Tempat yang mereka pilih untuk berbicara adalah sebuah cafe yang terkenal dengan minuman kopinya. Mika memesan Green Tea hangat untuk diminumnya, sedangkan Nami memesan Ice Cappucino dengan sepotong Muffin coklat.
Mereka duduk di dekat jendela di mana dari sana mereka dapat menyaksikan mobil dan motor berlalu lalang. Mereka memilih tempat itu sebenarnya karena satu alasan sederhana, yaitu karena hanya tempat itu yang belum terisi.
Cafe itu terlihat cukup ramai. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya membasahi Jakarta pagi ini yang membuat cuaca semakin dingin dan tiap orang jadi ingin untuk meminum kopi atau teh hangat.
Tepat di belakang mereka duduk, ada suara sepasang suami istri yang sedang meributkan masalah cat rumah mereka. Sang istri terdengar jelas mendominasi pembicaraan itu, sedangkan sang suami hanya bisa memberi komentar sedikit. Masalah warna cat, masalah merek cat, sampai masalah harga cat dibahas oleh mereka.
Sementara itu di depan mereka, ada seorang pria yang menikmati kopinya sambil membaca sebuah surat kabar hari ini. Di hadapan pria itu ada seorang wanita cantik yang menghisap rokoknya dalam-dalam sambil memainkan pulpennya yang berwarna ungu.
“Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu?” tanya Mika.
“Tiga tahun lebih.” sahut Nami.
“Selama itu kah?” Mika tak percaya.
“Tentu saja,” Nami menyedot minuman dinginnya. “Aku kan tinggal tiga tahun di Jepang. Seperti yang kamu tahu bukan, ayahku memintaku untuk membantunya di sana.”
“Jadi kamu sudah bekerja sekarang?” tanya Mika lagi.
“Tidak juga sih. Aku cuma membantu ayah di sana sekaligus kuliah. Dan sekarang ayahku ingin aku mengelola perusahaannya di sini.”
“Kitagawa Company?” tebaknya.
Nami tersenyum kecut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Iya itu. Aku tidak tahu, Mik. Aku belum mau serius bekerja dulu. Aku masih ingin berpetualang dulu mengelilingi dunia, baru setelah puas aku mungkin akan berpikir untuk bekerja.”
“Ya ampun, Nami. Kamu belum berubah.” sahut Mika.
“Oh ya? Masih cantik kan?” canda gadis itu.
Mika mengangguk setuju. Nami membalasnya dengan senyum makin lebar.
“Oke. Sekarang ada apa kiranya, Nami Kitagawa sampai mengunjungiku?” tanya Mika.
“Aku ingin membuat suatu pengakuan.” lirih gadis itu.
“Nami... Nami...” Mika tersenyum. “Masih belum menyerah ya?”
“Bukan masalah itu. Ini masalah yang berbeda. Sangat berbeda.” sungut Nami.
“Berbeda bagaimana?” Mika tak mengerti.
Nami dengan takut-takut mencoba untuk mengatakannya. “A-aku telah membobol emailmu.”
Mika yang sedang minum sampai tersedak mendengarnya. Ia mengambil tisu dan membersihkan cairan yang tumpah dari mulutnya itu. Ia melihat Nami yang terlihat polos dengan pandangan serius.
“Kenapa kamu lakukan itu?” tanyanya.
“Aku...” Nami tak bisa menjelaskan.
“Aku tidak mengerti kenapa dari dulu sampai sekarang kamu belum bisa berubah. Masih saja seperti dulu.” Mika sedikit melantangkan suaranya. Dia tidak marah, tapi jelas ia tidak suka dengan cara gadis itu, “Aku masih tidak mengerti caramu itu. Kenapa? Kenapa kamu masih melakukan sesuatu semaumu?”
“Kamu marah ya, Mik?” tanya Nami, takut.
“Aku tidak marah, Mi. Aku cuma... Ah... Entahlah.” Mika frustasi. Dia membanting badannya ke sofa sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menunduk kecewa.
“Maafkan aku, Mik, aku tahu aku salah. Aku berbuat itu karena aku masih terobsesi dengan kamu. Tapi aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku, Mik? Bisa kan, Mik?” rengek Nami.
Mika terdiam sejenak.
“Bisa kan, Mik?” gadis itu kembali memohon.
“Aku...” Mika masih terlihat berat.
“Bisa ya?” Nami terus memaksa.
“Oke. Aku maafkan.” sahut Mika pada akhirnya.
Nami mengelus-elus dadanya lega dan tersenyum nakal.
“Tapi aku minta jangan ulangi itu lagi!” ancam Mika.
“Iya. Aku janji tidak akan mengulanginya.” Nami menyanggupi.
“Ya, Walaupun sebenarnya tidak ada sama sekali hal yang penting yang kusimpan pada emailku itu. Tapi aku tetap tidak suka saat ada orang yang menganggu masalah pribadi ini.” jelas Mika.
Nami hanya tertunduk malu. “Iya, Mik. Tapi...” gadis itu menggaruk-garuk kepalanya. Mika melihatnya dengan curiga. “Bukannya aku mau membahasnya, tapi apa kamu sudah bisa menjawab teka-teki dari email terakhirmu itu?” tanyanya kemudian.
