"Hei, kamu mau apa?" Diana menepis tangan Thomas yang mencoba meraba payudaranya.
"Ayo dong, Na, kita kan sudah lama nggak ML. Aku pengen nih." kata Thomas sambil menangkap payudara wanita itu dan meremasnya cepat.
"Ih, nggak mau ah. Aku capek. Lagian, kita kan masih di jalan!" tolak Diana halus. Dia berusaha melepas tangan sang kekasih, tapi tidak bisa.
Merasa menang, Thomas makin bernafsu meremas payudara wanita itu. Dia bahkan sampai membuat Diana mepet ke pintu mobil.
"Thomas, jangan... Agghhhh!" kata-katanya terpotong.
Sambil terus menyetir, Thomas sekarang menyingkap kaos hitam Diana yang ketat ke atas dan mulai menelusup ke balik BH wanita cantik itu. Dia meremas-remas payudara Diana yang bulat dan putih mulus secara langsung. Bisa dirasakannya permukaan benda itu yang empuk dan kenyal, seperti terbuat dari karet halus. Juga putingnya yang mungil menggemaskan, yang segera dia pilin dan pijit-pijit pelan.
“Oughh,” Diana melenguh. Meski tidak rela, tak urung dia menikmati ulah laki-laki itu. Perlahan nafsunya terpancing. Rontaan gadis itu berangsur-angsur melemah. Sementara jantungnya, berdetak makin kencang.
Nafas Diana jadi makin memburu manakala jari-jari nakal Thomas beralih dari dada menuju ke bawah pahanya. Laki-laki itu menyingkap rok pendeknya hingga paha dan celana dalam Diana terlihat dengan jelas.
"Kamu tambah nafsuin aja, Na." kata Thomas sambil menaruh tangannya di paha wanita itu dan mulai mengelusnya mesra.
Ketika tangannya sampai di pangkal paha Diana, dia meremasnya pelan hingga membuat Diana spontan merintih dan menggeliat. Reaksi sang kekasih membuat Thomas jadi makin bernafsu. Perlahan, jari-jarinya mulai menyusup ke pinggiran celana dalam wanita cantik itu dan bergerak liar disana, di permukaannya yang halus tak berbulu.
“Aighhh…” mata Diana terpejam sambil mendesah nikmat saat merasakan jari-jari nakal Thomas mulai menyentuh ujung klistorisnya. Jari-jari itu terus merambat dan semakin jelas tujuannya, lubang kemaluan Diana yang hangat dan basah. Jari-jari itu terus mendekat dan... Oughhh! Rasanya seperti tersengat waktu jari itu menusuk masuk menyibak bibir vaginanya. Diana segera meremas payudara kirinya yang telah terbuka sebagai pelampiasan rasa nikmatnya.
Dari sebuah gang, tampak seorang pengamen dengan pakaian lusuh berjalan pelan sambil membawa sebuah gitar. Saat itu ia sedang menghitung uang hasil jerih payahnya mengamen selama seharian. Karena berjalan tanpa melihat ke depan, tanpa ia sadari, langkahnya sudah berada di bibir jalan raya. Tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, pengamen itu terus maju. Tidak menyadari saat sebuah mobil yang melaju kencang dari arah kiri, menuju tepat ke arahnya.
Thomas yang sedang asyik mengocok vagina sempit Diana, baru menyadari disaat terakhir. Dia segera membanting setir dan menginjak rem kuat-kuat. Suara decit ban yang bergesekan dengan aspal menyadarkan sang pengamen dari lamunan. Menjerit ketakutan, laki-laki itu segera meloncat menghindar. Momen yang tepat, ditambah sedikit keberuntungan, berhasil menyelamatkannya dari tabrakan maut yang bisa merenggut jiwanya. Dia selamat. Tubuhnya hanya terserempet sedikit oleh bagian depan mobil. Meski sempat terjatuh, ia masih sanggup untuk berdiri lagi. Uang recehan hasil mengamennya yang terlepas dari genggaman tampak berserakan di aspal. Sementara gitar yang ia bawa, hancur terlindas ban mobil Thomas.
“Oh, tidak… gitar kesayanganku.” ratap pengamen itu sambil melihat gitarnya yang sudah rusak.
“Oh, tidak… gitar kesayanganku.” ratap pengamen itu sambil melihat gitarnya yang sudah rusak.
Thomas turun dari mobil dengan ekspresi panik. Ia menghampiri pengamen itu dengan perasaan was-was. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya.
“Bapak nggak bisa nyetir mobil ya?” umpat sang pengamen.
“Maaf, lha kamu muncul tiba-tiba. Untung aku sempat mengerem tadi.” sahut Thomas.
“Bapak memang tidak melukaiku, tapi lihat gitar kesayanganku. Padahal itu satu-satunya mata pencaharianku.” ucap sang pengamen, meratapi gitarnya yang rusak parah.
Melihat keadaan pengamen tersebut, membuat Thomas jadi simpati. “Begini saja, aku akan mengganti gitarmu.” ujarnya sambil mengeluarkan lembaran uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada sang pengamen.
Pengamen itu dengan malu-malu menerimanya.
“Belilah gitar yang baru. Aku rasa uang itu lebih dari cukup untuk membeli sebuah gitar yang baru.” kata Thomas.
“Tapi gitar itu sudah sangat lama hidup denganku,” ucap sang pengamen.
“Kalau begitu… Tunggu sebentar, aku punya sesuatu untukmu.” Thomas kembali ke mobilnya dan mengambil sesuatu dari dalam laci mobil. Diana yang bertanya tidak ia hiraukan.
“Ambil ini.” Thomas memberikan sebuah benda kecil persegi panjang pada sang pengamen. Sebuah harmonika yang terbuat dari lapisan bahan perak.
“Harmonika?” tanya sang pengamen.
“Ya. Tadi pagi kebetulan aku menemukannya di gudang rumahku. Karena aku tidak begitu mengerti dengan musik, jadi lebih baik kuberikan saja harmonika ini padamu.” jelas Thomas.
Sang pengamen menerima harmonika itu dengan senang hati. Benda itu cukup menarik perhatiannya karena kilauan lapisan perak yang menjadikan benda itu terlihat sangat menarik.
“Baiklah, aku akan menerimanya.” kata sang pengamen.
“Kalau begitu, permasalahan kita selesai. Aku harus pergi karena sedang terburu-buru. Dan sebaiknya kamu kalau jalan lebih hati-hati. Bisa jadi lain kali nyawamu tidak selamat.” pesan Thomas.
“Ya-ya, aku mengerti.” sahut sang pengamen.
Thomas masuk lagi ke dalam mobilnya. Di sebelahnya, Diana yang sudah menunggu terlalu lama, segera menunduk dan membuka resleting celana Thomas yang sudah nampak membengkak besar. Sementara Diana menjilati penisnya, Thomas menghidupkan mesin dan segera melaju pergi dari tempat itu, meninggalkan sang pengamen berdiri sendirian di kegelapan malam.
****
Beberapa saat kemudian, pengamen tadi sudah berjalan di sebuah gang yang sepi. Ia mencari sebuah lokasi yang bisa dijadikan sebagai tempat beristirahat. Ketika dia sedang mengumpulkan beberapa buah kardus dari tempat sampah, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang. Pengamen itu pun kaget, kemudian menolehkan wajahnya ke belakang. Kelihatannya pengamen tersebut sudah mengenal orang yang menepuknya.
“Hai, Bog. Sepertinya hari ini kau sedang senang?” tanya pengamen itu basa basi.
“Aku tidak perlu basa basimu. Aku kemari untuk menagih upetimu.” kata pria itu sambil mencengkram baju pengamen tersebut.
“Aku mengerti, tapi hari ini aku sedang sial. Gitarku rusak karena ditabrak mobil.” Sahut sang pengamen.
“Aku tidak butuh alasanmu. Aku tadi memang lihat kau hampir ditabrak mobil, tapi aku juga lihat kalau orang itu memberimu uang. Jadi serahkan uang itu padaku sekarang.” kata pria yang bernama Boggi itu sambil memaksa sang pengamen agar menyerahkan uangnya.
“Tapi aku perlu uang itu untuk membeli gitar yang baru,” sahut sang pengamen.
“Aku tidak peduli, Nang. Sudah dua hari kau belum membayar upeti padaku.” ucap Boggi.
“Kumohon, jangan...”
Mereka berdua saling berebutan uang. Karena merasa kesal tidak dituruti kemauannya, Boggi memukul perut dan wajah pengamen yang bernama Nanang itu. Nanang tersungkur jatuh, sementara uangnya berhasil direbut oleh Boggi.
“Hahaha... ternyata banyak juga. Seharusnya kau berikan dengan suka rela, jadi aku tidak sampai memukulmu.” kata Boggi sambil menghitung uang yang ia dapat dari Nanang.
Nanang mencoba duduk sambil bersandar di dinding. Ia kemudian mengeluarkan harmonika yang ia peroleh dari Thomas tadi. Ia bermaksud memainkan harmonika itu sebagai pelampiasan nasibnya yang selalu jelek. Dilihatnya Boggi membelakanginya sambil terus menghitung uang.
“Sepertinya nasib baik tidak pernah berpihak padaku.” ujar Nanang pelan.
Kemudian ia mulai meniup harmonika itu perlahan-lahan. Alunan musik harmonika keluar dengan nada putus-putus, karena ia sama sekali belum pernah memainkan sebuah harmonika. Kemudian ia meniupnya lagi, dan kali ini musik yang terdengar membuat Boggi merasa aneh.
“Hei, apa yang kau lakukan, kau membuat telingaku sakit!” kata Boggi yang sudah selesai menghitung uang.
Nanang sama sekali tidak mempedulikan ucapan Boggi, ia mengira kalau Boggi hanya mengejeknya yang tidak pandai bermain harmonika. Dia pun semakin dalam meniup harmonikanya. Dan kali ini, musik itu semakin menyakiti telinga Boggi.
“Nang, hentikan!!” teriak Boggi sambil menutupi kedua telinganya.
Nanang kemudian berdiri. Dia merasa heran melihat apa yang terjadi pada Boggi. Tapi bukannya berhenti, dia malah terus memainkan harmonikanya. Nanang semakin serius meniupnya. Boggi semakin tidak tahan mendengar musik yang keluar dari harmonika itu. Meskipun ia sudah menutup telinganya, musik tersebut tetap terdengar di telinganya.
Nanang semakin asyik meniup harmonikanya, sementara Boggi semakin kesakitan dan darah mulai keluar dari kedua telinganya.
“Hentikaaaaaannnn!!!” Boggi berteriak. Dia tidak sanggup lagi mendengarkan musik itu. Gendang telinganya pecah. Akhirnya tubuhnya tersungkur ke tanah dan tak bergerak lagi. Boggi tewas!
Nanang menghentikan permainan harmonikanya setelah melihat tubuh Boggi yang sudah tergeletak telungkup tidak bernyawa. Ia perlahan mendekati tubuh laki-laki itu dan menendang-nendangnya pelan.
“Bog, kau sedang main-main kan?” kata Nanang. Dia kemudian membalikkan tubuh Boggi dan terkejut ketika melihat telinga laki-laki itu yang mengeluarkan banyak darah.
“Apa yang terjadi dengannya?” Nanang memperhatikan harmonika yang ia pegang. “Harmonika ini… tidak mungkin harmonika ini membunuhnya!”
Tanpa pikir panjang, Nanang mengambil uang miliknya tadi dari saku celana Boggi, kemudian ia berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.
****
Nanang berlari hingga tanpa sadar sudah tiba di sebuah kompleks perumahan yang sepi. Ia masih memperhatikan harmonikanya dan tidak percaya kalau benda mungil itu bisa mengakibatkan nyawa melayang. Ia hendak membuangnya ketika tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampirinya. Anak itu keluar dari rumah sederhana yang ada di depan belokan.
“Apa om pandai bermain harmonika?” tanyanya.
Dari belakang, ibu anak itu muncul. “Sayang, jangan bicara dengan orang asing.” kata Karina. Suaranya terdengar lembut, selembut wajahnya yang manis dan cantik.
“Tapi, Ma, aku ingin mendengarkan om ini bermain harmonika,” rajuk si bocah.
Entah apa yang mendorong Nanang, melihat tubuh Karina yang putih dan mulus, dia jadi ingin memainkan harmonikanya. Nanang segera meniupnya. Kali ini dengan sangat mahir hingga Karina dan anaknya tadi terkesima dibuatnya. Si bocah melongo mendengarkan alunan nada harmonika yang dimainkan oleh Nanang. Sementara Karina tampak mulai pucat dan berkeringat dingin. Nafas wanita itu perlahan memburu.
“Ahh... musik apa yang kau mainkan? A-aku... Sssshh…” Karina merasakan gerah yang tidak wajar tiba-tiba menyerang tubuhnya. Ia merasakan jantungnya berdetak makin kencang, darahnya makin berdesir dan dirasakannya selangkangannya pun mulai basah. Cairan pelumasnya keluar tanpa bisa ia kendalikan.
Dilihatnya Nanang, sang pengamen, juga mengalami hal yang sama. Sambil terus meniup harmonikanya, laki-laki itu tampak mulai gelisah dan tidak tenang. Kakinya tertutup rapat, seperti berusaha menyembunyikan penisnya yang mulai mengeras menyesakkan celana. Sementara matanya, memandang nanar pada Karina, seperti ingin melahap tubuh mulus wanita cantik itu bulat-bulat.
Nanang menyadari, ini pasti karena pengaruh suara harmonikanya. Benda itu memang aneh. Tadi bisa membunuh orang. Sekarang malah membuat orang jadi bergairah. Benar-benar barang yang unik. Nanang merasa beruntung memilikinya. Tapi, meski sudah tahu apa yang sedang terjadi, dia masih belum berani bertindak apapun. Dia berusaha memendam birahinya yang tiba-tiba melanda.
