Kenikmatan dari sang polisi

Bookmark and Share
Selalu saja penyesalan terjadi belakangan. Seandainya saja aku tidak bernafsu ingin melihat VCD "Belum Ada Judul" yang sempat menghebohkan itu, tentunya aku tidak harus terkena masalah. Teman-temanku selalu tidak ketinggalan barang baru. Aku selalu jadi cemoohan, karena aku selalu yang paling akhir menikmati apa saja yang jadi santapan mereka. Entah itu perselingkuhan si mandor, tertangkap basahnya bos dengan sekretarisnya di kamar mandi, bahkan hal-hal kecil, seperti adanya blue VCD baru.

Bekerja di perusahaan rancang bangun selalu kehabisan waktu, namun penuh tantangan, maka sangat dibutuhkan hiburan agar pikiran selalu fresh, apalagi aku selaku designer rancang bangunnya, sangat butuh itu. Aku penasaran ingin membuktikan kehebohan VCD itu, maka ketika akhirnya temanku ada yang membawakannya, tanpa pikir panjang aku menerimanya.

Dengan Tiger kesayanganku, kupacu motorku kencang agar secepatnya bisa menonton VCD. Yogya-Magelang yang biasanya sebentar, terasa begitu lama, meski aku mempercepat laju motorku di atas 110 km/jam. Mungkin perasaan was-wasku penyebabnya. Aku sengaja pulang lebih sore daripada biasanya, berharap tidak ada polisi yang sedang operasi. Rasa lega menyeruak, begitu memasuki kota Yogya. Namun di depan sebuah plaza, aku tersentak, ketika ada sedikit kemacetan.

Ahh sial, gerutuku. Semoga hanya operasi kelengkapan surat-surat saja, bisikku dalam hati. Aku berhenti agak jauh dari tempat diberhentikannya kendaraan-kendaraan. Aku celingukan, mencoba mencari jalan tikus yang bisa kujadikan jalan selamat. Namun belum sempat aku mematikan motorku, seorang polisi telah mendekatiku.

"Selamat petang, Mas. Maaf mengganggu kenyamanan Anda. SIM dan STNK, mohon dikeluarkan?", keramahan polisi itu sedikit menyejukkanku.
"Oh iya, Pak. Ada", bergegas kusodorkan.
"Terima kasih, silakan melanjutkan perjalanan Anda!". Aku sedikit mengelus dada, syukur. Segera kuhidupkan motorku. Tanpa mengengok lagi, aku melaju.
"Mas! Maas, berhenti!". Aku menoleh, dan polisi itu kembali melambaikan tangannya. Terpaksa aku berhenti.
"Sekali lagi maaf, Mas. Ini operasi sajam dan narkoba. Saya harus memeriksa isi tas Anda!".

Duerr, serasa sebuah peluru menembus kepalaku. Aku lunglai. Aku yakin, polisi itu akan mencibir atau memperkarakanku dengan semua isi di tasku. Dua batang penis buatan yang dibawakan temanku untuk melambungkan gairah istriku. Bullshit. Terngiang sindiran teman-temanku yang menjamin bahwa istriku akan klimaks 5 kali dengan benda itu. Belum lagi VCD bokep sialan itu.

"Maaf, Pak. Ini pinjaman dari temanku. Kalau bapak berkenan silakan ambil, atau kuharap ini bisa membuka hati Bapak!", aku menyodorkan KTP dan secarik kertas yang telah kutuliskan nomor HP-ku.
"Saya ada 3 juta, tapi di rumah. Saya mohon bapak mengerti posisi saya, lagipula barang itu tidak berbahaya dan tidak termasuk kategori operasi Bapak, kan?".

