A Girl Named Tessa

Bookmark and Share
Sabtu, tengah hari. Workshop X-Com.
Gubrakkkkkkk!!!!! dua rim kertas kuarto mendarat di atas meja. Nick yang sedang termenung, melotot marah pada orang yang menariknya kembali ke alam nyata. Jim, sang Purchasing Manajer dari X-Com, toko komputer tempat Nick mencari tambahan uang saku, berkacak pinggang di hadapannya.
“Thinking of her, eh??”
“None of your business, Jim.”
“Emang bukan sih, tapi Boss ngomel tuh ngeliat kerjaan elo belum beres. Wake up man, kita banyak kerjaan nih.”
Nick menghela napas sebelum kembali menekuni pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini. Sebenarnya tidak ada bos atau karyawan di XCom.Semua yang terlibat memiliki bagian dari toko tersebut, karena modal awalnya memang berasal dari mereka sendiri. Hanya saja Ken, yang tadi disebut Boss oleh Jim, ditunjuk secara tidak resmi menjadi semacam “organizer” di kantor tersebut. Jabatan Nick sendiri, bila mengikuti apa yang tercetak di kartu namanya, adalah Customer Service. Kartu nama itu sendiri menjadi semacam lelucon bagi mereka, karena pada prakteknya sehari-hari mereka saling menggantikan tugas temannya yang berhalangan, bahkan si Boss sendiri sering turun ke lapangan bila Jim atau Nick berhalangan. Sering Jim bercanda bila ingin mencetak ulang kartu nama yang sudah habis, bahwa Ia ingin ‘menaikkan’ jabatannya sendiri menjadi boss.Nokia 70 di saku Nick bergetar. Dengan cepat dilepasnya obeng yang tadi digunakan untuk memasang power supply pada casing yang baru setengah diperbaiki itu. Matanya mencari nama Tessa di Layar HP-nya. Andre HP, demikian tulisan yang berkedap-kedip di layar. Dengan sedikit kecewa di jawabnya panggilan itu.“Kenapa Dre?”“Nick, nanti malem loe mo ikutan anak-anak ke …. nggak?”. Andre menyebut sebuah Cafe yang terletak di daerah Kuningan, tempatnya biasa menghabiskan malam, dan uang, tentunya.“Uhhmmm…… nggak deh. Gue lagi nggak mood.”“Susan ikut loh, gue udah bilang kalo mo ngajakin elo, makanya dia ikut. Dia
kan naksir elo Nick.”Nick menghela napas sebal. Susan. Bukan Susan yang merusak konsentrasinya setiap kali Ia mulai bekerja. Bukan dia yang setiap malam dibayangkan Nick berbaring di sampingnya. Bukan. Susan hanyalah sebuah nama tak berarti baginya.“Bilang sorry sama Susan. Gue nggak ikut,” ucap Nick.“Yahh…… kalo elo berubah pikiran langsung aja deh susul kita di
sana, ok??”“Ok Dre. Bye.”“Bye.”Ditaruhnya kembali Nokia silver itu di sakunya. Nick ingin sekali menghubungi Tessa, tapi Ia ingat bahwa tadi pagi ketika menjemputnya, Tessa sudah berpesan supaya Nick tidak menelponnya hari ini, kecuali untuk hal yang sangat penting. Nick tidak berani menelpon Tessa bila sudah dipesan begitu. Pernah sekali, Nick nekat menelpon walaupun Tessa sudah bilang bahwa Ia tidak ingin dihubungi dan akibatnya Tessa marah besar.Nick masih ingat mereka bertengkar hebat dan tidak saling berbicara selama seminggu. Akhirnya Tessa berhasil membuat Nick berjanji untuk tidak menghubunginya bila Ia tidak ingin diganggu.Ini membuat Nick penasaran. Setelah kurang lebih 3 bulan Ia mengenal Tessa masih banyak hal yang misterius tentang gadis itu. Dari sekian banyak yang diketahuinya tentang Tessa, ada sisi gelap yang belum terungkap olehnya.Ia tahu Tessa bekerja di sebuah kantor di kawasan Sudirman sebagai Junior Accountant setelah menyelesaikan S1-nya dalam waktu 3,5 tahun. Nick juga tahu tanggal ulang tahunnya, bahwa Tessa setahun lebih tua darinya, bahwa orang tua Tessa tinggal di Bandung setelah pensiun, dan Tessa tinggal sendiri di Jakarta sejak Ia kuliah, tapi ada saat tertentu dimana Nick merasa bahwa Ia sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai gadis itu. Seperti saat ini misalnya, ketika kerinduannya memuncak, justru Ia tidak tahu apa yang dikerjakan Tessa siang ini.Frustasi karena ketidak berdayaannya melawan perasaan aneh dalam dirinya setiap kali Ia memikirkan Tessa, Nick membenamkan diri dalam pekerjaanya. Bahkan ajakan makan siang dari Ken dan teriakan Jim yang mengumumkan kalau dia akan pulang hanya dijawab dengan angukan tak perduli. Ken tahu, kalau temannya itu sedang sibuk bekerja seperti itu, jangankan tidak makan siang, bahkan dua hari tidak makan pun Nick sanggup. Ia tahu pasti, karena Nick adalah sahabatnya sejak SMA.Jam kukuk antik di dinding kantornya berbunyi 7 kali. Menyadarkan Nick dari keasikannya bekerja. Tinggal sedikit