Suatu hari di kantor, penampilan Sylvia, sekretarisku, agak berbeda dari biasanya. Dengan blazer dan rok mini yang serba merah, sangat kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Belum lagi lipsticknya yang merah senada di bibirnya yang mungil serta rambutnya yang ikal terurai, membuat wajahnya yang judes menggemaskan itu makin nampak sensual. “
Kan hari ini ulang tahunku, jadi boleh dong tampil beda,” jawabnya waktu kupuji. “Kalau gitu pulang kantor nanti kita langsung makan-makan ya,” kataku lagi. Sylvia cuma mengangguk dibarengi dengan senyum manisnya.
Pulang kantor, kami langsung menuju ke resto di sebuah hotel bintang
lima. Sambil makan, seperti biasa kami ngobrol dan bercanda. Memang hubunganku dengannya bukan hanya dalam kerja saja, tapi juga dalam hubungan pribadi. Sering dia aku ajak jalan, entah nonton atau sekedar ke cafe. Dari cerita-ceritanya, aku jadi tahu juga bahwa dia belum lama putus dengan cowoknya yang orang Amerika. Bahkan lebih jauh lagi, dia mengaku sering melakukan ML selama pacaran dan sudah mencoba berbagai
gaya. Dan menurutnya yang paling membuat dia puas adalah bila dia bisa mendominasi pacarnya dengan
gaya apapun. Entah kenapa dia begitu terbuka padaku.
Selesai makan, aku sengaja membuatnya surprise dengan memberinya hadiah menginap di hotel tersebut. Kebetulan hari itu hari Jum’at sehingga dia tidak usah memikirkan kerja esok harinya. “Makasih ya..” bisiknya di telingaku sambil mengecup pipiku. Aku kemudian mengantarnya sampai ke kamar di atas dan melanjutkan ngobrol sambil minum wine.
“Syl, kamu minta apa lagi nih sebelum aku pulang?” tanyaku.
“Aku minta dua hal aja. Pertama, Bapak nggak usah pulang, dan yang kedua, Sylvi pengen gantian jadi boss malem ini aja,
kan Bapak biasa merintah, sekarang aku yang merintah Bapak ya,” katanya agak manja.
Kaget juga aku mendengar permintaannya, dan baru kuingat cerita dia yang suka mendominasi pacarnya tadi. Karena sayangku padanya sembari penasaran juga, langsung kuiyakan.
“Oke, kupenuhi permintaanmu bossku yang cantik, sekarang aku siap melakukan apa saja perintahmu, dan jangan panggil aku Bapak lagi ya,” candaku lagi.
Bagai bermain sandiwara, dengan tetap duduk dan menyulut rokok, Sylvi mulai memerankan dirinya sebagai bossku, dan dengan wajahnya yang memang judes itu pantas sekali dengan perannya.
“Oke Jo, buktikan kata-katamu, sekarang aku mau kamu buka seluruh pakaianmu sambil berdiri..!” perintahnya langsung yang membuatku kaget setengah mati.
“Buka semuanya Syl?” kataku lagi tak percaya.
“Iya..! kenapa? nggak mau?”
“Iy.. iya deh..” jawabku terbata-bata sambil berdiri dan pelan-pelan mulai membuka satu persatu pakaianku mirip penari striptease.
Bersamaan dengan lepasnya pakaian terakhirku alias CD-ku, kulihat Sylvia menatap batang kemaluanku yang masih belum bangkit sambil mengepulkan asap rokoknya. Karena risih, kusilangkan kedua tanganku menutupinya. Namun tiba-tiba Sylvia beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil ikat pinggang di celanaku. Tangannya kemudian menarik paksa kedua tanganku ke belakang dan diikatnya dengan ikat pinggangku. “Nah, begini lebih bagus khan?” katanya lagi sambil duduk kembali di sofa. Kali ini dia menyilangkan kakinya yang ramping itu agak tinggi sehingga rok mini merahnya makin naik ke atas. Kontan kelakianku mulai bangkit perlahan-lahan melihat pemandangan indah pahanya yang putih mulus serta padat berisi itu. Dan memang ini yang diharapkannya.