Begitu juga dengan Karina. Beberapa kali ibu muda cantik itu mengelap keringat di dahinya dengan saputangan. Ia heran, mengapa dalam situasi seperti ini birahinya datang tiba-tiba. Mata wanita itu merem-melek, Karina sudah tidak tahan lagi dengan libido yang semakin bergolak cepat dalam tubuhnya. Dengan nafas yang semakin cepat, dia berusaha mengendalikan perasaannya, meski itu terbukti sangat sulit sekali. Akibatnya, sejenak suasana jadi sempat hening. Yang terdengar hanya suara alunan harmonika yang semakin tidak teratur dan suara tubuh yang bergeser sedikit demi sedikit.
Karina mendekati Nanang dan berbisik, “Mas, ssshh… K-ke rumah yuk. Kita lanjutin di kamar.” selesai berkata begitu, ia langsung menyeret pria dekil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sementara anaknya, ia tinggal begitu saja di tepi jalan. ”Ini, buat beli es!” Karina melemparkan uang lima ribuan kepada si bocah. Anak kecil itu menerimanya dengan senang hati dan segera menghilang ke game center terdekat.
”Mas, tolongin saya. Saya sudah nggak tahan.” desis Karina saat mereka sudah di dalam kamar.
“Ahh, b-baik, mbak.” Nanang yang juga tak tahan segera mendekatkan tubuhnya ke arah Karina yang sudah memeluknya. “Aku juga pengen menyetubuhi mbak.” lanjutnya sambil meletakkan tangan di paha wanita cantik itu dan bergerak menyingkap rok hitam hitam Karina yang pendek selutut hingga paha mulus gadis itu terlihat. “Tidak tiap hari aku bisa meniduri orang secantik mbak.” bisiknya dengan tangan yang satu lagi meraih payudara kiri wanita itu dan meremasnya pelan dari luar bajunya.
“Cepat, Mas. Sebentar lagi suamiku pulang.” desis Karina dengan wajah merah merona. Dia terlihat makin cantik. Dibiarkannya tangan kasar Nanang mengelus-elus kulit pahanya. Bahkan saat tangan itu masuk ke sela selangkangannya, dia juga tidak menolak. Yang ada malah mata Karina menjadi semakin sayu, tanda kalau dia menikmati sentuhan laki-laki itu.
“Mas, aku… Mmpphhmm!” pekik Karina saat Nanang mendekap erat tubuh sintalnya dan memagut bibirnya dengan ganas. Karina menyambut ciuman pria itu dengan tak kalah agresif. Bibir mereka saling menindih dan melindas. Lidah mereka yang basah saling membelit dan memelintir hingga menciptakan ludah yang sangat banyak.
Nanang segera menghisapnya karena itu makin menambah kenikmatan ciuman mereka. Tanpa melepas cumbuannya, tangannya mulai mempreteli satu per satu kancing baju Karina hingga menyembullah dua buah dada ibu muda yang cantik itu. Payudara itu masih kelihatan bulat dan padat, ukurannya juga begitu besar hingga bra putih tipis yang membungkusnya sampai kelihatan tidak muat.
Karina yang sudah larut dalam birahi, menggerakkan tangannya, melepaskan bra yang tidak berguna itu. Selanjutnya, dia memberikan payudara besarnya yang sudah terburai keluar pada Nanang, meminta laki-laki itu untuk meremas dan menghisap sesukanya.
Mulut Nanang yang tadinya mencium bibir tipis Karina, dengan cepat beralih. Dia sekarang ganti mencucup dan melumat payudara Karina yang sudah terbuka lebar. Terutama putingnya yang mencuat kemerahan, dengan penuh nafsu Nanang menjilat dan mengulumnya. Sementara tangannya yang lain, dengan lincah menarik turun resleting rok wanita cantik itu dan meloloskannya ke bawah hingga paha jenjang Karina yang putih mulus jadi tidak tertutup lagi.
“Indah sekali susumu, mbak.” gumam Nanang sambil menjilat puting Karina yang berwarna coklat kemerahan.
”Oughh... Sshhhsss...” Karina yang didesak atas bawah, mendesah-desah penuh kepuasan. Wajah cantiknya menengadah saat merasakan kenikmatan menjalari seluruh tubuh mulusnya. Ia pasrah saja saat sambil terus meremas dan mencium, Nanang menggiringnya ke atas tempat tidur. Laki-laki itu membaringkan tubuh sintalnya ke ranjang, telentang.
Nanang tak berkedip memandangi payudara Karina yang sekarang terekspos dengan jelas. Kedua gunung kembar itu nampak naik turun menggiurkan seirama nafas pemiliknya yang semakin memburu. Putingnya yang mencuat tampak sudah sangat basah. Karina kini tinggal mengenakan celana dalam saja, itupun sudah agak miring ke kiri hingga Nanang bisa melihat sedikit kemaluan wanita itu yang mungil kemerahan. Benda itu nampak mulus dan bersih. Karina sepertinya rajin mencukur bulunya.
”Ayo, Mas. Tunggu apalagi?” pinta Karina. Dia sudah gatal ingin vaginanya dimasuki oleh penis besar sang pengamen.
Tapi, apakah memang besar? Dilihat dari tonjolannya sih... iya. Dan itu memang terbukti saat sambil menyeringai mesum, Nanang membuka sabuknya dan menurunkan resleting celananya.
“Ough!” Karina langsung terhenyak begitu melihat penis Nanang yang menyeruak keluar dari balik celana dalamnya. Benda itu berukuran sangat besar. Juga panjang. Kepalanya yang gundul tampak tidak disunat. Urat-urat nadi halus bertonjolan di permukaannya yang hitam legam. Selegam bulu-bulunya yang tumbuh sangat lebat. Saat mendongak, penis itu terlihat menakutkan sekaligus mengagumkan.
Nanang meraih tangan Karina dan menyuruh ibu muda itu untuk menggenggam penisnya. ”Hisap ya, mbak.” pintanya tanpa sungkan sambil mendekatkan wajah cantik Karina ke selangkangannya. Ujung penisnya sekarang cuma berjarak satu centi saja dari bibir tipis sang ibu muda.
Karina yang juga menginginkan penis itu segera menjulurkan lidahnya dan menjilat. Ia rasakan betapa kaku dan kerasnya benda itu. Pasti akan sangat nikmat sekali saat penis itu menusuk dan mengobrak-abrik vaginanya. Membayangkannya membuat Karina jadi makin bernafsu. Dia segera membuka mulutnya, dan menelan penis hitam itu. Karina mengulum dan menghisapnya habis-habisan hingga pipinya tampak menggembung menggairahkan.
”Oughhhhh...” Nanang mendesah keenakan. Gairahnya semakin memuncak manakala matanya bertemu mata Karina yang sesekali memandang ke atas. Wanita itu tampak makin cantik. “Uugghh… Hisapan mbak memang enak banget.” rintihnya.
Sambil terus mengulum, Karina kini juga meremas-remas payudaranya sendiri, membuat benda bulat padat itu jadi makin mengeras dan mencuat. Terlihat semakin menggiurkan. Tapi wanita itu ternyata masih belum puas. Tangannya terus turun ke bawah, merambat ke celah kecil diantara kedua pahanya dan masuk ke balik celana dalamnya yang mungil. Nampak tangan Karina bergerak-gerak disana untuk mengusap dan menggelitik vaginanya.
Nanang yang sudah tidak tahan, menarik lepas penisnya dari mulut sang ibu muda. Dia tidak mau moncrot di mulut Karina. Nanang ingin menyetubuhi wanita cantik itu, merasakan betapa empuk dan halus tubuh montoknya.
Nanang membaringkan kembali tubuh mulus Karina ke atas ranjang dan mendekapnya dengan mesra. ”Sekarang ya, mbak. Aku sudah nggak tahan.” bisiknya sambil menciumi payudara montok wanita itu.
“Iya, mas. Aagghh… lakukan cepat!” desah Karina dengan mata terpejam. Nanang sedang mengemut dan menyedot-nyedot putingnya sekarang.
Ia pasrah saja ketika tangan pria dekil itu menarik lepas celana dalamnya. Bahkan Karina ikut menggerakkan kakinya seolah ingin membantu mempercepatnya. Kini tubuh sintalnya sudah sepenuhnya telanjang. Terlihat sangat indah dan menggiurkan. Terutama vaginanya. Saat Karina membuka kakinya lebar-lebar, benda itu terlihat begitu menggairahkan, sangat indah dan mempesona.
“Bersih banget, mbak.” ucap Nanang sambil mengusap pelan bibir vagina Karina yang basah kemerahan. “Pasti rasanya enak sekali.” lanjutnya sambil menempatkan diri diantara kedua paha wanita cantik itu. Satu tangannya memegangi penisnya yang sudah mengacung dahsyat dan mengarahkannya ke celah selangkangan Karina yang sudah sedikit terbuka.
”Aihhh...” rintih sang ibu muda saat kepala penis Nanang yang mirip jamur, menyentuh lubang vaginanya. Yang bikin tak tahan adalah, bukannya langsung menusuk, Nanang malah menggesek-gesekkannya terlebih dulu, seperti ingin bermain-main, hingga membuat Karina jadi menggeliat dan mendesah-desah tak tahan karena rasa geli-geli nikmat yang menyerang selangkangannya.
“Masukin, Mas. Aagghhh… Cepat masukin. Aku mohon!” desahnya sambil meremasi payudaranya sendiri.
Nanang menyeringai melihat reaksi Karina. Dia yang masih ingin menggoda wanita cantik itu, terus menggesek-gesekkan penisnya. Kalaupun menusuk, itu cuma sebatas ujungnya saja, lalu menariknya lagi. Begitu terus hingga membuat Karina jadi merintih-rintih dan memohon lebih hebat.
”Ayo, Mas... masukin! Oughhh.. masukin! Cepat!” desis wanita cantik itu.
Nanang akhirnya jadi kasihan. Menggeser tubuhnya lebih mendekat, dia pun menekan penisnya. Nanang mendorongnya pelan hingga benda hitam panjang itu masuk seluruhnya, menembus vagina Karina yang sempit dan hangat, dan membiarkannya bersemayam disana untuk beberapa saat.
Karina mendesah dan membeliakkan mata saat merasakannya”Oughhh... ya begitu, mas. Oughhhh... Ssshhhhh... Cepat goyang! Cepat!” pintanya sambil memutar-mutar pinggul.
Berpegangan pada payudara Karina yang besar dan mantab, Nanang pun mulai menggoyang. Dia menggerakkan pinggulnya maju mundur untuk menggenjot dan menusuk tubuh sintal Karina yang putih mulus menggairahkan. Rasanya sungguh nikmat sekali. Vagina Karina terasa sangat sempit dan kesat, membuat penis Nanang bagai dipijit dan dipilin-pilin pelan. Sungguh berbeda dengan vagina pelacur pinggir jalan yang biasa menjadi langganannya, yang sudah sangat lemas dan longgar, hingga tidak terasa menggigit sama sekali.
”Oughhhh...” mendesah keenakan, pengamen itu pun menyodokkan penisnya makin keras. Juga makin dalam. Dan kecepatan kocokannya sekarang juga bertambah menjadi dua kali lipat hingga sepasang payudara Karina ikut bergoncang-goncang liar mengikuti irama sentakan tubuhnya, padahal Nanang sudah memegangi kedua benda itu dengan begitu kuat, tapi tetap saja tak berhasil.
“Ughhh.. Ughhh.. Hhhssss..” Karina megap-megap mengeluarkan desahannya. Dia terlihat makin menggairahkan dengan ekspresi seperti itu. Apalagi sekarang kedua pipinya yang putih jadi bersemu merah akibat menahan rangsangan, membuatnya jadi makin terlihat cantik.
Nanang sekarang mengangkat salah satu paha Karina ke atas dan disangkutkan ke bahunya. Dia menusuk wanita itu dari samping. Kali ini terasa lebih mudah, juga lebih nikmat, karena lubang intim sang ibu muda sudah menjadi sangat terbuka dan juga sudah begitu lembab. Benda itu sudah berubah menjadi lorong gua basah yang sangat menggairahkan.
”Ughh.. Ughh..” bernafas pendek-pendek, Nanang melanjutkan genjotannya. Dia bisa merasakan pahanya yang berbulu bergesekan pelan dengan paha mulus Karina. Juga bokong wanita itu yang bulat menggiurkan. Nanang segera meremas dan mengusap-usapnya penuh nafsu sambil terus mempercepat goyangannya.
”Aihhshssss...” merasa kegelian, Karina menggelinjang. Dia mendesah setiap kali sang pengamen yang tidak dikenalnya itu menyentakkan pinggulnya keras-keras. Rasanya kemaluannya bagai mau robek. Penis Nanang menusuk dalam sampai ke pangkal vaginanya. Rasanya begitu nikmat hingga sebagai pelampiasan, Karina cuma bisa meremas-remas bantal atau kadang kedua payudaranya sendiri.
Genjotan Nanang yang semakin kuat dan cepat akhirnya membuat Karina jadi tidak tahan lagi. ”Aaarrgghhhhhhhh...” mengerang hebat, wanita itupun orgasme. Tubuh sintalnya meliuk, pinggangnya yang ramping melengkung kuat seiring rasa nikmat yang menyerang seluruh tubuhnya. Beberapa kali badannya tersentak-sentak saat cairan kenikmatan berhamburan dari dalam liang kemaluannya, memenuhi seluruh lorongnya, hingga akhirnya dia ambruk kehabisan tenaga dengan tubuh lemas namun puas.
Nanang yang juga merasa hampir, menggenjot tubuhnya makin bersemangat. Dia remas-remas payudara Karina yang bulat membusung sebagai penambah daya rangsangnya. Tak menunggu lama, dia pun orgasme. Nanang buru-buru mencabut penisnya dan mengarahkan semprotan spermanya ke wajah cantik sang ibu muda.