lagi, pikirnya. Jim bisa menyelesaikan sisanya Senin nanti. Ia beranjak menuju ke ruangan sempit berukuran 2X3 meter yang hampir seluruh dindingnya tertutup oleh poster bergambar Rinoa Heartily. Kantor si boss. Nick tersenyum sendiri ketika melihat koleksi terbaru Ken yang bergambar Rinoa dalam keadaan telanjang, entah dapat darimana. Temannya itu memang terobsesi oleh Rinoa. Pernah suatu ketika Ken mengaku kalau Ia membayangkan Rinoa ketika sedang bercinta. Gila, bercinta dengan tokoh kartun, pikir Nick geli. Kursi boss kosong, tapi Ia tahu itu bukan berarti Ken tidak ada di kantornya. Nick mencari ke kolong meja dan menemukan Ken sedang tertidur di tempat favoritnya itu. Memang temannya itu punya kebiasaan dan hobi yang nyentrik, tapi Nick tahu Ia bisa diandalkan sebagai teman. Setelahmeninggalkan pesan di meja, Nick melangkah keluar. Pulang.******Sabtu, 21:10. Kamar kos Nick.Nick membersihkan Gillette Mach 3 nya dengan cermat, lalu membasuh bekas cukuran di mukanya dengan aftershave. Ia merasa segar setelah mandi tadi. Tapi tetap saja ada ‘empty feeling’ di hatinya. Nick memeriksa HP nya. Tidak ada missed call. Tessa tidak meneleponnya. Perasaan sepi yang melanda dirinya sejak siang tadi mendadak hilang, digantikan oleh rasa marah dan kesal, Ia merasa dirinya tidak berarti bagi Tessa. Ia ingin Tessa mempercayainya, membagi semua suka dan duka yang dirasakannya, tapi Nick mendapat kesan setiap kali Ia mencoba setiap kali pula Tessa menarik dirinya menjauh, menjaga jarak. Memang resminya mereka hanya teman, tapi Nick tahu ada sesuatu yang lebih dari itu. Getar tubuh Tessa ketika Nick memeluknya, setiap ciuman penuh kepasrahan di mulutnya, desah penuh kepuasan Tessa di telinganya, Nick tidak percaya itu hanya sex semata.There must be something more than that between them, he know it for sure.Frustasi, Nick membuka lemari bajunya dan mulai memilih baju yang akan Ia kenakan malam ini. Ia telah memutuskan untuk mengikuti ajakan Andre untuk bersenang-senag malam ini. Mungkin dengan sedikit refreshing Ia akan berhasil melupakan Tessa dari pikirannya, paling tidak untuk malam ini saja. Tak lupa digantinya kacamata minus yang sedang digunakannya dengan sepasang contact lens hijau miliknya. Kemudian ia menyelipkan sebungkus karet yang terendam larutan Nonoxynol 9 di dompetnya.
Bukannya Ia merencanakan untuk berhubungan sex malam ini, hanya berjaga-jaga bila Ia sampai di ‘point of no return’, kalau menuruti istilah Jim. Nick menyalakan mobilnya, sambil menunggu mesin mobilnya panas, Ia mencabut sebatang Mild Seven dari saku bajunya. Setelah asap rokok memasuki para-parunya Ia merasa sedikit lebih rileks. Semua kejadian yang dialaminya bersama Tessa selama 4 bulan terakhir ini berlangsung dalam kilas balik di ingatannya.
Sejak Ia tidur bersama Tessa hidupnya berubah drastis, dari seorang workaholic yang ‘dingin’ tanpa perasaan menjadi seorang pencari kenikmatan yang seakan-akan tidak pernah terpuaskan. She’s good in bed, pikir Nick. Ia tahu Tessa bukan perawan ketika pertama kali tidur dengannya, tapi bukan masalah besar baginya. Ia tidak ingin menjadi munafik, berlagak seperti seorang suci padahal dirinya sendiri bergelimang dosa.Tapi benarkah yang dicarinya hanya kenikamtan semata? Mengapa hatinya panas setiap kali ada pria yang memandang Tessa penuh nafsu? dan mengapa pula setiap kali mereka berjauhan serasa ada sebagian diri Nick yang hilang ? Nick tidak dapat menjawabnya.Selama perjalanan Nick mencoba untuk benar-benar rileks, Ia berniat untuk tidak memikirkan Tessa malam ini. Tak lama kemudian mobil Nick memasuki tempat parkir sebuah gedung tempat Cafe yang disebutkan Andre siang tadi. Nick meraih Nokia-nya. Dicarinya nomor HP Andre, lalu Ia memijit tombol bergambar telepon hijau.“Dre, gue udah di bawah nih. Elo tunggu di mana?”“Langsung aja ke atas Nick, gue tunggu elo di tempat biasa.”“OK, wait for me then.” Masih sempat di dengarnya Susan berteriak kegirangan di latar belakang sebelum hubungan terputus.*****Sabtu, 23:30. JJ Cafe.Speaker berkekuatan 30.000 watt menggelegarkan Magic Carpet Ride versi remix dari Fatboy Slim. Irama house bercampur sedikit latino mengundang para pengunjung untuk menggerakkan badannya. Segera saja lantai disko yang tadinya tidak begitu ramai mendadak dipenuhi pria dan wanita yang bergoyang dengan panasnya. Nick mengamati Susan yang sedang bergoyang dengan asyik.
