Suatu hari saat ia sedang membersihkan keranjangnya, seorang wanita muda yang tinggi semampai menghampirinya. Wanita itu memakai pakaian yang terbuat dari sutra kualitas tinggi yang dihiasi dengan renda-renda emas. Saat ia membuka cadarnya, tampaklah sepasang mata hitam yang dipayungi bulu mata panjang nan lentik. Wajahnya teduh dan sangat cantik.
“Mari ikutlah denganku,” katanya pada Sang kuli dengan suara lembut.
Kuli itu serta merta mengangkat keranjangnya dan mengikuti wanita tersebut.
Wanita itu mengetuk sebuah pintu. Dari dalamnya keluarlah seorang laki-laki. Si wanita memberinya sekeping uang emas untuk membayar sejumlah zaitun dan dua botol anggur besar.
Setelah memuat belanjaannya ke dalam keranjang, wanita itu kemudian menuju ke sebuah toko buah dan membeli apel, buah pir, bunga melati, bunga lili, mentimun, jeruk nipis, jeruk sitrun, kayu wangi, ranting pohon henna, chamomile, anemone, bunga violet, dan bunga buah delima. Semuanya ia muat di keranjang kuli angkut yang setia mengikutinya.
Ia berhenti lagi di toko daging. “Potongkan 10 pon daging!” katanya dan tukang daging itu membungkus daging tersebut dengan daun pisang lalu menaruhnya di keranjang.
Lalu ia pergi ke toko buah-buah kering dan membeli semua jenis buah kering yang ada. Di toka manisan, ia membeli semua jenis manisan yang tersedia lalu menumpuknya di keranjang.
“Kalau anda bilang sebelumnya akan belanja sebanyak ini, saya akan membawa gerobak untuk mengangkutnya,” kata Kuli angkut.
Wanita itu tersenyum dan kembali berjalan menuju toko selanjutnya, yaitu toko parfum, dimana ia membeli 10 jenis wewangian, aroma terapi beserta lilin-lilin wangi.
“Bawa semuanya dan ikuti aku!” katanya.
Wanita itu berjalan diikuti sang kuli hingga tiba di sebuah rumah mewah yang di depannya dihampari sebuah taman yang indah. Rumah itu berdinding tinggi dengan dua daun pintu yang terbuat dari kayu eboni dan dihiasi plat-plat besi berwarna merah emas.
Ia mengetuk pintunya. Dan ketika daun pintu itu terbuka, seorang gadis yang sangat memikat keluar. Ia tinggi langsing dengan kening yang seperti bulan saat pertama muncul, matanya berwarna coklat seumpama mata kijang, bulu mata yang lentik seperti lengkungan bulan sabit di musim semi, pipi yang merona dan bibir yang semerah getah pohon jati. Keseluruhan penampilannya layaknya bulan yang sedang purnama.
Keranjang yang dipikul si Kuli hampir saja terjatuh dari tangannya. “Belum pernah aku seberuntung hari ini,” pikirnya.
Wanita bermata kijang tersebut mengundang Wanita bermata hitam dan si Kuli untuk masuk. Mereka masuk ke sebuah ruang duduk yang luas dan didekorasi warna-warni. Ruang itu sangatlah cantik dengan sentuhan kayu-kayu dan air mancur di sebuah sisi ruang juga bangku-bangku dengan berbagai ukuran. Di depan mereka ada sebuah kamar bertirai satin. Di ujung kamar tu sebuah ranjang yang terbuat dari kayu alabaster dan dihiasi mutiara-mutiara dan batu-batu mulia. Kelambu satin merah tergantung di atasnya. Seorang gadis bermata malaikat berbaring di atasnya. Dia semampai seperti huruf latin. Wajahnya pasti telah membuat matahari malu memancarkan sinarnya. Ia cantik seumpama ribuan bintang. Atau mungkin lebih mudah jika dikatakan ialah wanita paling mempesona yang pernah lahir di dunia.
Wanita bermata malaikat itu bangkit dengan lembut menghampiri kedua saudaranya. “Kenapa kalian diam saja? Apa kau tidak lihat pemuda itu sudah kepayahan membawa keranjang itu di kepalanya,” katanya dengan suara halus.
Mereka menurunkan semua barang belanjaan mereka dari keranjang dan menempatkannya di tempatnya. Wanita bermata kijang pergi ke lemari penyimpanan dan mengambil sebotol anggur serta empat buah gelas dan membawanya ke hadapan mereka. Ia menuang anggur ke salah satu gelas lalu menyodorkannya ke wanita bermata hitam lalu ke wanita bermata malaikat lalu kepada si kuli dan terakhir untuk dirinya sendiri.
“Aku akan minum anggur ini laksana obat yang menyehatkan badan,” kata kuli.
Wanita bermata hitam memberikan dua keping uang emas kepada si Kuli. “Ini bayaranmu, pergilah,” katanya sambil mengibaskan tangan.