“Ayo, tunjukkan seberapa besar punyamu,” katanya lagi yang dilanjutkan dengan diluruskannya kakinya ke depan hingga ujung sepatunya yang runcing menempel di batang kemaluanku. Dengan posisiku yang masih berdiri dengan tangan terikat, makin tak karuan perasaanku. Gesekan-gesekan ujung sepatunya di kemaluanku membangkitkan sensasi tersendiri dan malah justru membuatku ingin terus mengikuti permainannya. Sesekali diputar-putarnya sepatunya mengelilingi batang kemaluaku yang makin mengeras sambil terkadang mempertontonkan keindahan pahanya dengan membuka sedikit kaki satunya. Tiba-tiba, Sylvia menghentikan kegiatannya dan menarik kakinya kembali. “Keenakan kamu ya Jo.. sekarang berlutut!” perintahnya yang mengagetkanku, namun kuturuti saja kemudian kemauannya. “Kamu harus berterima kasih sama ini sepatu yang membuatmu keenakan,” tambahnya lagi sambil melepas sepatu berhak tingginya dan menyodorkannya ke mukaku. “Tunjukkan terima kasihmu dengan cium ini sepatu!” Belum lagi aku sempat teratur bernafas, lubang sepatunya sudah menutupi hidung dan mulutku sehingga aku menghirup langsung aroma khas di dalamnya yang makin membangkitkan nafsuku. Tangannya terus menekan sepatunya ke mukaku dan tak membiarkan aku menghirup udara segar, sementara aku tak berdaya dengan posisi berlutut dan tangan terikat. “Enak
kan Jo..? kamu pasti lebih suka lagi sama isinya deh..” katanya sambil menarik sepatunya dari mukaku.
Dengan cepat diangkatnya kaki kanannya lurus ke depan hingga kakinya hanya beberapa centi saja di depan mukaku. Kutatap sejenak kakinya yang indah dan bersih itu. Jari-jarinya mungil dan putih, kontras sekali dengan cutex-nya yang merah menyala.
“Tunggu apa lagi..? ayo cium kakiku!”
“Baik.. baik boss,” jawabku sambil perlahan menundukkan kepalaku menghampiri kakinya.
Mulai kudaratkan bibirku di punggung kakinya dan kugeser pelan dari atas ke bawah sambil merasakan kehalusan kulitnya. Dari situ kugeser lagi bibirku ke samping kakinya hingga ke mata kaki yang membuatnya menggelinjang kegelian. Sylvi nampak sangat menikmatinya sambil terus mengepulkan asap rokoknya. Dinaikkannya sedikit kakinya agar aku bisa menciumi telapak kakinya yang berlekuk indah itu. Sylvi makin kegelian dan mulai merintih pelan waktu kucium sepanjang telapak kakinya yang beraroma khas, namun justru makin membangkitkan nafsuku.
“Ayo, keluarin lidahmu, jilatin cepet!” perintahnya lagi yang langsung kukerjakan dengan penuh nafsu. Dari jilatan panjang telapak kakinya, kuakhiri di bawah jari-jari kakinya yang membuat Sylvi menggeliat dan menarik kakinya mundur. “Buka mulutmu!” perintahnya. Belum lagi mulutku terbuka semua, ujung kakinya didorongnya masuk sehingga jari-jari kakinya yang mungil berada di mulutku sampai aku gelagepan. Tanpa menunggu perintahnya, kumainkan lidahku disela-sela jarinya sambil sesekali menghisapnya. Kulihat kepala Sylvi menengadah ke atas, tanda menahan geli yang sangat. “Isep satu persatu jariku!” demikian pintanya. Sambil kuhisap satu demi satu, diam-diam Sylvi membuka sepatu kaki kirinya dan langsung mengarahkannya ke hidungku yang bebas, lalu menjepitkan jari-jarinya di situ. Kini lengkap sudah kedua kakinya yang mungil itu terlayani sekaligus. Satu di mulutku dan satunya di hidungku. Sementara itu, aku makin bisa menikmati permainan yang penuh sensasi ini, bahkan makin penasaran menunggu perintah selanjutnya.
