Stabat Saat menjemput pembebasan ibunya dari sel Polsek Brandan, seorang cewek 21 tahun malah ditiduri sang Kapolsek. Kisah pilu ini diulang korban bersama ibunya, Nafsiah (43), pada sejumlah anggota DPRD Langkat di Stabat, dua hari (15/3) lalu.
Menurut korban, CM, aib padanya terjadi di ruang kerja Kapolsek Brandan AKP M Sofyan, sore 8 Desember 2009. Sore itu, dengan tubuh dibalut daster, CM mendatangi Mapolsek Brandan guna menjemput ibunya, Nafsiah, yang telah 5 hari dibui akibat kasus penganiayaan (baca: ‘Rusa’ Polisi Awal Petaka). Tapi kedatangan CM belum serta merta membuat ibu kandungnya bebas. Pembebasan Nafsiah masih menunggu tanda tangan Kapolsek. ”Dibilang bapak polisi itu, kalau sudah ditandatangani Kapolsek surat pelepasannya, mamak barulah bisa pulang,“ kata CM yang tiba di Polsek Brandan sekitar pukul 16.00 WIB.
Beberapa saat setelah melihat ibunya di dalam sel, masih di Polsek itu, CM didatangi Puput. Inilah lelaki yang membuat ibunya meringkuk di bui. Agar ibunya cepat bebas, Puput mengajak CM ke ruangan Kapolsek. Tapi usai masuk ke ruangan orang nomor satu di Polsek itu, Puput meninggalkan CM berdua dengan AKP Sofyan, sang Kapolsek.
Lalu, kata CM, “Aku disuruh mijitin badan bapak itu. Katanya kalau aku nggak mau, nanti dia nggak mau menandatangani surat bebas dan mamakku nggak bisa dikeluarkan. Karena kasihan melihat mamak di dalam sel, aku turuti saja perintah bapak Kapolsek. Begitu tanganku memijit bahunya, ia langsung merangkul tubuhku dan menidurkanku di atas kursi sofa.”
Sadar akan dicabuli, CM pun melawan. “Aku berontak sekuat tenaga melepaskan cengkaramannya, tapi badan bapak Kapolsek yang tinggi tegap itu tak mampu kulawan, apalagi dia bilang kalau aku nggak mau melayaninya mamakku nggak akan dibebaskannya. Dengan terpaksa aku membiarkan saja pakaian dalam yang kukenakan dipeloroti bapak itu.” Ya, CM mengaku ditiduri AKP Sofyan.
“Udah siap dia menyetubuhiku, Kapolsek lalu menyuruh aku membelikannya sebotol Aqua, pakai uangku sendiri. Setelah Aqua kubelikan, bapak itu masih sempat marah denganku. ‘Kok lama kali kau beli Aqua aja’.“ Tapi agar ibunya cepat bebas, CM mengaku diam saja meski dibentak usai ditiduri.
Sore itu, sekira pukul 17, Nafsiah dikeluarkan dari selnya. CM pun menyambut ibunya guna pulang ke rumah mereka di kawasan Kel. Brandan Timur. Tapi saat perjalanan pulang, CM yang tak bisa menahan aib yang baru dirasanya, langsung menceritakan aksi Kapolsek pada ibunya.
“ Mak! Tadi aku diperkosa sama Kapolsek di ruangan kerjanya,“ ketus CM kepada ibunya yang kontan kaget setengah mati. “Kalau memang Kapolsek minta imbalannya anumu, bagusan aku nggak keluar penjara seumur hidup,“ Nafsiah berurai air mata mengenang tragedy itu. Tak ingin puterinya hamil, Nafsiah langsung membawa CM ke bidan. Peristiwa ini pun mereka rahasiakan pada ayah CM, Abdul Malik (45).
Praktisi Hukum Temukan Bukti
Begitu bebas dari bui, Nafsiah langsung jatuh sakit. Itu karena dia stress memikirkan aib yang dialami puterinya. “Kami nggak tau lagi mau mengadu ke mana, karena setiap kali kami hendak melapor semua orang bilang nanti bahaya melaporkan Kapolsek karena dia aparat penegak hukum,” kata Nafsiah.
