Rasa bersalah pada isteriku kian menggunung dengan segala rahasiaku. Ingin rasanya berterus terang selekas mungkin sebelum semuanya terlambat. Namun aku belum siap untuk bisa menerima konsekwensi terburuk yang sering menghantui. Aku tidak mau ditinggal isteri yang sangat kucintai jika dia tahu betapa bejatnya aku. Apalagi jika harus berpisah dengan anakku, aku tidak sanggup.
Namun aku pun tertekan. Jika dokter keluargaku atau Aab Saddam (begitu aku memanggil dosen yang berasal dari Irak itu) meneleponku hanya sekedar tanya kabar misalnya, apalagi sampai datang mengunjungiku, rasa itu semakin menyiksaku. Aku mencoba menghilangkan rasa bersalahku, tapi biar bagaimana pun aku pernah bercinta dengan mereka dan isteriku tidak tahu bahwa telah kukhianati. Untungnya Mr. Smith si bule baik hati itu sudah kembali ke negara asalnya dan hanya setahun sekali datang ke rumah. Meski email untuknya masih sering kukirim, namun beban terhadapnya tidak terlalu berat dibandingkan yang lain.
Sejak pergumulanku yang sedikit bernuansa premanisme dengan Aab Saddam, lelaki itu semakin sering menghantui pikiranku. Tidak jarang dia datang ke rumahku jika aku tidak masuk kuliahnya, meski dia juga tahu bahwa aku tidak di rumah karena sedang sibuk dengan proyekku. Dia beralasan menanyakanku sekaligus menengok keluargaku, dan memang benar juga. Anakku semakin akrab dengannya karena Aab sering membawakan mainan dan makanan kesukaannya. Berbagai rasa berkecamuk jika sepulang kerja, isteriku apalagi anakku bercerita panjang lebar tentang kedatangan Aab Saddam yang setahu mereka adalah dosenku sekaligus salah satu pengurus perguruan tinggi di mana aku dulu mondok menimba ilmu.
"Maaf, tidak nelepon lebih dulu, Dj. Kedatanganku mengganggu?" sapanya.
Aku sedikit terkejut begitu tahu bahwa yang menekan bel rumahku adalah Aab Saddam. Aku menggeleng antara menggeleng menjawab tidak terganggu dan menggeleng karena tidak siap akan kedatangannya.
"Woww, kerennya kau dengan baju itu, bikin kangenku harus segera diobati, Dj!" ujarnya.
Sebelum pintu kututup rapat, Aab sudah mendekapku erat dari belakang. Aku tidak bisa beralasan lagi sebagaimana hari sebelumnya jika Aab ingin bertemu khusus denganku. Dia tahu bahwa aku sendirian saja karena siangnya tadi dia telah ikut mengantar isteri dan anakku ke bandara untuk berlebaran di kampung orang tuanya.
"Aduh, aku belum makan, Ab. Jadi masih lapar!" ujarku sambil memegang perutku yang terasa lapar.
"Iyaa, kebetulan sekali Dj. Aku juga belum makan, makanya aku bawakan banyak makanan untuk kita" aku sekali lagi menggeleng karena tidak tahu harus berbuat apa.
Sambil mendekap erat dan sesekali menciumiku, Aab membimbingku ke meja makan. Selama makan, banyak hal yang dilakukannya yang membuatku risih. Aku yang biasanya tidak aneh-aneh jika makan dengan isteriku, merasa kikuk saat dia meminta untuk menyuapiku. Bahkan sesekali makanan yang sudah disuapkannya ke mulutku diambilnya lagi dengan mulutnya. Aku sendiri jijik membayangkan makanan yang sudah kukunyah ditelan lagi oleh orang lain.
"Maaf, Ab. Aku mau mandi, sudah hampir malam" ujarku.
Aku bergegas bangkit setelah merasa cukup. Kulihat rasa kecewa menggantung di wajah brewoknya yang berubah seperti wajah anakku yang merengut jika kemauannya tidak kuturuti.
"Please, Dj. Hampir satu bulan aku menahan rasa ini. Aku tidak sabar menunggu waktu yang tepat seperti sekarang ini. Atau memang kau sudah siap untuk berterus terang dengan isterimu?" ujarnya.
