Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangkir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet Miles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah?
Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu menginginkan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalkan perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scene dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam?
Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan sering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mungkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, dan melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditarik dalam alam nyata.
Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pernah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kopi seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan mengenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.
Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah bening. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan.
"Aku ingin bertemu denganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku.
Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"
Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tempat biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."
Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana?"
Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tempat biasanya. Pokoknya sore selepas kerja."
Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan antara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipertemukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikhayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, pertemuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur.
Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaan (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirkan kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemuan indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan keindahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari.
Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidupnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bisa jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti mandi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet!
Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari langit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-jingga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan membentuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakukan di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan berkata-kata?
Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat duduknya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa mendapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh.
Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya, menunggu kenangan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ’ya’ dan ’tidak’. Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi meneleponnya. Aku hanya ingin dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka.
Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tunggu dulu…" Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebuah keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu."
Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membuncah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput istrinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka termasuk orang-orang yang mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka takut karena istrinya baru saja lulus ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas, berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam.
Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin waktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ketika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendiri.
Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya mentari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku mulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balutan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obsession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tetap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu berjalan antara kejutan dan kenangan.
Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuhi pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempat ini?
Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal telah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga aku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbintang.
Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang memainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebenarnya tak begitu pas untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi kenyataan. Tapi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan.
Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tanpa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pergi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lain menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan jiwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang kadang tak paham dengan dunia kita.
Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku tentang Maya hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kopi yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kopi seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri.
Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo ketika ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Berapa lama lagi aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban.
Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu serius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku menghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekaligus.
Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning benar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengikuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keindahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya, apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu?
Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka games di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Tetapi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over.
Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutahan. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalian. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Amarah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo.
Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amarah. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh tahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto.
Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yang semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melunakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan Maya. Muncul kerlip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari pesan yang lalu.
Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu terus berputar. Tak juga ada jawaban.
Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Maya tujuh tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi.
Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa langkah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia jadi terang. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkubang di kepala berubah menjadi cair. Ia menulis singkat: "Berbaliklah, aku ada di belakangmu."
Cepat kuputar kepalaku. Maya berdiri disana, di bawah bayang sebuah pohon cemara tua. Dia masih tetap cantik, dan juga menarik, tampak tak berubah seperti saat terakhir aku melihatnya tujuh tahun lalu. Badannya yang ramping dibalut baju hijau pucuk daun, terlihat serasi dengan kulitnya yang putih.
”Hai,” aku melambai dan tersenyum, mengajaknya cepat mendekat.
Dia mengangguk dan balas tersenyum. Ugh, aku bagai diguyur air es. Sejuk sekali senyumnya.
Berjalan mendekat, Maya memegangi tali tas kecilnya erat-erat. Dia lalu duduk di depanku. ”Maaf, membuatmu lama menunggu.” katanya dan meletakkan tas itu di pangkuannya.
”AH, tidak usah dipikirkan.” kupanggil pelayan dan kupesankan dia kopi seledri.
Selanjutnya kami ngobrol ringan, saling menanyakan kabar dan kisah selama tujuh tahun tak bertemu. Tidak ada sesuatu yang menyimpang. Aku tak berpikir yang aneh-aneh, tidak mau berharap lebih. Kami duduk saja di depan meja yang ditata menghadap ke taman indah nan terawat. Suasana di sekeliling kami mulai sunyi, maklum sudah malam.
”Kamu tidak pulang?” aku bertanya. Kulirik arloji, sudah hampir tengah malam. Tak terasa, kami sudah ngobrol lama.
Maya menggeleng. Tampak keberatan dengan pertanyaan itu.
”Suamimu tidak mencari?” aku menyelidik.
Maya menunduk. ”K-kami... sudah pisah.” lirihnya.
”Ah, maafkan aku.” bodohnya aku, seharusnya aku sudah bisa menebak itu dari tadi.
Selanjutnya tanpa kuminta, Maya menceritakan masalah keluarganya. Bagaimana suaminya selingkuh dengan rekan kerjanya hingga perempuan itu hamil. Dan Maya yang tidak mau dimadu, memilih untuk menyingkir. Aku cuma mendengarkan saja, tidak berkomentar sedikit pun.