Namun Kuli itu diam saja. Ia terus tertegun menyaksikan kecantikan yang ada di depannya.
“Kenapa kau tidak pergi? Apakah bayarannya terlalu sedikit?” tanya si mata malaikat. “Adik, beri ia beberapa keping uang lagi!” ia menyuruh si mata kijang.
Si Kuli menolak, “Demi Tuhan, wahai nona. Bayaranku biasanya hanyalah satu keping perak, bayaran anda sudah lebih dari cukup.”
”Lalu kenapa kau belum pergi dari rumah ini?” tanya si mata malaikat yang tampaknya adalah saudara paling tua.
”Saya sedang mengagumi pesona dari nona bertiga. Kalian semua sangat cantik. Akan lebih mudah menyuruh jiwaku pergi meninggalkan ragaku daripada menyuruhku keluar dari pintu ini,” kata kuli. “Biarkan aku tinggal disini menemani kalian malam ini.”
“Itu sulit.” sahut si mata kijang. ”Ada syarat yang harus kau penuhi.”
”Apa yang harus aku lakukan agar kalian mau mengijinkanku untuk tinggal?” tanya Kuli.
”Kamu sudah tahu kalau kami senang sekali berbelanja. Apakah kau punya uang untuk menyewa kami? Kau harus membayar jika ingin duduk bersama kami,, menemani kami minum atau sekedar memandang kami,” jawab wanita bermata kijang.
“Aku tidak memiliki uang yang banyak,” kata Kuli. Terlihat ada raut penuh penyesalan di wajahnya.
”Wah, ya repot kalo begitu?” mata hitam menggeleng.
Mata kijang sudah akan membuka suara, ketika dari belakang, kakaknya menyahut duluan. “Adik, biarkanlah ia tinggal!” kata wanita bermata malaikat. “Memang ia tidak punya uang, tapi kan ia masih punya tubuh.”
Bersama sang kakak, ketiga saudara itu menatap tajam selangkangan si Kuli yang tampak menggembung maksimal karena pengaruh obat perangsang yang ada di dalam anggur.
”Sepertinya cukup menjanjikan,” komentar mata kijang.
”Dan dia cukup tampan juga,” dukung mata hitam.
Sementara si pemuda, dengan penuh suka cita mengucapkan banyak-banyak terima kasih tanpa berprasangka buruk sedikitpun.
”Menurutmu, diantara kami bertiga, siapa yang paling menarik?” tanya mata kijang mulai menebar jaring.
”Hmm,” si kuli kebingungan untuk menjawab. ”Kalian bertiga cantik.” ucapnya.
”Tidak boleh begitu, harus pilih salah satu.” sahut mata hitam.
”Aku beneran nggak tahu,” si kuli menjawab. ”Memangnya kenapa harus pilih salah satu?”
”Sudah, pokoknya pilih dulu, nanti kita kasih tahu.” desak si mata malaikat yang dari tadi cuma diam.
”Nama kalian aja aku belum tahu.” elak si pemuda kuli.
Mata kijang mengulurkan tangannya. ”Josephina,” yang langsung disambut dengan jabat erat oleh si pemuda.
”Juliana.” si mata hitam ikut memperkenalkan diri.
”Jevicena.” dan ditutup oleh si mata malaikat.
”Leif.” pemuda itu menyebutkan namanya dan menyalami ketiga wanita cantik itu.
Josephina memang manis, posturnya tinggi langsing dengan ukuran buah dada yang sedang tapi terlihat kencang. Juliana, yang terlihat paling putih, dadanya kelihatan paling berisi, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang agak gemuk. Jievicena, paling cantik diantara ketiganya, dengan kulit kuning langsat dan tubuh tinggi semampai, terlihat paling montok dan menarik.
Leif bingung memilihnya.
”Semua laki-laki sama saja, habis melihat muka pasti ke dada.” kata Josephina. Rupanya dia mengikuti terus arah bola mata Leif.
”Cepetan pilih yang mana, yang payudaranya gede dia nih.” timpal Jevicena sambil nunjuk Juliana. Dan yang ditunjuk, bukannya malu, tapi malah menegakkan badan sehingga dadanya kelihatan makin membusung. Gila! Memang benar-benar besar.
””Ehm... okay, karena kalian sama-sama cantik, jadi pilihan saya cuma berdasarkan fisik saja.” ucap si pemuda.
“Terserahlah.” sahut Josephina mulai tak sabar.
”Aku pilih kamu!” Leif menunjuk Juliana.
”Alasannya, pasti karena dia yang dadanya paling gede ya?” tebak Jevicena.
”Itu rahasia.” elak Leif. ”Terus kalo udah milih, apa berikutnya?”
“Tidak ada.” Josephina menjawab cepat. “Tadi itu cuma buat ngetest saja.” Dan ketiga wanita itu tertawa berbarengan, mengejek si pemuda.
