Setelah basah seluruhnya, dia pun mengoleskan batangan sabun tadi ke tubuhku mulai dari tanganku. Ada perasaan aneh lagi yang muncul setiap kali dia menggosokkan sabun ke badanku. Perasaan aneh ini sangat terasa sekali ketika batangan sabun dioleskan ke payudaraku yang bengkak itu. Perasaan geli yang sangat menyebabkan putik pinangku menjadi mengeras. Begitu sabun dioleskan, tangannya pun bermain mengelus lembut kulit tubuhku.
Aku perhatikan sang dukun berbadan gagah dengan kumis tipis dan jenggot yang mulai tumbuh sedikit. Kulitnya hitam manis seperti berminyak, mungkin karena dia pekerja keras. Lengan dan kakinya berotot dan rambutnya hitam lurus namun dipangkas sedang. Secara keseluruhan badannya cukup atletis. Penilaian ini hanya aku buat akhir-akhir ini, karena pada waktu itu aku hanya terbengong-bengong saja sebab seumurku belum pernah melihat orang seperti dia. Aku hanya bisa kagum dan terheran-heran. Mungkin dia mengerti dengan keadaanku ini. Aku jelas dapat melihat bahwa matanya selalu melirik ke arahku.
"Oh, iya, saya lupa, namaku Atin. Orang biasa memanggilku Bang Atin," katanya lagi sambil memperkenalkan diri.
Seterusnya kami pun memperkenalkan nama kami. Kakakku mulai menceritakan keadaan kami dan tentunya keadaan aku yang kata kakakku tidak normal. Rupanya selama hidup di hutan, banyak kata-kata yang kami tidak mengerti dari yang disampaikan oleh Bang Atin. Bang Atin pun menceritakan bahwa dia pernah mempunyai teman hidup namun saat ini sudah meninggal seperti orang tua kami. Entah mengapa kami merasa seperti senasib saja.
Bang Atin dalam bercerita amat simpatik sekali sehingga kami merasa senang dan akrab. Hari sudah mulai malam dan kami pun ditawarkan untuk makan malam bersama Bang Atin. Kami tentu saja bersedia karena memang sudah lapar sekali. Setelah itu kakakku, Antan, ditawarkan mandi dulu baru tidur sedangkan aku harus mandi dulu sebelum pengobatan dilakukan. Akan lebih baik apabila aku mandi dengan diarahkan oleh Bang Atin. Itu yang dikatakan oleh Bang Atin. Setelah selesai kakakku mandi maka pembicaraan tentang pengobatanpun dimulai.
"Ini Munah, aku panggil adik saja, ya! Pengobatannya tidak bisa hanya satu hari saja. Sekurang-kurangnya harus tiga hari. Kalian boleh tinggal di sini sampai pengobatannya selesai. Pengobatannya tidak perlu dibayar. Pengobatannya akan lebih baik dilakukan pada malam hari," kata Bang Atin.
"Yah, kalau memang begitu tidak apa-apa, yang penting adikku bisa sehat," jawab kakakku.
"Tetapi dia tidak bisa langsung sehat, perlu beberapa minggu baru pulih, dan yang penting kalian nanti bisa mengerti bagaimana cara menjaga kesehatannya. Aku akan ajarkan Munah nanti cara-cara olah tubuh untuk menjaga kesehatannya." kata Bang Atin lagi pada kakakku.
Aku hanya diam saja karena tidak begitu mengerti, apalagi dengan kata-kata "olah tubuh" yang diucapkannya itu. Aku bersedia diobatinya karena aku ingin betulbetul sehat. Hari sudah berangkat malam, suara jengkrik dan belalang malam pun mulai bersahutan. Kakakku ditawarkan oleh Bang Atin untuk tidur di atas ranjang rotan yang terletak di ruang tengah. Langsung kakakku tidur karena mungkin dari tadi sudah lelah. Bang Atin, sang dukun, menyelimuti kakakku dengan selembar kain panjang. Tidak lama berselang suara dengkur kakakku pun mulai terdengar. Bang Atin mulai berbicara kepadaku tentang cara-cara pengobatan yang akan dilakukannya.
