Tapi, tak ada waktu untuk memikirkan orang lain, karena tubuhku sedang dijahili kedua pembantuku ini. Kurasakan mereka menyingkap etwselimutku, kemudian mulai meremasi payudaraku, membuatku hampir tak tahan untuk mendesah. Aku bertahan berpura pura tidur, selain wspljtakut mereka akan berbuat yang lebih jauh jika aku "terbangun", aku hanya berharap mereka akan menghentikan aktivitas mereka setellndah membuat cairan cintaku membanjir keluar, seperti tadi siang. Duh, mana aku masih memakai stocking dan celana dalam yang ketat ltgagi. Mereka terus meremasi payudaraku dan nafas mereka semakin memburu, tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Sementara aku berusacaha keras meredam gairahku yang mulai naik, dengan cara membayangkan wajah orang yang sangat jelek.
Celakanya, mereka melanjutkazgjdqn remasan di payudaraku dengan rabaan pada perutku, kemudian dengan nakal mereka bergantian menekan nekan vaginaku yang masih tertzfosutup 4 lapis pakaian, celana dalam, stocking, gaun baletku serta blus biru terusan yang sampai ke lutut. Lalu mereka menarik bluskckju sampai ke pinggangku. Agak kesulitan juga mereka, karena blusku yang memang agak ketat, juga posisiku yang tiduran. Kemudian gauoun baletku juga mereka singkapkan, sehingga pertahanan vaginaku tinggal stocking dan celana dalamku. Dalam hati aku berkata, awas sjchaja kalau mereka berani menyobek stockingku, gaji mereka akan kupotong! Stockingku ini mahal harganya, dan aku Cuma punya sedikit.mew Tiba tiba aku mengejang, menahan geli saat vaginaku kembali ditekan tekan. Kini tekanan itu lebih terasa, karena tinggal stockingiq dan celana dalam ketat saja yang melindungi vaginaku dari tangan jahil mereka.
Kudengar nafas mereka yang makin memburu, dan Sqhyuwito bertanya pada Wawan, "Wan, gimana nih, kali ini ribet nih pakaian si non ini. Apa jangan jangan ia tahu akan dikerjain lagi?tn". Wawan tertawa kecil.
"Aku rasa tidak mungkin To. Kalo nona kita ini tahu tadi ada yang ngerjain dia, pasti dia marah. Tenang mesaja To, gula yang non Eliza ambil tadi itu kan gula buat aku, yang sudah aku campurin obat tidur dosis tinggi. Tahu kan aku susaharygt tidur, dan suka minum yang manis? Tapi nona kita yang ayu ini lagi sial kali. Sesuai kebiasaannya, non Eliza ini kan suka minum snwvtpusu. Dan gula tadi itu membuat dia sekarang dia pasti sedang dalam pengaruh obat tidur seperti tadi siang. Dan, sekarang waktunya toqnon Eliza untuk menyusui kita berdua nih", katanya sok yakin sambil meremas payudaraku dengan keras, membuat aku sedikit mengerutkexnban mukaku menahan sakit. Hmm, untung aku tadi minum susu tanpa gula sebelum balet.
Ternyata kantukku tadi siang yang sudah kudugerzxa tidak sewajarnya ini, gara gara gula yang bercampur obat tidur itu. Sekarang keputusan ada di tanganku. Aku bangun untuk menghenpuhtikan kekurang ajaran mereka berdua ini, atau meneruskan aksi pura pura tidurku sampai mereka puas. Setelah berpikir sambil menahakfan gairahku yang semakin naik, aku putuskan aku harus bangun, tanpa memberitahukan kalau tadi aku minum susu tanpa gula. Aku pikir luytkjika gairahku sudah tak tertahankan dan aku mulai melenguh, gawat juga.
Maka perlahan aku menggeliat pura pura akan terbangun, nwzberharap mereka terkejut dan kabur. Tapi mereka masih dengan penuh percaya diri menganggap aksi mereka aman aman saja karena aku mrtoasih dalam pengaruh obat tidur, meneruskan aktifitas mereka meraba raba dan menekan nekan vaginaku serta meremasi payudaraku. Kelirhxsohatannya tak ada pilihan lain, aku harus bangun dan "memergoki" mereka menjahiliku. Maka aku pura pura baru tersadar dan merintih lunspelan, "oh.. siapa kalian... apa yang kalian lakukan di kamarku? Kalian.. emmmph... emmmph..."