Kegiatan tadi cukup membuatnya berkeringat, walaupun AC di kamar cukup dingin. Sylvi sekonyong-konyong menghentikan permainannya dan berdiri meninggalkanku yang masih dalam posisi berlutut. Dari kejauhan kulihat dia mulai melepas blazer dan bajunya sekaligus, sementara BH dan rok mininya masih dibiarkan menempel. “Jo, coba kemari!” teriaknya dari depan lemari kamar. Aku kemudian menghampirinya dan berdiri di belakangnya. “Lihat badanku berkeringat nih.. ayo jilatin!” perintah Sylvy makin menggila dan membuatku kaget. Namun aku yang tak berdaya dengan tangan masih terikat ini cuma bisa memenuhi permintaannya saja. Dari posisiku berdiri, kembali batang kemaluanku berdenyut-denyut memandang kemulusan kulit tubuhnya bagian atas yang putih bersih serta mengkilap karena keringatnya. Dan waktu kutempelkan bibirku di bahunya, “Aaah..” tercium aroma tubuhnya yang sangat merangsang gairahku. Campuran antara parfum dan keringatnya ini membuatku tak langsung menjilatinya, namun kugunakan hidung dan bibirku terlebih dahulu untuk menghirup sepuas-puasnya keharuman tubuhnya. Sylvipun tak menolak, bahkan menggeliatkan tubuhnya waktu ciumanku berpindah dari bahunya ke sepanjang lehernya yang putih mulus. Tak kulewatkan gigitan-gigitan kecil di telinganya sebelum Sylvi menyibakkan rambutnya dengan tangan kirinya memintaku turun ke tengkuknya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu.
Dari situ, lidahku mulai menari-nari dengan turus turun menyusuri punggungnya yang mengkilap hingga ke atas rok mininya yang masih menempel kencang. Wajahku lalu kugerakkan ke arah pinggangnya yang ramping, dan waktu Sylvi menggeliat dengan kedua tangan ke atas, wajahku kugeserkan ke atas menuju ketiaknya yang terbuka lebar. Sylvi makin menggelinjang waktu bibir dan hidungku berputar-putar di ketiaknya yang putih bersih tanpa bulu itu, sampai-sampai lengannya dirapatkan kembali hingga kepalaku terhimpit di situ. “Mulai nakal ya kamu,” desah Sylvi sambil menahan geli. Tak banyak yang bisa kulakukan kecuali menghirup aromanya yang penuh sensualitas itu.
Entah apa lagi yang akan dilakukannya. Silvy melepaskan kepalaku tiba-tiba lalu berbalik dan menyuruhku kembali berlutut. Dengan gerakan refleks, tangannya masuk ke dalam rok mininya dan menarik celana dalamnya ke bawah. Begitu lepas, Sylvi langsung merenggangkan kakinya dan mengangkat sedikit demi sedikit rok mininya dengan kedua tangannya, hingga muncul pemandangan indah tepat di depan wajahku. Bagian bawah kemaluannya nampak mengintip di balik rok mininya yang tersingkap. Batang kemaluanku makin keras memandangnya, apalagi dibarengi dengan liukan-liukan erotis pinggulnya yang menggodaku.
“Kamu pasti mau merasakannya
kan?” goda Silvy.
“Ayo, tunggu apa lagi? lumat sepuasnya!” katanya keras sambil menjambak rambutku dan menariknya ke dalam rok mininya.
Wajahku jadi terbenam di selangkangannya dengan posisi terus berlutut dan kedua tanganku yang masih terikat ke belakang. Mulailah bibir dan lidahku menjalankan tugasnya dengan melumat liang kemaluannya yang ternyata sudah basah sedari tadi. Aroma khasnya di situ makin membangkitkan nafsuku untuk memainkan lidahku dengan liar. dan membuat liukan-liukan Sylvi menjadi makin tak karuan menahan nikmat yang tiada
tara. Kadang-kadang kakinya bergetar waktu bibirku menemukan clitorisnya dan mengemutnya lembut.