Ibu CM ini bercerita. Beberapa hari lalu dia didatangi beberapa orang mengaku oknum wartawan dan LSM. “Waktu itu mereka menawarkan agar tetap merahasiakan masalah ini kepada siapapun dan untuk uang tutup mulut sebesar Rp 10 juta dari Kapolsek. Tapi kami nggak mau uang, harga diri kami sudah diinjak-injak. Biarlah kami anak-beranak mati tak makan di sini, tapi kami nggak terima diperlakukan seperti ini,“ isak Nafsiah sambil memegan kepalanya yang ditempel koyok.
Menyusul Nafsiah dan CM mengadu ke gedung DPRD Langkat di Stabat, sejumlah praktisi hukum mengaku siap mendampingi anak beranak itu menempuh jalur hukum.
Syahrial SH dari Divisi Advokasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak ((P2TP2A) Kabupaten Langkat adalah salah satu yang siap meneruskan kasus ini Propam Poldasu.
“Kita sekarang sedang mencari alat bukti atau bukti yang dapat menguatkan adanya kejadian ini. Sejauh ini kita ada menemukan beberapa bukti petunjuk, seperti orang yang membawa korban masuk ke dalam ruangan Kapolsek waktu itu serta yang melihat korban keluar maupun masuk ke dalam ruangan itu,“ kata Syahrial.
Sementara, anggota DPRD Langkat dari PKS, Makruf, yang datang sendiri ke rumah Nafsiah guna mendengar kisah ini, mengaku amat prihatin. “Kalau lah benar perbuatan Kapolsek itu, jelas oknum ini harus diberikan sanksi hukum yang tegas, bila perlu Kapolres Langkat atau bapak Kapoldasu yang baru memecat petugas tak bermoral seperti ini. Kita sangat mendukung langkah korban yang akan membawa kasus ini ke ranah hukum biar persoalan ini jelas. Untuk itu kita juga siap mendampingi korban, karena tidak tertutup kemungkinan ada korban lain lagi yang tidak berani buka mulut, “ beber Makrub.
Dipolitisir?
Kapolsek Brandan AKP M Sofyan ketika kemarin dikonfirmasi POSMETRO MEDAN lewat seluler, mengaku semua keterangan CM palsu. Karena itu, kata AKP Sofyan, cewek itu harus siap menanggung resiko gugatan balik darinya.
Sofyan bahkan mengaku siap menanggung resiko kalau tudingan CM terhadapnya benar dan terbukti secara hukum. “Tapi kalau bicara masalah penyidikan kan harus ada pembuktian, jadi bisa nggak saya dibuktikan melakukan perbuatan itu, jangan direkayasa,“ kata Sofyan.
Sofyan menduga, kasus ini telah dipolitisir. Ia lalu menduga kaitannya dengan mutasi seorang anak buahnya, Aiptu Jendra Kesuma, ke Polres Langkat, belum lama ini. “Selama ini Jendra itu bertugas di Polsek Brandan, tapi beberapa waktu lalu terkena mutasi dan dipindahkan ke Polres Langkat. Mutasi itu bukanlah wewenang saya tapi Kapolres (Langkat). Kebetulan istri Jendra salah seorang anggota DPRD Langkat. Mungkin saat ini mereka tidak puas dan menganggap saya yang salah dan disalahkan dalam hal perpindahan itu. Beberapa Minggu lalu setelah mutasi itu dikeluarkan, ada seorang anggota DPRD melakukan intervensi kepada saya atas pindahnya Jendra,“ terang Sofyan.
“Waktu itu,” sambungnya, “anggota DPRD Langkat itu menanyakan kepada saya soal dasar pemindahan Jendra ke Polres. Dan sekarang saya direkayasa lagi dengan menuduh saya telah melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak perempuan. Anak perempuan itu siapa, perempuan baik-baik atau perempuan tidak baik? Atau memang (tudingan itu sengaja) diciptakan? Kalau saya terbukti melakukan, saya siap menangung resikonya. Tapi kalau tidak terbukti, dia juga harus siap menangung resikonya. Ini sudah pembunuhan karakter namanya.”(wis)
‘Rusa’ Polisi Awal Petaka
DUA Desember 2009. Kawasan Jl. Stasiun, Kel. Brandan Timur, Pangkalan Brandan, mendadak ricuh. Seorang lelaki yang di lingkungan itu acap disebut sebagai ‘rusa’ atau kibus polisi, duel dengan seorang ibu rumah tangga. Nafsiah, dialah wanita nekat itu.