”Itulah kenapa aku ingin bertemu denganmu. Aku butuh teman buat ngobrol, Yon.” jelasnya.
Aku mengangguk mengerti. Kupandangi wajah bulat Maya yang manis. Entah kenapa, setelah mengetahui kisahnya, aku jadi berani. Kupegang tangan perempuan itu sambil aku berkata, “Lebih dari sekedar ngobrol juga nggak apa-apa kok.”
“Iya, Yon,” sahutnya tanpa menepiskan genggamanku.
Aku terdiam. Tapi tanganku tidak diam. Aku mulai meremas tangan wanita 30 tahunan itu, yang makin lama terasa makin hangat. Dia bahkan membalasnya dengan remasan. Apakah ini berarti… ah, pikiranku jadi melayang-layang tak menentu.
Mungkin di mana-mana juga lelaki itu sama seperti aku. Dikasih sejengkal mau sedepa. Remas-remasan tangan tidak berlangsung lama. Kami bukan ABG lagi. Masa cukup dengan remas-remasan tangan?
Sesaat kemudian, lengan kiriku sudah melingkari lehernya. Tangan kananku mulai berusaha membuka jalan agar tangan kiriku bisa menyelusup ke balik bajunya yang sedikit terbuka. Maya diam saja. Hingga akhirnya aku berhasil menyentuh payudaranya. Benda itu masih terasa empuk dan hangat, sama seperti dulu. Yang beda cuma ukurannya, sekarang jadi sedikit lebih besar. Aku jadi makin bergairah.
Tapi Maya segera menepiskan tanganku saat aku ingin meneruskan remasan. Dia berkata, “Kita pindah ke pojok, Yon. Disini bisa dilihat orang.”
Oh, senangnya hatiku. Karena ucapannya itu mengisyaratkan bahwa dia juga mau!
“Kenapa mendadak jadi begini, Yon?” tanya wanita cantik itu ketika kami sudah duduk di meja pojok yang jauh sorot lampu jalan dan lalu lalang orang-orang. Tanganku sudah berhasil menyelinap masuk ke baju kerjanya dan kini bergerak pelan di balik behanya, meremas-remas benda bulat padat yang tertampung disitu.
“Aku juga nggak tahu,” sahutku sambil meremas payudaranya yang terasa masih kencang, mungkin karena rajin merawatnya.
“Tapi, Yon, uugghhhh… Kalau aku jadi horny gimana nih?” mata Maya terpejam-pejam sambil meremas-remas lututku yang masih berpakaian lengkap.
“Kita lakukan saja… kalau kamu tidak keberatan.” tanganku makin berani. Aku berhasil menyelinap ke balik rok pendeknya, lalu menyelundup ke balik celana dalamnya. Tanganku sudah menyentuh bulu kemaluannya yang terasa lebat sekali. Kemudian menyeruak ke bibir kemaluannya, bahkan mulai menyelinap ke celah vaginanya yang terasa sudah membasah dan hangat.
“Masa disini?” protesnya, “Bisa-bisa kita ditangkap satpol PP.”
“Emang siapa yang mau ngajak begituan disini? Aku juga nggak mau. Ini cuma perkenalan aja dulu.” kataku pada waktu jemariku mulai menyelusup ke dalam liang kemaluan Maya yang terasa sempit dan berlendir.
Wanita itu memelukku erat-erat sambil berbisik, “Duh, Yon, aku jadi kepengen nih. Kita cari penginapan yuk.” ajaknya.
“Iya, sayang,” balasku, “Sekarang ini memiliki dirimu lebih penting daripada apapun.”
“Iya, tapi sudah dulu dong,” Maya menarik tanganku yang masih terus mempermainkan kemaluannya, “Nanti kalau aku nggak bisa nahan disini kan berabe.”
Aku ketawa kecil. Kucium ujung jariku yang tampak basah. Hmm, haruumm!
”Nanti saja di penginapan aku kasih semuanya.” dia lalu memanggil pelayan.
Aku segera membayar semuanya. Selanjutnya kuajak Maya masuk ke mobilku. Tak lama, kami sudah meluncur di jalan raya. Persetan dengan norma dan dosa. Sekarang ini yang terpenting adalah tubuh Maya yang jelas sudah siap diapakan saja.