“Teka-teki apa maksudmu?” Mika tak mengerti.
“Email dari profesor itu?” jawab Nami.
“Oh yang itu ya?” Mika teringat email yang membingungkan itu.
“Iya, yang itu. Kamu sudah bisa menjawab?” Nami bertanya lagi.
“Email itu bukan untukku. Lagipula, teka-teki yang mana yang kamu maksud?” Mika menganggap email itu biasa-biasa saja. Profesor telah salah kirim.
“Bukan untukmu ya?” Nami jadi heran. “Tapi apa kamu tidak merasa aneh dengan isinya?”
“Iya. Memang aku merasa ada sesuatu pada tulisan itu, tapi aku pikir pak Jay salah kirim.” sahut Mika.
“Oh ya? Kok bisa begitu?” Nami terlihat tak percaya.
“Memang begitu, memang kenapa dengan itu?” Mika semakin bingung.
“Nah. Itulah yang mungkin aku ingin katakan. Tentang sesuatu yang mungkin ada pada tulisan itu. Sesuatu yang belum bisa aku mengerti maksudnya.” ucap gadis itu.
“Apa maksud ucapanmu?” Mika masih tidak mengerti.
“Begini,” Nami memulai menjelaskan semua perkataan yang dikatakan Juna kemarin. Mika menyimak semua dengan penuh ketertarikan. Nami lalu mengeluarkan sebuah catatan kecil sambil mengakhiri ceritanya. “Ini pesannya.”
Mika mengambil catatan kecil itu, lalu membacanya. Awalnya dia tidak tahu apa maksud tulisan itu, tapi tiba-tiba saja matanya membesar dan hampir berteriak histeris.
“Oh my God!” desisnya.
Mika memejamkan matanya untuk mengingat kembali segalanya. Pikirannya menerawang jauh ke masa-masa lampau. Ia menembus waktu dan mencoba kembali untuk merangkai kepingan-kepingan ingatannya tentang sesuatu. Sesuatu yang pernah ia tolak. Tentang sebuah penelitian. Ya. Semua mungkin berawal dari sebuah penelitian.
“Kenapa, Mik?” Nami melihat perubahan pada mimik tambatan hatinya itu.
Mika membuka matanya. “Aku mungkin tahu hal ini, tapi aku tidak bisa menceritakan ini padamu.” ucapnya.
“Kenapa? Apa maksud pesan aneh ini? Aku percaya Yohanes masih hidup
sampai sekarang, temui Dokter Benjamin Ramon.” tanya Nami.
“Aku benar-benar...” Mika menggelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya, “... tidak bisa menceritakan ini.”
“Oh, ayolah, Mik!” desak Nami.
“Tapi...” Mika tampak keberatan.
“Aku mohon, Mik!” gadis itu makin penasaran.
“Ini berbahaya.” jelasnya.
“Aku tidak peduli. Aku ingin tahu. Aku kan sudah membantumu memecahkan
teka-teki itu?” tekad Nami sudah bulat.
“Bukan begitu masalahnya, kau tidak tahu apa maksudku.” Mika kembali menggeleng.
“Apa pun maksudmu, aku hanya ingin tahu. Biarkan aku mengetahuinya, Mik.” gadis itu memaksa.
Mika tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tapi Nami seakan meyakinkannya untuk mengatakan semuanya.
“Ini mungkin berawal dari dua tahun lalu,” Dia mulai bercerita, “Pak Jay atau profesor Jeremiah menemui aku yang waktu itu baru berada di semester lima. Hari itu dia membicarakan soal Revelation.”
“Apa itu Revelation?” tanya Nami.
“Dalam bahasa Indonesia adalah Kitab Wahyu.” jelas Mika singkat.
“Kitab Wahyu?” Nami masih tak mengerti.
“Salah satu kitab yang berada dalam Alkitab.” Mika dengan sabar menjawab.
Nami mengangguk, “Ada apa dengan kitab itu?”
“Bukan soal kitab itu, tapi soal penulisnya.” sahut Mika.
“Penulisnya?” Nami tidak tahu siapa penulisnya.
“Iya. Namanya Yohanes.” Mika menjawab pertanyaannya.
“Yohanes?” Nami berusaha mengingat-ingat.
Mika mengangguk. “Pak Jay waktu itu mengajakku untuk menyelidiki soal Yohanes ini. Sayangnya, aku tidak tertarik sama sekali tentang urusan itu. Tidak menarik sekali untukku waktu itu.”
“Memangnya tentang apa?” Nami bertanya, masih tidak mengerti.
“Ya. Tentang dia yang bernama Yohanes.” jelas Mika.
“Siapa dia? Mengapa perlu menyelidiki tentang dia?” Nami penasaran.
“Tahukah kamu, menurut pak Jay, mungkin Yohanes itu belum mati!” Mika memberinya kejutan.
“Maksudnya apa?” tanya Nami dengan mata melebar.