“Cemana saya nggak marah, masak limbah tahu yang bau itu disiramnya ke halaman rumah saya. Malah entah apa saja ulah Puput itu sama saya, makanya saya kesal kali,“ ujar Nafsiah soal sengketanya dengan Syahputra alias Puput Babe (26), ‘rusa’ itu.
Versi Nafsiah, saat bertengkar, Puput mencabut Senpi dan menodongkan senjata api itu ke arahnya. Tapi Nafsiah yang mengaku telah lama diperlakukan semena-mena, tak gentar. Puput bahkan dipukulnya. Inilah yang kemudian mengantar wanita ini ke bui. Ya, Puput melaporkan Nafsiah ke Polsek Brandan.
Terlihat beda dengan pengaduan Puput yang langsung direspon Polsek Brandan, pengaduan Nafsiah soal pengancaman Puput terhadapnya dengan menggunakan senpi malah seperti tak diterge aparat Polsek itu.
“Ibu jangan macam-macam, ibu bisa dijerat dengan pasal memberikan keterangan palsu yang ancamannya 7 tahun penjara,“ Nafsiah mengutip ucapan seorang oknum Polsek Brandan ketika akan mengadukan Puput.
Kecewa pengaduannya tak ditanggapi Polsek Brandan, Nafsiah lalu melapor ke Polres Langkat di Stabat. Di sana, pengaduannya diterima dengan bukti Nomor: STPL/452/XII/2009/LKt, ditandatangani Ka SPK B Aiptu R Sinurat tertanggal 2 Desember 2009. Tapi rupanya kabar Nafsiah melapor ke Polres Langkat sampai ke telinga aparat Polsek Brandan.
Sehari usai Nafsiah melapor ke Polres, tanpa ada panggilan dari Polsek Brandan, wanita ini pun ditangkap oleh Satuan Reskrim Polsek Brandan. Itu terjadi saat Nafsiah jalan-jalan dengan anaknya, CM.
“ NgGak ada surat panggilan dari polisi, tiba-tiba mamak ditangkap polisi dan langsung dimasukkan ke dalam sel,” bilang CM. Begitu ibunya gol, menurut CM, dengan lantangnya Kapolsek Brandan AKP M Sofyan berkata padanya. “Mana deking mamakmu, saya suka kalau ada dekingnya.”
Pihak keluarga lalu berupaya mengeluarkan Nafsiah dari dalam sel. Caranya, tentu lewat berdamai dengan Puput agar dia mencabut pengaduannya di Polsek. Setelah Nafsiah berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta memberi uang perdamaian senilai Rp 1,5 juta kepada Puput, maka pada 7 Desember 2009 perdamaian itu pun dilaksanakan, disaksikan beberapa saksi, seperti Zainal Abidin M (Kepling), Abdul Malik (suami Nafsiah), serta Lurah Brandan Timur Drs Jaman Ritonga. Demi mengurus perdamaian kasusnya, Nafsiah harus rela menjual sepeda motor kesayangannya.
Perdamaian dan pembebasan Nafsiah diakui Kapolsek AKP Sofyan. Menurutnya, penangguhan penahanan Nafsiah yang diminta sejumlah tokoh masyarakat Brandan
dilakukan karena tersangka harus mencari nafkah untuk anak-anaknya. Tapi, “Setelah kita lepaskan kok muncul masalah seperti ini, mungkin mereka inilah yang diperalat oleh istri Jendra itu untuk mengdiskreditkan saya biar citra saya jelek dan saya keluar dari Polsek Brandan ini. Saya sudah membaca tujuan mereka, saya sudah menemui Ketua Komisi I DPRD Langkat dan menjelaskan masalah ini. Saya sudah katakan, kalau kalian ingin majukan kasusnya silahkan saja, tapi kalau nantinya nggak terbukti karena kasus ini harus ada pembuktian maka kalian siap-siap saya tuntut,“ kata Sofyan.