Crot…! Croott…! Cairan itu terlontar keluar, membasahi wajah dan rambut Karina yang tengah terkulai lemas di atas ranjang. Beberapa bercipratan mengotori leher dan payudara perempuan cantik itu.
Bukannya marah, Karina malah membuka mulutnya dan membiarkan sperma yang ada di bibirnya mengalir masuk ke dalam tenggorokannya. Dia menelan sperma sang pengamen! Dan tidak berhenti sampai disitu, Karina segera meraih penis Nanang yang masih berdiri tegak dan tanpa rasa jijik sedikit pun, menjilati sisa-sisa sperma yang tampak masih mengalir keluar dari ujungnya, dan menelannya sekalian.
“Uugghh… Aaahhh… Hisap terus, mbak!” erang Nanang keenakan. Baru kali ini dia merasakan persetubuhan yang begitu nikmat.
”Kok nggak dikeluarin di dalam, mas?” tanya Karina sambil terus menghisap. Penis Nanang sudah lumayan bersih sekarang.
”Aku nggak mau mbak hamil karena ulahku.” terang laki-laki dekil itu.
”Terima kasih atas pengertiannya, mas.” Karina berucap. Dia mengembalikan penis Nanang yang sudah mulai mengkerut pada yang punya dan ganti mengelap cipratan sperma yang ada di wajah dan payudaranya dengan menggunakan celana dalam.
Saat itulah kesadaran mulai merasuk kembali ke dalam pikiran mereka. Perlahan akal sehat mereka kembali. Karina buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuh sintalnya yang telanjang. Sementara Nanang, dengan agak bingung dan malu, segera turun dari ranjang dan memunguti pakaiannya.
”Kenapa kita bisa seperti ini?” tanyanya heran sambil berusaha memakai celana.
”Pergilah! Keluar dari sini!” geram Karina, merasa sangat malu dengan kejadian yang baru saja terjadi. Dia merasa bagai pelacur rendahan karena sudah tak bisa menahan diri hingga mau saja bercinta dengan laki-laki seperti Nanang.
”Apa karena Harmonika ini?” Nanang memperlihatkan kotak persegi kecil dari dalam sakunya.
”Aku tak peduli!” bentak Karina. ”Cepat pergi! Atau aku telepon polisi?!” ancam wanita cantik itu. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.
”Oke-oke...” Nanang buru-buru keluar, walaupun sebenarnya dia merasa berat. Di depan pintu, dia berusaha meniup lagi harmonikanya, tapi benda itu sudah tidak mau berbunyi lagi. Sepertinya keberuntungannya memang harus berhenti sampai disini.
Menghela nafas berat, Nanang segera pergi meninggalkan tempat itu. Di belokan, dia berjumpa dengan seorang laki-laki berbaju safari. Laki-laki itu memberinya recehan sebelum masuk ke dalam rumahnya, rumah yang baru saja ditinggalkan oleh Nanang. Laki-laki itu tidak tahu kalau istrinya yang cantik baru saja ditiduri oleh sang pengamen!
***
Nanang meninggalkan gelandangan tua yang baru saja dibunuhnya di gang sempit. Dia berjalan pelan ke perempatan lampu merah sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. Dia mencari wanita cantik lain yang bisa dia tiduri sebagai korban berikutnya. Tapi dia tidak menemukannya.
Nanang sudah mengerti cara kerja harmonika maut itu. Sehabis mendapatkan tumbal, benda itu bisa digunakan untuk menghipnotis orang lain sesuai dengan keinginannya. Kalau ingin mengamen, ia bisa mendapatkan uang banyak. Kalau untuk memperkosa wanita, dia tinggal meniupnya sekali lagi. Karena sekarang sedang tidak ada mangsa, terpaksa Nanang harus puas dengan mengamen saja.
Berdiri di dekat perempatan, dia segera meniup harmonikanya. Tak perlu waktu lama, beberapa orang mulai berkerumun di dekatnya. Semakin lama, orang-orang yang datang menjadi semakin banyak. Orang-orang itu tampak terhanyut menyaksikan pertunjukan Nanang yang sebenarnya biasa-biasa saja. Itulah efek dari sang harmonika. Bagi orang-orang disekitarnya, musik yang dimainkan Nanang terdengar begitu indah.
Sementara tidak jauh dari tempat itu, ada sebuah gedung teater yang baru saja selesai menampilkan pertunjukannya. Merry, Jaka dan Jepri keluar dari gedung itu bersama seorang wanita cantik yang sepertinya adalah salah satu pemain teater.
“Penampilanmu benar-benar mengagumkan. Kau memang seorang pemain teater yang handal, Lady.” puji Merry kepada wanita tersebut.
“Mer, jangan terlalu memujiku. Lama-lama aku bisa besar kepala. Hahaha...” ucap Lady.
“Tidak, Lady. Merry benar, kau memang seorang aktris yang hebat.” kata Jepri.
“Sepertinya mereka berdua akan menjadi penggemar beratmu, Lady. Hahaha...” sambung Jaka.
“Itu memang benar. Aku kini penggemar beratmu,” sahut Jepri.
“Kalian sudah mau menyaksikan pertunjukanku saja aku sudah senang. Sekali lagi terima kasih ya.” ujar Lady.
“Jangan berkata begitu, kami ini kan teman-temanmu.” sahut Merry.
Ketika mereka sedang bicara, Jepri melihat kerumunan orang yang sedang menyaksikan Nanang sang pengamen, yang sedang bermain harmonika.
“Hei, disana ada keramaian. Sepertinya mereka sedang menyaksikan sesuatu.” kata Jepri.
“Mungkin seorang pengamen yang membuat pertunjukan. Para pengamen sering melakukannya di sekitar sini.” ujar Lady.
“Sepertinya menarik, bagaimana kalau kita melihatnya sebentar?” ajak Jepri.
“Oh, tidak, Pri. Ini sudah hampir tengah malam. Aku sangat lelah dan ingin segera pulang. Mungkin lain kali saja.” kata Merry.
“Merry benar, mungkin lain kali.” lanjut Jaka.
“Baiklah… baiklah…” kata Jepri.
“Lady, kami pulang dulu ya.” Merry berpamitan pada sahabatnya.
“Ok, sekali lagi terima kasih. Dan jangan lupa untuk menyaksikan pertunjukan teaterku berikutnya.” ujar Lady.
“Tentu saja, kami tidak akan lupa.” sahut Jaka.
Merry, Jepri dan Jaka masuk ke dalam mobil mereka dan bergegas pergi dari tempat itu. Sementara Lady kembali masuk ke dalam gedung teater. Sedangkan Nanang sang pengamen benar-benar ibarat mendapat durian runtuh, orang-orang yang menyaksikan pertunjukan harmonikanya, semua memberikan lembaran uang. Beberapa bahkan ada yang lebih dari dua pulun ribu rupiah. Malam itu benar-benar hari keberuntungannya.
****
Toko Barang Antik, pagi jam 10.00…
Jepri perlahan mengintip. Dilihatnya Merry berdiri menyamping, dengan tubuh sintalnya yang bugil dipenuhi oleh busa-busa sabun. Tangan gadis itu yang lentik tampak mengusap perlahan payudaranya., seperti ingin meratakan busa sabun yang ada di dadanya. Tapi oh.. tunggu dulu. Dia tidak meratakannya, tapi ingin meremas-remas payudaranya! Terlihat dari mata Merry yang terpejam rapat, seperti menikmati perbuatannya.
Melihatnya, membuat penis Jepri perlahan mulai menegang. Tapi belum selesai dia menikmati pemandangan itu, Jepri sudah dikagetkan oleh adegan berikutnya. Merry, dengan mata tetap terpejam, perlahan menurunkan tangannya. Dia memasukkan jari-jarinya ke sela selangkangan dan mulai mengusap-usap vaginanya!
Ah, apakah Merry sedang masturbasi? Jepri membatin dalam hati. Kalau memang begitu, kenapa tidak memanggilnya saja? Dia akan dengan senang hati melayaninya.
Di dalam, Merry terus mengocok vaginanya sembari mendesah tak karuan. Jepri semakin tegang melihatnya. Penisnya sekarang sudah menegang kencang. Dia sudah tak tahan ingin segera menyetubuhi gadis itu. Sudah akan membuka pintunya, tiba-tiba Jaka memanggilnya dari ruang depan.
“Pri, ambilkan patung Bali yang ada di gudang. Ini ada yang mau membelinya. Sebentar lagi orangnya mau kesini.” Jaka menutup telepon pesanan dari pelanggan.
Mendesah kecewa, Jepri buru-buru beranjak dari intipannya. “Patung yang baru datang kemarin?” tanyanya saat melintas di belakang Jaka.
“Yang kecil,” Jaka mengklarifikasi.
Jepri segera masuk ke gudang dan mencarinya. Sambil mengaduk-aduk barang, dia membayangkan tubuh bugil Merry yang sedang asyik bermasturbasi di kamar mandi. Fiuh... benar-benar tontonan yang menggiurkan, bikin nafsu memuncak. Jepri jadi tidak bisa konsentrasi. Patung yang seharusnya dengan mudah ia temukan, jadi hilang entah kemana. Ah, buru-buru dia menepis pikiran kotor itu dan kembali ke tugasnya semula.
“Belum ketemu juga? Lama bener...” tegur Merry yang sudah berdiri di depan pintu. Rupanya dia sudah selesai mandi. Tubuh sintalnya sekarang dibalut kaos putih tipis dan celana pendek merah marun, padahal Jepri berharap Merry keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk saja sehingga dia akan mudah melampiaskan nafsunya begitu selesai mencari patung.
“Sudah mandinya, Mer?” Jepri bertanya.
“Ya sudah dong, kenapa juga lama-lama," sahut Merry dengan sedikit sinis.
“Sudah tuntas aktifitasnya di kamar mandi?” tanya Jepri lagi.
“Maksudnya?” Merry tampak tidak mengerti. “Kalau sudah keluar berarti sudah dong.” lanjutnya.
“Ya mungkin saja ada yang masih nanggung, aku mau kok bantuin.” Jepri mulai memancing.
“Ih, apaan sih. Nggak ngerti deh.” Merry menggeleng.
“Daripada kamu diam disitu, sini bantuin aku.” kata Jepri.
Merry segera masuk ke gudang dan ikut mencari. Jepri memperhatikan bokong bulat gadis itu yang tampak menggoda saat Merry menunduk mencari diantara tumpukan barang-barang. Payudara Merry yang menggantung tanpa BH juga tampak begitu indah. Melihatnya membuat hasrat Jepri jadi makin bergetar. Hayalnya terus bermunculan. Apakah sebaiknya dia melakukannya sekarang? Membekapnya dari belakang dan memaksanya... tapi kalau Merry menolak bagaimana? Gadis itu sudah melayaninya kemarin. Dan biasanya, Merry ingin istirahat untuk hari ini. Tapi Jepri sudah kadung bergairah sekarang. Tak tahan rasanya ingin menjilat leher Merry yang jenjang, menikmati hangat tubuhnya, dan...
"Heh, ngelamun saja!” tegur Merry. “Ini patungnya, berikan pada Jaka, sekalian beresin tuh yang ada di celana kamu, mumpung kamar mandi lagi kosong.” Dia memberikan patung mungil yang ada di tangannya pada Jepri. Sambil tertawa, matanya tak lepas memandangi selangkangan Jepri yang sudah membengkak besar.
Merasa kepergok, Jepri jadi nekat. Dia segera mengeluarkan penisnya yang sudah ngaceng berat dan menunjukkannya pada Merry. “Ngapain juga onani. Daripada pake tangan, mending pake memek kamu.” bisiknya.
“Ihh, enah saja!” Merry menggeleng, tapi matanya tetap memandang penis besar Jepri dengan tak berkedip. Terlihat sekali kalau sangat tertarik.
“Ayolah, Mer. Bantu aku. Susah kalau harus onani sendiri. Aku nggak bakal bisa keluar.” Jepri terus membujuk sambil mengoyang-goyangkan penisnya.
”A-apaan sih... sudah ah. Ambil patungnya, a-aku mau ke kamar ganti baju.” kelagapan, Merry beranjak pergi ke kamarnya.
Jepri mengikutinya dari belakang dengan penis tetap berada di luar. Diperhatikannya bokong bulat Merry yang bergoyang-goyang indah seiring setiap langkah kakinya. Mengintip dari celah pintu, dilihatnya Merry duduk di atas ranjang dan termenung. Gadis itu seperti ingin membuka bajunya tapi terhenti ketika tangannya menyentuh buah dadanya sendiri. Merry mengusap-usap dan memijiti benda itu!
”Ah, mungkinkah? Apakah dia juga sebenarnya terangsang dan ingin bercinta denganku tapi gengsi untuk mengatakannya?” batin Jepri dalam hati.
Untuk mendapatkan jawaban, dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Kamar itu cukup mungil, hanya ada satu ranjang dan sedikit ruang. Jepri memeluk tubuh mulus Merry dari belakang dan berbisik, ”Aku pengen sekali, Mer. Kita lakukan yuk!”
”Kamu masuk kamar orang nggak sopan. Ngomong ngawur. Males ah,” balas Merry lirih.
Jepri yang tidak mau menyerah, memegang bahu gadis cantik itu dan membalikkannya hingga Merry sekarang menghadap dirinya, ”Tolonglah, Mer, aku...” dia tak kuasa melanjutkan kalimatnya begitu memandang kaos tipis Merry yang sudah setengah terbuka hingga payudara gadis itu yang besar dan bulat terlihat dengan jelas.
”Kamu nggak bosan?” tanya Merry dengan wajah sayu.
Jepri menggeleng, ”Tubuhmu selalu bisa bikin aku ngaceng, Mer.”