“Dalam alkitab dijelaskan satu hal yang menarik perhatiannya. Pertama, Sang Juru Selamat yang dia percaya mempunyai 12 orang murid. Kedua belas murid-Nya itu menjadi orang-orang terpilih untuk menyebarkan berita yang mereka sebut Injil. Masalahnya begini, ada banyak fakta yang menyatakan bahwa keseluruh murid-Nya mati karena menyebarkan Injil. Tapi ada satu fakta yang menyebutkan bahwa ada salah satu murid yang tidak akan mati. Kau tahu, Nami, dia tidak akan mati!” jelas Mika panjang.
Nami tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum?” Mika heran.
“Aku merasa aneh saja.” jawab gadis itu.
“Betulkah?” tanya Mika.
“Iya, memang aneh.” sahut Nami.
“Dan karena alasan itulah aku dulu menolak menyelidiki hal itu. Tapi, oh ya...” Mika membuka tasnya dan mengambil sebuah buku. “Kebetulan aku membawanya. Ini yang membuat aku sedikit tertarik saat pak Jay membacakannya.”
Dia membuka sebuah bagian dari buku itu kemudian membacanya. “....Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”
“Maksudnya?” tanya Nami tidak mengerti.
“Murid-murid dari Juruselamat itu meyakini bahwa suatu hari nanti Dia akan datang kembali, dan dari bagian yang pak Jay pernah bacakan tadi menyatakan bahwa salah satu muridnya yaitu yang disebutkan sebagai ‘ia’ yang bernama Yohanes anak dari Zebedeus dikatakan oleh Juruselamat itu sendiri jika Ia menghendakinya, maka Yohanes muridNya itu tidak akan mati sampai hari yang mereka percaya sebagai hari kedatangan-Nya” jawab Mika.
“Bagaimana dia tahu Yohanes tidak akan mati? Ada buktinya?” kejar Nami.
“Justru inilah pertanyaan yang ingin pak Jay jawab,” kata Mika perlahan, “Ada catatan sejarah yang mencatat bahwa semua murid-Nya mati dengan disertai bagaimana mereka bisa mati. Tetapi Yohanes, tak ada satupun catatan mengenai kematiaannya. Ini membuat pak Jay berpikir bahwa Yohanes itu belum mati.”
Nami mengerutkan alis dan terlihat mulai tertarik dengan cerita itu. “Belum ada catatan, bukan berarti dia belum mati bukan?” tanyanya.
“Itulah kebenaran yang ingin pak Jay cari bersamaku dulu. Tapi aku sama sekali tidak menaruh minatku disana sehingga dia menyelidikinya sendiri. Aku curiga, pak Jay sudah menemukan kebenaran itu.” sahut Mika.
“Dan karena itu dia mengirim email untuk memberi tahu kamu?” tebak Nami.
“Aku rasa bukan.” Mika menggeleng.
“Bukan?” Nami bingung.
Mika menerawang, “Kurasa pak Jay mengirim email itu bukan hanya sekedar memberi tahu, tetapi dia ingin aku meneruskan penelitiannya.”
“Memangnya kenapa?” Nami menganggap tidak ada masalah dengan itu.
“Pak Jay telah dibunuh karena penelitian ini.” lirih Mika.
“Apa???” Nami hampir saja berteriak. Tapi untung saja ia berhasil menahan dengan menutup mulutnya.
“Iya. Sekarang aku baru benar-benar tahu seberapa serius masalah ini. Makanya aku tidak mau melibatkan kamu dalam masalah ini. Jadi aku minta, jangan pernah menceritakan masalah ini pada siapa pun. Anggap saja kamu tidak pernah mendengarnya.” Mika meminta.
Nami menggelengkan kepalanya. “Aku mau ikut menyelidikinya.” tegasnya mantab.
“Kamu tidak bisa, Nami. Ini terlalu berbahaya.” sahut Mika.
“Lalu kalau kamu tahu ini berbahaya, kenapa kamu sendiri mau menyelidikinya?” sungut gadis itu.
“Entahlah,” Mika tertegun sendiri, “Aku sendiri masih belum mengerti. Kenapa tiba-tiba saja ada dorongan yang begitu kuat dalam diriku untuk menyelidiki kebenaran ini. Aku belum mengerti. Yang aku ingin tahu seberapa penting fakta yang diselidiki pak Jay sehingga dia harus dibunuh? Dan aku tidak mau ada korban jatuh lagi jika memang ini berbahaya.”
“Aku tidak peduli. Aku ingin ikut menyelidikinya.” Nami membandel.
“Nami...” Mika menatapnya tajam.
“Ayolah, Mik!!!” pinta Nami dengan memelas, “Kali ini saja, turuti permintaanku ini. Aku berjanji tidak akan macam-macam kok. Aku hanya ikut menyelidikinya saja.” matanya makin memelas.
Mika memejamkan matanya sambil menunduk ke bawah. Pikirannya mulai menerawang ke mana-mana tanpa tujuan yang jelas. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia terlihat kebingungan sekali.
“Aku yakin kamu memerlukanku, Mik. Aku yakin bisa membantumu.” tegas gadis itu.