Menurut korban, CM, aib padanya terjadi di ruang kerja Kapolsek Brandan AKP M Sofyan, sore 8 Desember 2009. Sore itu, dengan tubuh dibalut daster, CM mendatangi Mapolsek Brandan guna menjemput ibunya, Nafsiah, yang telah 5 hari dibui akibat kasus penganiayaan (baca: ‘Rusa’ Polisi Awal Petaka). Tapi kedatangan CM belum serta merta membuat ibu kandungnya bebas. Pembebasan Nafsiah masih menunggu tanda tangan Kapolsek. ”Dibilang bapak polisi itu, kalau sudah ditandatangani Kapolsek surat pelepasannya, mamak barulah bisa pulang,“ kata CM yang tiba di Polsek Brandan sekitar pukul 16.00 WIB.
Beberapa saat setelah melihat ibunya di dalam sel, masih di Polsek itu, CM didatangi Puput. Inilah lelaki yang membuat ibunya meringkuk di bui. Agar ibunya cepat bebas, Puput mengajak CM ke ruangan Kapolsek. Tapi usai masuk ke ruangan orang nomor satu di Polsek itu, Puput meninggalkan CM berdua dengan AKP Sofyan, sang Kapolsek.
Lalu, kata CM, “Aku disuruh mijitin badan bapak itu. Katanya kalau aku nggak mau, nanti dia nggak mau menandatangani surat bebas dan mamakku nggak bisa dikeluarkan. Karena kasihan melihat mamak di dalam sel, aku turuti saja perintah bapak Kapolsek. Begitu tanganku memijit bahunya, ia langsung merangkul tubuhku dan menidurkanku di atas kursi sofa.”
Sadar akan dicabuli, CM pun melawan. “Aku berontak sekuat tenaga melepaskan cengkaramannya, tapi badan bapak Kapolsek yang tinggi tegap itu tak mampu kulawan, apalagi dia bilang kalau aku nggak mau melayaninya mamakku nggak akan dibebaskannya. Dengan terpaksa aku membiarkan saja pakaian dalam yang kukenakan dipeloroti bapak itu.” Ya, CM mengaku ditiduri AKP Sofyan.
“Udah siap dia menyetubuhiku, Kapolsek lalu menyuruh aku membelikannya sebotol Aqua, pakai uangku sendiri. Setelah Aqua kubelikan, bapak itu masih sempat marah denganku. ‘Kok lama kali kau beli Aqua aja’.“ Tapi agar ibunya cepat bebas, CM mengaku diam saja meski dibentak usai ditiduri.
Sore itu, sekira pukul 17, Nafsiah dikeluarkan dari selnya. CM pun menyambut ibunya guna pulang ke rumah mereka di kawasan Kel. Brandan Timur. Tapi saat perjalanan pulang, CM yang tak bisa menahan aib yang baru dirasanya, langsung menceritakan aksi Kapolsek pada ibunya.
“ Mak! Tadi aku diperkosa sama Kapolsek di ruangan kerjanya,“ ketus CM kepada ibunya yang kontan kaget setengah mati. “Kalau memang Kapolsek minta imbalannya anumu, bagusan aku nggak keluar penjara seumur hidup,“ Nafsiah berurai air mata mengenang tragedy itu. Tak ingin puterinya hamil, Nafsiah langsung membawa CM ke bidan. Peristiwa ini pun mereka rahasiakan pada ayah CM, Abdul Malik (45).
Praktisi Hukum Temukan Bukti
Begitu bebas dari bui, Nafsiah langsung jatuh sakit. Itu karena dia stress memikirkan aib yang dialami puterinya. “Kami nggak tau lagi mau mengadu ke mana, karena setiap kali kami hendak melapor semua orang bilang nanti bahaya melaporkan Kapolsek karena dia aparat penegak hukum,” kata Nafsiah.
