celana ketat, saat bersentuhan dengan pahaku.
"Kamu nggak pernah diisengin sama tamu, Mbak?" tanyaku.
"Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!" katanya.
"Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?" tanyaku.
"Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama kambing kataku, ngomongnya kasar banget," jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau dia disanjung, diajak bicara yang indah-indah, pasti akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik dengan wanita siapapun dia, pasti kalau kamu minta sesuatu dengannya akan diberikan.
"Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi," ijinnya.
"Ya," jawabku singkat, membuyarkan lamunanku.
Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata.
"Pakai krim nggak, Pak?" tanyanya.
"He em," kataku.
"Maaf Pak," katanya sambil melipat CD-ku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. "Tolong dilepas aja Mbak," kataku. Dia menarik handuk dan melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku sekarang. Dia mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian..
"Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi," ijinnya untuk ke tiga kalinya.
"Ya" jawabku singkat, tanpa protes, karena aku memaklumi, karena saat hamil kandung kemih tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain yang aku nggak tahu.
"Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini," katanya saat masuk ke kamar.
"Aku maklum kok, Mbak," jawabku.
Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah selesai dia mengeringkan krim dengan handuk, karena kakiku cukup banyak bulunya dia menaburi bedak bayi di seluruh permukaan ke dua kaki (kalau dilihat nggak ubahnya seperti bayi yang habis mandi terus dibedaki), sehingga minyaknya bergabung dengan bedak, kemudian di gosok dengan handuk satunya lagi, hasilnya lumayan kering.
Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin karena beratnya menahan perut sehingga lebih baik sambil duduk di tempat tidur guna mengistirahatkan kedua kakinya). Wanita lagi hamil mana ada yang memakai rok mini, biasanya selalu serba longgar kan, kecuali wanita yang saat ini ada di atas pantatku.
Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk, akhirnya dia mengangkangiku sehingga dia menduduki pantatku (asli lho, duduk plek, soalnya berat banget) dengan berlapiskan handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi anehnya kok sudah tidak memakai celana ketatnya lagi. Setelah punggung rata dengan krim dia mulai memijat. Posisi memijat adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena gaya pijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser tepatnya terpeleset ke arah pangkal paha, kan ada sedikit bekas krim serta berat tubuhnya yang lumayan berat.
Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan roknya. Sewaktu gaya maju - saat mengurut dari pinggang ke arah pundak - dia terpeleset lagi. Sewaktu mengembalikan pantatnya ke pantatku sudah tanpa handuk, sebab irama pijatannya sudah agak cepat, jadi kalau sebentar-sebentar ngurusin handuk nggak selesai-selesai mijatnya.
Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya sudah tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng, aku menoleh ke belakang bawah.
"Sudah, nggak usah lihat-lihat," kata Mbak Desi, tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok dengan roknya sudah di pinggang sementara di atas pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa bulu (dicukur) nggak seperti bagasi mobilku, lebih tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin, nggak pakai celana!
Bersambung . . . . .