Merasa tak tahan lagi, Sylvi malah menaikkan kaki kirinya ke atas meja koper di sampingnya, sehingga praktis rok mininya tak menutupi apa-apa lagi. Liang kemaluannya makin terbuka lebar yang membuat lidahku makin leluasa menjilat dan mengemut segala sudutnya. Tangannya makin keras menjambak rambutku ikut mengatur gerakan-gerakan kepalaku di selangkangannya, sampai akhirnya dengan sekuat tenaga ditekannya dalam-dalam wajahku dibarengi dengan hentakan-hentakan pinggulnya yang hebat. “Aghh.. agghh,” teriaknya lepas menandakan telah tercapainya puncak kenikmatan di dirinya. Kedua pahanya menghimpit keras kepalaku beberapa saat lamanya. Sementara itu wajahku pun tak bisa banyak bergerak dan hanya bisa menikmati hangatnya cairan yang membanjir dari liang kewanitaannya.
Pelan-pelan himpitannya pahanya mengendur, lalu dia menyuruhku duduk di kursi tegak di depan meja rias. Sylvi tetap tak membuka ikatan tanganku, bahkan memindahkannya ke belakang kursi, sehingga posisiku mirip orang tahanan yang sedang diinterogasi. Bedanya aku dalam keadaan bugil total dengan batang kemaluanku yang berdiri tegak dan sulit turun, apalagi melihat di kaca rias, Sylvi mulai memerosotkan rok mini merahnya di sebelahku. Beberapa detik kemudian Sylvi membuat kejutan lagi dengan segera duduk di meja rias depanku dengan posisi kaki mengangkang dan tangan menumpu ke belakang. Sengaja rupanya dia berbuat begitu agar aku makin tersiksa memandang segarnya kemaluan wanita muda ini serta keindahan tubuhnya tanpa bisa berbuat apa-apa, walaupun masih tersisa BH mini hitamnya yang membuat buah dadanya menyembul bak hendak keluar.
Masih dengan liukan-liukan erotisnya dengan wajahnya yang dingin penuh sensualitas menatapku, pelan-pelan kedua kakinya diturunkan sambil memajukan tubuhnya hingga kakinya terkangkang menghimpit pinggir kursi yang kududuki. Ingin rasanya segera kutusukkan batang kemaluanku yang tepat berada di bawah kemaluannya, namun Sylvi punya sensasi lain. Mataku yang kini tepat di depan buah dadanya harus memandang gerakan tangannya yang perlahan ke belakang, membuka kaitan BH-nya dan melemparnya jauh. Kedua tangannya lalu dilepaskannya ke samping sambil lebih menegakkan badannya membiarkan mataku tak berkedip memandang kedua bukitnya yang tak begitu besar namun bulat padat dan mancung ke depan. Putingnya yang nampak menegang berwarna merah muda itu sangat kontras sekali dengan warna kulitnya yang putih mulus.
Sylvi membuatku makin panas-dingin dengan gerakan tangannya kemudian yang memelintir-melintir sendiri putingnya sambil meliuk-liuk.
“Kamu pasti mau ini!” kata Sylvi menggodaku.
“Iya boss.. aku mau.. please,” pintaku menyambung.
“Ayo jilat!” perintahnya sambil tiba-tiba menyodorkan buah dadanya ke depan.
“Slurp.. slurp..” lidahku menjilat-jilat putingnya dengan ganasnya bak makan ice cream.
Bersamaan dengan itu Silvy menurunkan tubuh mungilnya sehingga batang kemaluanku yang makin tegak mengeras terbenam ke dalam lubang kemaluannya. “Aaakh..”, desah kami hampir bersamaan merasakan nikmat yang penuh sensasi ini. Tubuhnya bergoyang hebat seirama dengan membabi butanya bibir dan mulutku menjelajah kedua bukitnya yang berguncang-guncang bebas. Keringatnya yang deras di situ makin melicinkan jalannya bibirku berpindah-pindah di kedua bukitnya.