“Aku tahu.” Mika mejawab lirih, terlihat tak yakin. “Aku tahu kamu bisa membantuku. Tapi kamu tahu ini berbahaya. Kamu tahu kenapa? Jika Yohanes memang masih hidup, kenapa tidak ada yang tahu atau tidak ada seorang pun yang pernah membahasnya. Lalu jika memang pun dia masih hidup, kenapa? Kenapa harus ditutup-tutupi? Apalagi sampai ada korban jatuh karena terlalu banyak tahu soal ini?” dia menatap gadis itu.
“Mungkin Yohanes ini orang penting sekali dan dia masih hidup sampai sekarang. Dan ada pihak yang sengaja menyembunyikan kebenaran ini dari dunia. Jadi siapa pun yang mengetahui soal ini harus dibungkam.” Nami menebak.
“Aku mengerti jalan pikiranmu. Tapi aku berpikir ke arah berbeda.” Mika berkata.
“Maksudnya?” Nami tidak mengerti.
“Aku curiga justru ada sesuatu yang lain dari fakta itu. Maksudku begini, saat profesor mulai menyelidiki tentang kematian Yohanes, dia menemukan suatu fakta yang lain yang mungkin tidak berhubungan langsung dengan Yohanes. Tapi, fakta itu adalah fakta yang sebenarnya yang tidak ingin diketahui.” jelasnya yakin.
“Jadi ini bukan soal Yohanes masih hidup atau tidak?” tanya Nami.
“Entahlah. Tapi itu adalah pertanyaan pertama yang harus kita jawab terlebih dahulu. Apakah Yohanes masih hidup atau tidak?” Mika menatap minuman yang mulai dingin di depannya.
Nami menggangguk sedikit. Ia sebenarnya tidak terlalu mengerti maksud Mika, namun sikap yang ditunjukkannya cukup meyakinkan Mika bahwa ia memang mengerti.
“Lalu apa langkah kamu selanjutnya?” dia bertanya.
“Aku harus menyelidikinya.” sahut Mika tegas.
“Baik kalau begitu,” kata Nami, “Tapi bagaimana kamu memulai penyelidikan ini? Kamu tidak tahu apa pun soal ini?”
“Aku hanya perlu mencari data-data dulu yang mendukung penyelidikan ini. Data-data apa pun, baik sebuah infomasi, cerita, mitos, dugaan, pendapat, atau apa pun yang berhubungan soal Yohanes ini.” jawab Mika.
“Cari saja pakai Google,” Nami menyarankan.
“Mudah saja memakai Google. Tapi aku juga perlu, ya setidaknya mendapatkan data berupa fakta yang didapat dari sebuah tempat yang memang menampung semua sejarah dunia atau rahasia dunia. Seperti data dari perpustakaan di seluruh dunia. Dan itu hal tersulitnya.” Mika tidak membayangkan akan keliling dunia untuk mencari data itu.
“Tapi tidak sulit kalau kita menyusup ke arsip-arsip dunia melalui komputer.” Nami menyahut.
“Hacker maksudmu?” Mika bertanya. Ya, itu boleh juga.
“Benar.” Nami mengangguk.
“Tapi aku tidak bisa melakukan itu,” Mika menyadari kemampuan hackingnya cuma biasa-biasa saja, masih belum sampai ke level jenius.
“Tentunya bukan kamu, Mik.” sahut Nami dengan tersenyum lebar.
“Apa kamu mengenal seorang yang bisa melakukan itu?” tanya Mika penuh harap.
“Tentu saja.” Nami mengangguk, “Juna Kitagawa mampu melakukan itu.”
“Adikmu?!” Mika melongo.
“Ya!” Nami meyakinkan.
***
Sebenarnya, Nami adalah gadis yang sempurna. Dia cantik, seksi, putih dan montok. Payudaranya lumayan menantang dengan pinggul dan perut yang ramping. Rambut hitamnya panjang terurai dengan wajah lonjong khas gadis Jepang yang menawan. Tapi entah kenapa, justru itulah yang membuat Mika jadi minder menghadapinya. Dia merasa tidak pantas bersanding dengan gadis itu. Apalagi Nami juga begitu kaya, orang tuanya adalah jutawan yang seperti tidak pernah kehabisan uang. Beda dengan dirinya yang selalu pusing setiap uang kiriman dari orang tuanya datang terlambat. Meski Nami sudah berkali-kali mengatakan tidak akan mempermasalahkan status sosial mereka, Mika masih bingung. Dia merasa berat untuk menerima cinta gadis itu meski dalam hatinya dia tidak ingin menolak.
”Tunggu disini, aku akan menemui Juna.” kata Nami. Sekarang mereka berada di rumahnya yang besar dan mewah bagai istana. Gadis itu pergi ke atas, meninggalkan Mika duduk sendirian di ruang tamu. Nami mau membujuk adiknya itu agar bersedia membantu.
