Di ceritaku berjudul "Aah.. Hidup Ini," perjakaku hilang mengenaskan  terenggut oleh 2 PSK akibat ulah para seniorku di semester enam saat  sedang dalam masa permagangan, menyusul kubuang anganku menjadi ABK  meski cita-cita menjadi marinir yang ditentang orang tua bisa sedikit  terobati dengannya harus kandas juga aku harus rela. Aku memilih  daratan. Kuputuskan untuk fokus pada kuliahku yang kuabaikan saat  mengikuti pendidikan pelayaran. Jurusan teknik asyik kok, apalagi  konsentrasiku di bangunan air. Aaiih, tujuh tahun kuliah, akhirnya lulus  juga.
Kesibukanku bertambah, seiring bertambah dinamisnya Jogja  yang sedang membangun. Meski design rancang jembatan yang  kupresentasikan disetujui, namun harus ada perubahan sehingga membuat  kerjaanku menumpuk. Lama berkutat dengan program autocad yang pelik,  membuatku stress dan mag-ku kambuh. Awalnya aku tidak enak hati atas  saran istriku untuk pergi ke dokter keluarga. Jam lima pagi? Aah  pastinya akan sangat menganggu dokter. Tapi perih di lambungku tidak  kunjung pergi. Aku tidak mau tambah parah, dan lagi jam enam pagi aku  sudah harus ke lokasi untuk pengecekan awal.
Bel rumah di kawasan  elit di kawasan Jogja Tengah itu sedikit ragu kupencet, berharap  penghuninya segera keluar. Kubayangkan wajah tidak ramah akan  menyambutku, namun ternyata tidak. Meski semula sempat masam, namun  senyum itu segera mengembang, begitu tahu yang datang aku. Mungkin  karena kami langganan setianya, dan sudah tidak bisa dihitung lagi  seberapa sering dia ke tempat kami.
"Maaf, Pak Dokter. Mag saya  kambuh!" sambil memegangi lambungku bergegas aku duduk di kamar  periksanya lalu dipersilahkan aku untuk berbaring. Tapi sial, karena  keburu, aku kesrimpet langkahku sendiri. Aku terhuyung dan menabrak meja  kerja dokter. Aku berteriak mengaduh karena tepat di tengah  selakangangku menabrak persis pojok meja itu. Aku berteriak kesakitan  saat rasa sakit itu menghajar daerah selakanganku, sambil kupegang erat  penisku dan buah pelirku. Rasa perih di lambungku justru berganti ke  buah pelirku. Aku sempoyongan.
"Hati-hati, Dik!" sang dokter  menangkap tubuhku. Dipapahnya aku, lalu dibaringkan. Aku terus mengaduh,  bahkan semakin keras. Kupegangi erat daerah selakanganku. Kulihat sang  dokter itu sedikit gugup mencari sesuatu. Dia membuka celana jeansku  setelah sebelumnya berkali berucap maaf. Rasa malu tidak sempat muncul.  Aku percaya dia, apalagi sakit itu sungguh menyiksaku. Bahkan ketika dia  mencopot celana dalamku, aku tidak peduli. Aku hanya ingin agar rasa  itu hilang, dan benar, setelah disemprot obat, rasa itu berangsur  hilang.
Aku mengangguk padanya tanda terima kasih. Ketika  kusadari bahwa tangan sang dokter itu masih disibukkan dengan penisku,  entah kenapa rasa malu mulai muncul. Aku mencoba menutupi penisku dengan  tanganku, tapi sang dokter segera menepisnya.
"Maaf, aku harus  mengeceknya apakah ada yang bagian yang parah. Jangan sepelekan, karena  bisa fatal. Mungkin saja impoten!" begitu kilah sang dokter. Aku  mengangguk, karena aku tidak ingin jadi lelaki loyo.
Berkali  disentilnya penisku, ditarik-tarik, dan sesekali diremasnya. Rambut  kemaluanku yang sekiranya mau kucukur saat mandi pagi dan akhirnya tidak  jadi itu dijambaknya pelan. Semula memang tidak terasa apa-apa, namun  begitu pengaruh obat itu memudar, rasa sakit itu kembali datang, meski  tidak sesakit sebelumnya. Aku mengaduh, sambil kelejotan.
"Masih sakit, Pak. Ap.., apakah ada yang parah?"
"Aku tidak yakin, Dik. Aku bisa coba sesuatu, namun sedikit ekstrim, itupun kalau kau berkenan" Aku menangguk.
"Aku harus pastikan apakah penismu bereaksi dengan baik atau tidak, agar aku bisa kasih jawaban pasti"
Rasa  nyeri dipenisku berangsur hilang, ketika dengan tekun tangan sang  dokter memainkan penisku. Jelly yang diusapkan ke penisku menjadikan  tangan dokter itu berubah bak pagutan liar pembangkit rasa. Aku  memejamkan mata mencoba menghadirkan sosok istriku, berharap secepatnya  tahu apakah penisku bisa bereaksi, namun tidak ada reaksi. Kupejamkan  mataku rapat, mencoba menghadirkan Sharon Stone yang semalam kulihat  filmnya, dan akhirnya ada reaksi. Aku berucap sukur berkali, namun  kemudian aku malah mulai terbius dengan permainan sang dokter, dan tanpa  sadar aku mendesah, masih dengan terpejam. Mulutku membuka tanpa  kusadari. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan lumatan di bibirku. Kubuka  mataku, dan spontan kutepiskan kepala sang dokter.