Ahh, lagi-lagi dikeluarkannya jurus itu. Aku memang sudah yakin kalau foto-foto ketika dia menjilati dan mengulum penisku sebagaimana di ceritaku sebelumnya itu sudah terekam bagus di ponselku, tapi aku belum bisa memproses foto itu tanpa aku harus minta bantuan orang lain. Resikonya terlalu besar, pikirku.
"Tapi, Ab. Aku masih capek, nanti agak malam saja yaa.." ujarku merajuk. Sebenarnya sekarang atau kapan pun aku tidak yakin mau. Rasa bersalah terhadap keluargaku terlalu besar.
Dia menggeleng. Bahkan semakin erat memelukku. Aku yang sudah sangat gerah seharian tadi semakin merasakan gerah di sekujur tubuhku.
"Please, Dj!" ujarnya dengan nafas terengah-engah.
Hembusan panas nafasnya terasa di telinga ketika dari belakang kepalaku dia menjilatinya. Kumisnya yang tebal seolah memberikan tambahan energi di desahannya. Tangannya sudah meremas-remas penis di balik celanaku. Kurasakan benjolan keras di pantatku ketika dia dekap erat aku.
Aku kembali tak bisa berbuat apa-apa. Kedekatan Aab dengan keluargaku seolah memberikan gambaran mengerikan jika Aab sampai menceritakan apa yang pernah kuperbuat dengannya dan dengan lelaki lain sebagaimana di ceritaku karena dia kecewa telah kutolak kemauannya. Aku harus senatural mungkin bersikap di hadapannya. Aku masih belum tahu betul karakter Aab sebagai orang Arab, orang Irak persisnya.
Gairahku mulai terusik ketika dibisikkannya kata-kata indah yang entah dari mana didapatnya. Desahannya di telinga membius gairahku. Tak urung penisku yang berkali-kali diremasnya menyembul dengan bebasnya dari balik celanaku karena memang aku tidak memakai celana dalam. Bajuku, pemberian dokter keluargaku, sosok yang juga mengisi gundahku, tidak sedikit pun menyurutkan gairah Aab yang sudah membara.
"Ohh, Dj. Please!". Berkali-kali desahan itu keluar dari bibir tebalnya.
Lidahnya berkali-kali menjilati kedua telingaku seperti induk kucing sedang memandikan anaknya. Direnggutnya celanaku sehingga penisku yang sudah sangat tegak, bergoyang-goyang mengikuti irama gairahku. Demi melihat penisku yang telah keras dan memerah, Aab beralih ke bagian depan. Dengan mesra disandarkannya tubuhku ke dinding. Tangannya yang besar berkali-kali meremas penisku hingga menambah cepat gairahku memuncak.
Aku mulai mendesah mengikuti permainannya, apalagi saat mulut Aab beradu dengan mulutku. Bibirku digigitnya hingga aku mengaduh, tapi bukannya beringsut Aab malah semakin ganas melumat bibirku. Lidahnya mencoba membuka mulutku yang ternganga merasakan sensasi gilanya. Dengan ganas lidahnya bermain di dalam mulutku. Berkali-kali aku tersedak karena merasa risih dengan kumis tebal yang melintang di atas bibirnya, namun tetap dengan ganas Aab memainkan lidahnya menyedot habis lidahku yang bahkan semakin tidak bisa kuimbangi.
Setelah terenggut satu-satunya baju yang kupakai, aku dibopongnya ke kamar mandi. Ruangan berukuran 3x4 yang kudesain alami dengan segala pernak-perniknya, terasa berubah menjadi sempit dengan permainan kami. Tergesa Aab melepas segala yang dipakainya, sehingga keringat yang mengucur di tubuhnya yang sedikit gelap dan hampir dipenuhi bulu, kulihat berkilat. Aah, benjolan di pangkal paha itu seakan bertambah besar saja. Kembali Aab menciumiku.
"Sejak pertama masuk di kamar mandimu dua minggu lalu, aku begitu ingin merasakan bercinta denganmu di sini, Dj. Aah, ternyata anganku tidak harus lama menunggu" ujarnya.
Ucapan Aab yang tidak lebih bernada membisik, mencoba membangkitkan sensasiku. Bak mandi yang juga kudesain sendiri, sengaja kubuat agar muat dua orang, bahkan lebih bisa berendam. Dan memang sudah tidak terhitung berapa kali aku, baik sendiri maupun dengan isteriku melampiaskan gairah insani kami.