Ibu CM ini bercerita. Beberapa hari lalu dia didatangi beberapa orang mengaku oknum wartawan dan LSM. “Waktu itu mereka menawarkan agar tetap merahasiakan masalah ini kepada siapapun dan untuk uang tutup mulut sebesar Rp 10 juta dari Kapolsek. Tapi kami nggak mau uang, harga diri kami sudah diinjak-injak. Biarlah kami anak-beranak mati tak makan di sini, tapi kami nggak terima diperlakukan seperti ini,“ isak Nafsiah sambil memegan kepalanya yang ditempel koyok.
Menyusul Nafsiah dan CM mengadu ke gedung DPRD Langkat di Stabat, sejumlah praktisi hukum mengaku siap mendampingi anak beranak itu menempuh jalur hukum.
Syahrial SH dari Divisi Advokasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak ((P2TP2A) Kabupaten Langkat adalah salah satu yang siap meneruskan kasus ini Propam Poldasu.
“Kita sekarang sedang mencari alat bukti atau bukti yang dapat menguatkan adanya kejadian ini. Sejauh ini kita ada menemukan beberapa bukti petunjuk, seperti orang yang membawa korban masuk ke dalam ruangan Kapolsek waktu itu serta yang melihat korban keluar maupun masuk ke dalam ruangan itu,“ kata Syahrial.
Sementara, anggota DPRD Langkat dari PKS, Makruf, yang datang sendiri ke rumah Nafsiah guna mendengar kisah ini, mengaku amat prihatin. “Kalau lah benar perbuatan Kapolsek itu, jelas oknum ini harus diberikan sanksi hukum yang tegas, bila perlu Kapolres Langkat atau bapak Kapoldasu yang baru memecat petugas tak bermoral seperti ini. Kita sangat mendukung langkah korban yang akan membawa kasus ini ke ranah hukum biar persoalan ini jelas. Untuk itu kita juga siap mendampingi korban, karena tidak tertutup kemungkinan ada korban lain lagi yang tidak berani buka mulut, “ beber Makrub.
Dipolitisir?
Kapolsek Brandan AKP M Sofyan ketika kemarin dikonfirmasi POSMETRO MEDAN lewat seluler, mengaku semua keterangan CM palsu. Karena itu, kata AKP Sofyan, cewek itu harus siap menanggung resiko gugatan balik darinya.
Sofyan bahkan mengaku siap menanggung resiko kalau tudingan CM terhadapnya benar dan terbukti secara hukum. “Tapi kalau bicara masalah penyidikan kan harus ada pembuktian, jadi bisa nggak saya dibuktikan melakukan perbuatan itu, jangan direkayasa,“ kata Sofyan.
Sofyan menduga, kasus ini telah dipolitisir. Ia lalu menduga kaitannya dengan mutasi seorang anak buahnya, Aiptu Jendra Kesuma, ke Polres Langkat, belum lama ini. “Selama ini Jendra itu bertugas di Polsek Brandan, tapi beberapa waktu lalu terkena mutasi dan dipindahkan ke Polres Langkat. Mutasi itu bukanlah wewenang saya tapi Kapolres (Langkat). Kebetulan istri Jendra salah seorang anggota DPRD Langkat. Mungkin saat ini mereka tidak puas dan menganggap saya yang salah dan disalahkan dalam hal perpindahan itu. Beberapa Minggu lalu setelah mutasi itu dikeluarkan, ada seorang anggota DPRD melakukan intervensi kepada saya atas pindahnya Jendra,“ terang Sofyan.
“Waktu itu,” sambungnya, “anggota DPRD Langkat itu menanyakan kepada saya soal dasar pemindahan Jendra ke Polres. Dan sekarang saya direkayasa lagi dengan menuduh saya telah melakukan pelecehan seksual terhadap seorang anak perempuan. Anak perempuan itu siapa, perempuan baik-baik atau perempuan tidak baik? Atau memang (tudingan itu sengaja) diciptakan? Kalau saya terbukti melakukan, saya siap menangung resikonya. Tapi kalau tidak terbukti, dia juga harus siap menangung resikonya. Ini sudah pembunuhan karakter namanya.”(wis)
‘Rusa’ Polisi Awal Petaka
DUA Desember 2009. Kawasan Jl. Stasiun, Kel. Brandan Timur, Pangkalan Brandan, mendadak ricuh. Seorang lelaki yang di lingkungan itu acap disebut sebagai ‘rusa’ atau kibus polisi, duel dengan seorang ibu rumah tangga. Nafsiah, dialah wanita nekat itu.