"Munah, kamu harus mandi dulu, Abang akan membantu kamu membersihkan tubuhmu, supaya penyakit tidak mudah lengket," katanya.
Kemudian dia tersenyum manis kepadaku dan mengajakku ke perigi di ruang belakang rumahnya. Aku mengikutinya dengan keadaan yang masih terheran-heran. Aku melihat dia mengambil semacam batangan dan selembar serabut. Akhirnya aku baru mengerti bahwa itu yang dinamakan sabun dan sabut penggosok. Setelah sampai di perigi yang disekelilingnya dipagari oleh bambu, aku pun disuruhnya berdiri. Sambil menunduk dia mendekatkan hidungnya ke bahuku namun belum menyentuhku. Aku ukur tinggi badanku kira-kira sebahunya.
"Kamu jarang mandi, ya? Tubuhmu masih bau keringat. Kamu tidak perlu takut kepada ku," katanya.
Aku pun berusaha tenang dan pasrah terhadap apa yang dilakukannya. Dia mulai menyentuh tanganku dengan menggenggam jemari kananku. Aku terkejut, ada getaran baru yang belum pernah kurasakan. Aku belum pernah disentuh selembut itu oleh seorang lelaki lain. Getaran demi getaran meletup dari dalam dadaku ketika semakin erat Bang Atin menggenggam jemari tanganku.
"Kamu harus buka dulu pakaian biar Abang mudah memandikan kamu," pintanya.
Aku masih bingung dan diam. Kemudian tangannya mulai membuka simpul kain sarungku dan melepaskannya ke bawah. Kain sarungku pun jatuh ke lantai dan langsung basah oleh sisa-sisa air. Selanjutnya baju ku pun dibukanya dan dijatuhkan lagi di lantai. Terpampanglah tubuhku tanpa sehelai benangpun, karena aku tidak pernah memakai yang namanya celana dalam, singlet dan beha. Barang-barang itupun baru kutahu akhir-akhir ini. Di keremangan sinar bulan ditambah sedikit cahaya lampu togok yang redup tubuhku diperhatikannya dengan seksama.
Beberapa kali kulihat dia memandangku penuh perasaan dari atas sampai ke bawah. Aku semakin bingung saja, perasaan aneh berkecamuk dalam diriku. Dia merangkul pundakku dan menarikku ke arah baskom besar berisi air. Aku disuruhnya berjongkok dan dia pun mulai menyiramkan air ke tubuhku mulai dari rambut kepalaku. Akh, dingin sekali malam itu. Rambutku yang panjang lebat dan hitam pun sudah basah. Seluruh tubuhku tak lepas dari guyurannya.
Tubuhku bergetar dan menggelinjang ketika jemari tangannya mengusap-usap payudaraku yang belum pernah disentuh itu. Tidak lepas satu inci pun kulit tubuhku yang luput dari olesan sabunnya. Setelah itu dengan lembut digosokkannya sabut lembut itu ke tubuhku. Aku semakin kegelian saja. Aku tak sadar lagi perasaan yang kurasakan saat itu. Aku telah lupa dengan dinginnya malam itu, berganti dengan geli akibat sentuhannya. Setelah selesai memandikan aku dia mulai melap badanku dengan sehelai kain tebal yang akhirnya kutahu namanya handuk.
Rambutku dikeringkannya dan seluruh tubuhku kering dilapnya. Aku masih tetap terdiam dan terpana dengan perlakuannya yang sangat lembut tersebut. Kemudian dia menyelimutkan handuk tersebut ke sekeliling badanku yang m, enutupi dadaku dan pinggulku. Selanjutnya dia menarik tanganku untuk terus ke ruang tengah. Sambil lewat aku melihat kakakku Antan masih tertidur sangat pulasnya di atas ranjang rotan kecil itu. Bang Atin mendekati kakakku dan memperhatikannya, sepertinya dia memastikan apakah kakakku betul-betul tertidur atau tidak.