Polisi itu mengangguk, sambil menerima KTP dan nomor HP-ku, lalu mempersilakanku melaju. Aku melonjak girang dalam hati. Meski sial, namun 3 juta tidak sebanding dengan nama baikku yang bakal tercoreng. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada istriku? Bagaimana kesan keluargaku, jika tahu bahwa aku berurusan dengan polisi karena film bokep? Belum lagi pada para remaja yang menganggapku serba sempurna, saat aku memimpin rapat karang taruna mingguan mereka.

'Kutunggu di tempat kemarin kami operasi, jam setengah 7 malam, tepat. Kuharap Anda sudah siap', begitu SMS yang di kirim polisi itu, sebelum aku berangkat ke proyek. Setengah celingukan aku melambatkan laju motorku, mencari sosok polisi itu, sore itu. Hmm, jam 18:25, mungkin polisi itu belum datang, gumamku.

"Selamat petang, ikuti aku!". Seseorang menjabatku. Ohh, polisi itu tidak berseragam, pantas saja aku pangling. Segera kuikuti motornya.

Di kawasan yang tidak begitu padat, polisi itu menghentikan motornya. Persisnya di depan rumah yang tidak besar namun terlihat asri. Dia membuka pagar dan masuk. Tangannya melambai, menyuruh aku juga memasukkan motorku.

"OK Dj, inilah rumahku!". Plak, aku serasa tertampar. Darimana dia tahu nama samaran itu? Aku bingung, ternganga.
"Ada yang salah?". Senyum yang menggantung di bibirnya itu kurasa sengaja mempermainkanku. Aku makin bingung, namun kulihat di rona wajahnya seakan sedang sangat bahagia, seolah baru mendapatkan sesuatu yang lama diidamkan.
"Setengah tahun lalu kamu ganti nomor polisi motormu, kan? Kenapa? Takut ada yang mengenali motormu? Takut ada yang minta jatah dan kau tidak mau? Salahmu sendiri, kenapa terlalu jujur dan mencantumkan identitas motormu di ceritamu, itu berarti kau mengumumkan kepada kaum gay bahwa ini lho aku, Dj-paijo!".

Rentetan kata-kata bernada menyindir itu seolah menohokku, bagaimana dia tahu?'

"Kamu semakin menggemaskan kalau kebingungan begitu. Lucu, tapi menggairahkan". Aku hanya ternganga tak percaya.
"Jangan begitu, dong. Dua bulan lebih aku mencari informasi siapa gerangan pemutasi nomor polisi lamamu itu, begitu aku pindah tugas ke Yogya. Aku selalu deg-degan kalau kebetulan melihat pengendara Tiger, mungkinkah kamu? Sebetulnya bisa aku percepat, tapi aku tidak mau dicurigai ada apa-apa oleh teman korpsku. Jadinya yaa harus sabar, dan memang orang sabar banyak rejeki, kan? Kita jodoh, dan bertemu".
"Jadi..".
"Heran ada orang sepertimu di tempatku bekerja? Banyak, cah bagus, di instansi manapun juga pasti ada!".
"Jadi..".
"Iya. Aku tahu kamu dari 17Tahun.com, dan kemarin sebenarnya bukan operasi sajam atau narkoba, tapi ada kecelakaan. Sepintas aku lihat Tiger metalik dengan agak ragu-ragu melaju, kucocokkan nomor polisinya dengan catatan hasil investigasiku yang sudah kuhafal di luar kepala. Begitu aku yakin kalau itu adalah nomor barumu, baru aku dekati kamu".

Aku mengangguk, mulai memahami. Aku menjadi lebih tenang. Kusodorkan sejumlah uang yang kujanjikan, dan meminta KTP-ku. Namun polisi itu tersenyum, menggeleng.