”Tapi aku masih ca...” belum selesai gadis itu berbicara, Jepri sudah mengecup bibirnya dan melumatnya kuat-kuat. Dia juga mendekap tubuh mulus gadis itu.
”Hmph.. Hmph..” Merry mengerang lirih saat tangan Jepri meraba payudaranya dan meremas-remasnya pelan.
”Aku menginginkanmu, Mer. Bantu aku tuntasin nafsuku ya,” bisik laki-laki itu tanpa melepas genggaman tangannya. Jari-jarinya kini mulai memilin-milin puting Merry yang mungil menggemaskan.
Sambil berbisik, Jepri juga mengecup dan menjilat telinga gadis itu. Dia menghisapnya pelan hingga Merry menggelinjang kegelian. Tak butuh waktu lama, gadis itu pun merebahkan tubuh dan menyerah tanpa perlawanan. Matanya terpejam, sementara nafasnya mulai sedikit tersengal.
Jepri terus menjalarkan ciumannya ke pipi, leher, dahi, dan akhirnya berhenti di bibir tipis Merry yang manis. Dia mengecupnya ringan, lalu menjilatnya, menyedotnya pelan, dan akhirnya melumatnya dengan penuh nafsu saat melihat Merry tidak keberatan. Gadis itu tidak marah meski masih tidak mau menggerakkan bibirnya. Tak peduli, Jepri terus melumat. Masa sih dia tidak terangsang? Kalau terus diginikan, Merry pasti bakal tergoda juga.
Menggerakkan lidahnya penuh nafsu, Jepri berusaha membongkar bibir Merry yang masih tertutup rapat. Dia memaksakan lidahnya untuk masuk. Sementara di bawah, tangannya terus bergerak menyingkap kaos tipis Merry ke atas hingga payudara gadis itu yang empuk dan mulus sudah tidak tertutup lagi. Dengan gemas, Jepri meremas dan memijit-mijitnya.
Mendapat serangan yang begitu gencar, Merry yang pada dasarnya juga bernafsu, akhirnya menyerah juga. Dia membuka mulutnya, membiarkan lidah basah Jepri menyeruak masuk dan bermain-main di dalam rongga mulutnya. Jepri menyentuh lidahnya, menjilati benda itu, mengajaknya saling membelit dan melingkar, dengan bibir mereka saling bersentuhan erat tak terlepas lagi. Akibatnya, air liur mereka menjadi bercampur dan menetes-netes banyak sekali.
Nafas Merry sekarang menderu-deru semakin kencang. Nafsu sudah semakin menguasai tubuh mulus gadis itu. Apalagi sekarang, sambil terus mencium, Jepri juga mulai membelai-belai punggungnya, menyentuh bagian belakang bokongnya, dan memainkan lubang vaginanya, hingga membuat Merry jadi makin bergairah.
”Aagghhhhh.. Ougghhhhhh.. Oooohhhhhhhh..” gadis itu mengerang keras.
Tanpa kesulitan, Jepri menelanjangi Merry. Gadis itu tidak menolak, bahkan ikut membantu saat Jepri kesulitan melepas celana pendeknya. Semakin mengerang, Merry membiarkan Jepri menjilati sepasang buah dadanya. Satu dijilat, satu diremas. Dia menciuminya memutar mulai dari pinggiran benda bulat itu hingga sampai memuncak ke putingnya. Selanjutnya Jepri menariknya keras-keras dengan mencucupnya dalam-dalam.
”Oughhhh,” Merry langsung menggelinjang. Sambil terus menjilat kiri dan kanan, tangan Jepri kini turun ke arah selangkangannya dan menelusup disana. Dua jarinya mengisap-usap vagina Merry yang sudah basah dengan perlahan. Saat gadis itu sudah terlena, perlahan Jepri menusukkannya. Dua jari sekaligus. Tubuh Merry yang melenting, ditahannya dengan mencium bibir gadis itu. Selanjutnya, sambil merangkul, Jepri mengocok kemaluan itu.
”Ooghh.. Oghhh.. Ohhsss..” Merry terkejang-kejang. Tubuh sintalnya sampai meliuk dan berjengit-jengit lirih. Apalagi sekarang, sambil terus mengocok, Jepri juga menjilatinya. Laki-laki itu menggerakkan lidahnya dengan cepat menyapu permukaan klitoris Merry yang sudah mencuat kemerahan, membuat gadis itu jadi makin tak tahan.
Menjerit kuat, '”AARRGGHHHHHHHHH...!!!” Merry pun orgasme. Dia membenamkan wajah Jepri dalam-dalam ke liang vaginanya saat cairan cintanya menyembur keluar. Dia tahan kepala laki-laki itu dengan menjambak rambutnya kuat-kuat.
Tak bisa menghindar, Jepri terpaksa menerima cairan itu dan membiarkannya menyemprot membanjiri mulutnya. Dia tetap gelagapan meski sudah ada beberapa yang berusaha ditelannya.
”Ughh.. Hahh.. Hahh..” melenguh keenakan, Merry mendorong kepala Jepri menjauh. ”Gila, nikmat banget, Pri. Kok bisa seperti ini ya?” sengalnya.
”Aku juga mau dibikin nikmat.” Jepri berdiri dan memberikan penisnya yang sudah menegang tak karuan pada gadis itu. ”Sekarang giliranmu.” pintanya.
”Iya-iya, aku ngerti.” Merry menggenggam benda panjang itu dan mulai mengocoknya pelan. ”Perasaan, makin hari makin besar saja burungmu.” dia berbisik.
”Susumu juga semakin besar.” sahut Jepri.
“Kok tahu, emang kamu mengukurnya?” Merry menjulurkan lidahnya dan mulai menjilati ujungnya yang tumpul.
”Eghmm,” Jepri bergidik kegelian. ”Sekarang tanganku sudah nggak muat.” terangnya.
”Kamu suka?” tanya Merry.
”Oughh... Apapun yang ada ditubuhmu, aku suka, sayang.” Jepri tersenyum. Merry sekarang sudah melahap penisnya dan menghisapnya naik turun. Makin lama makin kencang. Juga makin nikmat. Hingga membuat Jepri jadi tak tahan lagi. Tak mau meledak sekarang, dia segera mencabut penisnya.
”Sudah, Mer. Aku ingin keluar di memekmu.” Jepri menjilat lagi vagina Merry yang sudah sangat becek dan meremas-remas payudara besar gadis itu. Dua jarinya menjepit dan memilin-milin putingnya.
”Ughhh... Kalau begitu cepat lakukan, Pri. Aku juga sudah nggak tahan!” sahut Merry sambil mendorong tubuh Jepri hingga laki-laki itu jatuh telentang di atas ranjang. Sekarang ganti dia yang berada di atas. Diperhatikannya penis Jepri yang tegak mengacung bagai tonggak batu mini. Pelan Merry menempatkan tubuh diatasnya dan menduduki benda tersebut.
Sleepp.. Bleesss! Penis itu menerobos masuk dengan mudah. ”Aagghhhh... Ugghhhhhhhhhh...” mereka mengerang bersama-sama.
Selanjutnya, dengan gerakan patah-patah, Merry mulai mengoyangkan tubuh sintalnya. Payudaranya yang besar dan bulat, yang terus berayun-ayun di setiap goyangannya, terasa sangat membebani. Diberikannya benda itu pada Jepri Dibiarkannya Jepri memegang dan meremasnya kuat-kuat. Merry lebih menyukai seperti itu karena kini dia bisa bergerak lebih bebas. Dia yang berada di atas haruslah mengendalikan permainan ini.
Tapi itu ternyata cuma angan-angannya saja. Baru beberapa goyangan, Merry sudah merasa ingin meledak. Tusukan penis Jepri di liang kemaluannya terasa begitu nikmat. Tubuhnya serasa melayang dan terus terkejang-kejang.
Berciuman liar, dia berbisik pada laki-laki itu. ”Ughh.. aku sudah nggak kuat lagi, Pri. Mau keluar!”
”Kok cepat sekali?” tanya Jepri, mulutnya sekarang mengemut puting merry yang mungil menggemaskan dan menjilati benda itu berkali-kali.
”Ahh.. aku juga nggak tahu.” sahut Merry semakin menggelinjang.
Tanpa melepas penisnya, Jepri membanting tubuh mulus gadis itu. Membalik posisinya. Sekarang ganti Merry yang berada di bawah dan Jepri menindihnya dari atas. Dia kembali mengocok dan menggenjot penisnya. Dari cepat menjadi semakin cepat. Erangan Merry yang sudah kencang menjadi lebih keras, seperti sudah tidak tertahankan lagi.
”Terus, Pri. Oughh... terus!” gadis itu menggelinjang, menggerakkan bokongnya berputar-putar.
”Aku juga sudah nggak kuat, Mer.” desah Jepri.
”Kita keluar bareng, Pri.” ajak Merry penuh harap. Dia mendorong kuat hingga posisi mereka kembali seperti semula. Sekarang Merry yang berada diatas!
Di bawah tadi, dia merasa kurang puas. Penis Jepri tidak bisa menusuk sampai dalam. Kalau begini, Merry bisa kembali berkuda dengan liar dan menusukkan penis Jepri dalam-dalam hingga mentok ke pangkal vaginanya. Dengan begini, rasa yang diterimanya akan jadi begitu nikmat.
Jepri bangkit untuk mencium payudara Merry yang bergoyang-goyang liar di depannya. Dia cucup putingnya yang menggemaskan secara bergantian.
Di depannya, Merry menggenjot semakin keras hingga akhirnya, ”Aarrgghhhhhhhh... Uugghhhhhhhhh...” dia menjerit dan meraih orgasmenya.
Jepri menyambut ejakulasi gadis itu dengan menggigit salah satu puting Merry kuat-kuat. ”Oughhh..” di bawah sana, sesuatu menyembur kencang menyiram ujung penisnya. Vagina Merry yang basah berkedut-kedut pelan, seperti meremas-remas batang penisnya.
Jepri yang juga sudah tak tahan, menyusul tak lama kemudian. Tanpa perlu menggoyangkan tubuh, dia mendapatkan orgasmenya. Spermanya yang kental menyemprot berkali-kali memenuhi liang rahim Merry yang sudah begitu basah.
”Terima kasih, Mer.” ucapnya sambil mencium bibir gadis itu.
Merry menyambut ciumannya dengan mengangguk lemas.
***
Selesai berpakaian, mereka segera beranjak ke depan untuk menemani Jaka yang sedang menangani seorang pelanggan.
“Mana patungnya, Pri? Lama amat!” tanya Jaka.
“Ini,” Jepri memberikan patung mungil yang sudah dibungkus rapi dalam kotak persegi. ”Merry yang bikin lama.” ucapnya.
“Ihh, apaan sih.” Merry membantah, tidak mau disalahkan.
Melihat raut muka Jepri yang sumringah dan pakaian Merry yang masih acak-acak, Jaka langsung bersiul. “Begitu ya, disini aku melayani pelanggan, kalian malah enak-enakan main di belakang.” sindirnya.
“Bukan begitu, Jak. Habis...” Jepri berkata.
Tapi Merry sudah memotongnya, “Iya deh, nanti kamu bakal dapat juga.“
“Itu janjimu, akan mengingatnya.” ancam Jaka sambil tersenyum.
Setelah menerima patungnya dan membayar, sang pelanggan segera pergi meninggalkan tokoh barang antik itu. Jaka sudah akan memeluk Merry saat seorang wanita muncul membuka pintu depan.
“Pagi semuanya,” sapa wanita cantik itu.
“Lady!” teriak Merry. Kedua wanita itu saling berpelukan dan cium pipi kiri dan kanan.
“Hai, Lady.” sapa Jaka dan Jepri.
“Ada apa, Lady? Sepertinya kau sedang senang?” tanya Merry.
“Tentu saja aku senang, Pertunjukan teater kemarin malam benar-benar mendapat respon positif dari orang-orang. Semua kru sangat bangga.” jelas Lady.
“Itu semua berkat dirimu yang bermain dengan bagus.” puji Jaka.
“Oh, ya? Bulan depan kami akan mengadakan pertunjukan berikutnya, tapi kami kekurangan pemain. Jadi, aku ingin mengajakmu untuk ikut dalam pementasan teater tersebut.” ujar Lady.
“Apa!? Aku! kau pasti bercanda.” sahut Jaka.
“Tidak, aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin mengajakmu ikut di pertunjukan berikutnya, jadi bodyguard yang nantinya jatuh cinta pada si pemeran utama.” kata Lady meyakinkan.
Jaka tertawa sambil memandang wajah Merry dan Jepri.
“Menurutku itu ide yang baik.” ujar Merry.
“Iya, Jak, kau pasti bisa melakukannya.” sambung Jepri.
“Mmmm… entahlah.” Jaka masih ragu.
“Ayolah, Jak. Merry dan Jepri saja menyetujuinya. Ayolah…” bujuk Lady.
Jaka akhirnya mengangguk, “Baiklah. Tidak ada salahnya aku mencobanya.” katanya.
“Bagus, aku yakin kau bisa melakukannya. Aku akan memberikan skripnya untuk kau pelajari.” Lady mencari-cari skrip dialog pertunjukan teaternya, namun ia tidak menemukannya di dalam tas miliknya. “Oh tidak, aku kehilangan skripnya.” kata wanita cantik itu.
“Ada apa, Lady?” tanya Jepri.
“Sepertinya aku meninggalkan skrip yang akan kuberikan pada Jaka di teater.” sahut Lady.
“Jangan khawatir, Jaka akan menemanimu kembali ke teater untuk mengambilnya. Kau bisa sekaligus memperkenalkan Jaka pada kru dan panggung teaternya kan?” ujar Merry.
“Benar juga. Bagaimana, Jak, kau mau?” tanya Lady.
“Mmmm… baiklah.” sahut Jaka.
“Kalau begitu kita pergi sekarang.” ajak Lady.
“Kalian berdua tidak apa-apa aku tinggal?” tanya Jaka pada Merry dan Jepri.