Sang dokter  itu menggeleng berkali. Aku bingung, namun lalu kubiarkan dia. Aku  anggap itu bagian dari terapinya. Lumatan bibir dokter itu begitu sahdu.  Kumis yang membentang di atas bibirnya menghadirkan sensasi aneh.  Apalagi saat lumatan itu berubah menjadi pagutan. Disedotnya berkali  lidahku. Lidahnya sangat liar membelit lidahku. Aku kehabisan nafas.  Namun semakin aku tercekat, dia semakin mempercepat lumatannya.  Kurasakan tangannya telah berhasil membangkitkan penisku. Aku mulai  mengerang dalam dekapan mulutnya. Kurasakan aksi dokter sudah bukan  terapi lagi, ketika dengan ganas, dibukanya bajuku. Kenapa harus  telanjang untuk itu? Apalagi kemudian dokter itu melepas baju dan  celananya. Aku tambah bingung.
Kembali bibir itu melumatku. Nafasnya yang panas kurasakan di telingaku ketika dia membisikkan sesuatu.
"Aah,  sudah lama kuimpikan ini. Aku jatuh cinta sejak pandangan pertama,  ketika pertama kali aku datang ke tempatmu, sayang!" Aku terdiam,  pantasan dulu kurasakan aneh ketika dia merawatku dan mata itu, gaya  bahasa itu, mengingatkanku pada si bule di ceritaku yang berjudul  Dompet.
"Sejak menyuntik pantatmu, aku sangat terobsesi denganmu,  dan betapa mobilku telah menjadi saksi, bagaimana ganasnya kurancap  penisku ketika dalam perjalanan pulang dari tempatmu dulu, honey. Ahh!"  bisikan itu sangat indah kudengar, dan semakin membangkitkan gairahku  terdalamku. Mulut sang dokter itu beralih ke penisku. Dilumatnya penisku  bak es krim rasa vanila. Berkali dijilati, bahkan aku sendiri yang  punya merasa tidak enak hati. Namun seolah dokter itu begitu  menikmatinya. Gigitan-gigitan nakal di penisku sungguh menghadirkan rasa  nikmat. Aku mendesah pelan, dan panjang. Aku terbang ke awang-awang.
Sensasi  begitu melambungkanku ketika tangan dokter itu membimbing penisku ke  anusnya. Apalagi saat anus sang dokter mulai menjepit penisku, aku  tercekat, tanda merasakan nikmat. Aku memaksa penisku agar semakin  masuk. Kudengar desahan kecil dari mulutnya, saat mulai kumainkan  penisku di lubang anusnya. Aku sungguh terbuai entah kemana, seolah aku  sedang terbang dilambungkan rasa yang sungguh tiada kan kulupa. Aku  mendesah semakin cepat, ketika kurasakan ada sesuatu yang menyentak,  berharap keluar dari penisku. Kucabut penisku, dan kudekap erat tubuh  sang dokter. Tubuh itu semakin membelitku, dan eranganku memuncak,  ketika akhirnya spermaku muncrat membasahi perutnya. Tak segera  dilepaskannya tubuhku, dan aku tahu dia sedang pula berjuang  menghadirkan rasa nikmat.
Kubantu gairah dokter itu dengan  membisikkan kata-kata sambil kugigit telinganya. Gigitanku beralih ke  puting itu saat kurasakan tangan dokter itu semakin cepat merancap  penisnya. Dia mengerang panjang, ketika cairan panas kurasakan menyembur  di perutku. KAmi berpagutan erat, dan lama. Berkali dia berucap terima  kasih, entah untuk apa. Kubiarkan apapun yang dia lakuan padaku, ketika  aku kelelahan. Bahkan mungkin aku ketiduran sejenak, karena ketika  kurasakan penisku kembali tegang karena aksi sang dokter itu, aku  terbangun. Aku mengelak pelan, takut menyinggungya. Dia menggeleng,  namun untuk kali ini tidak, karena aku benar-benar kecapekan.
Aku  tersentak, tersadar sudah jam tujuh lewat. Aku bergegas pamit karena  sudah sangat telat. Dokter yang masih membujang di usia yang sudah  kepala empat itu mendekapku erat, menciumiku bahkan saat aku memakai  baju. Dia berkali memohon aku agar tetap tinggal, sambil tetap mendekap  aku erat. Namun aku tidak bisa. Akhirnya dia menangguk, tanda setuju,  namun dia memintaku agar datang lagi atau ketemuan lagi. Aku mengangguk,  meski aku tidak yakin, hanya untuk menyakinkannya agar melepaskan  dekapannya. Berkali berucap terima kasih, entah untuk apa. Diciumnya  bibirku sekali lagi, namun kini aneh kurasakan. Aku menepisnya dengan  halus, kemudian pergi. Ahh, pengalaman yang entah untuk keberapa kali  bergumul dengan lelaki. Jujur, aku juga menikmati semua yang kualami,  dan aku tidak mengerti, kenapa.
Aku merasa di antara dua rasa.  Antara menikmati dan mencoba menerima apapun yang telah terjadi  denganku, dan rasa tidak ingin menghianati kepercayaan istriku,  keluargaku dan smeua yang telah menganggap aku patas dihirmati.
Aku  masih belum yakin, bahwa ini kali terakhir aku bergumul dengan lelaki,  karena perjalananku mungkin masih sangat panjang, dan kau tidak ingin  membebaninya dengan segala tetek bengek yang justru menghambat  langkahku. Aku akan sangat berterima kasih, apapun yang akan aku alami  kelak, dan akan kujadikan warna lain dalam hidupku. AKu yakin tidak  semua orang. Tidak semua laki-laki bisa mendapatkan pengalaman yang  pernah aku dapatkan. Aku pantas bersukur, meski terkadang sangat perih  terasa kala kejadian itu terjadi di saat aku tidak menginginkannya.
Tamat