Wawan yang panic membekap mulutku fqdengan telapak tangannya yang lebar, sementara Suwito yang juga panik memandangku dan Wawan bergantian. Wawan membentak kecil, "Tokxchl! Goblok! Bantu aku cepat!!".
Sama seperti aku, Suwito juga terlihat bingung dan bertanya "Bantu apanya Wan?".
"Cepat ikat nonqe Eliza, dasar goblok! Lu mau kita celaka?", bentak Wawan lagi walaupun suaranya dipelankan, pasti karena takut kedengaran Sulikah bcoatdan pak Arifin. Suwito cepat cepat keluar mengambil tali jemuran, kemudian segera kembali. Aku yang mulai meronta ronta menyadari cobahaya ini, ditindih oleh Wawan yang memang badannya besar sekali hingga ku tak berkutik. Bau keringatnya membuatku mual, mengenduylkqprkan rontaan kakiku dan memudahkan Suwito merentangkan kakiku lalu mengikat kedua pergelangan kakiku pada ujung ujung ranjangku. Kjbnemudian tangan kananku ditariknya kuat dan diikat ke ujung ranjang. Aku sudah hampir tak berdaya, tangan kiriku menggapai gapai nawamun segera ditangkap dan seperti tangan kananku, ditarik dan diikat erat di ujung kepala ranjangku satunya.
Kini keadaanku sudavph mirip seperti saat pertama aku ditangkap di UKS kemarin. Bedanya, kini mereka cuma berdua, dan aku masih menebak nebak, ancaman ohapa yang akan mereka turunkan padaku. Dengan cekatan Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku, tapi langsung menyumpal mulutku denoamgzgan sapu tangannya. Aduh, rasanya benar benar tak karuan, membuatku ingin muntah, tapi kutahan sekuatnya. Kini aku hanya bisa menabnwktap Wawan penuh kemarahan namun juga ada rasa takut yang menghinggapiku ketika ia mengancamku.
"Non Eliza, jangan memaksa kami uqhfntuk melakukan hal yang tidak tidak. Kalo non Eliza berteriak hingga mengundang Sulikah dan pak Arifin ke sini, kami bisa membuat nomereka berdua pingsan, lalu menculik non dan menjadikan non budak seks kami untuk selamanya. Non Eliza mengerti?", bentak Wawan, lpukfgagi lagi dengan suara pelan. Dengan pasrah aku mengangguk. Kemudian Wawan dengan kasar melepaskan sumpalan pada mulutku, membuatkukel terbatuk batuk, hampir saja bibirku yang bawah terluka karena terhantam gigiku sendiri.
"Duh Wan, jangan kasar dong", aku sedikodwit membentak karena jengkel sekali. Belum pernah sebelumnya aku membentak para pembantuku. "Kalian ini kurang ajar betul ya. Aku ikyni sudah berbaik hati tidak akan memperpanjang kalian berbuat mesum di dalam rumah ini, tapi sekarang kalian malah berbuat mesum tgmqerhadapku. Ya sudah, mulai hari ini kalian bisa menikmati tubuhku kalau di rumah tidak ada papa mama dan kakakku, saat aku tidak sahedang mens, dan aku sedang senggang, yaitu waktu aku tak ada PR, tugas, maupun ujian. tapi jangan kasar kasar. Juga jangan sampai vnkalian melukai aku ya. Awas kalau kalian berani menyakitiku!", aku mengancam balik.