Mika teringat, di sofa inilah dia pernah menyetubuhi Nami, untuk yang pertama sekaligus yang terakhir, saat gadis itu akan berangkat ke Jepang. Nami memang sudah tidak perawan lagi, sama seperti dirinya yang juga sudah tidak perjaka. Itu sudah biasa di kota besar seperti Jakarta ini, jadi Mika tidak mempermasalahkannya. Yang jadi masalah ya itu tadi, Nami terlalu cantik dan kaya. Itulah yang menghambat cinta kasih mereka.
Tidak lama, Nami sudah kembali. Pakaian gadis itu terlihat sedikit kusut dan acak-acakan. “Tunggu sebentar,” katanya sambil mengambil botol air di kulkas dan kembali masuk ke kamar Juna.
“Wah, gimana sih, kok malah masuk lagi,” Mika membatin dalam hati. Rasanya agak lama juga dia kembali menunggu sampai akhirnya Nami keluar sambil nyengir.
”Maaf ya,” ucapnya.
“Gimana, berhasil?” Mika bertanya.
“Masih belum. Juna minta lebih daripada yang biasanya.” jawab Nami.
“Eh, maksudnya?” Mika tidak mengerti.
Tapi dia segera menemukan jawabannya saat melihat Juna keluar dari kamar dengan tanpa memakai celana dan penis yang sudah mengacung tegak. ”Ayo, kak. Masih ngaceng nih.” teriak bocah itu. Tapi begitu melihat ada Mika di ruang tamu, dia buru-buru masuk kembali ke dalam kamarnya.
”Eh, a-apa yang kalian lakukan?” Mika shock.
”Bukan apa-apa,” Nami menjawab enteng. Dia merangkul Mika dan berbicara dengan suara pelan nyaris berbisik. ”Kamu pasti kebagian kok nanti. Kalau tidak begini, Juna tidak akan mau membantu.” jelasnya sambil menggesekkan buah dadanya yang sudah tidak ber-BH ke lengan kurus Mika.
Sebelum pemuda itu sempat memprotes, Nami sudah keburu ngacir masuk ke kamar Juna. “Tunggu disitu ya, jangan kemana-mana.” pesannya sebelum menutup pintu.
“Berapa lama?” Mika bertanya. Dia mulai bisa menerka maksud perkataan Nami. Tapi benarkah seperti itu? Mereka kan kakak-adik?
“Pokoknya nggak lama deh,” sahut Nami sambil tersenyum nakal. Dan pintu pun tertutup.
Sendirian, Mika memikirkan apa yang tengah terjadi di dalam kamar. Sepertinya itu memang tidak mungkin. Mereka masih bersaudara. Kalau sampai melakukannya, berarti... Ah tidak, tidak mungkin. Masa Nami dan Juna melakukan incest? Tapi kalau soal urusan nafsu, siapa yang tahu. Itu bisa saja terjadi. Membayangkannya, anehnya, membuat Mika jadi bernafsu. Perlahan kemaluannya bangkit dan menegak. Mudah-mudahan dia tidak harus menunggu lama seperti kata Nami tadi, karena dia sudah tak tahan. Melihat tubuh Nami yang mulus dan montok, membuat Mika jadi tak sabar untuk segera menyetubuhinya.
Menit-menit berlalu dengan begitu pelan. Mika merasakan penisnya semakin tegak mengencang di balik celana. Sakit sekali rasanya. Apakah mereka sudah selesai? Bagaimana kalau mereka tertidur? Wah, bisa-bisa dia tidak dapat giliran. Karena mendapat pikiran seperti itu, Mika segera bangkit dan pergi ke kamar itu. Dia mengetuk pintunya dengan pelan.
Terdengar suara sahutan Juna dari dalam. “Siapa?” tanyanya lirih, tampak seperti kelelahan.
“Aku, Mika,” jawab pemuda itu, juga dengan pelan.
Pintu terbuka sedikit. Mika bisa melihat wajah bocah itu yang meski agak memerah tapi terlihat puas.
“Sudah nggak sabar ya, Kak?” tanyanya sambil membuka pintu lebih-lebar, menyilakan Mika untuk masuk.
Ternyata Juna sudah bertelanjang bulat. Dia tidak mengenakan apapun di balik tubuhnya yang kurus. Badannya penuh keringat, sementara penisnya maĆz terlihat basah dan agak melemas. Namun yang paling menarik perhatian Mika adalah pemandangan yang tersaji di atas ranjang. Seorang makhluk cantik yang sangat seksi, tergolek bertelanjang bulat dengan tubuh putih nan indah yang penuh dengan keringat hingga memantulkan cahaya kamar dan menciptakan erotisme yang luar biasa. Tubuh indah itu pasti mengundang birahi setiap lelaki normal yang memandangnya. Nami tersenyum agak malu melihat Mika. Dia merubah posisinya yang tadinya telentang lalu kemudian melipat kakinya, menutup vaginanya. Dia juga berusaha menutup payudaranya yang bulat dan montok dengan kedua telapak tangannya.
Mika masih terdiam dan melongo. Beberapa kali dia menelan ludah menyaksikan keindahan tubuh gadis itu. Tingkahnya jelas membuat Nami menjadi grogi.
“Hei, kenapa bengong? Baru pertama lihat cewek telanjang ya?” tanya gadis itu sambil cekikikan.