Saat mulut Aab menemukan penisku, aku semakin bergairah. Aku mendesis dan kembali mendesis begitu kurasakan sensasi di batang kebanggaanku. Mulut Aab memang sangat terampil menghadirkan berbagai rasa. Bibirnya yang tebal, seolah didesain khusus untuk menjepit penisku. Aku mendesis. Rasa gerah berangsur menghilang, saat air dari kran mulai mengaliri tubuh telanjang kami, seolah memacu gairah kami agar lebih dahsyat lagi bergulat.
Aku mulai mengerang saat mulut Aab semakin ganas melumat penisku. Kumisnya yang tebal sesekali digosokkannya ke penisku hingga memberikan rasa berganda di ujung ubun-ubunku. Apalagi saat jemari Aab mulai bermain di anusku. Beberapa jari, dengan cepat bergantian menusuk anusku dan bermain di dalamnya. Ada rasa yang mulai menyentak dari dalam penisku, karena dua titik gairahku digarap Aab. Saat aku mulai mengaduh, Aab mencabut mulutnya dari penisku. Mungkin dia tidak mau kenikmatanku berakhir hanya dengan permainan mulutnya.
Aab bangkit dan menyodorkan penisnya ke mulutku. Aku menggeleng. Tapi tetap disodorkannya penis yang besar itu ke mulutku. Aku mencoba mengulumnya agar tidak dianggap egois, namun aku tetap tidak bisa. Penisnya terlalu besar di mulutku, sehingga berkali-kali aku mencoba untuk mengulumnya, berkali-kali pula aku tersedak. Akhirnya aku hanya menjilati batang penisnya yang hitam, keras, besar dan panjang itu. Aab mengangguk, tanda menyetujuinya. Dia mendesis berkali-kali. Kata-kata, "Yess, uugh, yess, uughh..", seperti di adegan intim di film-film porno koleksiku, berkali juga keluar dari mulutnya.
Tanganku yang sudah kulumasi dengan sabun mandi kujadikan alat untuk menggantikan mulutku yang masih tidak bisa kutipu untuk tidak jijik. Aab semakin mendesah, bahkan kulihat mulutnya yang berkali-kali mendesis, ternganga seolah sedang merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Mata bulat itu berkali-kali merem melek, mengikuti irama tanganku yang sedang memainkan penisnya.
"Ouugghh, ouuggh..!".
Akhirnya raungan mulai keluar dari mulut Aab begitu kupercepat aksiku. Di puncak gairahnya, dia ambil alih penisnya yang sejak tadi dalam kekuasaanku. Begitu raungan panjang terlontar dari mulutnya, dia mencoba menyodorkannya ke mulutku. Aku menggeleng dan mengunci rapat mulutku. Aku belum bisa menerima kalau spermanya masuk ke mulutku.
Tak urung sperma itu muncrat ke wajahku. Rasa hangat menyentak wajahku ketika dengan kerasnya sperma Aab muncrat dari penisnya ke sekujur wajahku. Sperma yang panas dan kental kurasakan lengket hampir di semua bagian wajahku. Aku pejamkan mataku agar spermanya tidak mengenai mataku.
"Sshh.. Shhss". Berkali-kali kudengar Aab mendesis saat mengurut penisnya yang masih tegang, mencoba menghabiskan sisa-sisa sperma dari batangnya.
"Terima kasih, Say. Terima kasih, Dj!". Masih dengan gemetar suara Aab lirih berbisik.
Aku membuka mataku dan mengangguk. Aku hendak membenamkan kepalaku di bak mandi agar sperma Aab yang berserakan di wajahku menghilang. Namun Aab menangkap wajahku. Dia menggeleng tanda melarangku. Kemudian dia jilati spermanya sendiri di wajahku, mulutnya sesekali mampir di mulutku, memagutnya, sambil berkali-kali berkata terima kasih.
Aku mencoba melepaskan dekapannya saat kusadari air dalam bak sudah terlalu kotor oleh busa sabun, keringat, dan sperma Aab yang terlalu banyak untuk ukuran lelaki Indonesia. Kembali Aab menggeleng.
"Tidak adil". Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, karena secepat itu pula tangannya meraih penisku yang masih tegak.