Dengan mudah kudapatkan hotel kecil di luar kota, sesuai dengan keinginan Maya, karena kalau di dalam kota takut kepergok oleh orang-orang yang kami kenal. Hotel itu cuma hotel sederhana. Tapi lumayan, kamar mandinya pakai shower air panas. Tidak pakai AC, karena udaranya sudah cukup dingin.
Maya sedang berada di dalam kamar mandi sekarang, mungkin sedang cuci-cuci dulu. Sementara aku yang sudah tak sabar, menunggu sambil mengusap-usap penisku yang sudah menegang tak karuan.
Ketika ia muncul di ambang pintu kamar mandi, aku terpana dibuatnya. Rambutnya yang tadi diikat, kini dibiarkan tergerai lepas, kelihatan begitu panjang dan lebat, makin menambah kecantikannya. Jujur, ia tampak jauh lebih seksi, apalagi kalau mengingat bahwa dia lima tahun lebih muda daripada istriku. Rok bawahnya tidak dikenakan lagi, sehingga pahanya yang putih mulus itu tampak jelas di mataku.
Aku segera bangkit menyambutnya dengan pelukan hangat, “May, kamu cantik sekali. muuuahhhhh…” kataku diakhiri dengan kecupan hangat di pipinya.
Maya memegang pergelangan tanganku sambil tersenyum manis. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya yang ramping, kutuntun dia sampai berada di atas tempat tidur yang lumayan besar.
Tanpa banyak kata, kami pun bergumul mesra disana. Maya tidak pasif. Berkali-kali dia memagut bibirku. Aku pun dengan tak sabar menyingkap baju lengan pendeknya. Dan… ah, rupanya sudah tidak ada apa-apa lagi di baliknya selain tubuh Maya yang begitu mulus. Payudaranya terlihat begitu besar. Tampak sangat indah di mataku. Meski besar, tapi masih tetap bulat dan kencang. Tak ubahnya payudara seorang gadis belasan tahun. Dan ketika pandanganku melayang ke bawah perutnya, tampak sebentuk bukit kecil yang berambut tebal, sangat lebat. Dengan lembahnya yang sempit dan curam. Kawah di tengahnya berwarna merah menyala, terlihat sangat menggiurkan untuk dicicipi.
Aku pun mulai beraksi. Kucelucupi lehernya yang hangat, sementara tanganku mulai mengelus jembutnya yang lebat keriting itu. Melenguh, Maya pun tidak tinggal diam. Dia mulai melepaskan kancing kemejaku satu persatu, lalu menanggalkannya dengan kasar. Untuk mempermudah, aku pun menanggalkan celana panjang dan celana dalamku. Sehingga batang kemaluanku yang sudah tegak kencang ini tak tertutup apa-apa lagi.
Maya melotot waktu melihatnya. “Ih, punyamu kok bisa panjang gede gitu.” tanyanya kagum.
“Kan dari dulu sudah begini.” kutarik tangannya, kuminta dia untuk memegangnya.
Maya menggenggam dan mengelus-elusnya pelan. ”Gedean ini deh.”
”Ah, mungkin karena kamu kebanyakan lihat yang kecil-kecil.” godaku.
”Mungkin juga.” Maya tersenyum.
“Emang punya suamimu seperti apa?” tanyaku.
“Jauh lebih pendek dan kecil,” bisik Maya sambil merangkulku dengan ketat, seperti gemas. ”Mmmm, istrimu pasti selalu puas ya?” desisnya.
Tidak menjawab, kembali kuciumi lehernya yang mulai keringatan, lalu turun, mencelucupi puting payudaranya yang kini sudah menegang menggiurkan. Kusedot-sedot benda mungil kemerahan itu seperti anak kecil sedang menetek pada ibunya, sambil tanganku mengelus-elus bukitnya yang empuk dan halus.
”Oughhhh,” Maya melenguh.
Tanganku kini mulai turun. Jemariku mengelus bibir kemaluannya yang terasa sudah sangat basah, bahkan mulai kumasukkan jari tengahku ke dalam liang yang hangat dan sempit itu.
”Augghhhh,” Maya makin melenguh.