Dari belakang, Juna mendorong Mika untuk mendekat. ”Ayo, Kak. Ambil jatahmu. Tuh, Kak Nami sudah siap. Penis kakak juga sudah bangun kan?” tunjuknya pada selangkangan Mika yang terlihat sangat menonjol.
Nami tertawa menyaksikannya. Penis Mika memang sudah berdiri sejak tadi. Meski masih terlindung celana dalam, mustahil untuk menyembunyikan ukurannya yang besar dan panjang.
Mika sekarang duduk di ranjang, tepat di sebelah Nami. Pemuda itu menatap si gadis dengan tak berkedip, tidak tahu harus berbuat apa. Nami yang mengerti kekikukan Mika segera bangkit dari tempat tidur.
“Buka semua bajumu, Mik. Kita sama-sama telanjang disini.” kata gadis itu, santai.
Mika pun menelanjangi dirinya. Tak perduli meski ada Juna disitu. Begitu dia menarik turun celana dalamnya, kontolnya yang sudah ngaceng berat langsung melenting ke atas. Nami yang sedang mengelap vaginanya sampai tertawa saat melihatnya.
“Duh, sudah langsung gede gitu ya?” katanya.
Dengan tubuh indahnya yang telanjang, gadis itu mendekat. Nami kemudian mengambil lotion di atas meja dan membalurkannya ke penis Mika yang sudah sangat keras. Rasanya nikmat sekali digosok dengan tangan lentiknya. Lutut Mika sampai gemetar dibuatnya karena saking tingginya hasrat.
“Jun, gemukan ini dari punya kamu,” ujar Nami sambil menatap sang adik.
Juna hanya tersenyum. “Gitu ya?” ujarnya tak peduli.
“Kamu baring deh, Mik” kata Nami kemudian saat penis Mika sudah basah dan mengkilat seluruhnya. Selanjutnya gadis itu mengelap vaginanya dengan menggunakan handuk kecil. “Sebentar ya, sperma Juna banyak banget nih,” bisiknya.
Memang terlihat dari dalam kemaluan gadis itu mengalir turun cairan putih kental yang mengotori paha dan pantatnya yang putih mulus. Vagina Nami juga terlihat agak melebar dengan sedikit bengkak kemerahan. Juna hanya tertawa kecil saja melihat hasil perbuatannya.
Sambil menunggu, Mika mengusap-usap penisnya sendiri, menjaganya agar tetap bangun dan berdiri tegak. Setelah selesai, Nami segera mengambil posisi dengan duduk jongkok di atas penis Mika, siap untuk memasukkan benda itu ke dalam vaginanya yang hangat dan basah. Mika tak berkedip menyaksikan detik-detik itu. Pelan-pelan, Nami menurunkan pantatnya yang bulat dan montok. Pelan-pelan juga kemaluannya menelan kontol Mika yang sudah berdiri dengan begitu kerasnya.
Mika bisa melihat bagaimana bibir vagina Nami membuka dan seolah menghisap penisnya masuk ke dalam. Sluppp! Ekspresi Nami juga mengagumkan. Dia menggigit bibir bawahnya dan terlihat menahan nafas seperti orang sedang buang air besar. Tubuhnya sampai gemetar ketika melewati bagian tergemuk dari penis Mika yang panjang.
“Ehhhhgggg… Duh, besar amat sih burungmu, Mik.” katanya sambil mendesah panjang. Setelah vaginanya menelan habis kontol Mika, Nami berhenti sejenak untuk menarik nafas.
“Enak, Mik?” tanyanya menggoda.
“Enak sekali, makasih ya,” jawab Mika sambil mencium bibir gadis itu.
Nami membalas singkat ciuman mesra Mika, karena kini dia mulai menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun. Ughh… rasanya sungguh nikmat sekali saat dinding vagina Nami yang sempit dan kesat meremas dan memijit penis Mika yang menghunjam dan menancap dalam. Payudara gadis itu yang bulat dan besar ikut berayun mengikuti irama goyangannya. Secara insting, Mika segera menangkap dan menggenggamnya. Dia menghisap dan mencucup putingnya yang mungil kemerahan untuk menambah daya rangsangnya. Dan ternyata Nami sangat suka. Goyangannya kini bertambah cepat dengan erangan dan jeritan yang semakin terdengar keras memilukan.
“Gimana rasanya?” tanya Nami disela-sela goyangannya.
“Enak. Enak banget.” Mika menjawab singkat.
“Kalau mau keluar bilang ya,” katanya sambil tersenyum.
Ugh, cantik benar dia. Cantiknya beda dari biasanya. Yang ini cantik erotis. Bikin ngaceng dan ketagihan. Mika sudah tidak peduli lagi meski Nami baru ngeseks dengan sang adik. Dia juga tidak peduli ada Juna disitu. Mika melirik sesaat ke arah bocah itu. Dilihatnya Juna sudah mengocok-ngocok kontolnya yang kembali menegang.