“Ah, itu namanya ingkar janji.” Leif bersungut-sungut.
”Siapa juga yang janji.” kata Juliana dan Jevicena hampir berbarengan.
”Pokoknya kalian mesti kasih tahu!” Leif memaksa.
Tapi dengan berbagai kilah, mereka tetap tutup mulut, sampai Jevicena yang merupakan saudara tertua bilang: ”Sudah ah, jangan permainkan dia terus.”
Kedua saudaranya mengangguk. Juliana bahkan langsung bertanya, ”Kamu beneran pengen tahu, ya?”
Leif mengangguk. ”Tentu saja.”
Dengan isyarat kedipan mata dari saudara-saudaranya, Jevicena pun berkata. ”Naiklah ke lantai dua. Tunggulah di dalam kamar yang ada di sana. Nanti kami akan menyusul.”
Tanpa perlu bertanya lagi, Leif langsung bangkit dan beranjak menuju kamar itu dengan penuh semangat.
***
Ruangan itu sangat besar, dengan jendela bulat yang mengarah ke rimbunan taman yang indah. Tepat di tengah-tengah, dengan beralaskan karpet dari bulu binatang, terdapat sebuah ranjang besar, banyak sekali bantal diatasnya. Baru lima menit Leif berada di dalam, pintu diketuk dan masuklah ketiga bersaudara itu. Mereka mempersilakan Leif untuk duduk di ranjang.
”Jadi, bagaimana?” tanya si pemuda kuli penasaran.
Josephina tersenyum. ”Beneran pengen tahu?”
”Ya iya lah, kalian bikin aku penasaran.” pemuda itu memandang lekat dada Juliana yang membusung, benda itu memang benar-benar indah.
”Tapi jangan kaget lo, ya?” goda Jevicena.
”Tidak akan.” mata pemuda itu tak berkedip memperhatikan dada bulat besar yang terus bergerak naik turun seiring tarikan nafas Juliana. ”Aku sepertinya sudah bisa menebak apa maksud kalian.” tambahnya.
”Kalau begitu katakan.” Josephina menyilangkan kakinya, membiarkan pahanya yang putih mulus sedikit terlihat.
”Tidak. Lebih baik kalian saja yang katakan.” memperhatikannya membuat si kuli kesulitan untuk menelan ludah.
”Kalau begitu, biar kakak saja yang bilang.” Josephina menunjuk Juliana.
”Tidak. Kakak pertama saja.” Juliana melirik pada Jevicena.
Yang ditunjuk menghela nafas sebentar sebelum akhirnya bilang, ”Begini... karena tadi kamu sudah milih Juliana, maka kamu bisa main dengannya. Tapi tidak lama, cuma 15 menit! Gimana?”
Meski sudah mengira akhirnya akan seperti itu, tak urung si pemuda tetap kaget juga karena tak mengira Jevicena akan berkata begitu terus terang.
”Wah, kalau cuma bentar sih, nggak puas.” si pemuda menatap tubuh sintal Juliana. ”Baru pemanasan waktu sudah habis.”
”Kamu maunya berapa?” tanya Josephina.
”Dua jam!” kuli itu menjawab yakin. Juliana sangat cantik, bodynya bikin horny, seharian tidur dengannya juga tidak bakal bosan.
”Beneran kamu kuat 2 jam?” Jevicena tidak percaya. ”Coba kamu buka bajumu, aku pengen lihat penismu.
Dengan penuh percaya diri, kuli panggul itu pun melepas pakaiannya. Tubuhnya yang kekar dan atletis dipamerkannya pada ketiga wanita cantik itu, meski kulitnya hitam kecoklatan, tapi secara keseluruhan, pemuda itu terlihat begitu menarik. Terutama penisnya, yang besar dan panjang, dengan urat-urat yang bertonjolan di seluruh permukaannya. Dengan kondisi tegang penuh seperti sekarang ini, benda itu terlihat seperti potongan besi yang bisa digunakan untuk menghancurkan tembok setebl apapun! Ketiga wanita itu tercekat saat melihatnya.
”Wow, besar sekali!” Josephina mendelik. ”Ini penis terbesar yang pernah kulihat.”
”Juga yang paling panjang.” tambah Juliana. Ada segaris senyum di bibir tipisnya karena merasa beruntung dialah yang akan merasakan penis itu nantinya.
”Kamu beruntung, Juliana.” gumam Jevicena iri.
Si kuli berdiri dengan gagah dan mengurut penis itu pelan-pelan. Dia juga mengoyangkannya naik turun, membuat ketiga wanita cantik yang ada di depannya makin terpukau.
”Bagaimana?” tanyanya sombong.
”Ehm,” Jevicena tak berkedip. ”30 menit. Tidak ada tawar menawar lagi.” ucapnya dengan suara bergetar.
