cerita sex keren Bercinta dengan Kakak Ipar

Bookmark and Share

Kejadian ini berlangsung kira-kira 2 tahun yang lalu, waktu itu aku
diminta oleh ibu mertua untuk mengambil suatu barang di rumah kakak
ipar perempuanku sekalian menengok dia karena sudah lama tidak
ketemu. Kakak iparku ini (sebut saja namanya Ina) memang tinggal
sendirian, walaupun sudah kawin tetapi belum punya anak dan saat ini
sudah pisah ranjang dengan suaminya yang kerja di kota lain. Aku
sampai di rumahnya sekitar jam 19:00 dan langsung mengetuk pintu
pagarnya yang sudah terkunci. Tak lama kemudian Ina muncul dari
dalam dan sudah tahu bahwa aku akan datang malam ini.
“Ayo Yan, masuk…, langsung dari kantor?, Sorry pintunya sudah
digembok, soalnya Ina tinggal sendiri jadi harus hati-hati”,
Sambutnya.
Ina malam itu sudah memakai daster tidur karena toh yang bakalan
datang juga masih terhitung adiknya, daster yang dia pakai mempunyai
potongan leher yang lebar dengan model tangan ‘you can see’.

Kami kemudian ngobrol dan nonton TV sambil duduk bersebelahan di
sofa ruang tengah. Selama ngobrol, Ina sering bolak-balik mengambil
minuman dan snack buat kita berdua. Setiap dia menyajikan makanan
atau minuman di meja, secara tidak sengaja aku mendapat kesempatan
melihat kedalam dasternya yang menampilkan kedua payudaranya secara
utuh karena Ina tidak memakai BH lagi dibalik dasternya. Ina memang
lebih cantik dari istriku, tubuhnya mungil dengan kulit yang putih
dan rambut yang panjang tergerai. Walaupun sudah kawin cukup lama
tapi karena tidak punya anak tubuhnya masih terlihat langsing dan
ramping. Payudaranya yang kelihatan olehku, walaupun tidak terlalu
besar tetapi tetap padat dan membulat. Melihat pemandangan begini
terus-menerus aku mulai tidak bisa berpikir jernih lagi dan
puncaknya tiba-tiba kusergap dan tindih Ina di sofa sambil berusaha
menciumi bibirnya dan meremas-remas payudaranya.
Ina kaget dan menjerit, “Yan, apa-apaan kamu ini!”.
Dengan sekuat tenaga dia mencoba berontak, menampar, mencakar dan
menendang-nendang. Tapi perlawanannya membuat birahiku semakin
tinggi apalagi akibat gerakannya itu pakaiannya menjadi makin tidak
karuan dan semakin merangsang.
“Breett…”, daster bagian atas kurobek ke bawah sehingga sekarang
kedua payudaranya terpampang dengan jelas. Putingnya yang berwarna
coklat tua terlihat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.
Ina terlihat shock dengan kekasaranku, perlawanannya mulai melemah
dan kedua tangannya berusaha menutup dadanya yang terbuka.
“Yan…, ingat, kamu itu adikku…”, rintihnya memelas.
Aku tidak mempedulikan rintihannya dan terus kutarik daster yang
sudah robek itu ke bawah sekaligus dengan celana dalamnya yang sudah
aku tidak ingat lagi warnanya. Sekarang dengan jelas dapat kulihat
vaginanya yang ditumbuhi dengan bulu-bulu hitam yang terawat baik.

Setelah berhasil menelanjangi Ina, kulepaskan pegangan pada dia dan
berdiri di sampingnya sambil mulai melepaskan bajuku satu persatu
dengan tenang. Ina mulai menangis sambil meringkuk di atas sofa
sambil sebisa mungkin mencoba menutupi badannya dengan kedua
tangannya. Saat itu pikiranku mulai jernih kembali menyadari apa
yang telah kulakukan tapi pada titik itu, aku merasa tidak bisa
mundur lagi dan aku putuskan untuk berlaku lebih halus.
Setelah aku sendiri telanjang, kubopong tubuh mungil Ina ke kamarnya
dan kuletakkan dengan lembut di atas ranjang. Dengan halus
kutepiskan tangannya yang masih menutupi payudara dan vaginanya,
kemudian aku mulai menindih badannya. Ina tidak melawan. Ina
memalingkan muka dengan mata terpejam dan berurai air mata setiap
kali aku mencoba mencium bibirnya. Gagal mencium bibirnya, aku
teruskan menciumi telinga, leher dada dan berhenti untuk mengulum
puting dan meremas-remas payudara satunya lagi. Ina tidak bereaksi.
Aku lanjutkan petualangan bibirku lebih ke bawah, perut dan
vaginanya sambil merentangkan pahanya lebar-lebar terlebih dahulu.
Aku mulai dengan menjilati dan menghisap clitorisnya yang cukup
kecil karena sudah disunat (sama dengan istriku). Ina mulai
bereaksi. Setiap kuhisap clitorisnya Ina mulai mengangkat pantatnya
mengikuti arah hisapan.