Kembali mulutnya mencoba menambah sensasi di penisku dengan permainan dahsyatnya. Aku pun mulai menemukan gairahku yang sempat terputus saat sperma Aab muncrat.
"Tunjukkan padaku, seberapa dahsyat kau punya tenaga, Dj. Mungkin kalau dengan isterimu kau masih kasihan untuk melampiaskan semua tenagamu, namun denganku, keluarkan saja semua yang kau bisa". Begitu tantangnya saat dia memasang kondom di penisku, seolah membangkitkan sesuatu yang selama ini kupendam.
Aab bersandar telentang di dinding kamar mandi. Pantatnya menempel di bibir bak mandi, sedang kedua kakinya dijulurkan ke luar. Tangan Aab membimbing penisku ke anusnya. Dengan posisi berhadapan, semula aku merasa kesulitan, namun Aab dengan sabar membimbingku. Penisnya kulihat sedikit demi sedikit mulai bangkit. Gambaran seorang dosen yang biasanya perlente dengan segala atribut dan gaya bicara yang dibuat sewibawa mungkin, lenyap sudah dari diri Aab. Kulihat Aab tidak lebih dari seorang preman yang sedang melampiaskan gairahnya.
Aku mendesis saat penisku sudah mulai menusuk anus Aab. Kumaju mundurkan pantatku perlahan, agar penisku benar-benar tertancap ke anusnya. Saat semua batang penisku tertelan anusnya aku mulai sedikit keras memaju-mundurkan pantatku, Aab meringis, kesakitan. Aku menghentikan aksiku, namun kembali Aab menggeleng, bahkan dia mengolokku bahwa aku hanya bisa sebatas itu.
Harga diriku mulai terusik saat kembali Aab mengolokku. Aku mempercepat aksiku, kujambak rambut ikalnya dengan kedua tangan. Aab mengerang, namun justru erangan kesakitannya seolah membangkitkan gairah nakalku. Bahkan kemudian penis Aab kujadikan pegangan kedua tanganku ketika semakin keras aku bereaksi. Aab meringis, namun berkali-kali juga mendesah, sama sepertiku. Desisanku berubah menjadi erangan kecil saat mulai kurasakan ada yang berdenyut-denyut di pangkal batang kebanggaanku.
Mulutku ternganga sambil sesekali mengerang. Mataku kupejamkan agar bisa mendatangkan sensasi yang lebih besar. Eranganku mengeras, seiring dengan cepatnya denyutan yang kurasakan dari dalam penisku. Aku hendak mencabut penisku, saat kurasakan sperma mulai menyentak ingin muncrat, namun di saat spermaku sudah tidak bisa kutahan lagi, Aab justru membenamkan pantatku ke anusnya dalam-dalam.
Aku berontak, tidak mau kondomku terlepas di dalam anusnya karena bisa jadi masalah. Namun tetap saja terlambat, aku mengejang hebat saat spermaku muncrat di dalam anus Aab. Lama aku berada dalam lambungan gairahku. Belum sempat aku tersadar dari kenikmatanku, satu tangan Aab mendekapku erat sementara satu tangannya merancap penisnya sendiri. Tubuh Aab bergetar hebat saat dia mulai mengerang. Kurasakan Aab mengejang hebat saat cairan hangat muncrat di perutku. Denyutan penisnya begitu keras sampai-sampai perutku merasa kegelian.
Kucabut segera penisku dari anus Aab saat kulihat Aab terkulai kelelahan. Untungnya penisku masih keras, sehingga kondomku juga bisa kutarik. Begitu melihat penisku yang terbungkus kondom, secepat kilat Aab meraih penisku dan dilepasnya kondom itu. Aksinya tidak berhenti di situ, karena kemudian dia menjilati sisa-sisa sperma di penisku, seolah-olah penisku adalah sebatang ice cream berbalut vanilla.
Lebih anehnya, kondom bekas pakaiku berkali diciumi dan kemudian dituangnya spermaku yang masih tersisa dalam kondom itu ke tangannya lalu dijilati. Bahkan spermaku yang masih melekat tersisa di kondom itu pun dijilatinya tak bersisa. Sinting, gumamku. Aku hanya menggeleng dalam kelelahan hebat. Ah, dosenku yang malang.