”Kita ambil tengahnya saja, satu jam!” tawar si pemuda.
Jevicena sudah akan menyahut ketika tiba-tiba Juliana membuka suara. ”Setuju! Satu jam. Dan masih boleh nambah kalo kurang.”
Jevicena menatap adiknya tajam. ”Adik?!”
”Aku yang dipilih, Kak! Jadi aku berhak menentukan juga!” dia menatap tak kalah tajam.
”Tapi selama ini, peraturan kita cuma membatasi maksimal 30 menit!” Jevicena bersikukuh.
”Khusus hari ini, berikanlah pengecualian.” Juliana tetap memaksa, dia sudah kadung terpesona oleh kejantanan si kuli. ”Nanti kakak bisa mencicipinya juga kalau aku sudah selesai. Bagaimana?”
”Itu juga tidak boleh.” Jevicena menggeleng. ”Yang dipilih, dialah yang berhak tidur dengan laki-laki itu.”
”Apa kakak tidak pengen mersakan kejantanan sebesar ini?” tanya Juliana. ”Pasti rasanya akan nikmat sekali!”
”Iya, Kak. Aku juga ingin merasakannya.” Josephina mendukung.
Jevicena berpikir, tampak bingung antara tertarik atau menegakkan peraturan. Tapi pada akhirnya, nafsunya lah yang menang. ”Baiklah,” dia menyetujui. ”Tapi ingat ya, Dik. Nanti dibagi-bagi.”
Juliana mengangguk cepat dan tersenyum. ”OK, kakakku sayang.” dia mencium pipi Jevicena saat bangkit menghampiri si Kuli. ”Terima kasih.” bisiknya. ”Nanti kakak yang kedua setelah aku!”
Jevicena mendorong tubuh adiknya, ”Cepatlah, sudah tidak sabar aku rasanya!”
Juliana mengikik saat menyelipkan tubuhnya di antara kaki si Kuli dan memeluknya mesra. Pemuda itu menyambut dengan memeluk tubuh montok Juliana erat-erat dan menempelkan wajahnya di dada membusung milik si wanita. Wow, dada yang padat dan hangat, sangat cocok dengan ukurannya yang besar.
Juliana mengendorkan pelukannya. Dia membuka ikatan bajunya dan mengeluarkan salah satu buah dadanya. ”Ayo, ciumlah!” dia memberikannya pada si kuli.
Dengan penuh nafsu pemuda itu melakukannya. Bahkan tak cuma mencium, dia juga mencucup dan menjilat-jilatnya. Rasanya begitu empuk dan kenyal, bikin penisnya yang sudah tegak jadi semakin tegang.
Dia sudah akan menjilat yang satunya saat teringat, ”Apa kalian akan menonton?” pemuda itu bertanya pada Josephina dan Jevicena yang berdiri tak jauh di sebelahnya.
”Ehm, teruskan saja. Kita tidak melihat kok.” Joshepina mengambil majalah dan Jevicena berpaling untuk melihat pemandangan kebun lewat jendela.
”Melihat juga tidak apa-apa,” ujar si pemuda. ”Biar kepingin!” sehabis berkata begitu, dia meneruskan menciumi buah dada Juliana yang besarnya minta ampun. Ditangkup pake dua tangan saja masih ada sisa. Busyet! Puting mungilnya juga sudah terasa keras sekali. Dipijit-pijit sebentar, benda mungil kemerahan itu terasa makin tegak mengacung.
”Oughhhh!” Juliana melenguh. Tangannya meraba-raba selangkangan si kuli. “Keras sekali.” bisiknya saat berhasil menggenggam penis sang pemuda. Dia menunduk dan jongkok untuk menciumi benda hitam panjang itu. Juliana menjilatinya mulai dari pangkal hingga ujungnya. Lidahnya yang lancip bermain-main mencicipi lubangnya yang berlendir. Beberapa kali dia juga mencaploknya, menahannya dalam mulut dan menggelitiknya dengan ujung-ujung gigi.
“Uargghhhhhhh!” Leif terlihat begitu menikmati kuluman Juliana, dia senang dengan cara wanita itu memainkan penisnya. Tidak langsung-kulum-hisap seperti wanita nakal pada umumnya. Juliana melakukannya dengan begitu telaten, tak ada yang terlewat sesenti pun. Semuanya dia cicipi, termasuk juga kantung zakarnya yang bergelambir. Begitu nikmatnya kuluman wanita itu hingga membuat Leif tak bisa menahan diri lagi.
“Ayo, naik sini!” Dia meraih tubuh sintal Juliana dan membaringkannya di ranjang. Telentang. Dan dengan tak sabar, langsung menindihnya. Payudaranya yang besar terasa begitu mengganjal. Keras tapi enak. Leif mencium dan meremas-remasnya sebentar sambil mengepaskan penisnya ke lubang kelamin wanita cantik itu. Terasa ujung penisnya menggesek-gesek bibir vagina Juliana yang sudah sangat basah.