Dia juga tak cuma berdiam diri. Tangannya mulai menggenggam batang kemaluanku. Meremasnya dengan lembut. Mengelus-elus puncak penisku yang gundul hingga aku makin bernafsu. Tapi aku tidak langsung menindihnya. Aku sengaja ingin melakukan pemanasan selama mungkin, supaya meninggalkan kesan yang indah di kemudian hari.
Maka setelah puas menjilati puting payudaranya, bibirku turun ke arah perutnya. Menjilati pusarnya sesaat. Lalu terus turun ke bawah perutnya. Hingga sampai ke bibir kemaluannya.
“Yon, jangan ke situ ah, malu!” Maya berusaha menarik kepalaku agar naik lagi ke atas. Tapi aku tidak mau. Bahkan aku mulai menciumi vagina sempit yang berbulu lebat itu. Sambil menjilat, jemariku menyibakkan bibirnya ke kiri dan ke kanan dan hingga benda itu menganga makin lebar.
“Aduh, Yon. Ini diapain? Aagghhhh… kok enak sekali sih.” Maya mulai menceracau tak menentu. Lebih-lebih ketika aku mulai mengarahkan jilatanku ke klitorisnya yang menonjol kemerahan. Dan tak cuma menjilat, kadang aku juga menghisap dan menggigit-gigitnya ringan dengan ujung gigiku.
“Oooh... Yon, oogghhhh… aku sudah mau keluar nih, duuhhh...” celotehnya, membuatku buru-buru mengarahkan batang kemaluanku ke belahan memeknya yang sudah basah. Dan kudesakkan sekaligus. Bless! Cukup mudah membenamkannya ke dalam liang surgawi yang sudah banyak lendirnya itu.
“Aduduhh… sudah masuk, Yon. Oughhhhhh…” Maya menyambutku dengan pelukan erat, bahkan sambil menciumi bibirku dan menggerak-gerakkan pantat bulatnya, “A-aku… nggak bisa nahan lagi. Langsung mau keluar, Yon. Tadi sih terlalu dienakin. Ooohhhhh…”
Lalu terasa tubuh wanita itu mengejang dan mengelojot seperti sekarat. Rupanya dia tak bisa menahan lagi. Dia sudah orgasme. Terasa liang kemaluannya berkedut-kedut, lalu jadi becek seiring guyuran cairan cintanya yang menyembur kencang.
“Nikmatilah, May. Akan kuberikan orgasme yang lain kepadamu.” bisikku sambil mulai mengayun batang kemaluanku dengan gencar, maju mundur di dalam celah kemaluan wanita cantik itu.
Maya merem melek menikmatinya, bahkan kini dia mulai gencar menggoyang-goyang pinggulnya, sehingga batang kemaluanku serasa seperti dibetot-betot oleh liang surgawinya. Rupanya dia mulai terangsang lagi. Aku tahu goyangan pantatnya itu bukan sekadar ingin memberikan kepuasan untukku, tapi juga mencari kepuasan untuknya sendiri. Karena gesekan penisku dengan liang kemaluannya jadi makin keras, kelentitnya pun berkali-kali terkena gesekan penisku.
“Aduh, Yon. Kok enak sekali sih, aagghhhhh… aku bisa ketagihan nanti kalau begini.” celoteh Maya dengan nafas tersengal-sengal.
“Aku malah sudah ketagihan,” sahutku setengah berbisik di telinganya sambil merasakan enaknya gesekan dinding liang kemaluannya, “Memekmu enak sekali, May. Duuhhh… benar-benar enak sekali.”
Aku memang tidak berlebihan. Entah kenapa, rasanya persetubuhanku kali ini terasa fantastis sekali. Mungkin ini yang disebut SII (Selingkuh Itu Indah). Padahal posisi kami cuma posisi klasik. Goyangan pantat Maya juga konvensional saja. Tapi enaknya luar biasa. Dalam tempo singkat saja keringatku mulai bercucuran.
Maya pun tampak sangat menikmati enjotan batang kemaluanku. Sepasang kakinya diangkat dan ditekuk, lalu melingkari pinggangku, sementara rengekan-rengekannya tiada henti terlontar dari mulutnya yang manis.
“Ooooh… Oohhhh... Aaahhhhh aduh, Yon. Enak sekali! Duhh, aku jadi mau keluar lagi nih.”