"Aku tidak butuh uang itu. Aku butuh lebih dari itu". Senyuman misterius itu masih saja membuatku tak habis pikir.
"Aku memang puas menyaksikan berbagai bentuk penis teman-temanku ketika mandi atau bertukar pakaian, namun perlu kau tahu, aku jarang bergumul dengan mereka, bahaya. Tidak mudah menemukan seseorang yang dalam keadaan sepertimu. Bisa saja aku menggunakan gigolo, tapi riskan. Aku bisa kehilangan pekerjaan. Aku maunya dengan yang sepertimu, yang takut kalau ketahuan, yang akan sama-sama tahu untuk tidak bekoar, dan aku yakin bukan tipemu mengumbar omongan dan ngobral privasiku ke orang lain yang mungkin saja tertarik dengan kehidupanku, demikian juga aku. Jadi akan sangat aman bagiku".

Aku mengangguk kembali. Berkali mengangguk. Kulihat senyumnya masih menggantung di bibir manisnya. Dia menghela nafas panjang. Kemudian aku mendekat, berharap dia mau menerima uangku dan menyerahkan KTP-ku, agar aku tidak punya beban padanya. Namun uang itu dimasukkan kembali ke tasku. Dengan isyarat telunjuk yang ditempelkan ke bibirnya, dia menyuruhku diam. Kurasakan wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Mulutnya membuka, mencoba menemukan mulutku. Untuk pertama kalinya, aku merasa nyaman dengan laki-laki. Mungkin karena dia adalah seorang polisi, yang selain macho, ada sensasi tersendiri yang telah sejak lama kukhayalkan.

Aku mulai mengikuti aksinya. Dengan aktif kulumat bibirnya. Begitu juga dia. Nafas kami mulai berpacu, dan membakar gairah petang. Kami berpagutan lama, seolah kami benar-benar merindukan hal itu sangat lama. Lidahnya sangat nakal bermain di mulutku, kusedot balik lidahnya. Dia mulai mengerang. Tanganku mulai menggerayangi selangkangannya. Kurasakan benjolan keras di balik celana panjangnya. Aku mulai tak tahan.

Kubuka kaos ketatnya, agak kesulitan memang, namun semua sebanding dengan badan tegap nan berisi yang ditawarkannya. Kekar tubuhnya yang terlatih setiap hari, semakin menggetarkan hasratku, aku semakin kesetanan. Kuraih celana panjangnya, dan mencoba melepasnya. Masih dengan berpagutan, aku berhasil menelanjanginya. Penis yang terbungkus celana dalam yang sangat ketat, kujamah dengan tanganku. Kupermainkan, agak sedikit kasar. Dia mengaduh, namun tetap membiarkan aksiku. Dia masih sibuk dengan gairah di mulutku. Tangannya mulai menuruni dadaku, mencoba mencari benda kesayanganku.

Aku terpekik, ketika tangannya mulai menemukan penisku. Dia mulai gemas. Dengan kasar, dia renggut apa pun yang kupakai. Tak kalah kasarnya, kutarik celana dalamnya, sekali lagi dia mengaduh, namun tak lama aku didekapnya erat. Penisnya yang keras, menusuk perutku, begitu pula penisku, ketika kami yang sama-sama telanjang, kembali berpagutan.

Aksinya yang kasar namun romantis, membuatku melambung tinggi. Mulutnya dengan ganas menyedot dua putingku bergantian. Aku mengerang. Aku dekap kepalanya yang berambut cepak, saat sensasi hebat bermain di kedua putingku. Aku semakin melambung, saat lidah kasarnya menjilati putingku. Tanganku tak kalah hebatnya mencakar daerah selangkangannya, dan merancap penis besarnya.

"Uuh, Yeahh". Kata-kata itu berulang kali keluar dari mulutnya, semakin membuatku begitu menikmatinya. Apalagi ketika mulutnya mulai menemukan penisku, aku mengerang.