Hmmmm, Ia harus mengakui malam itu Susan tampil sangat luar biasa.Tank-top keperakan membungkus tubuh bagian atasnya dengan terpaksa, sekedar mencegah bagian dada yang membuat begitu banyak pria di lantai disko, yang entah disengaja atau tidak bergerak mendekati Susan, terekspose dengan bebas. Di bagian bawah, Susan mengenakan rok pendek ketat dari kulit. Entah rok tersebut dipakai terlalu ke bawah ataukah tank-top silver-nya yang dikenakan terlalu tinggi sehingga menunjukkan perut dan pinggang yang rata. Sesekali tangan Susan bergerak menggerai rambutnya yang sebahu, membuat dadanya yang sudah menonjol penuh itu meronta-ronta. Sepatu Bot setinggi betis, juga dari kulit, menonjolkan bentuk kakinya yang bagus sekaligus menambah kesan seksi dan sedikit nakal.Nick sendiri hanya bergerak sekedarnya mengikuti irama yang menghentak lantai disko. Rupanya Susan tidak tahan melihat Nick begitu dingin. Ia bergerak semakin mendekat. Dengan ahlinya Ia mengangkat kedua lengannya yang bergerak mengikuti beat ke atas, seperti seorang penari ular Ia mulai menggeserkan tubuhnya menyentuh dada Nick. Sentuhan halus yang hanya sesekali mengenai tubuhnya itu membuat Nick terpancing untuk bergerak lebih panas. Susan menggerakkan bokongnya yang indah ke kiri kanan, se-sekali dengan nakal di dorongnya pinggang ramping tersebut sehingga menyentuh kemaluan Nick. Boy, she’s really a teaser, pikirnya. Sebenarnya Susan bukanlah wanita tipe Nick. Ia lebih suka yang bertubuh tinggi langsing, dengan lekuk liku yang tidak terlalu menonjol.Tapi apa dayanya, suasana lantai disko yang panas, setengah butir Inex yang tadi dimimumnya dengan dua gelas
Long Island mulai menunjukkan pengaruhnya. Nick mulai mengikuti gerakan Susan, tubuh mereka bersentuhan berkali-kali di tengah gerakan-gerakan mereka yang semakin liar. Berpasang mata memandang mereka berdua dengan iri, terutama yang pria memandang ke Susan dengan pandangan penuh nafsu. Nick tidak memperdulikan semua itu. Mukanya terasa panas, jantung dan pelipisnya berdenyut keras, mulutnya terasa kering, pandangannya mengabur. Lampu spot-light warna warni dan lightning berpendaran membuat gerakan di sekelilingnya bagai film yang diputar dalam adegan lambat. Dilihatnya kepala Susan bergerak liar, tangannya membuat gerakan membelai buah dadanya sendiri. frame demi frame adegan tersebut terlihat dalam gerakan lambat di mata Nick. Kemudian tanpa peringatan tangan Susan meraih bahu Nick, setengah menariknya sehingga kini muka mereka berdekatan. Ia bisa merasakan napas Susan yang hangat di pipinya, wangi Bvlgari lembut bercampur dengan aroma keringat membelai hidungnya. Halusnya kulit punggung Susan terasa bagai sutra di jemarinya. Dada Susan lembut menekan dadanya sendiri, mengalirkan kehangatan yang tak asing lagi di tubuhnya. Nick sedikit membungkuk, berbisik lembut di telinga Susan.“Bad girl, are you trying to tease me??”“Hmm…… I’m trying Nick, you know I want you,” bisik Susan.“Guess you’ve made it, Sue.”“Really??” tanya Susan penasaran. Tangan kirinya menghilang ke bawah, ke arah selangkangan Nick. Dibelainya dengan lembut tonjolan keras di balik celana Nick.Kepala Nick terasa ringan. Musik yang keras menghentak terdengar timbul tenggelam di telinganya, serasa ada cahaya terang di otaknya. Dinikmatinya belaian tangan Susan. Ia sendiri mulai meraba punggung dan leher Susan, lalu berlanjut ke samping, ke arah payudara dan perut yang langsing menantang. Didengarnya Susan mendesah di antara musik hingar bingar. Pandangannya sayu, mulutnya setengah terbuka, merah, menantang….“Jangan di sini, di tempatmu saja,” bisik Nick ketika Susan dengan setengah sadar berusaha membuka ikat pinggangnya.“Uhhh….. Ok, sori gue gak sadar,” jawab Susan terengah-engah, jelas Ia sudah mabuk. Mabuk oleh minuman keras dan oleh nafsunya sendiri.Sebenarnya Nick juga tidak lebih baik keadaannya, kejantannya terasa sakit karena tidak bisa berdiri dengan leluasa. Kepalanya makin ringan, berputaran, jantungnya masih berdenyut keras, tetapi Ia memaksakan kakinya kembali ke Bar di lantai atas untuk berpamitan dengan Andre yang berkumpul dengan teman-temannya yang lain di sebuah reserved table.“Guys, gue cabut dulu, ada urusan nih. Biar Susan gue anterin pulang sekaligus, katanya dia kurang enak badan.”“Elo bisa nyetir Nick?? Apa perlu gue anterin?” tawar Andre.“It’s okay, gue cabut dulu ya, see ya all. Have fun,” salam Nick kepada mereka semua.Terdengan sahutan dari sekelilingnya. Nick tidak tahu apakah mereka percaya dengan alasan “kurang enak badan” nya Susan, dan sejujurnya dia juga tidak perduli. Dengan langkah agak diseret, Ia bersama Susan melangkah menuju Lift. Saat itulah Ia melihatnya. Kira-kira 5 meter di depannya, menghadap ke arah lain, tampak sepasang pria wanita yang rupanya juga menunggu Lift.Tidak mungkin salah, bahkan dalam keadaan setengah mabuk dan masih ‘high’ dengan penerangan secukupnya, Ia bisa mengenali seraut wajah yang kerap kali mengisi lamunannya. Wajah yang menemaninya dalam mimpi. Wajah yang bisa membuat hidupnya secerah mentari pagi, atau sebaliknya bisa membuat hatinya begitu sakit dan perih seperti saat sekarang ini. Tessa tidak melihat Nick, tapi Nick bisa melihatnya dengan jelas. Seorang pria tegap berusia 30-an merangkulnya ketat, tangannya dengan kurang ajar menggerayangi payudara Tessa dari samping. Bibirnya mencuri-curi kesempatan untuk mencicipi mulusnya leher jenjang milik Tessa. Si empunya leher dan payudara itu sendiri kelihatannya menanggapi dengan agak dingin perlakuan tersebut. Pandangannya kosong, menerawang seakan-akan Ia tidak berada di
sana.Nick merasa hatinya tercabik-cabik. Wanita yang dicintainya sepenuh hati, yang dikiranya sedang sibuk menyelesaikan tugas kantornya, yang teleponnya ditunggu penuh harap oleh Nick seharian ini, ternyata sedang berada dalam pelukan pria lain. Kakinya mendadak lemas sehingga Ia terpaksa sedikit bersandar ke Susan bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Tessa menoleh ke arahnya, mulutnya mendadak terbuka kaget, matanya membelalak seakan-akan melihat hantu. Susan menariknya masuk ke dalam lift, diikuti oleh belasan orang lain, termasuk Tessa dan pasangannya.Di dalam lift posisi mereka memungkinkan Nick dan Tessa saling berpandangan. Nick bisa melihat kelam mata Tessa dengan jelas. Ada seribu kesedihan di
sana. Sejuta tangis tanpa air mata. Herannya, tidak ada kilat marah di mata Tessa. Ia bisa melihat bahu Tessa bergetar halus, sedangkan pasangannya yang tolol itu masih saja berusaha mencium daun telinga Tessa.Nick merasakan bibirnya bergerak tanpa sadar memanggil nama Tessa tanpa suara. Matanya panas terbakar cemburu dan amarah. Pelipisnya berdenyut dengan hebat sampai Nick bisa merasakan tarikan otot wajahnya sendiri. Ia sadar tidak adil untuk marah dan cemburu kepada Tessa karena bukankah Ia pun sedang merangkul Susan sekarang ini? Tapi rasa hatinya mengalahkan semua pertimbangan tersebut. Ia masih memandang Tessa lekat-lekat.