“Ayo gigit.. isep sepuasmu!” perintahnya lagi sambil meluruskan kedua tangannya berpegangan pada ujung atas kursiku. Gerakan pinggulnya yang kadang berputar kadang naik-turun membuat batang kemaluanku bagai dikocok dan terasa semakin licin menembus lubang kemaluannya dari bawah. Ketika goyangannya makin cepat, kembali mendadak Sylvi menghentikan gerakannya dan mengangkat tubuhnya buru-buru. “Aku mau ganti posisi,” katanya cepat sambil membuka ikatan tanganku, lalu naik ke tempat tidur dengan posisi merangkak. Pantatnya yang putih mulus menungging di hadapanku membuatku berinisiatif menciumi bongkahan pantatnya bersamaan dengan kubukanya kedua pahanya lebih lebar dengan tanganku yang sudah bebas. Sylvi tak tahan, apalagi waktu kujilat panjang berulang-ulang di sepanjang belahan pantatnya. “Cepaat masukkan,” teriaknya menahan geli. Segera kuhujamkan batang kemaluanku ke lubang kemaluannya dari belakang. Sylvi meronta-ronta kenikmatan waktu gerakan memompaku makin cepat, apalagi dibarengi kedua tanganku yang begerilya meremas-remas buah dadanya di depan.
Kembali Sylvi tak tahan, dan dia menginginkan permainan ini diakhiri dengan posisi berhadapan. Tubuhnya membalik dengan cepat dan menjepitkan kedua kakinya di pinggangku. Dengan cepat kupompakan batang kemaluanku yang disambut kembali dengan goyangan pinggulnya yang seksi. Sylvi lalu melepaskan jepitan kakinya dan menaruh ujung kakinya di kedua bahuku.
“Gunakan mulutmu.. ciumi apa yang ada,” perintahnya sambil tersengal-sengal.
“Baik boss,” jawabku lagi sambil meraih kedua kakinya yang indah itu ke wajahku dan kujilat-kujilat dengan lahap telapak kakinya.
Goyangan pinggulnya menjadi semakin menggila mengikuti kegelian di kakinya. Sementara posisi batang kemaluanku yang masuk tegak lurus ke liang kemaluannya membuatnya makin mendekati klimaks. Benar saja, Sylvi melebarkan pahanya tiba-tiba dan menarik tubuhku ke arahnya.
“Lebih cepat.. ayo!” perintahnya yang segera kuikuti dengan hujaman batang kemaluanku yang makin dalam dan cepat dibarengi dengan mulutku yang kini mendarat di buah dadanya kembali.
“Ahh.. ahh.. agghh..” teriak Sylvi bersamaan dengan tubuhnya yang melengkung ke atas menandakan kenikmatan tiada
tara.
Sylvi yang mengetahui aku belum mencapai klimaks langsung meraih batang kemaluanku dan mengocoknya cepat. “Aku mau kau keluarkan di mulutku.. cepat!” kata Silvy sambil membuka bibirnya yang sensual itu tepat di depan batang kemaluanku. “Iyya boss.. iyya,” jawabku tersengal-sengal menahan nikmat. “Aaagghh..” erangku kemudian berbarengan dengan menyemburnya cairan dari ujung batang kemaluanku yang langsung memenuhi mulut dan wajah Sylvi. Tak Cuma berhenti disitu saja. Sylvi kemudian menjilat-jilat sisa cairan di sepanjang batang kemaluanku, memainkan lidahnya di ujung kepalanya, dan diakhiri kuluman lembut dengan memasukkan dalam-dalam batang kemaluanku ke mulutnya yang membuatku bagai terbang di awan.
“Sylvi jadi bossku terus aja yah,” kataku sambil mengecup bibirnya lembut setelah kami beristirahat.
“Kenapa.. suka ya permainan tadi? kalo gitu ciumin lagi tubuhku sebelum masa jabatanku berakhir,” katanya lagi yang kali ini agak manja.
“Dengan senang hati boss,” jawabku sambil mulai menjilati kembali tubuh bugilnya yang mulus dan menelentang pasrah itu tanpa ada yang terlewatkan.
Hari Seninnya, pagi-pagi di kantor, kami bertemu. “Selamat pagi boss,” sapa kami bersamaan. Aku dan Sylvi saling memandang sejenak lalu tertawa bersama. So, who’s the boss?