Mungkin karena terlalu bernafsu atau memang karena goyangan Nami yang maut, Mika sudah sangat kesulitan menahan muntahan spermanya. Padahal biasanya dia bisa bertahan lama. Ini baru lima menit digoyang, dia sudah tidak kuat lagi.
“Nami, a-aku… mau… keluarr…” bisiknya.
Nami segera menghentikan goyangannya dan mencabut vaginanya dari tusukan penis Mika. Pemuda itu mendesah kecewa karena rasa nikmatnya terputus di tengah jalan. Tapi ternyata Nami ingin menelan spermanya. Gadis itu sekarang mengocok penisnya sambil menadahkan mulutnya dihadapan benda itu. Karena sudah tidak tahan, Mika pun memuncratkan spermanya. Banyak sekali yang keluar. Nami langsung menangkap muntahan sperma itu dengan mulutnya. Dia kemudian menelannya tanpa ragu. Saking banyaknya sampai ada beberapa yang mengalir keluar dari mulutnya.
“Gurih, Mik, spermamu,” katanya sambil tersenyum.
Di atas ranjang, Mika terbaring lemas setelah gelombang kenikmatan orgasmenya tuntas. Nami masih dalam posisi setengah menungging di hadapannya. Gadis itu masih memegangi dan menciumi kontolnya yang perlahan mulai melemas.
Juna yang dari tadi menonton, perlahan mendekat dan berkata, “Kak Nami, kakak masih belum tuntas kan?” tanyanya sambil memegangi penisnya yang ternyata sudah menegang kembali.
“Huu.. kamu tuh ya,” hanya itu komentar dari Nami sambil tersenyum melihat penis adiknya yang mengacung tegak menghadap ke lubang kemaluannya.
Juna pun mengambil posisi di belakang Nami, dan Nami yang sudah tahu apa yang akan terjadi tetap mempertahankan posisi setengah menunggingnya. Juna kemudian mengangkat pantat sang kakak agak tinggi dan menariknya ke belakang dengan kasar.
“Hei, pelan-pelan dong.” Nami setengah protes, tapi tetap tersenyum.
Namun senyumnya segera lenyap dan berubah menjadi “Owwww…!” ketika Juna mencobloskan penisnya ke dalam lubang kenikmatannya. Pemuda itu pun segera memompa tubuh indah sang kakak dan mereka pun mulai mengayuh kembali kenikmatan ragawi bersama.
Mika yang berada di hadapan mereka melihat dengan jelas bagaimana ekspresi keduanya. Nami dengan mulut terbuka, alis agak berkerut dan tubuh yang terayun-ayun mengikuti pompaan Juna. Mulutnya mengeluarkan rintihan nikmat, “Ahhh… Aahhhh… Aahhhh…”
Melihat pemandangan seperti itu, Dia pun jadi terangsang kembali. Penisnya yang tadi sudah lemas, pelan-pelan mulai menegang kembali. Mika pun bangkit dan mengangsurkan benda itu ke mulut Nami yang segera disambar oleh si cantik itu. Kini kedua lubang atas bawahnya telah terisi. Dibawah, vaginanya digenjot oleh batang muda Juna dan diatas, mulutnya disumpal oleh penis besar Mika.
”Oughhhh...” Mika mendesah merasakan kemaluannya dikulum dan disedot oleh mulut mungil Nami yang tidak henti-hentinya mendesah karena ditusuk terus oleh sang adik dari belakang dengan cepat dan kasar.
Akibatnya, Nami jadi tidak bisa konsentrasi. Dia menghisap penis Mika sekenanya, terkesan asal-asalan. Bahkan, terkadang dia menggantinya dengan kocokan tangan. Malah semakin lama, ketika genjotan Juna semakin kencang, Nami hanya memeganginya saja, tanpa diapa-apakan.
Tahu kalau Nami kesulitan menangani dua kontol sekaligus, maka Mika terpaksa mengalah. Dia turun dari ranjang dan duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Juna. Dia menyaksikan persetubuhan mereka yang semakin lama semakin membara. Tidak terlihat lagi kalau Nami dan Juna adalah sepasang kakak-beradik yang harusnya saling menghormati. Yang ada malah mereka seperti sepasang suami istri yang sedang diamuk birahi dan bagaimana caranya untuk menuntaskan birahi itu secepat dan senikmat mungkin.
Juna terus menyerang tubuh sintal kakak kandungnya. Sementara Nami, tanpa bisa membalas, cuma bisa menjerit dan berteriak-teriak menerimanya. Hampir sepuluh menitan mereka berada dalam posisi seperti itu. Sepertinya mereka akan mencapai puncak secara bersamaan. Genjotan Juna kini semakin cepat, sementara rintihan Nami juga semakin nyaring dan melengking. Sampai akhirnya Juna dengan suara agak tersengal berkata, ”Kak, aku sudah hampir sampai.”
Mendengar itu, Nami memutar-mutar pantatnya cepat sekali, mengejar kenikmatan yang ingin diperolehnya bersama. Sampai akhirnya, dalam satu hentakan keras, Juna membenamkan kontolnya dalam-dalam.
“Aarrgghhhhhh…” mereka berteriak hampir berbarengan.