Cantiknya Ia malam ini, pikir Nick pahit.
Kenyataanya, Ia selalu nampak cantik di mata Nick, bahkan dalam keadaan seperti sekarang ini. Tessa melihat ekspresi wajah Nick.
Ada kemarahan di mata Nick. Sinar matanya membayangkan sakit hatinya, seperti juga hati Tessa yang serasa disayat-sayat pisau berkarat. Tidak Nick, kau tidak mengerti, jerit Tessa dalam hati. Hatiku pun sakit, sakit sekali. Tapi aku tidak mampu menceritakannya kepadamu Nick. Maafkan aku Nick. Tessa berhasil memaksakan seulas senyum getir.Lift sampai di lantai dasar. Pintunya membuka, kerumunan orang berdesakan keluar. Nick dan Susan keluar terakhir, berusaha agar tidak terdorong masuk kembali oleh kelompok yang hendak memasuki lift. Sesampainya di luar lift, Nick mencari bayangan Tessa, tapi tak terlihat di manapun juga siluet punggung dan bahu yang kurus itu. Nick dan Susan melangkah ke lapangan parkir, menghampiri mobil Nick.*****00:47, Apartemen Susan.“Oohhhhhh………… Nick. Yeah, feels so good.”Nick sedang menciumi leher Susan. Tangannya meremas lembut payudara Susan yang kini tinggal mengenakan celana dalamnya. Nick sendiri telah kehilangan bajunya, dan sekarang tangan Susan sedang menyelesaikan pekerjaannya membuka ikat pinggang Nick yang tadi tertunda di lantai disko. Tiba-tiba bayangan Tessa yang digerayangi oleh partnernya melintas kembali. Nick merasa amarahnya mulai naik ke ubun-ubun. Dengan sedikit kasar di dorongnya Susan sehingga terbaring di ranjang. Ditendangnya celana panjangnya yang sudah melorot sampai ke paha, sekarang Nick tinggal bercelana dalam. Susan tak mau kalah. Dengan ahli dilepaskannya celana dalam Nick, dibelainya kejantanan Nick, diremasnya pelan. Nick semakin buas, Ia bergerak ke atas tubuh Susan. Bibir mereka bertemu, saling pagut, saling gigit, lidah mereka berbelitan, air ludah mereka bercampur menjadi satu. Setelah ciuman yang panas itu bibirnya turun ke arah dua bukit yang bergetar, menunggu bibir Nick mengambil alih tugas tangan yang kini berpindah ke pinggul Susan, berusaha melepas sisa penutup tubuh yang masih menempel.“Mmmmmppphhhh….. ohhhhhh, don’t stop Nick, ahhhhhhh…….”“I want you NOW Nick, ahhhhhhhhh……..”“Pleaseee…….”Nick tidak menanggapi rintihan Susan, kini setelah segitiga pengaman Susan terlepas, bibirnya berhenti menghisap puncak kedua bukit yang memerah tersebut. Dijilatnya kedua putik itu, membuat Susan lagi-lagi merintih. Kemudian diambilnya gelas red wine yang tadi disuguhkan Susan, dengan perlahan Nick menuangkan sisa isi gelas tersebut ke belahan dada yang membusung itu, dijilatnya dengan satu jilatan panjang dan basah. Susan menggelinjang kegelian, kemudian berteriak kecil ketika cairan merah tersebut mengalir ke perut dan pinggangnya karena dengan segera Nick mengejar dengan lidahnya, seakan-akan tidak rela kalau ada setetes cairan yang terlewat. Lidah Nick akhirnya sampai ke daerah kewanitaan Susan.Daerah bukit kemaluan yang menonjol itu bersih tanpa ada rambut. Nick mengambil bantal dan mengganjalnya di bawah pinggul Susan sehingga keindahan itu kini terbuka dengan jelasnya. Dengan tangannya Nick membuka paha Susan lebih lebar, diurutnya dengan lembut pangkal paha Susan. Kemudian mulailah lidahnya menari-nari. mencari klitoris yang sudah membengkak penuh. Tidak digubrisnya erangan penuh kenikmatan yang keluar dari mulut Susan, dinikmatinya cairan kental dengan bau khas feromone bercampur red wine yang mengalir tanpa henti seiring dengan gerakan lidahnya yang kini menggelitik kedua bibir luar vagina Susan. Sesekali di sedotnya bibir tersebut, membuat Susan meronta-ronta liar penuh kepuasan.“Nick, please, I can’t take it any longer. Get inside of me, please……… AAAAHhhhhhhhhhhhh,” tiba tiba kedua paha Susan menjepit kepala Nick dengan kuat, tangannya mengepal mencari pegangan di rambut Nick, pinggulnya terangkat tinggi, tubuhnya bergetar hebat menyambut gelombang orgasme yang menghantamnya dengan sejuta kenikmatan. Susan masih terengah-engah ketika didengarnya bungkus plastik tersobek, Nick sedang mengeluarkan karet pelindung dan mengenakannya.