Seandainya saja foto-foto itu bisa kuproses sendiri dan bisa kusimpan dalam komputerku, mungkin aku bisa mengandalkannya saat Aab Saddam mengancam akan membeberkan aibku ke keluargaku sehingga aku tidak harus merasa seterpaksa ini. Aab, kapan kau mengerti keadaanku?
Tamat
Namun aku pun tertekan. Jika dokter keluargaku atau Aab Saddam (begitu aku memanggil dosen yang berasal dari Irak itu) meneleponku hanya sekedar tanya kabar misalnya, apalagi sampai datang mengunjungiku, rasa itu semakin menyiksaku. Aku mencoba menghilangkan rasa bersalahku, tapi biar bagaimana pun aku pernah bercinta dengan mereka dan isteriku tidak tahu bahwa telah kukhianati. Untungnya Mr. Smith si bule baik hati itu sudah kembali ke negara asalnya dan hanya setahun sekali datang ke rumah. Meski email untuknya masih sering kukirim, namun beban terhadapnya tidak terlalu berat dibandingkan yang lain.
Sejak pergumulanku yang sedikit bernuansa premanisme dengan Aab Saddam, lelaki itu semakin sering menghantui pikiranku. Tidak jarang dia datang ke rumahku jika aku tidak masuk kuliahnya, meski dia juga tahu bahwa aku tidak di rumah karena sedang sibuk dengan proyekku. Dia beralasan menanyakanku sekaligus menengok keluargaku, dan memang benar juga. Anakku semakin akrab dengannya karena Aab sering membawakan mainan dan makanan kesukaannya. Berbagai rasa berkecamuk jika sepulang kerja, isteriku apalagi anakku bercerita panjang lebar tentang kedatangan Aab Saddam yang setahu mereka adalah dosenku sekaligus salah satu pengurus perguruan tinggi di mana aku dulu mondok menimba ilmu.
"Maaf, tidak nelepon lebih dulu, Dj. Kedatanganku mengganggu?" sapanya.
Aku sedikit terkejut begitu tahu bahwa yang menekan bel rumahku adalah Aab Saddam. Aku menggeleng antara menggeleng menjawab tidak terganggu dan menggeleng karena tidak siap akan kedatangannya.
"Woww, kerennya kau dengan baju itu, bikin kangenku harus segera diobati, Dj!" ujarnya.
Sebelum pintu kututup rapat, Aab sudah mendekapku erat dari belakang. Aku tidak bisa beralasan lagi sebagaimana hari sebelumnya jika Aab ingin bertemu khusus denganku. Dia tahu bahwa aku sendirian saja karena siangnya tadi dia telah ikut mengantar isteri dan anakku ke bandara untuk berlebaran di kampung orang tuanya.
"Aduh, aku belum makan, Ab. Jadi masih lapar!" ujarku sambil memegang perutku yang terasa lapar.
"Iyaa, kebetulan sekali Dj. Aku juga belum makan, makanya aku bawakan banyak makanan untuk kita" aku sekali lagi menggeleng karena tidak tahu harus berbuat apa.
Sambil mendekap erat dan sesekali menciumiku, Aab membimbingku ke meja makan. Selama makan, banyak hal yang dilakukannya yang membuatku risih. Aku yang biasanya tidak aneh-aneh jika makan dengan isteriku, merasa kikuk saat dia meminta untuk menyuapiku. Bahkan sesekali makanan yang sudah disuapkannya ke mulutku diambilnya lagi dengan mulutnya. Aku sendiri jijik membayangkan makanan yang sudah kukunyah ditelan lagi oleh orang lain.
"Maaf, Ab. Aku mau mandi, sudah hampir malam" ujarku.
Aku bergegas bangkit setelah merasa cukup. Kulihat rasa kecewa menggantung di wajah brewoknya yang berubah seperti wajah anakku yang merengut jika kemauannya tidak kuturuti.
"Please, Dj. Hampir satu bulan aku menahan rasa ini. Aku tidak sabar menunggu waktu yang tepat seperti sekarang ini. Atau memang kau sudah siap untuk berterus terang dengan isterimu?" ujarnya.
Ahh, lagi-lagi dikeluarkannya jurus itu. Aku memang sudah yakin kalau foto-foto ketika dia menjilati dan mengulum penisku sebagaimana di ceritaku sebelumnya itu sudah terekam bagus di ponselku, tapi aku belum bisa memproses foto itu tanpa aku harus minta bantuan orang lain. Resikonya terlalu besar, pikirku.