Berkali-kali disentilnya penisku. Dua pelirku, tak luput dari gigitan nakalnya. Bergantian mulut indah itu mengulum buah pelirku. Sesekali aku mengaduh, saat dia menggigitnya. Kembali aku mengerang. Jari-jari tangannya menusuk-nusuk anusku, sementara mulutnya tak henti, bahkan semakin agresif menyedot penisku, seolah ingin meminum semua spermaku yang masih jauh di dalam. Sensasi di dua titik kenikmatanku, serasa melambungkan jiwaku. Aku mendesah, setengah terpekik.

Tak kalah agresifnya, aku berbuat hal yang sama. Kubanting dia, kemudian kurancap penisnya. Rasa jijik ketika menjilati penis yang sebelumnya ada, entah mengapa, dengannya justru berganti nikmat. Bagai kesetanan, berkali kugigit ujung penisnya, glands penisnya yang sudah berair kumainkan dengan ujung bibirku. Aku semakin bergairah, saat kulihat wajahnya yang memang tampan dan sangat jantan melukiskan berjuta rasa. Rasa antara nikmat, sakit, dan entah apalagi. Berkali mulutnya ternganga disertai desisan penuh kenikmatan, membuat aku ingin sekali melumat bibir itu. Namun aku lebih tertarik melumat penisnya. Tanganku meremas keras dua pelirnya. Dia terpekik, mulutnya masih menganga, mengimbangi sensasi yang dirasakannya, namun matanya terpejam.

Aku tak bisa menahan gairahku sendiri. Aku dekap erat dia. Aroma kelelakiannya menyebar dari tubuh kekarnya. Aku terbuai dan begitu gemas melihat reaksi yang diperlihatkannya. Begitupun dia. Kembali kami berpelukan erat. Tanganku masih bermain dengan penisnya, begitu juga dia. Kami sama-sama membisikkan kata yang semakin melambungkan gairah. Membisikkan kata terindah yang aku sendiri tidak tahu darimana datangnya.

"Oohh. Pakai seragammu, please!". Tiba-tiba aku sangat ingin melihatnya utuh sebagai polisi dengan seragam lengkap. Aku begitu ingin, seolah ada sensasi lain yang bisa kudapatkan.

Dengan berpelukan dan berciuman, dia menuntunku ke kamarnya. Seragam yang sekiranya akan dicuci, diambilnya dari tempat pakaian kotor. Dengan gairah yang masih tinggi, dia pakai seragamnya, komplet dengan sepatu, kecuali topinya, seperti yang kupinta.

Belum sepenuhnya selesai dia mengenakan seragamnya, aku sudah menubruknya. Kembali kami berpagutan, semakin panas, karena aku telah menemukan sensasi lain. Ahh, tubuhnya yang terbalut seragam penuh pesona itu benar-benar membuatku gila. Aku semakin agresif memagutnya serasa ingin melumat apapun yang dia miliki. Pantat, selangkangan dan apapun yang dia punya semakin membuatku melambung begitu dibalut seragamnya. Aku semakin gemas, mencengkeram apa pun yang ada padanya. Berkali dia mengaduh, namun tetap membiarkan aksiku.

Dengan paksa kubuka retsliting celananya. Aku benar-benar sudah tidak tahan. Kukeluarkan penis besarnya, berikut dua buah pelirnya. Sengaja kubiarkan tidak membuka celana panjangnya, karena aku ingin dia tetap dengan seragamnya. Semakin agresif aku mengunyah penisnya. Dua tanganku pun seolah tidak ingin melewatkan sensasi indah itu. Penis dan buah pelirnya yang menjulur dari retsliting celana coklat tua itu, membuatku kesetanan.

Dia mengamuk berat saat kupercepat aksi tanganku di penisnya. Aku dibanting ke bibir tempat tidurnya. Tubuhku terhempas ke kasur, sementara pahaku menjulur ke lantai. Penisnya yang keras, memerah dan panas, mencoba menusuk pantatku. Aku terpekik, saat berkali penisnya mencoba menusuk anusku. Tangannya berkali mengambil ludah dari mulutnya, dan dilumurkan ke anusku, berharap penisnya akan sedikit gampang masuknya. Namun tetap saja sulit, dan aku merasa kesakitan, karena inilah pertama kalinya anusku tersodomi. Aku memejam, begitu kurasakan dia memperlambat aksinya. Dengan lembut jarinya menusuk-nusuk anusku, mencoba mencarikan jalan untuk penisnya.