“Tidak, tidak apa-apa. Pergilah. Kami akan menjaga toko ini dengan baik.” ujar Merry.
“Baiklah. Aku percaya. Kalau begitu kami berdua pergi dulu.” ucap Jaka.
“Bye, Mer, Pri.” ucap Lady.
“Bye,” sahut Merry dan Jepri.
Jaka dan Lady pun bergegas meninggalkan toko itu menuju gedung teater.
Sementara itu Merry mengambil koran yang ada di atas meja yang belum sempat ia baca. Matanya menelusuri beberapa judul berita. Beberapa saat kemudian, dia tertarik dengan berita yang terdapat di koran tersebut.
“Sebuah pembunuhan?” ucap Merry pelan.
“Ada apa, Mer? Kau menemukan sesuatu di koran itu?” tanya Jepri.
“Semalam terjadi pembunuhan tidak jauh dari gedung teater tempat pertunjukannya Lady” jelas Merry.
“Apa?” ucap Jepri yang juga terkejut mendengar berita itu.
“Seorang gelandangan bernama Tukiman, ditemukan tewas di sebuah gang yang letaknya tiga blok dari gedung teater.” kata Merry.
“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Jepri lagi.
“Menurut berita disini, kedua gendang telinganya pecah. Sepertinya ia habis mendengar suara yang sangat keras.” jawab Merry.
“Suara yang sangat keras?” ucap Jepri yang mengambil koran itu dan membaca beritanya sendiri.
Merry kemudian mengambil jurnal penjualan dan memeriksa beberapa halamannya.
“Apa menurutmu ini salah satu barang terkutuk?” tanya Jepri.
“Mungkin saja, Pri. Tidak ada salahnya kita memeriksanya. Lagi pula, aku seperti ingat ada barang antik yang memiliki kutukan seperti itu.” ujar Merry.
“Barang apa itu?” tanya Jepri sambil mendekati Jack yang sedang memeriksa barang-barang antik yang belum mereka dapatkan di jurnal penjualan tersebut.
Setelah memeriksa dan membolak-balik beberapa halaman, Merry meyakini sebuah barang antik yang ada hubungannya dengan pembunuhan tersebut. “Harmonica Silver Plate” ucapnya.
“Harmonika? Kau yakin?” tanya Jepri.
“Ya. Aku ingat sewaktu masih menjadi penyalur barang-barang antik bagi Luki, ia pernah menunjukkan harmonika itu padaku, dan ia berandai-andai padaku, bagaimana kalau sebuah musik membuat pendengarnya menjadi kesakitan.” jelas Merry.
“Orang itu benar-benar aneh. Memiliki andai-andai seperti itu. Untunglah dia sudah meninggal.” ujar Jepri.
“Dia memang sudah meninggal, tapi barang-barang antik miliknya masih berserakan di mana-mana.” sahut Merry.
“Ya. Aku tahu. Jadi, sekarang kita akan mencari harmonika ini?” kata Jepri.
“Tentu saja. Pemiliknya Tn. Bakti Handoko, Kebayoran Baru no.302. Ayo kita ke sana sekarang.” ujar Merry.
“Tunggu sebentar, bagaimana dengan Jaka?” tanya Jepri.
“Aku akan meninggalkan pesan untuknya,” sahut Merry yang mengambil secarik kertas, kemudian menuliskan pesan untuk Jaka.
Mereka berdua menuju alamat tadi untuk mencari harmonika terkutuk tersebut.
****
Di gedung teater…
Lady mengajak Jaka melihat-lihat belakang panggung teater. Selain itu ia juga memperkenalkan Jaka dengan beberapa kru yang terlibat dalam pementasan teater tersebut.
“Bagaimana, Jak, mereka orang-orang yang ramah kan?” ujar Lady.
“Ya. Aku benar-benar menyukainya.” sahut Jaka.
“Lady, ini skrip yang kau tinggalkan tadi. Hati-hati jangan sampai tertinggal lagi.” ucap seorang wanita yang sepertinya adalah sang sutradara. Dia memberikan sebuah lembaran skrip kepada Lady.
“Trims, mbak.” Lady membuka skrip-skrip tersebut, kemudian menyerahkannya pada Jaka. “Ini dia skripnya. Kau pelajari dulu peranmu. Tapi aku yakin kau pasti bisa memerankan tokoh yang ada di skrip itu.” ujarnya.
“Ok. Aku akan mempelajarinya.” kata Jaka.
”Dia pemain kita yang baru?” tanya Sherly sang sutradara.
”Iya. Bagaimana, cocok kan?” ujar Lady.
Sherly mengamati Jaka dari atas ke bawah, menilai penampilannya. Dan manggut-manggut. ”Suruh dia ke ruanganku, aku ingin mengetesnya secara pribadi.” ucapnya, lalu berlalu.
”Bagaimana?” Jaka bertanya bingung.
”Masuk saja. Sherly orangnya baik kok. Aku dulu juga begitu.” sahut Lady.
”Kamu tidak menemaniku?” tanya Jaka saat melihat Lady ingin berbalik.
”Sherly ingin bicara secara pribadi. Kehadiranku tidak diperlukan.” ucap Lady.
Mengangguk mengerti, Jaka segera pergi ke ruangan Sherly yang ada di lantai atas.
Setelah beberapa kali mengetuk pintunya, wanita cantik setengah baya itu membukanya dengan senyum ramah tersungging di bibirnya yang tipis.
“Ehm, boleh saya masuk?” tanya Jaka.
“Oh iya, silakan!” sahut Sherly.
Setelah dipersilakan duduk, Jaka segera memperkenalkan diri sebagai basa-basi. ”Nama saya Jaka Wiryawan, Bu. Tapi panggil saja Jaka.” ucapnya.
”Jangan panggil Ibu, panggil saja mbak. Atau Sherly saja juga boleh.” sahut wanita cantik itu.
Jaka tersenyum, ”Baik, mbak Sherly.” dia memanggil mbak saja karena usia wanita itu lebih tua darinya.
“Kalau begitu, untuk mempersingkat waktu, silakan lepas pakaianmu dan berbaringlah disitu.” Sherly menunjuk sofa besar yang ada di ruangannya.
“Semuanya, Mbak?” tanya Jaka malu-malu.
Sherly tersenyum, “Kamu nggak usah malu. Anggap saja saya tidak ada. Ini sudah prosedur standart penerimaan pemain disini. Lady dulu juga melakukannya.”
Jaka gemas pada temannya itu, Lady tidak bilang kalau bakal disuruh telanjang seperti ini. Sementara Sherly menyiapkan berkas-berkas wawancaranya, Jaka segera menanggalkan seluruh busananya kemudian berbaring di atas sofa yang tidak terlalu empuk itu. Beberapa saat kemudian, dengan pulpen dan kertas di tangan, Sherly datang menghampiri dan duduk di sampingnya. Selama sesaat, wanita cantik itu tampak mengamati tubuh atletis Jaka yang telah telanjang. Pandangannya terkesan liar, seolah tengah melihat ayam panggang yang siap untuk disantap.
“Kamu sudah punya istri?” tanya Sherly sambil duduk bersimpuh disebelah Jaka.
“Eh, b-belum, mbak!” kok pertanyaannya seperti ini.
“Ooo… jadi masih perjaka ya!” kata Sherly meledek. ”Coba aku lihat,” dia memindahkan tangan Jaka yang sedang menutupi kemaluannya.
“Ah, nggak juga.” tanpa sengaja tangan Jaka menyentuh lutut wanita itu. Paha Sherly juga sedikit tersingkap. Terlihat putih dan mulus. Tangannya jadi betah berlama-lama disana karena Sherly membiarkannya mengelus dan mengusa-usapnya. Bahkan wanita itu melebarkan pahanya, seolah memberi jalan bagi Jaka untuk bergerak lebih jauh ke dalam.
Darah muda laki-laki itu semakin mendidih manakala dengan lincahnya jemari Sherly turun ke perut untuk membelai bulu-bulu halusnya dan memijat otot-otot perut Jaka yang keras.
“Wah, badan kamu kekar juga ya. Pasti rajin olah raga.” tebaknya.
“Ya, tiap pagi saya usahakan untuk olah raga meskipun cuma angkat beban atau sit up.” Jaka menjawab.
“Ooo… pantesan adikmu gede!” Sherly mengerling nakal.
“Maksud, mbak, adik yang mana?” tanya Jaka pura-pura bodoh.
“Maksud saya, adik yang ini…” kata Sherly sambil meremas kejantanan Jaka tanpa rasa canggung. Ada rasa kaget sekaligus senang dengan perlakuan wanita itu. Sherly dengan lembut membelai kejantanan Jaka, kemudian mengocoknya pelan.
“Ooohh… Mbak, enak…!” Jaka melenguh nikmat. Dia juga semakin berani dengan menyingkap rok Sherly yang memang pada dasarnya sudah sangat pendek dan mengusap pahanya lebih jauh lagi.
Dan ternyata wanita itu menanggapi tindakannya dengan positif. Terbukti dengan Sherly sedikit mengangkat pantatnya agar Jaka bisa mencapai pangkal pahanya. Astaga! Sekali lagi pemuda itu terkejut sekaligus senang manakala tangannya menyentuh rambut-rambut halus diantara pangkal paha sang sutradara cantik. Ternyata Sherly sudah tidak memakai celana dalam, entah kapan dia melepasnya.
Perlahan-lahan Jaka mulai menggosok-gosok bibir vagina Sherly yang sudah basah itu dengan jarinya hingga membuat wanita itu bertambah kelojotan dan semakin bersemangat mengocok batang kontolnya. Perlahan-lahan batang itu mulai membesar dan mengeras. Tanpa rasa jijik, Sherly menjilati cairan bening yang mengalir dari ujungnya, lalu dilanjutkan dengan menjilat pangkalnya dan diakhiri dengan melumat buah zakar Jaka. Setelah mengemutnya beberapa waktu, wanita paro baya yang masih kelihatan sangat cantik itu kembali bergerak naik menyapu urat-urat kontol Jaka yang sudah bertonjolan tak karuan.
“Gimana, Jak? Enak kan?” tanya Sherly di sela-sela aksinya.
“Aghh.. nikmat banget, Mbak. Saya belum pernah merasakan yang senikmat ini!” jawab Jaka dengan nafas semakin memburu. Dia merintih-rintih nikmat karena Sherly kini mempermainkan kontolnya di dalam rongga mulutnya. Jaka juga semakin berani dengan menarik rok wanita sampai terlepas. Dan yang asyik, tanpa perlu dipaksa, Sherly sudah melepaskan kaosnya sendiri.
Wow! Di usianya yang sudah tidak muda lagi, ternyata wanita itu masih memiliki bentuk tubuh yang sangat bagus. Kulitnya putih mulus, payudaranya yang besar kelihatan masih kencang dan montok, serta pantatnya yang bulat terlihat menggemaskan, membuat Jaka jadi ingin mengunyahnya.
Tak berbeda dengannya, Sherly juga kagum menatap barang milik Jaka. “Ahh... kontolmu memang luar biasa besarnya. Hhhmmmm… Aku sudah lama tidak merasakan batang sebesar ini. Hhhmmm…!” dengan rakus dia melumatnya.
Selanjutnya, sambil mengangkang, wanita itu naik ke atas tubuh Jaka dan mengatur posisi 69. Dia menyodorkan vaginanya tepat ke wajah pemuda itu. Menggunakan naluri, Jaka segera mendekatkan mulutnya ke benda sempit yang sudah merekah merah itu. Baunya sangat harum, begitu merangsang untuk dijilat. Perlahan-lahan Jaka menjulurkan lidahnya dan menyapu permukaannya yang lengket berlendir dengan lembut.
“Aaaaghhh… Yeaahhh… begitu, Jak! Jilat terus punyaku! Oooghhh…!” merintih keenakan, Sherly bertambah semangat mempermainkan kontol Jaka di dalam mulutnya. Kepala wanita itu bergerak naik turun, menyedot-nyedot ujung kontol Jaka kuat-kuat. Sementara tangannya, mengocok batangnya yang sudah kaku menegangkan. Cukup lama mereka dalam posisi itu, saling menjilat, mengulum dan mengocok kemaluan masing-masing.
Berapa saat kemudian, Sherly melepaskan kulumannya. “Gimana, Jak. Suka dengan pelayananku?” tanyanya sambil tersenyum.
Jaka hanya mengangguk pelan sambil menikmati jemari Sherly yang masih memijit-mijit batang penisnya.
“Berdasarkan pengamatanku, kebanyakan orang yang mempunyai penis besar mempunyai bakat yang besar pula. Aku yakin, kamu pasti akan bisa memerankan peran itu dengan baik.” kata Sherly menjelaskan. “Tapi sekarang, biarkan aku bersenang-senang dulu dengan burungmu yang besar ini!”
Wanita itu mengambil posisi duduk di atas paha Jaka. Perlahan-lahan dia meraih kejantanan sang pemuda dan membimbingnya masuk menuju liang kewanitaannya yang sudah sangat basah. Sherly terlihat meringis saat ujung penis Jaka mulai memasuki memeknya yang hangat.
Entah karena memek wanita itu yang sempit, ataukah karena kontol Jaka yang terlalu besar, proses penetrasi itu berjalan sangat lambat, namun nikmat. Sherly tampak susah payah berusaha agar batang penis itu bisa masuk utuh ke dalam memeknya. Sampai akhirnya…
“Aaougghh… aduh, Jak! Gede banget kontolmu!” wanita itu memekik. Tubuhnya yang mulus tampak berkilat-kilat oleh cucuran keringatnya. Beberapa kali Sherly berusaha menghirup nafas dalam-dalam saat batang penis Jaka sudah terbenam seluruhnya di rongga vaginanya yang sempit.