"Tapi, Ab. Aku masih capek, nanti agak malam saja yaa.." ujarku merajuk. Sebenarnya sekarang atau kapan pun aku tidak yakin mau. Rasa bersalah terhadap keluargaku terlalu besar.
Dia menggeleng. Bahkan semakin erat memelukku. Aku yang sudah sangat gerah seharian tadi semakin merasakan gerah di sekujur tubuhku.
"Please, Dj!" ujarnya dengan nafas terengah-engah.
Hembusan panas nafasnya terasa di telinga ketika dari belakang kepalaku dia menjilatinya. Kumisnya yang tebal seolah memberikan tambahan energi di desahannya. Tangannya sudah meremas-remas penis di balik celanaku. Kurasakan benjolan keras di pantatku ketika dia dekap erat aku.
Aku kembali tak bisa berbuat apa-apa. Kedekatan Aab dengan keluargaku seolah memberikan gambaran mengerikan jika Aab sampai menceritakan apa yang pernah kuperbuat dengannya dan dengan lelaki lain sebagaimana di ceritaku karena dia kecewa telah kutolak kemauannya. Aku harus senatural mungkin bersikap di hadapannya. Aku masih belum tahu betul karakter Aab sebagai orang Arab, orang Irak persisnya.
Gairahku mulai terusik ketika dibisikkannya kata-kata indah yang entah dari mana didapatnya. Desahannya di telinga membius gairahku. Tak urung penisku yang berkali-kali diremasnya menyembul dengan bebasnya dari balik celanaku karena memang aku tidak memakai celana dalam. Bajuku, pemberian dokter keluargaku, sosok yang juga mengisi gundahku, tidak sedikit pun menyurutkan gairah Aab yang sudah membara.
"Ohh, Dj. Please!". Berkali-kali desahan itu keluar dari bibir tebalnya.
Lidahnya berkali-kali menjilati kedua telingaku seperti induk kucing sedang memandikan anaknya. Direnggutnya celanaku sehingga penisku yang sudah sangat tegak, bergoyang-goyang mengikuti irama gairahku. Demi melihat penisku yang telah keras dan memerah, Aab beralih ke bagian depan. Dengan mesra disandarkannya tubuhku ke dinding. Tangannya yang besar berkali-kali meremas penisku hingga menambah cepat gairahku memuncak.
Aku mulai mendesah mengikuti permainannya, apalagi saat mulut Aab beradu dengan mulutku. Bibirku digigitnya hingga aku mengaduh, tapi bukannya beringsut Aab malah semakin ganas melumat bibirku. Lidahnya mencoba membuka mulutku yang ternganga merasakan sensasi gilanya. Dengan ganas lidahnya bermain di dalam mulutku. Berkali-kali aku tersedak karena merasa risih dengan kumis tebal yang melintang di atas bibirnya, namun tetap dengan ganas Aab memainkan lidahnya menyedot habis lidahku yang bahkan semakin tidak bisa kuimbangi.
Setelah terenggut satu-satunya baju yang kupakai, aku dibopongnya ke kamar mandi. Ruangan berukuran 3x4 yang kudesain alami dengan segala pernak-perniknya, terasa berubah menjadi sempit dengan permainan kami. Tergesa Aab melepas segala yang dipakainya, sehingga keringat yang mengucur di tubuhnya yang sedikit gelap dan hampir dipenuhi bulu, kulihat berkilat. Aah, benjolan di pangkal paha itu seakan bertambah besar saja. Kembali Aab menciumiku.
"Sejak pertama masuk di kamar mandimu dua minggu lalu, aku begitu ingin merasakan bercinta denganmu di sini, Dj. Aah, ternyata anganku tidak harus lama menunggu" ujarnya.
Ucapan Aab yang tidak lebih bernada membisik, mencoba membangkitkan sensasiku. Bak mandi yang juga kudesain sendiri, sengaja kubuat agar muat dua orang, bahkan lebih bisa berendam. Dan memang sudah tidak terhitung berapa kali aku, baik sendiri maupun dengan isteriku melampiaskan gairah insani kami.