Kemudian dengan lidah, kucoba membuka labia minoranya dan memainkan
lidahku pada bagian dalam liang senggamanya. Tangan Ina mulai
meremas-remas kain sprei sambil menggigit bibir. Ketika vaginanya
mulai basah kumasukkan jari menggantikan lidahku yang kembali
berpindah ke puting payudaranya. Mula-mula hanya satu jari kemudian
disusul dua jari yang bergerak keluar masuk liang senggamanya. Ina
mulai berdesah dan memalingkan mukanya ke kiri dan ke kanan. Sekitar
dua atau tiga menit kemudian aku tarik tanganku dari vaginanya.
Merasakan ini, Ina membuka matanya (yang selama ini selalu tertutup)
dan menatapku dengan pandangan penuh harap seakan ingin diberi
sesuatu yang sangat berharga tapi tidak berani ngomong. Aku segera
merubah posisi badanku untuk segera menyetubuhinya. Melihat posisi
‘tempur’ seperti itu, pandangan matanya berubah menjadi tenang dan
kembali menutup matanya. Kuarahkan penisku ke bibir vaginanya yang
sudah berwarna merah matang dan sangat becek itu. Secara perlahan
penisku masuk ke liang senggamanya dan Ina hanya mengigit bibirnya.
Tiba-tiba tangan Ina bergerak memegang sisa batang penisku yang
belum sempat masuk, sehingga penetrasiku tertahan.
“Yan, kita tidak boleh melakukan hal ini…”, Kata Ina setengah
berbisik sambil memandangku.
Tapi waktu kulihat matanya, sama sekali tidak ada penolakkan bahkan
lebih terlihat adanya birahi yang tertahan. Aku tahu dia berkata
begitu untuk berusaha memperoleh pembenaran atas perbuatan yang
sekarang jadi sangat diinginkannya.
“Tidak apa-apa ‘Na, kita kan bukan saudara kandung, jadi ini bukan
incest”, Jawabku.
“Nikmati saja dan lupakan yang lainnya”.
Mendengar perkataanku itu, Ina melepaskan pegangannya pada penisku
yang sekaligus aku tangkap sebagai instruksi untuk melanjutkan
‘perkosaannya’. Dalam ‘posisi standard’ itu aku mulai memompa Ina
dengan gerakan perlahan, setiap kali penisku masuk, aku ambil sisi
liang senggama yang berbeda sambil mengamati reaksinya. Dari
eksperimen awal ini aku tahu bahwa bagian paling sensitif dia
terletak pada dinding dalam bagian atas yang kemudian menjadi titik
sasaran penisku selanjutnya.

Strategi ini ternyata cukup efektif karena belum sampai dua menit
Ina sudah orgasme, tangannya yang asalnya hanya meremas-remas sprei
tiba-tiba berpindah ke pantatku. Ina dengan kedua tangannya berusaha
menekan pantatku supaya penisku masuk semakin dalam, sedangkan dia
sendiri mengangkat dan menggoyangkan pantatnya untuk membantu
semakin membenamnya penisku itu. Untuk sementara kubiarkan dia
mengambil alih.
“sshh…, aahh”, rintihnya berulang-ulang setiap kali penisku
terbenam.
Setelah Ina mulai reda, inisiatif aku ambil kembali dengan merubah
posisi badanku untuk style ‘pumping flesh’ untuk mulai memanaskan
kembali birahinya yang dilanjutkan dengan style ’stand hard’ (kedua
kaki Ina dirapatkan, kakiku terbuka dan dikaitkan ke betisnya).
Style ini kuambil karena cocok dengan cewek yang bagian sensitifnya
seperti Ina dimana vagina Ina tertarik ke atas oleh gerakan penis
yang cenderung vertikal. Ina mengalami dua kali orgasme dalam posisi
ini.
Ketika gerakan Ina semakin liar dan juga aku mulai merasa akan
ejakulasi aku rubah stylenya lagi menjadi ‘frogwalk’ (kedua kaki Ina
tetap rapat dan aku setengah berlutut/berjongkok). Dalam posisi ini
setiap kali aku tusukkan penisku, otomatis vagina sampai pantat Ina
akan terangkat sedikit dari permukaan kasur menimbulkan sensasi yang
luar biasa sampai pupil mata Ina hanya terlihat setengahnya dan
mulutnya mengeluarkan erangan bukan rintihan lagi.
“Na, aku sudah mau keluar. Di mana keluarinnya?”, Kataku sambil
terus memompa secara pelan tapi dalam.
“ddi dalam saja…, di dalam saja, aahh…, jangan pedulikan”, Ina
mejawab ditengah erangan kenikmatannya.
“Aku keluar sekarraang…”, teriakku.
Aku tekan vaginanya keras-keras sampai terangkat sekitar 10 cm dari
kasurnya dan cairan kenikmatan tersemprot dengan kerasnya yang
menyebabkan untuk sesaat aku lupa akan dunia.
“Jangan di cabut dulu Yan…”, bisik Ina.
Sambil mengatur napas lagi, aku rentangkan kembali kedua paha Ina
dan aku pompa penisku pelan-pelan dengan menekan permukaan bawah
vagina pada waktu ditarik. Dengan cara ini sebagian sperma yang tadi
disemprotkan bisa dikeluarkan lagi sambil tetap dapat menikmati
sisa-sisa birahi. Ina menjawabnya dengan hisapan-hisapan kecil pada
penisku dari vaginanya
“Yan, kenapa kamu lakukan ini ke Ina?”, tanyanya sambil memeluk
pinggangku.
“Kamu sendiri rasanya gimana?”, aku balik bertanya.
“Mulanya kaget dan takut, tapi setelah kamu berubah memperlakukan
Ina dengan lembut tiba-tiba birahi Ina terpancing dan akhirnya turut
menikmati apa yang belum pernah Ina rasakan selama ini termasuk dari
suami Ina”, Jawabnya.

Kita kemudian mengobrol seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa dan
sebelum pulang kusetubuhi Ina sekali lagi, kali ini dengan sukarela.
Sejak malam itu, aku ‘memelihara’ kakak iparku dengan memberinya
nafkah lahir dan batin menggantikan suaminya yang sudah tidak
mempedulikannya lagi. Ina tidak pernah menuntut lebih karena istriku
adalah adiknya dan aku membalasnya dengan menjadikan ‘pendamping
tetap’ setiap aku pergi ke luar kota atau ke luar negeri.