Tubuh montok Nami bergetar hebat, wajahnya menengadah dengan mata terpejam dan alis berkerut. Mulutnya terbuka lebar sambil memekik, “Aahhhhh… Aaaahhhhh… Aagghhhh...” berkali-kali. Pantatnya didorong-dorongkan ke belakang seolah ingin menelan habis seluruh penis Juna yang masih tersisa. Mereka berhasil mendapatkan puncak kenikmatan secara berbarengan.
Setelah itu, tubuh mereka ambruk, saling bertindihan. Juna mencabut penisnya lalu kemudian berbaring telentang disamping sang kakak yang masih tengkurap. Mereka berdua nampak tersengal-sengal dan berusaha mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Nami kemudian memutar badannya, dia kini berbaring telentang. Dibiarkannya tangan nakal Juna merambat untuk meraba dan meremas-remas payudaranya yang bulat membukit.
Mika yang kembali bergairah, bangkit mendekati ranjang. Tidak perduli dengan Nami yang masih kelelahan, dia naik ke atas tubuh gadis itu dan menempatkan kontolnya tepat di depan vagina Nami yang masih tampak basah. Cairan putih mengalir keluar dari lubang sempitnya, yang meski tidak sebanyak tadi tapi masih cukup jelas terlihat. Pelan, Mika menusukkan kontolnya. Nami menggigit bibir saat menerima serangan mendadak itu.
“Auw, Mik. Kamu tuh... masukin barang tanpa minta izin,” katanya berpura-pura merajuk,
“Habis masih pengen sih,” sahut Mika sambil menciumi bibir Nami dengan gemas. Gadis itu membalas ciumannya dan mereka pun berciuman cukup lama sambil Mika mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya pelan.
“Lebih cepat dong.” pinta Nami, tersenyum.
Mengangguk, Mika pun mulai menaik-turunkan pantatnya lebih cepat. Di bawahnya, Nami mengimbangi gerakannya dengan sempurna. Dia menjepitkan kakinya dipinggang Mika sambil menggoyang-goyangkan pantatnya memutar. Benar-benar gadis yang luar biasa, setelah bersetubuh berkali-kali pun, dia masih bisa mengimbanginya.
Awalnya Mika mengayuh dengan pelan dan tenang. Namun seiring dengan bertambahnya rasa nikmat di penisnya, dia pun mulai meningkatkan tempo genjotan pantatnya. Rasa Nikmat itu menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya makin cepat menggenjot tubuh sintal gadis itu. Rani pun bergerak semakin erotis. Dia menggoyang-goyangkan pantatnya hingga membuat kontol Mika bagai dipilin dan diperas. Untungnya pemuda itu masih bisa menahan deraan kenikmatannya sehingga tidak sampai muncrat cepat seperti tadi. Mika sudah bertekad akan mengeluarkan spermanya dalam vagina Nami agar proses persetubuhan itu menjadi lengkap.
Didengarnya, Nami mulai mengeluarkan rintihan-rintihannya lagi. Gadis itu juga memegangi kedua bongkah pantatnya untuk mengatur gerakan penis Mika saat menusuk kemaluannya. Dia seperti ingin agar kontol Mika menggosok daerah tertentu dalam vaginanya. Daerah yang agak kasar dan menonjol namun menimbulkan efek yang sangat nikmat.
Gesekan itu membuat ujung penis Mika jadi berdenyut-denyut. Dia semakin sulit untuk menahan desakan birahinya. Karena merasa akan segera keluar, pemuda itu pun mempercepat sodokannya. Dan ternyata hal itu juga membuat rintihan Nami jadi semakin keras pertanda semakin dekatnya gadis itu dengan puncak kenikmatannya.
Akhirnya, dengan satu teriakan keras, ”Aaarrrggghhhhhhhh…” tubuh Nami mengejang dan memeluk Mika erat. Dia mencengkeram pantat pemuda itu dan menariknya keras, berharap Mika akan menusukkan penisnya dalam-dalam.
Mika merasakan vagina Nami berkedut kuat saat menembakkan cairan cintanya. Kedutan itu membuat kontol Mika serasa dijepit dan remas-remas hingga dia benar-benar tak mampu menahan diri lagi. Menggeram keras, dia pun orgasme. Kontolnya menyembur kencang memuncratkan segala isinya, mengisi vagina sempit Nami hingga benda itu serasa becek dan begitu penuh.
Terengah-engah penuh kepuasan, Mika pun ambruk dalam pelukan gadis itu. Diciumnya bibir Nami yang tipis dengan mesra dan sayang. “Terima kasih, Mi,” ungkapnya jujur. Nami hanya tersenyum dan balas mencium.
Mika mencabut penisnya dan menggeliat turun dari tubuh sintal gadis itu. Spermanya tampak mengalir keluar dari dalam vagina Nami, lumayan banyak juga hingga membasahi bantal dan sprei. Dia berbaring disamping gadis itu dengan tubuh lunglai tapi puas. Jam telah menunjukkan pukul 12.30. Itu artinya sudah sejam lebih dia berada di kamar ini.
BERSAMBUNG