“Aku masukkan sekarang,” Leif menahan nafas dan mendorong. Penisnya dengan mudah menembus vagina wanita cantik itu.
“Ougghhhhhh,” Juliana melenguh menikmati gesekan penis Leif pada dinding kemaluannya. Apalagi sambil menggoyang, pemuda itu juga kembali menciumi payudaranya. Tak bosan-bosannya Leif mengulum dan menjilati putingnya yang semakin tegak mengacung.
“Kok bisa besar begini?” dia bertanya.
”Ehm, kamu nggak suka ya?” Juliana menyahut di sela-sela rintihannya.
Tidak langsung menjawab, Leif malah melumat daging bulat itu keras-keras, membuat Juliana merintih sekali lagi. Wanita cantik itu menggelinjang dan ingin protes, tapi Leif sudah keburu membungkam bibir tipisnya dengan ciuman panas yang dalam.
”Hmppphhhh,” Juliana akhirnya cuma bisa pasrah, dirasakannya tusukan penis Leif juga makin cepat saja sekarang. ”Ya, begitu... Teruskan! Terus.. aku suka!” ocehnya.
Leif tersenyum. ”Aku juga menyukai tubuhmu. Enak sekali rasanya!” bisiknya, dan dia tidak bohong karena memang begitu kenyataannya. Selain empuk dan hangat, tubuh Juliana juga kenyal sekali, terutama jepitan vaginanya yang terasa begitu ketat dan kesat, membuat penisnya terasa seperti dipijat-pijat dan diurut-urut sepanjang permainan.
”Apakah saudara –saudaramu juga punya tubuh seenak milikmu?” Leif bertanya sambil membaringkan tubuh montok Juliana agak miring ke kiri dan menusuknya dari belakang.
”Aghhhhh,” Juliana merintih dulu sebelum menjawab. ”Ehm, nanti saja kau rasakan sendiri.”
Leif mengangguk. ”Ah, jadi tak sabar rasanya.” dia menusukkan penisnya dalam-dalam dan mendiamkannya sejenak. Leif ingin menikmati pijitan vagina Juliana pada penisnya.
”Kenapa?” wanita itu bertanya sambil memutar-mutar pinggulnya yang bulat, meminta Leif untuk kembali bergerak.
”Aku tidak ingin keluar terlalu cepat. Aku ingin menikmati kehangatan tubuhmu selama mungkin.” Leif mencium telinga perempuan itu dan menjilatnya.
”Ahh,” Juliana merintih kegelian. ”Tapi masih ada dua loh yang antri di belakang.” dia menunjuk kedua kakaknya.
Josephina tampak masih pura-pura membaca, tapi pakaiannya sudah awut-awutan, roknya tersingkap sementara belahan dadanya terbuka lebar membuat salah satu payudaranya yang bulat nongol keluar. Leif menelan ludah saat melihatnya. Di sebelahnya, keadaan Jevicena tidak jauh lebih baik. Meski atasannya masih utuh, tapi rok wanita itu sudah terlepas. Dengan celana dalam yang tersingkap ke samping, wanita cantik itu seperti ingin memamerkan kemaluannya pada Leif.
”M-masih lama?!” tanyanya dengan suara bergetar.
Leif tidak kuasa untuk menjawab. Dia begitu terpesona dengan pemandangan di depannya.
”Kalau diam begini terus, bisa sampai sore.” Juliana yang menyahut, nada suaranya terdengar sedikit jengkel.
”Ah, oh iya...” Leif menyadari kesalahannya. Berharap dapat segera merasakan tubuh montok Josephina dan Jevicena, dia pun kembali menggoyang penisnya. Kali ini dengan lebih cepat dan lebih dalam. Juliana yang menerimanya, langsung menjerit-jerit dan merintih-rintih senang penuh kenikmatan.
”Yaah, begitu... terus! Lebih cepat! Tusuk lebih dalam!” ceracau Juliana. Dan tak lama, dia pun orgasme. “Oouugghhhhhh… Leif, aku kelu-aarrggghhhhhhhh!” tubuhnya mengejang-ngejang sebentar sebelum akhirnya ambruk lemas di atas ranjang.
Leif merasakan semprotan cairan cinta wanita itu pada penisnya, tapi dia tidak peduli dan terus memompa. Dia juga merasa sebentar lagi akan keluar. Jepitan vagina Juliana terasa begitu nikmat pada penisnya. Tapi sebelum dia sampai, tiba-tiba sepasang tangan menarik pinggulnya ke belakang hingga penisnya terlepas dari kungkungan nikmat kemaluan Juliana.
”AH,” Leif menoleh kebelakang. Tangan tadi milik Jevicena.
”Jangan terburu-buru, aku juga ingin merasakannya.” perempuan itu berkata lirih.