Saat mulut Aab menemukan penisku, aku semakin bergairah. Aku mendesis dan kembali mendesis begitu kurasakan sensasi di batang kebanggaanku. Mulut Aab memang sangat terampil menghadirkan berbagai rasa. Bibirnya yang tebal, seolah didesain khusus untuk menjepit penisku. Aku mendesis. Rasa gerah berangsur menghilang, saat air dari kran mulai mengaliri tubuh telanjang kami, seolah memacu gairah kami agar lebih dahsyat lagi bergulat.
Aku mulai mengerang saat mulut Aab semakin ganas melumat penisku. Kumisnya yang tebal sesekali digosokkannya ke penisku hingga memberikan rasa berganda di ujung ubun-ubunku. Apalagi saat jemari Aab mulai bermain di anusku. Beberapa jari, dengan cepat bergantian menusuk anusku dan bermain di dalamnya. Ada rasa yang mulai menyentak dari dalam penisku, karena dua titik gairahku digarap Aab. Saat aku mulai mengaduh, Aab mencabut mulutnya dari penisku. Mungkin dia tidak mau kenikmatanku berakhir hanya dengan permainan mulutnya.
Aab bangkit dan menyodorkan penisnya ke mulutku. Aku menggeleng. Tapi tetap disodorkannya penis yang besar itu ke mulutku. Aku mencoba mengulumnya agar tidak dianggap egois, namun aku tetap tidak bisa. Penisnya terlalu besar di mulutku, sehingga berkali-kali aku mencoba untuk mengulumnya, berkali-kali pula aku tersedak. Akhirnya aku hanya menjilati batang penisnya yang hitam, keras, besar dan panjang itu. Aab mengangguk, tanda menyetujuinya. Dia mendesis berkali-kali. Kata-kata, "Yess, uugh, yess, uughh..", seperti di adegan intim di film-film porno koleksiku, berkali juga keluar dari mulutnya.
Tanganku yang sudah kulumasi dengan sabun mandi kujadikan alat untuk menggantikan mulutku yang masih tidak bisa kutipu untuk tidak jijik. Aab semakin mendesah, bahkan kulihat mulutnya yang berkali-kali mendesis, ternganga seolah sedang merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Mata bulat itu berkali-kali merem melek, mengikuti irama tanganku yang sedang memainkan penisnya.
"Ouugghh, ouuggh..!".
Akhirnya raungan mulai keluar dari mulut Aab begitu kupercepat aksiku. Di puncak gairahnya, dia ambil alih penisnya yang sejak tadi dalam kekuasaanku. Begitu raungan panjang terlontar dari mulutnya, dia mencoba menyodorkannya ke mulutku. Aku menggeleng dan mengunci rapat mulutku. Aku belum bisa menerima kalau spermanya masuk ke mulutku.
Tak urung sperma itu muncrat ke wajahku. Rasa hangat menyentak wajahku ketika dengan kerasnya sperma Aab muncrat dari penisnya ke sekujur wajahku. Sperma yang panas dan kental kurasakan lengket hampir di semua bagian wajahku. Aku pejamkan mataku agar spermanya tidak mengenai mataku.
"Sshh.. Shhss". Berkali-kali kudengar Aab mendesis saat mengurut penisnya yang masih tegang, mencoba menghabiskan sisa-sisa sperma dari batangnya.
"Terima kasih, Say. Terima kasih, Dj!". Masih dengan gemetar suara Aab lirih berbisik.
Aku membuka mataku dan mengangguk. Aku hendak membenamkan kepalaku di bak mandi agar sperma Aab yang berserakan di wajahku menghilang. Namun Aab menangkap wajahku. Dia menggeleng tanda melarangku. Kemudian dia jilati spermanya sendiri di wajahku, mulutnya sesekali mampir di mulutku, memagutnya, sambil berkali-kali berkata terima kasih.
Aku mencoba melepaskan dekapannya saat kusadari air dalam bak sudah terlalu kotor oleh busa sabun, keringat, dan sperma Aab yang terlalu banyak untuk ukuran lelaki Indonesia. Kembali Aab menggeleng.
"Tidak adil". Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, karena secepat itu pula tangannya meraih penisku yang masih tegak.
Kembali mulutnya mencoba menambah sensasi di penisku dengan permainan dahsyatnya. Aku pun mulai menemukan gairahku yang sempat terputus saat sperma Aab muncrat.