Kembali aku terpekik, saat glands penisnya mulai masuk ke anusku. Aku mengaduh, setengah mendesis. Berkali pula dia mendesis, sambil mengucapkan kata-kata indah, mencoba memberiku semangat. Gairahku semakin melambung, saat kulihat wajahnya yang mulai berkeringat, menegang. Mulutnya menganga dan mendesah saat penis yang menjulur dari retsliting seragamnya berjuang masuk ke anusku.

Kulumat jemarinya, saat dia telah berhasil memasukkan hampir semua penisnya. Aku benar-benar merasakan sensasi hebat, yang baru pertama kali kurasakan. Rasa mengganjal di anusku. Penisnya yang beraksi di anusku benar-benar memberikan pengalaman pertamaku, dan sebanding dengan kenikmatan yang didatangkannya. Pelan, dia maju-mundurkan pantatnya. Kami mendesis bersahutan. Tanganku beralih ke penisku. Kurancapnya semakin kencang. Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan gairahku demi melihat wajahnya yang semakin tegang menghadirkan berjuta rasa. Kubiarkan sperma mulai memasuki ujung dalam penisku. Kurasakan sperma itu begitu kencang mengalir, memenuhi kantung spermaku.

Aku mempercepat aksiku. Rasa nikmat berganda di penis dan anusku, seolah melambung ke ubun-ubunku. Aku mulai mengejang kuat seiring dengan percepatan reaksi di penisku, dan akhirnya aku mengerang panjang saat spermaku mulai muncrat deras. Saking derasnya, sperma itu muncrat ke wajahnya. Refleks dia mendekapku erat, dengan penis masih menancap di anusku, mencoba memberikan semua birahinya.

"Hayoo, sayang! Ougghh!".

Dia membisikkan berbagai kata di telingaku, mencoba menambah gairahku. Penisku yang baru sekali memuntahkan sperma, berdenyut di baju seragamnya. Aku yakin, seragamnya akan belepotan spermaku seperti halnya wajahnya yang belepotan muncratan spermaku, karena saat dia dekap erat aku, aku masih merasakan kejang penisku memuntahkan spermanya. Tangannya mengurut penisku dengan kasar.

Belum habis sensasi yang kurasakan, dia melepas dekapannya. Wajahnya kulihat semakin tegang dan mengejang. Mulutnya ternganga, matanya berkejap-kejap. Desahan dan erangan berkali keluar dari mulutnya, saat dia mempercepat aksi penisnya di anusku.

Aku sangat menikmati saat dia berada di puncak gairah. Dengan seragam lengkap, wajah menegang, mulut menganga, mendesah. Mata berkejap-kejap, membuatku menemukan sensasi indah. Akhirnya dia meraung panjang, saat spermanya mulai muncrat. Dicabutnya penisnya dari anusku, dan ditempelkan di penisku. Spermanya yang panas, dan lengket kurasakan membasahi penisku yang setengah melemas. Kurancap kuat penisnya. Berkali dia mengerang panjang.

Tanganku masih mengurut penisnya, saat dia dengan erat dan mesra mendekapku. Bibirnya berkali mengecup keningku, dan aku pun membalasnya. Kuucapkan terima kasih, lirih. Dia pun mengatakan hal yang sama. Kami masih berpelukan erat, entah berapa lama.

Ternyata aku mulai menemukan sensasi indah yang semula kuanggap aneh. Aku mulai menikmati lekuk tubuh lelaki, yang semula masih bisa kutahan dengan melampiaskan gairah itu pada istriku. Aah..!

Tamat