Mereka saling pandang, kemudian seolah tak oklripercaya dengan pendengaran mereka, mereka bertanya dengan ragu, "mulai hari ini?". Dengan ketus aku menjawab, "Iya. Mulai hari inizivkn! Kalian ini munafik ya. Aku tahu kalian pasti akan berusaha memperkosaku lagi di lain waktu. Daripada nanti kalian mengikatku, meoisumbekapku dan lain lain, itu tidak perlu. Sekarang lepaskan ikatanku. Sangat tidak nyaman tau!". Mereka terlihat ragu ragu. Wawan biojerkata "Wah gimana ya, kalo non kami lepaskan, apa jaminan ...", yang langung kupotong "Aku janji aku akan layani kalian. Toh aku aysudah tidak perawan lagi, jadi buatku tidak ada ruginya. Asal kalian juga berjanji, tak akan main di kompleks pelacuran. Aku takutlvm terkena penyakit kelamin menular. Kalian mengerti? Sekarang lekas, buka ikatan ini. Aku mau mandi dulu!". Mereka melepaskan ikataashdunku, dan memandangiku dengan ragu ragu. Dengan kesal aku membuka semua pakaianku di depan mereka. "Nih. Kalo gak percaya, main ajatva denganku sekarang!", tantangku. Mereka meneguk ludah melihat tubuh indahku yang terpampang polos di hadapan mereka, kemudian merewiuka saling mengangguk, dan Wawan berkata, "baik non, kami percaya. Sekarang bagaimana?". Aku berkata, "Aku mau mandi dulu, gerah niojcbh abis latihan balet. Kalian juga, mandi semua sana. Baunya gak enak tau! Oh iya, ajak pak Arifin sekalian, biar adil. Terus mintalmzj Sulikah supaya berjaga, kalau kalau kakakku pulang".
Aku masuk ke kamar mandi, dan menyemprot tubuhku dengan air hangat, memperkesiapkan diriku yang akan segera digangbang lagi hari ini. Sebenarnya solusi ini menyebalkan juga, tapi aku pikir lebih baik aku mexklvngalah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, toh aku sudah tak perawan lagi, dan aku tak ingin tiba tiba disergap, diikat tak karuanmik, bajuku terobek, disakiti dan merasa diperkosa.
Tiba tiba pintu kamar mandiku terbuka, dan masuk Suwito, Wawan dan pak Arifin hryang sudah telanjang bulat.
"Non Eliza, kita mandi sama sama saja ya", kata Wawan.
"Aduh, masa sudah segitu tak sabar sih? Ya bmcpsudah cepat. Nanti keburu kokoku pulang", kataku.
Mereka bersorak gembira, mengerubutiku dan memandikanku. Kedua tanganku diangkacuwat oleh Wawan yang memang jauh lebih tinggi dariku. Yang lain menyabuni tubuhku dengan penuh semangat, terutama di bagian payudarawh dan vaginaku. Setelah selesai menyabuniku, mereka membilas tubuhku sampai bersih, dan menggiringku ke ranjang. Aku berkata, "Tunnrzfggu, aku keringkan badanku dulu. Dan kalian, mandi dulu sana! Supaya tak terlalu bau nanti waktu main!". Mereka menuruti permintaabtqmwnku, mandi sebersih bersihnya dengan sabunku. Untung saja, sebab aku teringat waktu di UKS kemarin sebenarnya aku tak tahan dengangruze bau mereka berenam, tapi nafsu birahi yang menguasaiku membuatku mampu bertahan.
Dan kini mereka tak lagi berbau tak enak seperawnti tadi, dan aku yang sudah selesai mencuci mukaku di wastafel kamarku, dan mengeringkan tubuhku, tidur telentang di ranjangku dalhaam keadaan telanjang bulat, Aku sempat melihat jam, pukul 19:00. Mereka langsung mengeringkan tubuh ala kadarnya, dan menyerbuku ycxnftang sudah tersaji polos di atas ranjangku. Wawan mendapat jatah vaginaku, sementara Suwito dan pak Arifin mendapat jatah kedua payvnyudaraku. Wawan menjilati vaginaku yang katanya wangi, sementara Suwito dan Pak Arifin menyusu pada kedua payudaraku sambil meremasahz remas cukup keras. Dan aku? Tentu saja birahi yang hebat segera melandaku, aku mengerang, mendesah dan menggeliat keenakan.