“Jangan pakai Nick, I wanna feel you, the real you inside of me,” kataSusan lemah. Ia masih lemas setelah orgasmenya yang pertama, tapi rupanya Nick tidak akan memberinya kesempatan beristirahat.Nick mengelus-ngelus sekujur tubuh Susan untuk meredakan gelombang kenikmatan yang tersisa. Ia membuang bungkusan kondom yang terbuka itu ke lantai. Kemudian dengan kasar Ia menaiki tubuh Susan, Ditariknya kedua tangan Susan, ditindihnya dengan tangannya sendiri di samping telinga Susan. Dijilatnya daun telinga Susan, dengan keras lidahnya bermain disitu, kemudian bergeser ke belakang telinga, lalu ke leher, turun ke bahu, kembali ke payudara Susan yang kini terguncang bebas. Dirasakannya kejantannya bersentuhan dengan kewanitaan Susan yang basah dan hangat. Dengan satu gerakan keras Ia mendorong dirinya memasuki Susan, bibirnya mencari bibir Susan, mencegahnya berteriak. Terasa oleh Nick betapa lidahnya di hisap kuat, lidah Susan menari di langit-langit mulutnya menimbulkan rasa geli yang nikmat. Ia mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, menerobos kewanitaan Susan berulang-ulang.Pinggul Susan bergerak mengimbangi tusukan-tusukan Nick dengan otomatis. Ke kiri dan ke kanan, lalu memutar, kejantanan Nick serasa dipijat dan ditelan sekaligus. Rintihan Susan memancing gairah Nick naik semakin tinggi, dipercepatnya gerakan pinggulnya. “ooohhh….. feels so good babe……. yeah……..”Entah berapa lama Nick menyetubuhi Susan, menerima kenikmatan bersatunya kedua jenis kelamin itu. Susan pun merasakan hal yang sama, mulutnya menggumamkan nama Nick. Pinggulnya bergerak semakin liar. Ia bisa merasakan gelombang orgasmenya yang kedua mulai datang. Lebih nikmat dari yang pertama, seakan-akan ada sesuatu yang makin besar dalam dirinya, siap meledak sewaktu-waktu. Sementara itu Nick bergerak semakin cepat, mulutnya meracau.“Uhhhh……. I’m cumming……, ohhhhhhhhhhhh.”Seiring dengan itu Susan menjerit panjang, Ia dilanda orgasmenya yang kedua, lebih panjang, lebih nikmat, meledak dalam kontraksi otot-otot vaginanya yang membuat Nick mencapai orgasmenya dalam waktu yang hampir bersamaan.“Ooooohhhhhhhh!!!” tubuh Nick menegang, kemudian ambruk, lemas, disamping tubuh Susan.Basah oleh keringat, tangan Susan membelai dada Nick. Gemetar. Matanya membasah oleh air mata. Nick masih terdiam, menikmati belaian Susan. Kemudian disadarinya isak tertahan dari tubuh telanjang di sampingnya.“Elo nangis Sue???” tanyanya.Tidak ada jawaban, hanya bahu Susan yang berguncang menahan agar tidak lebih banyak air mata yang keluar. Sepi. Hanya tangis pelan Susan, ditambah dengung AC 3/4 pk di pojok ruangan yang terdengar.Nick menghela napas. Ia membelai-belai tubuh Susan untuk menenangkannya. Ditariknya selimut menutupi tubuh mereka berdua.“Do you love her Nick???” tanya Susan tiba-tiba, memecah keheningan.“Siapa?” Nick tersentak mendapat pertanyaan tiba-tiba tersebut.“Wanita yang kita temui di lift tadi, namanya Tessa?? Jangan kaget,” tambah Susan ketika dirasakannya tubuh Nick menegang.“Walaupun setengah mabuk tapi gue masih bisa ngeliat gimana elo orang berdua liat-liatan,” kata Susan. Perih hati Nick kembali meruyak, teringat pertemuannya dengan Tessa tadi.“Do you??” kejar Susan lagi.“Yes. I love her very much. Sometimes it hurts me coz i know i can’t live without her,” bisik Nick pelan.“Apa elo selalu nidurin cewe yang nggak elo suka cuma sebagai pelampiasan kekecewaan elo aja Nick??” pertanyaan Susan itu menusuk hatinya, membongkar rasa bersalah yang membuncah di hatinya.“Elo tau Nick, gue sayang elo udah dari dulu, gue rela tidur sama elo walaupun elo gak sayang gue. Tapi malem ini elo bener-bener nyakitin gue,”Susan mengusap air mata yang kembali mengalir di sudut matanya. “Sori kalo gue agak kasar tadi,” ucap Nick.“Bukan itu Nick, bukan fisik gue yang sakit. Tau nggak betapa sakitnya gue begitu tau elo bercinta sama orang lain, bukan gue, barusan,” kata Susan lagi.“Tapi…” kata kata Nick dipotong di tengah jalan.“Elo manggil-manggil namanya tanpa sadar tadi,” potong Susan perlahan.Seperti disambar petir rasanya. Nick termenung mendengar ucapan Susan.