Bersamaan dengan itu, Juliana dengan raut muka penuh kepuasan bangkit dan bergeser ke ujung ranjang, memberi jalan bagi Jevicena untuk menempati tempatnya.
”Wow, kerasnya!” bisik Jevicena sambil mengusap-usap penis Leif dengan lembut. Dan sebelum pemuda itu sempat memprotes, Jevicena sudah menyambut daging panjang itu dan memasukkannya ke dalam mulut, lalu dengan penuh nafus dia menjilat dan mengulumnya.
”Auhhhhh,” Leif merintih keenakan. Penisnya yang sudah tegang jadi semakin membengkak dan mengeras tak karuan Ia menggerakkan pinggulnya maju mundur untuk mengimbangi hisapan Jevicena yang ternyata begitu dahsyat. Saat wanita itu sudah terlihat kecapekan, dia mengangkat tubuh montoknya ke atas dan segera menelanjanginya. Leif tak sabar untuk segera melihat tubuh Jevicena secara utuh.
”Wow!” dia takjub. Selain paling cantik, Jevicena ternyata juga paling seksi. Meski ukuran payudaranya tidak begitu besar, tapi bentuknya begitu bulat dan padat. Putingnya juga tampak menggemaskan sekali, mungil imut kemerahan dan menunjuk keras ke depan. Tak tahan, Leif langsung menunduk dan menciuminya.
”Uh, jangan keras-keras... sakit!” rintih Jevicena saat pemuda itu menghisap putingnya kuat-kuat.
Tangan Leif meraba ke bawah, ke arah kewanitaan Jevicena yang gundul tanpa rambut. Vagina itu terasa begitu halus, lembut, nyaris tak berbulu. Dia menguaknya perlahan dan memasukkan dua jarinya.
”Aihh,” Jevicena langsung merintih kegelian. ”Jangan terlalu dalam.” desisnya.
Leif memandangi vagina sempit itu. Bentuknya masih sangat bagus dengan warna yang tak begitu mencolok. Saat dia menciumnya, tak tercium bau yang mengganggu, bahkan ada aroma wangi yang khas milik remaja perempuan. Oh, sungguh sangat menggoda sekali. Leif jadi tak tahan untuk segera merasakannya. Dia pun menjulurkan lidahnya dan mulai menjilati vagina lembab itu.
”Oughhhh, Leif... geli!” Jevicena merintih. Dia menahan kepala pemuda itu saat merasakan sebuah lidah basah menggelitik tonjolan klitorisnya. ”Jangan, Leif... oughh, hentikan!” bisiknya lemah.
Tapi Leif tak peduli, dia terus saja menggerakkan lidahnya, menyerang bagian tubuh Jevicena yang paling intim itu. Akhirnya, karena terus didesak, Jevicena pun menyerah. Ketika lidah Leif menyapu dan membelah vaginanya, wanita itu sudah tidak memprotes lagi, cuma rintihannya saja yang terdengar sekarang.
”Auw, geli, Leif!” dia menggelinjang sambil meremas-remas payudaranya sendiri. Sentuhan si kuli di kemaluannya terasa begitu nikmat.
”Ah, selangkangan ini nyaris tak berlubang!” batin Leif dalam hati sambil terus menjilati vagina sempit itu berulang-ulang. Saat cairan cinta Jevicena sudah mengalir keluar dan jeritan wanita cantik itu terdengar semakin keras, inilah saat yang tepat baginya untuk memulai. Waktunya untuk melakukan penetrasi.
Leif bangkit dari selangkangan Jevicena dan meluruskan tubuh wanita cantik itu. Ia mengusap-usap paha Jevicena yang putih mulus dan membentangkannya lebar-lebar. Bertumpu pada kedua lututnya, Leif menyiapkan penisnya yang sudah siap tembak dan mengarahkannya pada lubang sembit Jevicena yang menganga malu-malu.
”Oughhhh,” wanita itu mengerang saat Leif menindih dan menusuknya dengan tiba-tiba. ”Pelan-pelan, Leif. Sakit! Punyamu besar sekali.” rintihnya.
Di luar dugaan, penis Leif bisa menembusnya dengan cukup mudah. Tanpa perlu usaha berarti, pemuda itu bisa membenamkan penisnya dalam-dalam. ”Aahhhh.. aughhhh.. uhh.. uhhh..” desis Jevicena saat daging panjang itu mulai bergerak maju mundur di dalam kemaluannya.
”Ternyata, cuma luarnya saja yang beda, dalemnya sama saja.” ketus Leif sambil terus menggoyang.
”A-apa maksudmu?” Jevicena bertanya tak mengerti.
”Sudah sering ya kamu main?” Leif menunduk dan mengulum puting wanita itu yang mengacung tegak.