Beberapa saat kemudian, dengan kedua tangannya bertumpu pada dada bidang Jaka, wanita cantik itu mulai beraksi. Dia mulai mengayunkan pantatnya naik turun sambil mendesah-desah menahan kenikmatan. “Aaaahhh… Aaahhhh… Oooougghh…!” rintihnya.
Kedua tangan Jaka memegangi pinggul Sherly untuk mengatur gerakan naik turunnya. Sesekali tangannya juga merayap naik, menggapai dua buah benda kenyal yang melambai-lambai indah seiring dengan gerakan naik turun tubuh wanita itu. Dengan liar Sherly terus menghentak-hentakkan pantatnya, meliuk-liuk di atas tubuhnya, seperti seekor koboi yangs sedang menunggangi kuda rodeo. Terkadang wanita itu juga membuat goyangan memutar pantat sehingga jepitan vaginanya terasa sangat mantap. Batang penis Jaka terasa seperti dipelintir dan dipijit-pijit di dalam lobang kenikmatan itu. Terasa hangat dan nikmat.
Semakin lama, gerakan Sherly menjadi semakin liar tak terkendali. Dia Menghujam-hujam kejantanan Jaka semakin dalam hingga mentok sampai ke dinding terdalam rongga vaginanya. Nafas mereka juga semakin memburu, seperti bunyi kereta tua yang berjalan dengan sisa-sisa tenaganya.
“Oh, Jaka, Aku… sudah… nggak kuat… lagi! Arrrgghhh…!” Sherly menjerit nikmat berbarengan dengan muncratnya magma panas dari dalam liang rahimnya. Dia mencengkeram dada Jaka kuat-kuat, seolah ingin menancapkan kuku-kukunya ke dalam dada bidang itu.
“Ooohhh… sebentar lagi, Mbak! Saya juga sudah mau keluar… Ougghhh… yeaahhh…!” Jaka juga mempercepat gerakannya, tak peduli meskipun Sherly terlihat lelah. Dia menopang tubuh wanita cantik itu dan menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah.
Beberapa menit kemudian, Jaka merasakan batang penisnya semakin mengencang dan mulai berdenyut-denyut. Dia segera mempercepat gerakannya, menghentak-hentakkan tubuh mulus Sherly. Bunyi berkecipak semakin nyaring terdengar. Sampai akhirnya…
“Saya… keluar, Mbak! Oouugghhh…!” Jaka mengerang nikmat bersamaan dengan
menyemburnya sperma dari dalam batang penisnya, memenuhi rongga kenikmatan sang sutradara cantik. Seketika tubuh Jaka menjadi lemas. Dia sudah tak mampu lagi menopang beban tubuh Sherly yang berada di atas tubuhnya. Jaka membiarkan wanita itu ambruk menindih tubuhnya sementara batang kejantanannya masih tetap dibiarkan menancap di vagina Sherly yang basah dan hangat.
“Kamu benar-benar hebat!” kata wanita itu sambil membelai bulu-bulu halus di dada Jaka.
“Mbak juga hebat! Belum pernah saya sepuas ini.” pemuda itu mengecup kening Sherly dan membelai rambutnya yang terurai panjang. Tak berapa lama kemudian dia pun terlelap dalam dekapan hangat wanita cantik itu.
Entah sudah berapa lama Jaka terpejam, ketika dia merasakan sesuatu yang basah tengah merayap di atas perutnya. Sesuatu yang hangat dan lembut. Perlahan Jaka membuka matanya, ternyata Sherly tengah asyik menciuminya, menjilati dan melumat permukaan kulit perutnya.
“Aahhh… Mbak masih pengen nambah lagi?” desah Jaka pelan.
Sherly tersenyum manja, “Habisnya, kontol kamu guede sih! Aku jadi ketagihan.” bisiknya.
“Ah, Mbak Sherly bisa saja!” Jaka hanya merem melek menikmati tangan wanita itu yang kini bermain nakal di selangkangannya. Dengan lembut Sherly membelai kejantanannya dan mengurut-urutnya dengan menggunakan jempol dan telunjuk. Terasa begitu nikmat. Wanita itu bertambah antusias ketika melihat batang penis Jaka perlahan mulai membesar dan mengeras. Dengan rakus, Sherly segera mengulum dan menjilatinya. Dia melumat dan mengocok benda itu di dalam mulut mungilnya.
“Aaahhh… Aaaahhh… enak, Mbak! Oohhh…!” Jaka hanya bisa mengerang keenakan.
“Hhhhmmm… Kamu mau yang lebih enak lagi?” tanya Sherly menggoda.
“Emang ada yang lebih nikmat?” tanya Jaka.
“Coba kamu berdiri!” kata wanita itu.
Jaka menuruti perintahnya. Dengan kondisi tubuh masih telanjang bulat, dia berdiri di atas ranjang. Sementara itu, Sherly yang berlutut di hadapannya tampak memandangi batang penis yang sudah berdiri mengangguk-angguk itu. Perlahan-lahan wanita itu meraihnya dan mengocoknya dengan lembut. Jaka mengira Sherly akan memasukkan benda itu ke dalam mulutnya, tapi ternyata tidak. Dia malah menggosok-gosokkan batang penis itu ke permukaan buah dadanya yang lembut.
“Oohhh… yaaahhh! Enak banget, Mbak!” Jaka merintih.
“Ini masih belum seberapa, Jak! Coba kamu rasakan yang ini…” Sherly menggeser batang kontol itu dan menyelipkannya diantara belahan buah dadanya. “Sekarang, coba ayunkan pantat kamu!”
Jaka menurut saja. Perlahan-lahan dia mengayunkan pantatnya maju mundur, sementara Sherly menekan-nekan buah dadanya ke dalam sehingga batang penis Jaka terasa terjepit-jepit diantara dua bukit susunya yang kenyal.
“Oouuhhh…! Mbak Sherly memang benar-benar pandai memanjakan pria! Ini benar-benar luar biasa, Mbak!” Jaka mendesah-desah nikmat. Payudara Sherly yang menekan-nekan penisnya membuat dirinya serasa melayang.
Lama juga mereka melakukan foreplay itu sampai akhirnya Sherly meminta Jaka untuk segera menuntaskan permainan ini. “Aahhh… Jak, Mbak sudah kepengen banget nih!” rengek wanita cantik itu.
Dia melepaskan jepitan susunya dan kemudian mengambil posisi menungging seperti orang sedang bersujud. Jaka yang sudah mengerti apa yang diinginkan wanita cantik itu, segera membimbing kejantanannya yang sudah berdiri keras ke arah lubang kewanitaan Sherly yang sudah menganga lebar. Jaka akan menusuknya dari belakang. Wanita itu tampak menggigit bibir saat Jaka mulai menggesek-gesekkan ujung penisnya.
“Ooouhhh… ooohhh… Cepetan masukin, Jak!” rengek Sherly.
Pelan-pelan Jaka menusukkan ujung kejantanannya ke arah vagina sang sutradara cantik yang sudah merah merekah.
“Aahhhh…!” Sherly melenguh nikmat. Begitu pula dengan Jaka. Dia bisa merasakan memek Sherly yang seret lagi keset, padahal usia wanita itu sudah tidak muda lagi, tapi memeknya masih terasa begitu nikmat. Jepitannya masih terasa kuat, seolah-olah ingin meremukkan batang penisnya. Jaka membiarkan seluruh batang kontolnya tertanam dan terhisap ke dalam vagina yang sempit dan hangat itu. Sesaat dia mendiamkannya. Kemudian, pelan tapi pasti, dia mulai mengayunkan pantatnya maju mundur.
“Aaaahhhh… yeaahhh… Sodokanmu mantep banget, Jak! Ooohhh…!” Sherly mengoceh tak karuan. Dia hanya bisa meremas-remas payudaranya sendiri saat gerakan Jaka mulai menjadi lebih cepat. Lama mereka bermain dalam posisi seperti itu sampai akhirnya Sherly terlihat mulai lelah.
“Aduh… Oouhhh… kita istirahat dulu ya, sayang! Ooohhh…!” rintihnya.
Jaka mencabut penisnya, sedangkan Sherly terguling ke samping dan terkapar dengan tubuh bersimbah keringat. Buah dadanya yang montok tampak naik turun seiring dengan deru nafasnya yang terengah-engah. Setelah mengatur nafas beberapa saat, Jaka pun mulai melanjutkan aksinya. Dia membentangkan kaki Sherly kesamping dan mengangkat kaki kanan wanita itu lebar-lebar. Perlahan-lahan Jaka mengarahkan batang penisnya menuju liang vagina Sherly yang sudah menganga lebar, dan sleeeep…! Kembali benda itu tertanam dalam lobang hangat sang sutradara.
“Aduuhh… pelan-pelan dong, sayang!” rintih Sherly manja.
Kembali Jaka mengayunkan pantatnya perlahan-lahan namun pasti. Sherly yang berada di bawahnya tampak kelojotan menikmati aksinya ini. Terlebih ketika dia mempercepat ayunannya dan menekan semakin kuat batang penisnya ke dalam rahim wanita cantik itu. Sherly hanya bisa mengerang nikmat sambil mencengkeram
kuat-kuat lengan Jaka yang sesekali meremas-remas buah dadanya.
“Iyaah… Aaaghhh! Terus, Jak… Yahh… Yaahh… Ooouugghhh…!” wanita itu mengoceh tak karuan. Namun Jaka tidak menghiraukannya. Dia terus memompa tubuh montok Sherly dengan gerakan cepat. Semakin lama gerakannya menjadi semakin liar.
“Ooohh… Jak! Aku sudah nggak sanggup lagi. Ooohhh… Aku mau keluarrr!” Sherly menjerit.
Jaka merasakan dinding-dinding vagina wanita itu mengerut dan berdenyut-denyut, mencengkeram dan meremas-remas batang kontolku dari dalam. Semakin lama kedutannya menjadi semakin cepat. Hal yang sama juga terjadi pada Jaka. Batang penisnya sudah terasa ngilu dan berdenyut-denyut. Sampai akhirnya…
“Aaarrggghhh… Aku keluar lagi, Jak!” Sherly menjerit puas.
Jaka semakin mempercepat gerakannya, mengoyak-ngoyak isi vagina sutradara cantikitu. Namun sebelum spermaku keluar, dia segera mencabut penisnya. Sambil mengocoknya dengan tangan, Jaka menyodorkan batang penis itu ke bibir tipis Sherly yang setengah terbuka. Dia semakin mempercepat kocokan tangannya sampai akhirnya…
“Aaaaggghh… Aaaaghh… Aaaaghhh…” mengejang-ngejang, Jaka memuntahkan spermanya. Crot… Crot… Croottt! Cairan putih kental muncrat beberapa kali ke mulut manis Sherly. Tanpa rasa jijik, wanita itu menerimanya, dan menelannya! Dia kemudian menjilati sisanya yang masih menempel di batang penis Jaka.
Seketika tubuh pemuda itu melemas, tulang-tulangnya seolah rontok. Dan dia pun terkapar di sisi tubuh sang sutradara cantik.
“Oh, kamu benar-benar perkasa, Jak! Terima kasih ya!” Sherly memeluk tubuh Jaka dan mencium keningnya. Wanita itu tampak tersenyum puas sambil meletakkan kepalanya di atas dada bidang Jaka dan mengusap-usap bulu-bulu halus yang ada di atasnya.
“Sama-sama, Mbak. Saya juga puas. Tubuh Mbak nikmat sekali.” balas Jaka sambil meremas pelan payudara wanita cantik itu.
Mereka makin mempererat pelukan dan berciuman sekali lagi.
***
Jaka keluar dari ruangan Sherly dengan tubuh lemas. Di bawah, dia bertemu dengan Lady.
”Bagaimana?” tanya Lady.
”Aku bisa main.” sahut Jaka tersenyum.
”Bagus, akan kulihat penampilanmu.” ucap Lady.
”Sekali lagi terima kasih karena sudah mengajakku untuk ikut dalam pementasanmu berikutnya.” kata Jaka.
“Justru aku yang sangat berterima kasih padamu, karena sudah menerima tawaran ini.” sahut Lady.
“Oh, ya. Sepertinya aku harus segera kembali ke toko, karena masih ada pekerjaan yang masih harus kukerjakan,” ujar Jaka.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan mengantarmu,” kata Lady.
“Jangan. Kau kan masih banyak pekerjaan disini. Aku akan pulang naik taksi saja.” Jaka menolak.
“Mmm… baiklah kalau begitu. Oh ya, jangan lupa minggu depan kita harus latihan peran di sini.”
“Tentu saja, aku tidak akan melupakannya,” ujar Jaka.
Dia pun meninggalkan gedung teater itu untuk kembali ke tokonya. Sedangkan Lady sepertinya masih harus melakukan beberapa hal di tempat itu.
****
Sementara itu, Merry dan Jepri telah tiba di alamat Tn. Bakti Handoko, orang yang telah membeli harmonika perak dari Luki beberapa tahun yang lalu.
“Permisi, Mbak, apa Tn. Bakti ada?” tanya Jepri kepada seorang pembantu rumah tersebut.
“Dia sedang tidak ada di sini. Maaf, anda berdua siapa?” tanya wanita itu.
“Hmm… kami dari Toko Barang Antik, spesialis penjual dan penyalur barang-barang antik. Kami kemari ingin membicarakan tentang barang yang pernah dibeli oleh Tn. Bakti.” jelas Merry sambil memberikan kartu namanya pada wanita itu.
“Sayang sekali, Tn. Bakti sudah lama tidak tinggal di sini lagi. Rumah ini kini di tinggali oleh saudaranya.” jelas wanita itu.
Saat mereka sedang bicara, seorang pria muncul dan menghampiri mereka.
“Siapa yang datang, Bi?” tanya Thomas kepada pembantunya.
“Oh, mereka berdua dari toko barang-barang antik, sedang mencari Tn. Bakti.” sahut pembantu yang Bi Sum itu.