Dekslngan penuh nafsu Wawan terus menjilat bahkan mencucup vaginaku. Perlahan tapi pasti, cairan cinta mulai mengalir membasahi dindingrwg vaginaku, yang segera diseruput oleh Wawan dengan rakusnya. Aku sampai menggelinjang kegelian, tanpa sadar kedua tanganku menggenluzfkggam sprei menahan nikmat yang kurasakan sekarang ini. Desahan nafasku semakin hebat ketika Wawan menusukkan lidahnya ke dalam vagbcginaku. Sedangkan pak Arifin dan Suwito semakin bernafsu menyusu ke payudaraku, akhirnya setelah 5 menit aku menggeliat dan mengejapxlqng, orgasme melandaku. Cairan cintaku mengalir banyak keluar, sehingga Wawan kelabakan tak mampu membendung Walaupun tak sedahsyatsfcrp kemarin, tapi sudah cukup untuk membuat nafasku tersengal sengal, seluruh tubuhku berkeringat dan terasa semakin lelah, terutama ehbetisku yang terasa semakin pegal, mungkin karena terlalu sering mengejang dua hari ini, reaksi saat orgasme melandaku.
Kini Wawixan sudah mengambil posisi di selangkanganku, membuat aku memperhatikan, penis seperti apa yang akan segera memompa vaginaku ini. taohernyata penis Wawan tak sebesar dugaanku, paling tak sampai 20 cm, mungkin sekitar 18 cm. Dan diameternya pun mungkin hanya sekecijeul penis pak Edy, wali kelasku yang aku duga hampir impoten itu. Aku jadi sedikit tenang dan tidak kuatir mengalami sakit yang berloariebihan seperti ketika aku dipompa Girno kemarin. Namun aku sedikit bertanya tanya, apa kenikmatan yang aku dapat hari ini akan setphara dengan yang aku dapat kemarin? Aku jadi ingin tahu, penis siapa di antara mereka bertiga ini yang paling besar. "He, kalian diwzkram dulu, jangan membuat non Eliza mulet mulet, aku mau memasukkan punyaku dulu", seru Wawan yang kesulitan menusukkan penisnya karwopunena dari tadi aku menggeliat keenakan saat putingku disedot sedot oleh mereka berdua ini.
Mereka berdua pun diam, ikut memperhashwitikan proses penetrasi penis Wawan ke anak majikannya ini. Clep, demikian bunyi tusukan yang menenggelamkan kepala penis itu dalamiw liang vaginaku, membuatku sedikit mengejang saat menerima tusukan itu. Penis ini terasa begitu keras, dan terus menusuk dalam, taulhndpi rasanya tak akan sampai menyentuh dinding rahimku. Wawan melenguh kencang, "ooouuuugh... heeeeghh...", sementara aku menggigit rcbibir merasakan sedikit sakit yang bercampur sedikit nikmat.
kemudian Wawan mulai bergerak memompa vaginaku, membuat rasa nikmathopa menjalari sekujur tubuhku. Aku menggeliat pasrah, sementara kedua rekannya yang ikut terbakar nafsu, meminta pelayanan yang lebihpstcw dariku. Suwito menaiki perutku, dan meletakkan penisnya di tengah payudaraku. Aku dipaksa merapatkan kedua susuku dengan kedua taztxgunganku hingga menjepit penis itu, lalu ia mulai menggesek gesekkan penisnya yang juga tak terlalu panjang, dan tak terlalu lebar jqcguga diameternya, di antara lipatan buah dadaku.
Lalu pak Arifin menyodorkan penisnya ke wajahku, yang membuatku tertegun. Nyarishbwek sebesar punya Girno, hanya yang ini lebih berurat. Dengan ragu aku mengulum penis pak Arifin, yang tentu saja tak muat dalam mulueyntku yang mungil ini. Tiba tiba telepon di kamarku berdering, dan pak Arifin melepaskan penisnya dari mulutku, mengambil telepon itjou dan mendekatkan padaku. Sementara Wawan dan Suwito dengan cueknya meneruskan aktivitasnya. Wawan terus memompa vaginaku dan Suwito terus menikmati jepitan payudaraku pada penisnya.
Bersambung . . . .