Betapa Ia telah menyakiti hati gadis ini. Betapa jahatnya dia terhadap Susan. Nick bergerak untuk memeluk Susan, untuk menyatakan betapa menyesalnya dia atas perbuatannya. Tetapi Susan membalikkan tubuhnya, kini punggungnya yang telanjang menghadap Nick.“Nick, don’t…..” cegah Susan. “Tinggalin gue sendirian Nick, gue butuh waktu buat mikir,” katanya lagi.Nick bangkit perlahan. Ia memakai kembali pakaiannya, lalu duduk di pinggir ranjang. Tangannya meraih jemari Susan.“Sue, gue jahat sekali sama elo. I’m sorry. Please, can we……” Nick tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berpikir apakah terlalu kejam untuk meminta Susan tetap menjadi temannya, setelah apa yang Ia perbuat malam ini. “Gue pergi Sue,” Nick akhirnya berkata. Dikecupnya kening gadis itu lembut. Sempat dilihatnya Susan memejamkan mata, sia-sia mencegah dua butir air mata mengalir keluar. Ia menganguk.“Don’t worry about me. Kunci pintunya Nick, trus balikin besok. biar gue pake kunci cadangan.”Pelan-pelan, Nick melangkah ke luar dari kamar Susan. Sebotol wine masih berdiri di atas meja, di sampingnya ada sebotol Black Label yang masih setengah penuh, diambilnya botol itu. Ia ingin mabuk malam ini. Di kepalanya segala pikiran bercampur aduk. Perasaannya terhadap Tessa, kejadian tadi di cafe, persetubuhannya dengan Susan, kata-kata Susan tadi. Ia ingin melupakan semuanya sejenak. Nick melangkah keluar, ke tempat parkir.*****
Ooops.. I did it again ! (with Sinta)
Kejadiannya masih dengan orang yang sama dengan kisahku yang sebelumnya, yaitu Sinta. Dia adalah teman sekampusku yang berbeda fakultas, selain itu dia juga teman kostku. Tingginya kira-kira 160 cm, umur 21 tahun, keturunan Chinese sepertiku, rambutnya kini sudah panjang sebahu lebih di-highlight kemerahan. Sifatnya yang periang dan lucu membuatnya mudah dekat dengan orang lain. Namun Sinta ini agak nakal, sehingga tidak heran ketika umur 16 tahun sudah kehilangan keperawanannya, dan sampai sekarang sudah 3 kali pacaran. Dua kali pacaran di SMA yang berumur pendek, dan yang sekarang yang ketiga dengan temanku yang sedang belajar di luar negeri.Saat itu Sinta baru pulang dari rumah sakit setelah beberapa hari lamanya menginap di
sana akibat jatuh dari tangga kampus. Walaupun sudah keluar rumah sakit, tapi kaki kirinya masih diberi obat dan belum dapat berjalan dengan benar, sehingga harus dibantu dengan tongkat. Ya, selama masa-masa itulah dia menjadi ‘ratu’ di kost kami, beberapa keperluan seperti makan dan urusan beli membeli dibantu oleh teman-teman kostnya termasuk aku.Suatu malam aku baru belanja di mini market dekat kostku, sekalian kubelikan juga barang-barang titipan Sinta. Waktu itu sudah hampir jam 9 malam, tapi kamar Sinta masih menyala, maka aku menyempatkan diri berkunjung ke
sana sekalian menyerahkan barang-barang titipannya.
“Masuk aja, belum dikunci kok..!” sahut suara dari dalam ketika pintu kuketuk. Sinta sedang duduk di ranjang sambil nonton TV, “Eh, Le tolong sekalian ambilin rokok gua dong di laci meja dong..!” pintanya. Kuberikan sebungkus rokok itu padanya dan dia menyulutnya sebatang. “Masih melek juga lu Sin, ngga ngantuk nih..?” tanyaku.“Ya gimana bisa ngatuk, hampir seharian di ranjang melulu kok, lu kok baru dateng sekarang sih, gua BT banget nih, acara TV-nya pada garing lagi, uuhh.., sebel..!” gerutunya.“Kan gua sibuk Sin, temen-temen lain kan tadi juga banyak yang main ke sini
kan.”“Iya, tapi
kan sepi kalo ngga ada lu buat temen ribut.” jawabnya sambil tersenyum nakal.Kami akhirnya ngerumpi macam-macam sampai tidak terasa sudah lebih dari jam 10 malam, dan kulihat Sinta sudah menghabiskan 2 batang rokok. Sebelum dia hendak mengambil kotak rokok untuk mencabut batang yang ketiga, aku mendahuluinya dan berkata, “Udah Sin, ini udah ketiga loh, lagi sakit gini kok makan asap terus sih, mau cepet mati yah..?” “Aahhh.., kok gitu sih, gua di rumah sakit ngga boleh ngerokok nih, kembaliin sini..!”“Jangan ah Sin, ngga baik, lu
kan belum sembuh betul..!” kataku sambil mengoper ke tangan yang satu lagi, sehingga kotak rokok itu makin menjauh darinya.Sinta hanya dapat menggapai-gapai karena kakinya masih pincang sebelah.“Iihh.., yang lagi sakit
kan kaki gua, ngga nyambung lu ah, mana sini..!”“Udah ah, besok aja lagi, udah segitu banyak masa ngga cukup sih..?”Sinta lalu melipat tangan dan membuang muka terhadapku, “Jahat..! Lu beraninya cuma sama cewek pincang, sebel..!”Nah, keluar deh salah satu ‘jurus’-nya kalau keinginannya tidak dituruti, paling pusing deh kalau dia sudah begini.