Kemudian Bang Atin kembali mendekatiku dan dia menempatkan satu tangannya pada pinggulku dan satunya lagi di tengkukku. Aku terkejut dan menghindar sedikit, namun dengan cepat dia mengangkatku sehingga aku pun berada dalam gendongannya. Aku digendong ke kamarnya. Aku pasrah saja dan ada perasaan senang yang muncul ketika dia memperlakukan begitu. Aku betul-betul tidak mengerti dengan keadaan ini, sudah sekian lama aku belum mendapatkan kasih sayang dari seseorang seperti itu. Kemudian dia mendudukkan aku di pinggir ranjang yang ukurannya kira-kira muat 2 orang tersebut. Dia sibuk menambah alas ranjang itu dengan beberapa lembar tikar dari daun pandan.
Sekarang ranjang itu kelihatan sudah tebal (mungkin maksudnya agar serasa di atas kasur dan jelas aku tambah tidak mengerti). Aku perhatikan kamar itu cukup sederhana sekali, dengan satu ranjang dari kayu dan lantainya di alas tikar. Di dindingnya bergantungan kain-kain yang sepertinya sudah dipakai oleh Bang Atin. Aku melihat satu lemari yang hanya menyerupai kotak sebagai tempat kain-kainnya.
Kemudian satu buah kelambu yang tergantung di atas ranjang yang belum terpasang. Aku merasakan bau yang kurang menyenangkan di kamar itu, namun Bang Atin tampaknya mengerti dengan pikiranku. Dia keluar kamar dan tak berapa lama kembali lagi dengan membawa satu mangkok yang berisi dedaunan. Kemudian dia menyiramkan dengan ujung jarinya air dalam mangkok tadi dan suasana pun menjadi wangi. Rupanya dia membawa wewangian dari dedaunan.
"Sekarang coba adik berbaring di atas ranjang ini!" perintahnya.
Aku pun menurut dan dia pun naik ke ranjang dan menggeser aku ke tepi sebelah dinding. Kulihat dia pun menurunkan kelambu dan memasangnya pada pinggir-pinggir ranjang. Jadilah kami berdua saja yang berada dalam kelambu jarang tersebut. Cahaya temaram lampu minyak itu menampakkan perbedaan kulit kami. Aku tampak seperti sosok putih sedangkan dia seperti sosok kehitaman namun masih jelas ku lihat lekuk-lekuk tubuh kami.
Aku yang hanya memakai handuk sementara dia masih dengan kain sarungnya. Perlahan dia membuka singletnya dan tampaklah olehku kulit dadanya yang bidang. Kemudian dia memiringkan tubuhnya ke arahku dan dadaku terasa berdegup keras kembali menantikan apa yang akan dilakukannya kepadaku.
"Munah, mungkin kamu belum mengerti apa kegunaan milik kamu itu. Sebenarnya banyak kegunaannya. Abang akan jelaskan padamu," begitu katanya memulai bicara.
"Sekarang Abang buka handuk kamu ya?" pintanya.
Aku menurut saja, perlahan dibukanya simpul handukku dan disingkapkannya ke samping. Terbukalah tubuh telanjangku di hadapannya. Tubuh gadis 14 tahun yang sedang subur-suburnya. Kalau boleh aku misalkan sekarang mungkin seperti tubuh Marshanda, artis sinetron itu, tetapi buah dadaku mungkin lebih besar dan rambutku tentunya lebih panjang.
"Kamu tahu kan, ini namanya payudara," katanya seraya tangannya mulai menyentuh dan menggenggamnya. Kembali tubuhku bergetar kegelian.
"Yang ini namanya itup," katanya lagi saat dia memegang ujung puting susuku.
"Kamu pasti merasakan kegelian dan lama-lama akan terasa enak," lanjutnya lagi.
"Ya, Bang," jawabku singkat.
Bersambung . . . . .