”Ough!” sekali lagi Jevicena merintih. ”Goyang terus, Leif. Rasanya nikmat sekali.” tapi bukannya menjawab, dia malah menyuruh Leif untuk menggerakkan pinggulnya lebih cepat. ”Tusuk lebih dalam!” tambahnya.
Leif mengabulkannya. Ia menyetubuhi wanita cantik itu dengan begitu cepat dan keras. Sudah tak terhitung lagi berapa kali penisnya mentok menabrak dinding kemaluan Jevicena yang hangat dan basah. Tapi bukannya merintih kesakitan, wanita itu malah menjerit keenakan dan minta untuk diberi sekali lagi. Sambil berpegangan pada dada Jevicena yang bergoyang-goyang liar, Leif pun memenuhinya.
”Auw! Enak sekali, Leif. Terus! Tusuk lebih dalam! Genjot tubuhmu lebih cepat! Aahhhhh!” rintih Jevicena dengan tubuh terlonjak-lonjak akibat dorongan Leif yang begitu keras. Tapi wanita itu tampak menikmatinya, tidak ada rasa sakit sedikitpun.
Leif yang keenakan, juga mulai menggeram dan mendesis-desis tak karuan. Sambil terus meremas-remas payudara Jevicena, ia menggerakkan pinggulnya makin cepat, hingga beberapa menit kemudian...
”Gantian, kamu di atas.” dia berguling, berganti posisi dengan Jevicena. Sambil bergerak, Leif menjaga agar kemaluan mereka tetap menyatu. Sekarang, pemuda itu terlentang dan Jevicena jongkok menduduki dirinya.
Wanita itu merintih merasakan penis Leif yang seakan-akan mentok menembus kemaluannya. ”Uhhhhh,” diiringi dengan jerit kenikmatannya, dia pun mulai bergerak. Tubuh sintalnya naik-turun, pinggulnya maju-mundur dengan sesekali bergerak berputar-putar, membuat penis Leif bagai diremas dan dipilin-pilin. Kedua payudaranya yang memantul-mantul makin menambah nikmat permainan mereka.
”Aagghhhhh,” Leif menggeram menikmati pelayanan Jevicena. Sambil meremas-remas payudara bulat wanita cantik itu, dia melirik Juliana yang sekarang sedang memasukkan dua jarinya ke dalam vagina dan mengocoknya dengan penuh nafsu. Sedangkan Josephina yang duduk di sebelahnya, matanya melotot mengamati gerakan penis Leif yang memompa keluar masuk kemaluan sang kakak bagaikan piston berkecepatan tinggi. Majalah yang tadi dia pegang, sudah tidak dihiraukannya lagi sekarang. Tampaknya wanita itu sudah mulai terangsang juga. Sekarang sebelah tangannya menyusup ke balik celana dalam dan mengusap-usap sesuatu yang ada disana.
Leif merasa masih membutuhkan waktu agak lama lagi untuk sampai puncak, walaupun gerak tubuh Jevicena sudah sedemikian liar. Mungkin karena dia pasif menerima genjotan wanita itu tanpa ada usaha untuk membalas, atau karena milik Jevicena sudah agak longgar? Entahlah.
Leif mendengus, ”Ganti posisi.” dia memerintah.
Jevicena segera melepaskan diri dan turun dari tubuh pemuda itu. Payudaranya yang besar terayun indah saat dia melakukannya. Leif menyuruhnya untuk menungging dan dia melakukannya. Sambil berpegangan pada dada Jevicena yang besar, Leif menusukkan penisnya dari belakang.
”Ough,” Jevicena mengaduh merasakan vaginanya yang kembali terkoyak.
Leif segera menggoyang pinggulnya, menggenjot tubuh mulus Jevicena maju mundur. Gesekan antara kulit penisnya dan dinding kemaluan Jevicena menciptakan sensasi geli yang sedikit bisa dia nikmati. Tapi rasa cenut-cenut yang bisa mengantarkannya pada orgasme masih belum bisa dia rasakan. Sambil terus menusuk, Leif segera merapatkan paha Jevicena. Kali ini lumayan ada hasilnya, jepitan wanita itu jadi sedikit berasa. Dengan penuh semangat, Leif pun mempercepat genjotannya sampai tak sempat menoleh ke belakang sekedar mengecek apa yang sedang dilakukan oleh Josephina dan Juliana. Dia sudah merasa mulai merambat naik ke puncak kenikmatannya.
Saat merasa sudah nyaris jebol...
”Ganti lagi, ya?” Leif meminta.
Jevicena cuma menurut saja apa yang diminta oleh laki-laki itu. Dia sekarang berbaring telentang dengan kaki dibuka lebar-lebar, mempersilakan Leif untuk menyetubuhinya dalam posisi standar. Mereka berpelukan kencang dengan kedua tangan Leif melingkar di bawah punggung ramping Jevicena. Dia menusukkan penisnya dalam-dalam dan mengocok cepat hingga makin menambah daya rambatnya. Tapi sebelum muncrat, Leif mengkonfirmasi terlebih dahulu.