“Kita barengan keluarnya.” bisikku sambil mempergencar genjotan batang kemaluanku.
“I-iya, Yon. Bi-biar nikmat…” sahutnya sambil mempercepat pula ayunan pinggulnya, meliuk-liuk kencang hingga membuat batang kemaluanku seperti dipelintir dan diremas-remas oleh dinding liang kemaluannya yang licin dan sempit itu.
Kami terus berada dalam posisi itu sampai pada suatu saat, sambil meremas-remas buah dada Maya yang bulat dan empuk, kubenamkan kemaluanku dalam-dalam. Nafasku tertahan sementara mataku terpejam rapat. Lalu seperti orang yang kesurupan, kami sama-sama berkelojotan di puncak kenikmatan yang tiada taranya.
Air maniku terasa menyemprot-nyemprot di dalam liang memek Maya yang sempit. Benda itu sendiri juga terasa berkedut-kedut dan menumpahkan cairan lengket dengan sama banyaknya. Vagina Maya jadi terasa begitu penuh.
Lalu kami sama-sama terkapar, dengan keringat bercucuran.
“Ini yang pertama kalinya aku digauli oleh lelaki yang bukan suamiku.” kata Maya sambil membiarkan batang kemaluanku tetap menancap di dalam lubang kenikmatannya.
Aku menjawabnya dengan ciuman hangat di bibirnya yang sensual, ”Sama, aku juga baru sekali ini merasakan bersetubuh dengan wanita yang bukan istriku.” kulingkarkan tanganku di bukit payudaranya yang membusung dan kembali kuremas-remas benda bulat padat itu.
“Ihh,” Maya menggelinjang. ”Kenapa tadi kok enak sekali ya, Yon?” tanyanya.
“Itulah nikmatnya selingkuh,” aku tertawa.
”Kamu kali yang selingkuh. Kalau aku kan sudah dalam proses cerai sekarang.” elaknya.
Aku tertawa. ”Terima kasih ya. Mulai sekarang, kuanggap kamu sebagai istri keduaku.” kukecup lagi bibirnya. ”Kamu mau kan?”
Maya mengangguk. ”Siapa juga yang mau nolak laki-laki jantan sepertimu.”
”Eh, tapi barusan dilepas di dalam, apa nggak apa-apa?” aku kuatir.
“Nggak apa-apa,” sahutnya dengan senyum manis, mata bundar beningnya tampak bergoyang-goyang manja, “Aku ikut KB sejak kelahiran anak kedua.”
“Asyik dong, jadi aman. Kita bisa ngentot kapan saja.” sahutku.
“Aku pasti ketagihan nanti, soalnya punyamu panjang dan gede gitu.” balasnya.
Kata-kata Maya itu membuat nafsuku bangkit lagi. Batang kemaluanku yang masih terbenam di dalam memeknya, terasa mengeras lagi. Maka kucoba menggerak-gerakkannya, ternyata memang bisa dipakai bertempur lagi.
Tak menunggu lama, penisku kembali mondar mandir lagi di dalam liang vagina Maya yang masih banyak lendirnya tapi tidak terlalu becek, bahkan lebih mengasyikkan karena aku bisa mengentot dengan gerakan yang sangat leluasa tanpa kehilangan nikmatnya sedikit pun. Bahkan ketika aku menggulingkan diri ke bawah, dengan aktifnya Maya bergoyang dari atas tubuhku. Setengah duduk ia menaik turunkan pinggulnya, sehingga aku cukup berdiam diri, hanya sesekali menggerakkan batang kemaluanku ke atas, supaya bisa masuk sedalam-dalamnya.
Posisi di bawah ini membuatku leluasa meremas-remas payudara Maya yang bergelantungan indah di atas wajahku. Terkadang kuremas-remas juga pantatnya yang lumayan besar dan padat itu. Tapi mungkin posisi ini terlalu enak buat Maya, karena moncong penisku menyundul-nyundul mantab hingga beberapa kali mentok hingga ke dasar liang vaginanya. Dan itu membuatnya cepat orgasme. Hanya beberapa menit ia bisa bertahan dengan posisi ini. Tak lama kemudian ia memeluk leherku kuat-kuat, seperti hendak meremukkannya.