"Tunjukkan padaku, seberapa dahsyat kau punya tenaga, Dj. Mungkin kalau dengan isterimu kau masih kasihan untuk melampiaskan semua tenagamu, namun denganku, keluarkan saja semua yang kau bisa". Begitu tantangnya saat dia memasang kondom di penisku, seolah membangkitkan sesuatu yang selama ini kupendam.
Aab bersandar telentang di dinding kamar mandi. Pantatnya menempel di bibir bak mandi, sedang kedua kakinya dijulurkan ke luar. Tangan Aab membimbing penisku ke anusnya. Dengan posisi berhadapan, semula aku merasa kesulitan, namun Aab dengan sabar membimbingku. Penisnya kulihat sedikit demi sedikit mulai bangkit. Gambaran seorang dosen yang biasanya perlente dengan segala atribut dan gaya bicara yang dibuat sewibawa mungkin, lenyap sudah dari diri Aab. Kulihat Aab tidak lebih dari seorang preman yang sedang melampiaskan gairahnya.
Aku mendesis saat penisku sudah mulai menusuk anus Aab. Kumaju mundurkan pantatku perlahan, agar penisku benar-benar tertancap ke anusnya. Saat semua batang penisku tertelan anusnya aku mulai sedikit keras memaju-mundurkan pantatku, Aab meringis, kesakitan. Aku menghentikan aksiku, namun kembali Aab menggeleng, bahkan dia mengolokku bahwa aku hanya bisa sebatas itu.
Harga diriku mulai terusik saat kembali Aab mengolokku. Aku mempercepat aksiku, kujambak rambut ikalnya dengan kedua tangan. Aab mengerang, namun justru erangan kesakitannya seolah membangkitkan gairah nakalku. Bahkan kemudian penis Aab kujadikan pegangan kedua tanganku ketika semakin keras aku bereaksi. Aab meringis, namun berkali-kali juga mendesah, sama sepertiku. Desisanku berubah menjadi erangan kecil saat mulai kurasakan ada yang berdenyut-denyut di pangkal batang kebanggaanku.
Mulutku ternganga sambil sesekali mengerang. Mataku kupejamkan agar bisa mendatangkan sensasi yang lebih besar. Eranganku mengeras, seiring dengan cepatnya denyutan yang kurasakan dari dalam penisku. Aku hendak mencabut penisku, saat kurasakan sperma mulai menyentak ingin muncrat, namun di saat spermaku sudah tidak bisa kutahan lagi, Aab justru membenamkan pantatku ke anusnya dalam-dalam.
Aku berontak, tidak mau kondomku terlepas di dalam anusnya karena bisa jadi masalah. Namun tetap saja terlambat, aku mengejang hebat saat spermaku muncrat di dalam anus Aab. Lama aku berada dalam lambungan gairahku. Belum sempat aku tersadar dari kenikmatanku, satu tangan Aab mendekapku erat sementara satu tangannya merancap penisnya sendiri. Tubuh Aab bergetar hebat saat dia mulai mengerang. Kurasakan Aab mengejang hebat saat cairan hangat muncrat di perutku. Denyutan penisnya begitu keras sampai-sampai perutku merasa kegelian.
Kucabut segera penisku dari anus Aab saat kulihat Aab terkulai kelelahan. Untungnya penisku masih keras, sehingga kondomku juga bisa kutarik. Begitu melihat penisku yang terbungkus kondom, secepat kilat Aab meraih penisku dan dilepasnya kondom itu. Aksinya tidak berhenti di situ, karena kemudian dia menjilati sisa-sisa sperma di penisku, seolah-olah penisku adalah sebatang ice cream berbalut vanilla.
Lebih anehnya, kondom bekas pakaiku berkali diciumi dan kemudian dituangnya spermaku yang masih tersisa dalam kondom itu ke tangannya lalu dijilati. Bahkan spermaku yang masih melekat tersisa di kondom itu pun dijilatinya tak bersisa. Sinting, gumamku. Aku hanya menggeleng dalam kelelahan hebat. Ah, dosenku yang malang.
Seandainya saja foto-foto itu bisa kuproses sendiri dan bisa kusimpan dalam komputerku, mungkin aku bisa mengandalkannya saat Aab Saddam mengancam akan membeberkan aibku ke keluargaku sehingga aku tidak harus merasa seterpaksa ini. Aab, kapan kau mengerti keadaanku?
Tamat