”Keluarin di dalam?” tanyanya berbisik sambil terengah-engah. Tangannya dengan gemas meremas-remas payudara Jevicena yang bergoyang-goyang indah di depannya.
Jevicena cuma bisa mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Matanya terpejam, tampak asyik menikmati goyangan Leif pada tubuhnya. ”T-tahan sebentar, ya... A-aku... juga mau keluAAARRGGHHHHHHHH...!!” diiringi jeritan panjang, tubuh wanita cantik itu mengejang dan bergetar beberapa kali. Dari dalam kemaluannya, menyemprot cairan kental yang banyak sekali hingga merembes keluar melalui sela-sela vaginanya yang masih terisi penis Leif.
”Bagaimana, nikmat?” tanya Leif sambil terus menggoyang, tidak memberi kesempatan pada Jevicena untuk beristirahat menikmati orgasmenya.
Jevicena mengangguk pelan sambil tersenyum penuh kepuasan. Dia yang sudah kelelahan, cuma bisa pasrah saat leif menggeram dan menumpahkan spermanya di dalam kemaluannya yang sudah terasa begitu penuh.
***
Beberapa menit berikutnya, Leif masih menelungkupi tubuh Jevicena sampai penisnya menyusut kembali normal hingga lepas dengan sendirinya. Dengan nafas masih ngos-ngosan, ia rebah ke samping.
“Terima kasih, tubuhmu nikmat sekali!” ia mencium Jevicena dengan mesra.
Di seberangnya, Leif melihat Josephina masih sibuk dengan tangan yang mengocok-ngocok di dalam celana, Sementara Juliana, masih tetap bugil dan menatapnya dengan tatapan mata yang susah ditebak. Di bawahnya, Jevicena bangkit dan langsung pergi ke kamar mandi.
”Mau dibantu?” Leif menggoda Josephina. Wanita itu segera menarik tangannya dengan wajah memerah, entah karena terangsang atau karena malu.
Juliana memunguti pakaian dan mengenakannya. Dimulai dari celana dalam, kemudian bra.
”Gimana tadi, enak tidak?” Leif bertanya tentang permainannya. ”Tidak nau nambah?” tawarnya.
Juliana tidak menjawab. Sekilas matanya menatap Josephina, lalu menunduk.
”Saya harap kamu mengerti. Juliana kan...” kata Josephina yang langsung dipotong oleh Leif.
”Iya, dia sudah. Kamu belum.” sahutnya cepat.
”Lah itu kamu mengerti.” Josephina tersenyum.
”Sekarang giliranmu kan?” Masih dengan bugil, Leif mendekati Josephina. Dia merogoh baju perempuan itu yang kancingnya sudah terbuka beberapa buah dan meremas payudaranya. Hmm, rasanya empuk dan halus.
”Eh, apa kamu masih kuat?” tanya Josephina sedikit mendesah.
”Apa ini terlihat tidak kuat untuk memuaskanmu.” Leif memperlihatkan penisnya yang ternyata sudah kembali menegang.
”Wow! Cepat sekali.” Josephina menatap kagum dan segera meraih benda itu lalu mengocoknya lembut.
”Copot dong bajumu.” Leif meminta. ”Aku sudah melihat tubuh yang lain, kamu belum.”
”Oh, tentu saja!” Josephina membuka atasan dan bra-nya. Buah dadanya yang cukup bulat langsung terburai keluar. Memang tak sebesar punya Juliana, tapi cukup mantab untuk dipegang dan dipijit-pijit. Putingnya agak besar dan berwarna coklat tua.
”Buka semuanya, jangan nanggung gitu!” Leif meminta lagi.
Josephina pun berlanjut membuka rok panjangnya dan disusul kemudian memelorotkan celana dalamnya hingga dia telanjang bulat. Bulu kemaluannya tampak begitu halus tapi merata di seluruh permukaan kewanitaannya, terlihat serasi dengan sepasang pahanya yang putih mulus. Terlihat ada sedikit cairan yang merembes diantara vaginanya.
”Hm, kamu terangsang, ya?” gumam Leif sambil mencolek sedikit cairan itu.
Josephina cuma tersenyum malu mendengarnya.
Juliana keluar dari kamar mandi, tubuh sintalnya masih bugil. ”Ronde kedua, nih?” serunya.
Bukannya menjawab, Leif malah menarik wanita itu. ”Mau ikut.” bisiknya sambil melumat payudara Juliana yang masih basah. Di bawah, Leif menusukkan penisnya untuk segera menyetubuhi Josephina yang terlihat sudah tak sabar.
”Auw!” dua perempuan itu memekik berbarengan.
Jevicena yang masih terbaring kelelahan cuma bisa tersenyum melihat perbuatan Leif pada kedua saudaranya.
END