“Alahh, udahlah Sin, gua sih udah ngga mempan sama cara gituan, ini
kan buat kebaikan lu juga.” bujukku mencoba menenangkannya.“Eeemmhh.. Leo jahat, awas loh, pokoknya ntar gua bilangin ke Vivi lu dulu pernah gituin gua sama Ci Diana..!” ancamnya, lalu dia berbaring dan menarik selimut sampai menutupi kepalanya.“Aduh, Sin jangan gitu dong, kita damai aja deh ya..?” kataku sambil menggoyangkan badannya.Tapi dia tetap diam di balik selimut, maka kudekatkan posisiku dengannya dan mengguncang-guncangkan badannya lebih keras.“Sin.., Sin..! Wah, marah euy, sori dong Sin, gua
kan cuma main-main aja, gitu aja kok marah sih..!”Tiba-tiba dia membuka selimut dan menyambar tanganku yang memegang rokoknya. Aku yang tidak menduga gerakannya tentu saja kaget dan kehilangan keseimbangan, sehingga ikut tertarik ke depan. Dengan tidak sengaja aku menyentuh payudaranya, namun anehnya kami malahan terdiam dalam posisi itu. Wajahku hanya 5 cm dari wajahnya, aku dapat merasakan di balik dasternya itu dia tidak memakai BH. Wajah Sinta memerah dan memelototiku, tapi entah karena kekuatan apa, wajah kami makin mendekat saja seperti magnet.Tanpa pikir panjang lagi, langsung kulumat bibir Sinta yang indah itu. Kami berciuman mesra, kini mulut kami mulai membuka dan beradu lidah. Sinta begitu agresif memainkan lidahnya di mulutku, teknik berciumannya sangat profesional, maklum walau lebih muda tapi pengalaman sex-nya lebih banyak dariku.Ciumanku mulai turun ke telinga dan lehernya, sementara tanganku meremas dadanya. Kubuka selimut yang menutupi tubuhnya, lalu kusingkap pakaian tidurnya sehingga tampak kedua belah pahanya yang panjang dan putih mulus dengan kaki kiri yang terbalut perban itu.“Le.., pintunya, pintunya kunci dulu dong, ntar ada yang tau..!” katanya.Aku baru sadar dan segera kukunci pintu dan kumatikan lampu kamar dan menyisakan lampu neon 10 watt di dekat ranjang.Setelah kubuka seluruh pakaianku dan menyisakan CD-ku, kudekati dia yang berbaring pasrah. Aku menaikkan dasternya perlahan-lahan sambil mengelus-elus tubuhnya yang mulus. Sekarang yang tersisa di tubuh Sinta hanya sebuah celana dalam putih tipis yang menampakan bulu-bulu kemaluanya yang lebat. Aku berbaring di sisinya dan memulai seranganku dengan mengecup lembut bibirnya, sementara tanganku mulai merambat ke bawah mengusap-usap kemaluannya yang masih tertutup CD.Nafas Sinta sudah mulai memburu dan mengeluarkan suara-suara tidak jelas seperti mengigau, mulutku terus turun menuju payudaranya. Puting susunya yang mungil berwarna pink itu kuemut disertai dengan gigitan-gigitan kecil. Di tempat lain, tanganku menyusup ke dalam CD-nya, jari-jariku bermain di vaginanya yang mulai basah. Mula-mula kugosok-gosok dan kupermainkan klistorisnya dengan lembut, sampai tiba-tiba kusodokkan jariku ke dalam liang itu agak keras, sehingga Sinta tersentak dan menjerit kecil.“Awww.., Leo. Gitu ihh.. ngagetin orang melulu, sebell..!” katanya sambil mencubit dadaku.Aku tersenyum licik dan berkata, “Apa Sin..? Kaget..? Gimana kalo gini lebih kaget ngga..?”Habis berkata, aku langsung menusuk-nusukkan jariku dengan cepat pada vaginanya, sehingga dia menggelinjang seperti cacing kepanasan.“Aahh.. oohhh.. Le.. jelek..! Awww.., sebel ihh..!”Aku tambah bergairah mendengar jeritannya itu, kutambah lagi seranganku dengan mengulum daun telinganya dan sesekali kujilati lubang telinganya. Sinta semakin erat memelukku.“Le.., ooohh.. udah dong.., jangan siksa gua.. ahhh..!”Saat tubuhnya mulai mengejang, aku menghentikan seranganku pada vaginanya dengan maksud mempermainkan nafsunya.“Yahh.., kok udahan sih, padahal
kan bentar lagi..?” protes Sinta dengan nafasmasih memburu.“Hehehe.., sabar Sin, ini baru pemanasan, liat aja nanti..!”Kukeluarkan tanganku dari celana dalamnya, dan kulihat jari-jariku belepotan cairan bening dari liang kemaluan Sinta. Kuoleskan cairan itu pada payudara kirinya.“Eemmhh Leo, jorok iihh..!”Aku tidak perduli omelannya, dan kuteruskan dengan menjilati dadanya yang sudah kuolesi dengan love juice, rasanya memang aneh tapi sungguh nikmat, apalagi bercampur dengan payudara montoknya Sinta, sukar dilukiskan rasanya. Setelah puas menyusu, aku mengambil posisi berlutut diantara perutnya, dan Sinta yang sudah tahu kemauanku segera bangkit dan duduk di ranjang. Kini batang kemaluanku yang masih terbungkus celana dalam tepat di depan wajah Sinta. Mula-mula dielus-elusnya gundukan keras itu dengan tangan dan pipinya, lalu dibukanya CD-ku hingga menyembullah benda di baliknya yang sudah mencapai ukuran maksimal.“Ckk.. ck.. ck.. gile, lucky banget tuh si Vivi bisa sering diservis ama ‘adek’ lu ini, gua paling cuma kalo si Andry pulang aja..,” katanya sambil mengelus-elus penisku.Bibir Sinta mulai turun menuju kedua bola ‘pusaka’-ku, dijilati dan diemutnya benda itu. Setiap jengkal kemaluanku tidak luput dari jilatannya, hingga kemaluanku basah kuyup oleh ludahnya, tapi dia belum juga memasukkan penisku ke mulutnya.“Sin, cepet dong, kok cuma dijilat aja, ngga tahan nih..!” kataku tidak sabar.“Eeiitt, sabar Le, ini kan baru pemanasan, tunggu dong, kalau makan es krim waktu panas-panas