Lalu terdengar erangan nikmatnya, “Aaaahhhh… Aku keluar lagi, Yon.” Kemudian ia ambruk di dalam dekapanku.
Tapi aku tak peduli bahwa Maya sudah orgasme lagi. Butuh beberapa saat untuk memulihkan vitalitasnya kembali. Tapi aku tak mau menunggu karena batang kemaluanku sedang enak-enaknya mengenjot memeknya. Aku segera menggulingkan tubuh sintalnya sambil kupeluk erat-erat, tanpa mencabut batang kemaluanku dari dalam memeknya yang sudah orgasme kesekian kalinya.
Maya yang sekarang telentang lemas di bawah, memejamkan matanya waktu aku mulai mengentotnya lagi dengan posisi klasik. Tapi itu cuma sebentar saja, karena seiring genjotanku yang semakin cepat dan nikmat, dia kemudian mulai aktif lagi. Maya mendekapku erat-erat sambil menggoyang-goyangkan kembali pinggulnya dengan gerakan meliuk-liuk bagai ular yang kepanasan.
Aku pun makin ganas mengentotnya. Kutusuk dan kutancapkan penisku dalam-dalam, kujelajahi liang vaginanya yang sempit itu dengan kasar. Maya yang menerimanya, tidak mau kalah. Gerakan pantatnya makin lama makin dominan. Membuatku berdengus-dengus dalam kenikmatan yang luar biasa.
“Oooh… enak banget, Yon. A-aku mau keluar lagi.” celotehnya riang.
”Kita barengan lagi yuk.” kukecup bibir tipisnya.
”Mmhhh...” Maya membalasnya dengan rakus, bahkan sampai menggigit bibirku karena saking nikmatnya persetubuhan itu. ”A-ayo, Yon. Tadi itu enak sekali.”
Aku mengangguk. Kuenjot batang kemaluanku dengan kecepatan tinggi, maju-mundur, maju-mundur, sampai akhirnya kami sama-sama berkelojotan lagi Saling cengkeram, saling lumat, seolah ingin saling meremukkan, dan akhirnya air maniku menyemprot lagi di dalam lubang rahimnya, diikuti dengan rintihan lirih Maya yang sedang mencapai orgasme pula.
“Kita kok bisa tiba-tiba begini ya?” cetusnya sambil berbaring terengah-engah, meresapi sisa-sisa orgasme yang masih melanda.
“Iya, dari rumah nggak ada renana. Tapi tadi mendadak ada keinginan. Untunglah kamu nggak menolak. Terima kasih ya, sayang,” ucapku dengan genggaman erat di ujung payudaranya, kemudian kukecup mesra bibirnya yang tipis mungil itu.
Maya tersenyum. Dia memeluk pinggangku sambil berkata perlahan, “Kita harus berterima kasih pada suamiku. Gara-gara dia mau menceraikanku, kita jadi ada acara mendadak begini.”
Aku mengangguk dengan senyum. ”Acara mendadak yang sangat nikmat.” sahutku.
Maya mengangguk. Tangannya membelai kemaluanku yang masih setengah menegang dengan ujung basah. ”Kapan-kapan aku ingin merasakannya lagi, Yon.” bisiknya.
”Bilang saja. Aku selalu siap untukmu. Tubuhmu bikin nagih, tahu!” aku tertawa dan menarik tubuh sintal Maya ke dalam pelukan. Kamiberciuman sekali lagi.
”Istrimu bagaimana?” tanyanya.
”Ya jangan bilang-bilang.” sahutku
Maya tersenyum.
Sore itu kami pulang ke rumah masing-masing, dengan perasaan baru. Dengan alasan rapat mendadak ke luar kota, aku memberi alasan pada istriku. Dia tidak marah karena aku sudah sering seperti itu.
Malamnya, ketika istriku sudah tertidur pulas, aku sempat smsan dengan Maya. Salah satu smsnya berbunyi: “Puas banget! Punyaku sampai terasa seperti jebol. Burungmu gede banget sih. Kapan kita ketemuan lagi?”
Kujawab singkat, “Kapan pun aku siap.”
Satu kisah indah telah tercatat di dalam kehidupanku. Yang tak mungkin kulupakan. Apakah akan ada kisah lain kelak? Entahlah. Kita tunggu saja.
END