“Oh begitu. Kau kembali saja ke pekerjaanmu, biar aku yang bicara dengan mereka.” ujar Thomas.
Sang pembantu itu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Merry dan Jepri beserta majikannya.
“Aku Thomas Handoko, adiknya Bakti. Aku dengar kalian sedang mencari saudaraku itu. Memangnya ada masalah apa ya?” Thomas bertanya.
“Aku Merry dan ini Jepri. Kami berdua dari Toko Barang Antik, penjual dan penyalur barang-barang antik. Tn. Bakti pernah membeli sebuah harmonika dari toko kami, dan kami berniat untuk membelinya kembali.” jelas Merry.
“Harmonika?” kening Thomas berkerut, tempak berpikir sejenak. Ia ingat kalau beberapa hari yang lalu ia menemukan sebuah harmonika di gudang rumahnya. Dan sekarang harmonika itu telah ia berikan ke orang lain.
“Aku ingat harmonika itu. Kemarin aku menemukannya di gudang.” kata Thomas.
“Apa anda masih menyimpannya? Kami akan membayar berapapun untuk harmonika itu.” ujar Jepri sangat antusias.
“Kemarin aku memang masih memilikinya, tapi sekarang tidak lagi.” sahut Thomas.
“Apa maksud anda?” tanya Merry.
“Aku telah memberikan harmonika itu kepada seorang pengamen jalanan.” jelas Thomas.
“Apa!?” Jepri dan Merry terkejut mendengarnya. Harmonika itu ternyata sudah dimiliki oleh orang lain. Kecurigaan mereka kepada pembunuhan itu kini beralasan.
“Anda ingat pengamen yang anda beri harmonika itu?” tanya Jepri.
“Mmm… aku tidak begitu ingat wajahnya, tapi aku ingat dimana aku memberikannya.” kata Thomas.
“Dimana?” tanya Merry.
“Kalau tidak salah di sekitar tugu Monas.” jawab Thomas.
Merry dan Jepri kini semakin yakin, kalau pembunuhan itu memang berhubungan dengan sebuah harmonika yang terkutuk. Setelah mendengar alamat yang diberikan oleh Thomas, mereka bergegas menuju ke tempat itu, tempat yang hampir berdekatan dengan teater tempat Lady mengadakan pertunjukan.
****
Di sebuah gang kumuh, tampak beberapa orang gelandangan sedang tidur di balik kardus-kardus. Di antara para gelandangan itu, terdapat Nanag yang sedang asyik memperhatikan harmonikanya yang sudah dia anggap sebagai benda pembawa keberuntungan. Kemarin malam ia mendapatkan uang yang banyak dari hasilnya mengamen menggunakan harmonika itu.
“Ternyata harmonika ini memiliki kemampuan yang hebat. Aku benar-benar beruntung memiliki benda ini.” ujarnya pelan.
Saat itulah, tiba-tiba seorang pria memanggilnya dari belakang. “Hei, kau…”
Nanang menoleh untuk mengetahui siapa yang memanggilnya. “Kau memanggilku?” tanyanya.
Pria yang mengenakan pakaian lusuh itu mendekatinya, tampak ekspresi kesal terpampang di wajahnya.
“Kau yang bermain harmonika kemarin malam kan?” tanya pria itu.
“Ya. Benar. Memangnya kenapa?” tanya Nanang heran.
“Apa kau tidak tahu kalau area itu adalah tempat kekuasaanku mengamen. Aku sudah mengamen di tempat itu lebih dulu ketimbang dirimu. Dan semalam kau telah merebut lahan pencarianku.” jelas pria yang ternyata seorang pengamen juga.
“Tidak ada yang melarangku untuk mengamen di mana saja yang aku suka. Kau tidak berhak melakukannya” sahut Nanang.
“Jadi kau menantangku?” tanya pria itu yang memiliki tubuh lebih besar dari pada Nanang itu.
“Tidak. Aku tidak ingin menantangmu. Tapi aku ingin memainkan harmonika ini di hadapanmu,” kata Nanang.
“Apa maksudmu?” tanya pria itu heran.
Nanang hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban. Kemudian tanpa menunggu lama, dia meniup harmonika itu. Sebuah alunan nada keluar dari benda itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanya pria itu sambil memegangi kedua telinganya.
Melodi yang keluar dari harmonika itu membuat telinga pria tersebut merasa sangat sakit. ia tidak sanggup mendengarkan melodi yang keluar dari harmonika itu. Nanang terus memainkan alat musik itu tanpa mempedulikan nasib pria tersebut.
“Hentikan!!!” pria itu berteriak. Darah mulai mengalir di kedua telinganya. Pria itu mulai tidak berdaya. Ia terjatuh berlutut sambil menutupi kedua telinganya yang berdarah.
“Tidaaaakkkkk!!!” Pria itu berteriak makin kencang. Teriakannya sempat terdengar oleh seorang wanita yang sedang menunggu sebuah taksi. Wanita tersebut tenyata Lady. Ia kemudian berjalan memasuki gang yang gelap itu untuk melihat ada apa di sana. Dengan perlahan ia berjalan, dan langkahnya pun terhenti saat melihat Nanang sedang berdiri di samping tubuh pria tadi yang kini sudah tidak bernyawa.
Lady sangat terkejut, karena ia tahu bahwa dirinya telah melihat sebuah pembunuhan. Saat ingin lari, secara tidak sengaja ia menyenggol sebuah tempat sampah. Hal itu tentu saja membuat Nanang menoleh ke arahnya. Mengetahui perbuatannya disaksikan orang lain, Nanang pun mencoba mendekati Lady. Namun wanita itu tidak tinggal diam, tanpa pikir panjang ia berlari keluar dari gang itu dan segera mencegat sebuah taksi. Ia menaikinya dan pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Nanang merasa kesal karena perbuatannya telah diketahui oleh orang lain. Ia tahu kalau wanita itu telah melihat wajahnya, dan bisa-bisa wanita itu melaporkannya ke polisi. Namun ketika Nanang hendak bergegas dari tempat itu, tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sebuah buku yang terjatuh di jalan. Nanang memungutnya dan membuka buku itu. Ternyata buku itu adalah sebuah skrip pementasan teater milik Lady. Di buku itu juga terdapat nama beserta foto Lady. Nanang memperhatikan sebuah teater yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Aku tahu di mana bisa menemukanmu setiap saat, Manis.” ujarnya pelan sambil tersenyum. “Aku akan mengurusmu nanti, tapi sekarang aku harus mengumpulkan uang yang banyak.”
Nanang berjalan ke arah lain untuk mencari tempat agar dia bisa mengamen dengan leluasa. Ia perlu uang untuk membeli baju baru.
****
Beberapa jam kemudian, Merry dan Jepri yang telah menjemput Jaka untuk membantu mereka mencari seorang pengamen pemilik harmonika terkutuk, tiba di sekitar tugu Monas.
“Itu teater tempat Lady mengadakan pertunjukan, dan di mana kita harus mencari pengamen itu?” kata Merry.
“Entahlah…” sahut Jepri.
“Kalian ingat keramaian kemarin malam?” tanya Jaka.
Merry dan Jepri menganggukkan kepala sebagai tanda mengetahui apa yang dimaksud oleh Jaka.
“Jangan-jangan pengamen yang ada di keramaian kemari itu pemilik harmonika tersebut” kata Jaka.
“Mungkin juga,” sahut Jepri.
Ketika mereka sedang melihat-lihat keadaan tempat itu, tiba-tiba seorang gelandangan berteriak dan berlari dari dalam sebuah gang. Ternyata gelandangan itu telah menemukan mayat pria pengamen korban perbuatan Nanang.
Spontan, orang-orang yang sedang berjalan di daerah itu melihat apa yang terjadi, termasuk Jaka, Jepri dan Merry yang tanpa pikir panjang lagi segera menuju gang tersebut untuk melihat mayatnya.
Mereka bertiga hanya bisa saling menatap saat melihat mayat pria itu. Kondisinya sama dengan Boggi, korban pertama yang di temukan dua hari lalu.
“Kita harus segera menemukan pemilik harmonika ini,” ujar Jaka pelan pada Jepri dan Merry.
“Ya, tapi dimana?” tanya Merry.
****
Malam berikutnya…
Merry, Jaka dan Jepri sedang berada di toko. Tubuh mereka masih telanjang sehabis bercinta untuk mengisi waktu luang yang kosong. Mereka kini membicarakan cara bagaimana mendapatkan harmonika terkutuk itu sebelum menimbulkan korban lebih banyak lagi. Saat itulah, telepon berdering. Merry segera mengangkatnya.
“Toko Barang Antik disini,” kata gadis itu melalui telepon.
“Mer, ini Lady. Aku tidak tahu harus mengatakannya pada siapa, tapi saat ini aku benar-benar bingung…”
“Lady, tenanglah. Memangnya ada apa? kau harus mengatakannya dengan perlahan.” sahut Merry.
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas kemarin malam aku telah menyaksikan sebuah pembunuhan…”
“Apa!? Apa maksudmu? Halo… Lady…?!”
Tiba-tiba saja hubungan telepon itu terputus. Hal itu membuat Merry jadi khawatir.
“Ada apa, Mer? memangnya itu telepon dari siapa?” tanya Jaka.
“Lady… dia bilang… oh tidak, kita harus ke rumahnya sekarang juga.” Tanpa memberikan jawaban yang jelas pada Jaka dan Jepri, Merry segera mengajak kedua laki-laki itu bergegas menuju ke rumah Lady.
****
Sementara itu di rumah Lady…
Lady merasa panik, mengetahu hubungan teleponnya terputus, tiba-tiba listrik rumahnya pun ikut padam. Ia semakin yakin kalau ada yang tidak beres yang terjadi dengan saluran telepon dan aliran listrik di rumahnya.
Ia memutuskan untuk memeriksa sekering listriknya yang berada di luar rumahnya. Sampai akhirnya, ia di hadang oleh sesosok pria yang sudah berdiri di hadapannya. Lady pun mulai merasa ketakutan setelah mengetahui siapa pria yang berdiri di hadapannya itu.
“Bagaimana kau bisa mengetahui rumahku?” tanya Lady.
“Mmmm…. Maaf, Mbak, kemarin malam kau meninggalkan buku ini. Dan sayang sekali di dalam buku ini terdapat alamatmu.” ucap pria yang tak lain adalah Nanang.
Lady semakin ketakutan. Ia tahu kalau saat itu dirinya sedang dalam bahaya. “Sekarang, apa maumu dariku?” tanyanya.
“Aku tidak ingin macam-macam. Aku hanya ingin kau mendengar suara harmonika ku.” kata Nanang santai.
“Apa? Harmonika?” tanya Lady merasa heran.
Tidak menjawab, Nanang mulai meniup harmonikanya. Beberapa saat setelah benda itu berbunyi, Lady mulai merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia mendadak merasa gerah padahal udara malam itu cukup sejuk. Kepalanya mendadak berat. Kakinya serasa melayang. Kilasan adegan seks yang pernah dia lakukan bersama teman satu teaternya mendadak muncul begitu saja. Bagai terkena pengaruh obat perangsang, buah dada Lady mengeras, putingnya menegang. Vaginanya membasah dengan cepat seolah ada jari tak terlihat sedang menggelitikinya. Dia jadi limbung sambil memegangi buah dadanya.
”Eh, apa yang kau lakukan?” tanya Lady sambil bergegas masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tamu, birahinya terasa semakin meninggi tak tertahankan lagi. Sementara suara harmonika sang pembunuh masih saja terus terdengar.
Lady bersandar sejenak ke tembok sambil meremasi buah dadanya sendiri. Dia menggigit bibir untuk menahan gairah yang semakin kuat menyerang tubuhnya. ”Oouugghhhh…” Selain meremas, Lady kini juga menggosok-gosok vaginanya, mencoba mengatasi rasa gatal yang tiba-tiba saja menyerang organ intimnya itu. Walau hanya menggesek-gesek pelan, rasanya terasa begitu nikmat.
Tertatih-tatih, Lady melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia berjalan sangat pelan dan agak sempoyongan. Sesekali ia berhenti saat tubuhnya sudah tak kuat lagi menahan rangsangan. Dengan bahu bertopang pada tembok, Lady kembali mengocok vaginanya sambil meremasi payudaranya sendiri. Nafas wanita itu terlihat semakin tersengal. Keringat sudah membanjiri tubuh mulusnya.
“Kenapa, Mbak?” Nanang muncul dari belakang.
Lady ingin mengusir laki-laki itu, tapi tidak bisa. Ia hanya bisa menatap pembunuh itu dengan nafas semakin memburu.
”Mau dibantuin, Mbak?” Nanang berjalan mendekatinya.
Lady menjawab dengan gelengan kepala perlahan tanpa bisa bicara apa apa.
Tersenyum penuh kemenangan, Nanang membelai payudara Lady perlahan. “Sini, biar aku saja yang meremasnya.” Dia mengelus benda bulat itu pelan, merasakan betapa empuk dan halus permukaanya.
Jika dalam kondisi normal, Lady pasti sudah sejak tadi menampar dan memukul laki-laki itu. Tapi saat ini, bukannya marah, dia malah mendesah menerima perlakuan tak senonoh itu. Lady bahkan memandang sayu, seperti meminta lebih.
Nanang yang mengerti, segera memasukkan tangannya ke balik kaus ketat Lady. Diremasnya payudara perempuan itu yang masih tertutup BH dengan penuh nafsu.
“Oouugghh…” Lady mendesah dan memejamkan mata saat tangan kasar Nanang memijit buah dadanya keras-keras. Rasanya sungguh nikmat sekali.
Erangan Lady membuat Nanang semakin bergairah memainkan buah dada Lady. Benda itu terasa begitu kenyal dan padat, padahal ukurannya besar sekali. Dalam hati laki-laki itu berterima kasih pada siapapun yang telah menciptakan harmonika. Karena benda itulah, selain mendapatkan uang banyak, Nanang juga bisa meniduri dua wanita yang selama ini cuma ada dalam angan-angannya saja.