kan harus pelan-pelan baru kerasa enaknya.”Sialan, pinter juga nih anak membalasku tadi, tapi bener juga perkataannya, kalau terlalu buru-buru memang kurang terasa nikmatnya.Kini diarahkannya penisku ke mulutnya, mula-mula diciumnya kepala kemaluanku, kemudian perlahan-lahan mulut mungilnya mulai membuka, sedikit demi sedikit batangku ditelan sampai menyentuh di tenggorokkannya, sebelum mulai dia melirik padaku dulu dengan tatapan nakalnya. Harus kuakui, sungguh hebat si Sinta ini dalam bercinta, penisku dikulum-kulum dalam mulutnya, divariasikan dengan permainan lidahnya. Terkadang dia juga menjilati lubang kencingku, sehingga aku tidak tahan untuk tidak mendesah.“Uuuhh.., aakkhh.. edan.. belajar darimana.. lu.. aahh.. Sin..? Enak banget ahh..!”Tanpa menghiraukan pertanyaanku, dia terus mengkaraoke penisku, kepalanya maju mundur dan sesekali dia melirik wajahku untuk melihat reaksiku.Dalam waktu kurang dari 15 menit, akhirnya, “Creet.. creet.. creet..!” beberapa kali ‘adik’-ku muntah-muntah di mulut Sinta disertai desahan panjangku.Hebatnya, dia tidak melepaskan penisku dari mulutnya, dia tampak berkonsentrasi menghisap dan menelan habis semua cairan itu. Penisku serasa disedot vacum cleaner saja waktu itu, tidak sedikitpun spermaku menetes keluar dari mulutnya. Baru setelah tidak ada yang muncrat lagi, dia perlahan-lahan melepaskan penisku.Dia tersenyum padaku dan berkata, “Wah, payah lu, baru sebentar udah ngecret, si Andry aja masih tahan lebih lama dari lu loh..!”“Habis udah konak banget sih Sin, lagian lu kok karaokenya enak banget, beda sama Vivi dan Ci Diana, swear loh..!”“Iyalah Le.., Vivi dan Ci Diana kan cewek alim, ngga bandel kaya gua..”Sinta kembali berbaring, celana dalamnya kulepas dengan hati-hati, terutama saat melewati kaki kirinya, karena takut menyakitinya. “Sin, jangan terlalu ribut yah, kalo si Thomas dan Ami denger bisa gawat..!” kuperingatkan dia karena posisi kamar ini tidak begitu strategis, sementara Sinta kalau ML ribut banget.Pantas kalau Andry pulang ke Indonesia, Sinta sering tidak pulang ke kost, rupanya si Andry juga mau cari aman.Aku mengatur posisi, Sinta berbaring miring dan kaki kanannya kuangkat. Meskipun unvirgin, tapi kemaluannya masih rapat dan kencang (pasti rajin dirawat nih), penisku lumayan susah juga menembus vaginanya, untung ada love juice dan ludah yang melumuri penisku sebagai pelumas. Perlahan-lahan penisku mulai tertanam pada liang itu diiringi desah kenikmatan Sinta. Saat kurasa penisku sudah masuk penuh, kuhentikan sejenak aktivitasku agar Sinta dapat terbiasa dan menikmati dulu.
Sambil kubelai rambutnya, kusentakkan pelan pinggulku, makin lama gerakkanku makin cepat, bahkan sesekali aku melakukan sodokan keras terhadapnya. Sinta menjerit-jerit sambil menggigiti jarinya berusaha agar jeritannya tidak terlalu keras. Hampir setengah jam kami bertahan dengan posisi itu, kurasakan dinding kemaluannya mulai berdenyut-denyut menyebabkan penisku makin tertekan. Tubuhnya meronta-ronta dengan liar, jeritan yang keluar dari mulutnya pun makin histeris. Mendengar rintihan tidak karuan itu, aku makin ganas saja, payudaranya kuremas-remas dengan brutal, sehingga dia makin kesetanan.“Le.., ahh… akkhh.. boleh.. ohh.. di dalam.. akhh..!” katanya lirih.Kami akhirnya mencapai puncak kenikmatan bersama, spermaku tertumpah di rahimnya, sebagian meleleh keluar karena cukup banyak. Kulumat bibirnya agar jeritannya terhambat. Sambil berpelukan dan berciuman, kami menikmati sisa-sisa orgasme. Kulepaskan penisku dari vaginanya, tubuh kami sudah licin dan basah oleh keringat yang membanjir.Setelah tenagaku pulih, aku menggendong dan mendudukkannya di meja belajar. Sebenarnya aku mau melakukan doggy style, karena Sinta paling enak digarap dengan posisi ini (baca “Hadiah Bagi Pahlawan”). Namun dengan kondisi kaki seperti ini tentu tidak nyaman baginya, maka kugarap dia dengan posisi duduk di meja. Tubuhnya menggelinjang liar di atas meja sampai setumpuk buku di dekatnya berjatuhan ke lantai akibat tersenggol olehnya. Mulutnya juga aktif mengimbangi dengan ciuman dan jilatan baik pada mulut, leher, dan telingaku.Kali ini aku akhirnya berhasil meng-KO-nya setelah sodokan-sodokan khasku membuatnya orgasme lebih awal dan memintaku berhenti. Namun aku terus menggenjotnya beberapa menit sampai aku mencapai klimaks.“Ha.. ha.. ha.., akhirnya ngaku kalah juga lu Sin..!” kataku dengan bangga.“Licik, gua kan masih sakit, tunggu aja kalo gua sembuh nanti Le..!” balasnya.Walaupun aku menang darinya, namun terus terang aku sendiri merasakan kelelahan yang amat sangat. Butuh waktu dan tenaga extra untuk menaklukkan gadis berpengalaman seperti dia.Aku menggendongnya kembali ke ranjang, kami berbaring menyamping berhadapan. Lalu dia tersenyum, sambil mencolek hidungku dia berkata, “Nakal juga yah lu, tega-teganya ngentotin ceweknya sobat sendiri.”“Ah, lu juga Sin, masa cowoknya saudara lu (Sinta dan Vivi masih saudara jauh) juga lu ajak gituan..!” balasku.“He.. he.. he.. ngga apa-apalah sekali-sekali selingkuh, yang penting kan hati gua tetap buat Andry dan hati lu tetap buat Vivi, ya ngga Le, it just sex, not love..,” jawabnya.Aku mengambil dan mengenakan kembali pakaianku, lalu kubantu dia memakaikan pakaiannya. Waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 12 malam.“Sin, gua mau balik dulu, cepet sembuh yah, bye..,” kataku sambil mengecup keningnya.Sampai di kamar, aku langsung tertidur kelelahan. Lain kali akan kuceritakan pengalaman lain yang tidak kalah menarik, terutama dengan pacarku yang belum kuceritakan sampai sekarang.
s