“Cemana saya nggak marah, masak limbah tahu yang bau itu disiramnya ke halaman rumah saya. Malah entah apa saja ulah Puput itu sama saya, makanya saya kesal kali,“ ujar Nafsiah soal sengketanya dengan Syahputra alias Puput Babe (26), ‘rusa’ itu.
Versi Nafsiah, saat bertengkar, Puput mencabut Senpi dan menodongkan senjata api itu ke arahnya. Tapi Nafsiah yang mengaku telah lama diperlakukan semena-mena, tak gentar. Puput bahkan dipukulnya. Inilah yang kemudian mengantar wanita ini ke bui. Ya, Puput melaporkan Nafsiah ke Polsek Brandan.
Terlihat beda dengan pengaduan Puput yang langsung direspon Polsek Brandan, pengaduan Nafsiah soal pengancaman Puput terhadapnya dengan menggunakan senpi malah seperti tak diterge aparat Polsek itu.
“Ibu jangan macam-macam, ibu bisa dijerat dengan pasal memberikan keterangan palsu yang ancamannya 7 tahun penjara,“ Nafsiah mengutip ucapan seorang oknum Polsek Brandan ketika akan mengadukan Puput.
Kecewa pengaduannya tak ditanggapi Polsek Brandan, Nafsiah lalu melapor ke Polres Langkat di Stabat. Di sana, pengaduannya diterima dengan bukti Nomor: STPL/452/XII/2009/LKt, ditandatangani Ka SPK B Aiptu R Sinurat tertanggal 2 Desember 2009. Tapi rupanya kabar Nafsiah melapor ke Polres Langkat sampai ke telinga aparat Polsek Brandan.
Sehari usai Nafsiah melapor ke Polres, tanpa ada panggilan dari Polsek Brandan, wanita ini pun ditangkap oleh Satuan Reskrim Polsek Brandan. Itu terjadi saat Nafsiah jalan-jalan dengan anaknya, CM.
“ NgGak ada surat panggilan dari polisi, tiba-tiba mamak ditangkap polisi dan langsung dimasukkan ke dalam sel,” bilang CM. Begitu ibunya gol, menurut CM, dengan lantangnya Kapolsek Brandan AKP M Sofyan berkata padanya. “Mana deking mamakmu, saya suka kalau ada dekingnya.”
Pihak keluarga lalu berupaya mengeluarkan Nafsiah dari dalam sel. Caranya, tentu lewat berdamai dengan Puput agar dia mencabut pengaduannya di Polsek. Setelah Nafsiah berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta memberi uang perdamaian senilai Rp 1,5 juta kepada Puput, maka pada 7 Desember 2009 perdamaian itu pun dilaksanakan, disaksikan beberapa saksi, seperti Zainal Abidin M (Kepling), Abdul Malik (suami Nafsiah), serta Lurah Brandan Timur Drs Jaman Ritonga. Demi mengurus perdamaian kasusnya, Nafsiah harus rela menjual sepeda motor kesayangannya.
Perdamaian dan pembebasan Nafsiah diakui Kapolsek AKP Sofyan. Menurutnya, penangguhan penahanan Nafsiah yang diminta sejumlah tokoh masyarakat Brandan
dilakukan karena tersangka harus mencari nafkah untuk anak-anaknya. Tapi, “Setelah kita lepaskan kok muncul masalah seperti ini, mungkin mereka inilah yang diperalat oleh istri Jendra itu untuk mengdiskreditkan saya biar citra saya jelek dan saya keluar dari Polsek Brandan ini. Saya sudah membaca tujuan mereka, saya sudah menemui Ketua Komisi I DPRD Langkat dan menjelaskan masalah ini. Saya sudah katakan, kalau kalian ingin majukan kasusnya silahkan saja, tapi kalau nantinya nggak terbukti karena kasus ini harus ada pembuktian maka kalian siap-siap saya tuntut,“ kata Sofyan.