Lady tidak menolak saat Nanang memeluknya dari belakang dan menciumi lehernya yang putih dengan gemas. Laki-laki itu juga menyingkap kaos putihnya ke atas hingga payudara Lady yang tidak tertutup bra langsung meloncat keluar. Dengan kasar Nanang memijit dan menggerayanginya. Putingnya yang mungil dijepit dan dipilin-pilin oleh laki-laki itu.
Lady yang semakin terangsang, juga tidak mau kalah. Tangannya meraih ke belakang, mencari batang kemaluan Nanang yang masih terbungkus celana jeans butut. Lady segera mengelus dan memijit-mijitnya dari luar begitu sudah menemukannya. Sentuhannya membuat benda itu semakin membesar dan mengeras.
Tidak tahan, Lady mendorong tubuh Nanang hingga laki-laki itu terjatuh di sofa. Nanang tersenyum penuh nafsu saat melihat Lady mencopoti kaos ketat, bra dan celana pendeknya dengan cepat. Dia terbelalak memandangi keindahan tubuh Lady yang kini terpampang jelas di depannya. Wanita cantik itu berdiri berkacak pinggang dengan hanya bercelana dalam saja. Selanjutnya, Lady jongkok dan dengan cekatan membuka pakaian Nanang satu persatu.
“Kok jadi saya yang mau diperkosa, Mbak?” tanyanya sambil tertawa.
”Ssst... Diam!” Lady menghardik. Dia lebih suka berkonsentrasi melepas celana Nanang daripada melayani ocehan laki-laki dekil itu.
Saat benda itu sudah terlepas dan penis Nanang yang sedari tadi terkungkung sudah mengacung bebas, Lady segera menggenggam dan mengocoknya tanpa rasa ragu sedikit pun.
Nanang membalas kelakuan wanita cantik itu dengan meremas kembali buah dada Lady yang menggantung bebas di depannya. Dia juga memasukkan tangannya ke balik celana dalam wanita itu dan menggelitik disana. Diusapnya vagina Lady yang sudah basah sambil jari telunjuknya menusuk masuk.
”Oughhhh,” melenguh keenakan, Lady mendekatkan bibirnya untuk melumat bibir Nanang dengan penuh nafsu. Mereka berciuman dengan begitu panas, basah dan dalam. Bibir mereka yang berbeda warna dan ukuran menyatu erat. Liur mereka bercampur dengan lidah saling membelit dan menghisap.
Lady baru melepas ciumannya saat dia berlutut di depan penis Nanang. Lady menggenggam benda itu dengan kedua tangannya dan dengan cekatan melakukan pijatan yang mampu membuai Nanang dengan cepat. Dibandingkan tadi, kocokan yang sekarang terasa lebih mantab dan nikmat.
Dan rasa itu menjadi semakin nikmat manakala Lady mendekatkan mulutnya dan mencaplok penis itu. Sambil terus mengocok, wanita cantik itu menjilati penis Nanang bagaikan sedang menikmati sebuah permen lolipop. Bibir tipisnya menyapu permukaannya yang hitam dan berurat, sementara lidahnya bergerak aktif menggelitiki ujungnya. Nanang terang saja menggeliat keenakan diperlakukan demikian.
Dia yang belum pernah menerima oral sedahsyat itu, akhirnya jadi tak tahan. Penisnya terasa berdenyut-denyut ingin memuntahkan segala isinya. Tidak mau itu terjadi, Nanang mendorong Lady agar melepas kulumannya, lalu ia menarik tubuh wanita cantik itu naik ke atas pangkuannya. Dengan kasar dan tak sabar, Nanang melepas celana dalam wanita itu. Matanya melotot lebar saat menyaksikan dua bongkahan pantat Lady yang tersaji indah di depannya. Benda itu terlihat begitu bulat dan montok.
Dirabanya vagina Lady yang mulus tanpa bulu. Dengan menggunakan dua jari, digelitiknya benda itu sebentar. Saat merasakan permukaanya sudah lembab dan basah, Nanang segera memposisikan penisnya agar bisa cepat menembus benda sempit itu. Menahan nafas, dia pun mendorong. Nanang agak sedikit kesulitan saat melakukannya, vagina Lady sangat sulit untuk ditembus.
”Ayolah! Kamu bisa apa tidak sih?” Lady mulai tak sabar.
”Tenang, manis. Memekmu sempit banget sih. Kamu masih perawan ya?” tanya Nanang.
Tidak menjawab, Lady membantu dengan membuka kakinya lebih lebar. Sekarang vaginanya terlihat sedikit terkuat lebih lebar.
Nanang mendorong lagi. ”Gila, nggak perawan aja kayak gini, gimana perawannya dulu?” pikir laki-laki itu.
Akhirnya dengan sedikit usaha lebih keras, penisnya berhasil menembus masuk ke dalam lubang kemaluan Lady yang sempit. Sejenak dia memejamkan matanya menikmati jepitan erat vagina wanita cantik itu sambil tangannya meraba payudara Lady yang besar dan dengan kasar memijit-mijitnya. Putingnya yang mungilia tarik dan pilin-pilin penuh nafsu.
Selanjutnya, sambil terus berpegangan pada benda bulat itu, Nanang mulai menggerakkan pinggulnya. Lady merespon dengan ikut menggoyangkan pantatnya. Sementara Nanang menusuk, dia menggerakkan pinngulnya naik turun di atas pangkuan laki-laki itu.
”Ooohhh.. Aaaahhh.. Aaaahh..” gesekan antara penis Nanang dan dinding vaginanya mulai bereaksi pada Lady. Wanita itu mendesis dan merintih-rintih keenakan. Payudaranya ikut bergoyang-goyang saat tubuhnya bergerak terus turun naik.
Nanang yang melihatnya jadi tak tahan untuk tidak meremas. Dan remasan itu secara otomatis merangsang Lady untuk bergerak lebih cepat lagi. Hingga beberapa menit kemudian, wanita itu mengejang diikuti oleh desahan panjang dari mulut manisnya.
”Oooooohhhh…” Lady orgasme. Tubuhnya yang sintal melemas cepat setelah cairan kewanitaannya menyembur kencar.
Nanang yang merasa juga hampir sampai, terus bergerak aktif. Apalagi orgasme Lady barusan juga makin menambah rasa nikmatnya. Vagina Lady yang berkedut-kedut kencang saat menumpahkan orgasmenya membuat penis Nanang bagai dipijat diremas-remas pelan, hingga membuatnya jadi makin tak tahan. Laki-laki itu mengoyangkan pinggulnya lebih cepat untuk menggenjot tubuh montok Lady lebih keras. Dia ingin segera mencapai puncaknya.
Setelah beberapa kali tusukan lanjutan, tubuh Nanang akhirnya menegang. Laki-laki itu terpekik perlahan saat dari dalam penisnya menyembur sperma kental yang langsung memenuhi liang rahim Lady. Sesaat keduanya hanya terdiam saling berpelukan, berusaha mengumpulkan tenaga dan memulihkan nafas masing-masing.
Selanjutnya Nanang mencabut penisnya dan mendorong tubuh Lady hingga wanita itu terduduk lemas di lantai ruang tamu yang dingin. Dia sadar, pengaruh musik harmonika akan hilang sebentar lagi.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, Lady menjerit saat menyadari apa yang terjadi. Wanita itu berusaha menutupi tubuhnya yang telanjang dan lari dari sergapan pria itu. Lady tahu, Nanang pasti ingin membunuhnya.
“Akan kubuat kamu mati dengan tenang, manis.” ancam Nanang sambil menyiapkan harmonikanya.
Lady yang melihatnya, dengan cepat berjongkok dan menarik karpet kecil yang diduduki oleh Nanang dengan sekuat tenaga, sehingga membuat laki-laki dekil itu terjatuh. Harmonikanya terlepas dan jatuh entah kemana. Melihat kesempatan itu, Lady segera berusaha lari dari tempat itu. Namun Nanang sudah keburu menarik salah satu kakinya, sehingga dia ikut terjatuh.
Tidak memberikan kesempatan pria itu untuk menangkapnya, Lady menendang wajah Nanang dengan kakinya yang lain, sehingga ia bisa melepaskan kakinya yang satu dari jeratan tangan laki-laki itu. Lady melihat sebuah vas bunga, dan tanpa pikir panjang, melemparkannya ke kepala Nanan. Sang pengamen berteriak kesakitan sambil memegangi kepalanya yang mulai berdarah akibat lemparan Lady.
Akhirnya Lady bisa melarikan diri keluar dari rumahnya, namun sepertinya Nanang masih menyimpan banyak tenaga. Ia pun segera berdiri dan memungut harmonikanya yang jatuh di lantai, kemudian mengejar Lady keluar rumah.
Mereka berdua kejar-kejaran di pinggir jalan yang sepi, sampai akhirnya Lady melihat sebuah mobil berjalan ke arahnya. Ia mengenal mobil itu dan berteriak minta tolong kepada pengemudinya.
“Itu Lady.” kata Merry yang berada di mobil tersebut bersama Jaka dan Jepri.
Mereka pun berhenti tepat di depan Lady. Merry segera memberikan jaketnya untuk menutupi tubuh Lady yang telanjang.
“Lady, ada apa?” tanya Jaka.
“Pria itu ingin membunuhku.” jawab Lady sambil menunjuk ke arah Nanang yang ternyata masih mengejarnya.
Nanang pun jadi kebingungan, karena niatnya untuk membunuh Lady kini sudah diketahui oleh orang banyak. Tidak mau dirinya tertangkap, ia pun segera berlari untuk menyelamatkan diri. Namun hal itu tidak dibiarkan oleh Jaka dan Jepri.
“Mer, tetaplah di sini bersama Lady.” teriak Jaka sambil mengejar laki-laki itu. Jepri mengikutinya.
“Baik,” sahut Merry.
Kini keadaan berbalik, Nanang yang ganti dikejar oleh Jaka dan Jepri. Mereka berdua mengejar pengamen itu hingga ke sebuah gang kecil. Nanang memutuskan untuk bersembunyi di balik sebuah tempat sampah.
“Di mana orang tadi? Cepat sekali ia menghilang?” kata Jepri yang baru tiba di gang tersebut.
Ketika mereka sedang lengah, Nanang tiba-tiba muncul dan langsung memukul kepala Jepri dengan sebuah kayu yang ada di dalam tong sampah. Pukulan itu membuat Jepri pingsan.
“Pri…” teriak Jaka.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Nanang sambil mengeluarkan harmonikanya.
Jaka terkejut ketika melihat pengamen itu memiliki harmonika yang dicarinya. Benar-benar di luar dugaan, kalau dia akhirnya bertemu dengan pemilik harmonika itu.
“Harmonika itu… ternyata kau yang telah membunuh orang-orang itu dengan harmonika terkutuk itu!” kata Jaka.
“Kau tahu tentang harmonika ini?” tanya Nanang heran.
“Tentu saja. Dan aku akan mencegahmu untuk menggunakan harmonika itu lagi.” kata Jaka.
“Apa? kau akan mencegahku, hahaha… Seharusnya saat ini kau mengkhawatirkan dirimu sendiri, bodoh!” Nanang mencoba meniup harmonikanya. Sementara Jaka mengerti kalau saat ini posisinya benar-benar tidak menguntungkan.
Alunan nada harmonika itu mulai terdengar di telinganya. rasa sakit mulai menyerang Jaka. Namun sebelum keadaan semakin memburuk, tiba-tiba Jepri tersadar dan berganti menghantam kepala Nanang dari belakang.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan itu, Jaka ikut menyerang sang pengamen sehingga harmonika itu terlepas dari tangan Nanang. Karena merasa terdesak, Nanang berusaha mendapatkan harmonikanya lagi dan berlari menyelamatkan diri.
“Dia mendapatkan harmonika itu lagi,” teriak Jepri.
“Kali ini kita harus mendapatkannya,” sahut Jaka.
Jaka dan Jepri sekali lagi mengejar Nanang hingga ke badan jalan. Nanang berlari tanpa menyadari sebuah mobil melaju dengan kencang dari arah depan, sehingga tanpa bisa dielakkan lagi, mobil itu menabraknya dan membuatnya tewas seketika. Harmonika yang dipegangnya terlempar ke pinggir jalan.
Jaka dan Jepri tidak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bisa terdiam ketika melihat Nanang tewas tertabrak mobil. Jaka kemudian memungut harmonika maut itu dan menyimpannya di balik saku.
****
Keesokan paginya di Toko Barang Antik…
Merry dan Jepri sedang membersihkan toko seperti biasa. Mereka juga sedang menerima beberapa pasokan barang dari seorang distributor. Sampai akhirnya Jaka datang sambil bergaya.
“Cintaku… aku tidak akan pernah menyerah sampai kau kembali padaku,” kata Jaka yang sedang berlatih skrip dialog yang akan ia mainkan di teater nantinya.
“Oh, Jak, mengapa kau tidak membantu kami membereskan barang-barang ini?” kata Jepri.
“Maaf, Pri, saat ini aku sedang sibuk karena sebentar lagi aku akan mengadakan pertunjukan teater.” sahut Jaka.
“Hati-hati, Pri, kau jangan mengganggu laki-laki itu, dia sedang menemukan profesi barunya.” canda Merry.
“Kalian berdua menggangguku saja, lebih baik aku berlatih di dalam kamar.” kata Jaka yang bergegas menaiki tangga menuju kamarnya.
“Awas, Jak, suaramu bisa menggangu tetangga.” teriak Jepri.
Jaka membalikkan badannya sambil melotot ke arah Jepri. Sementara Jepri dan Merry hanya tertawa-tawa kecil melihat ekspresi sahabatnya.
END