Karena acara mengikuti misi kesenian ke Bandung, aku dan Niki sibuk beli ini itu untuk persiapan, dilanjutkan packing pakaian dan perlengkapan sampai malam. Aku tidur di rumahnya, tapi karena kecapean kami tidak sempat menyalurkan hasrat, maka paginya batangku keras sekali. Sambil kencing barangku kucuci bersih tapi tetap keras mencuat di balik celana pendek, yah.. apa boleh buat!
Aku mendaratkan pantatku di sebelah Niki yang duduk di sofa sambil nonton berita pagi. Bantal kuletakkan di pangkuan supaya keteganganku tidak tampak oleh pembantu yang mondar mandi di sekitar kami. Saat si Sri (pembantu itu) pindah menyapu teras, kutunjukkan pada Niki ketegangan barangku dengan mengangkat bantal.
"Iih.. keras banget..!" katanya saat meremasnya, ia juga menunjukkan putingnya yang bangkit membayang di balik kaos tipisnya.
Lewat lengan kaosnya yang longgar tanganku menyusup mencari puting yang mencuat, sementara ia terus mengurut penisku. Niki mulai menggeliat, tanganku pindah mengusap pahanya, terus menyusup ke dalam celana pendeknya yang longgar. Aku berhasil mencapai klitorisnya. Niki merintih sambil membaringkan tubuhnya di sofa untuk memudahkan pencapaian tanganku ke kemaluannya.
"Yang.., jangan nekat.. ada si Sri tuh..!" Niki mencoba bertahan dengan mulut kemaluan yang berangsur semakin basah oleh sentuhanku.
Ia mengangkat kepala mengamati posisi Sri yang kini menyapu halaman.
"Bentar lagi dia selesai lho.." Niki berbisik mencegahku, tapi pahanya makin mengangkang dan celana longgarnya makin tersingkap.
Posisi itu makin memudahkan jariku menjelajahi kemaluannya. Dengan ibu jari kugesek klitorisnya seraya jari tengahku amblas ke dalam liangnya yang sudah licin berdenyut.
Niki merintih saat jariku keluar masuk di liangnya, sementara jempolku menggetarkan kelentitnya.
"Udah gitu aja, enak Yaang..!"
Aku yang sudah keras dari tadi mana dapat ditahan, kukeluarkan senjataku lalu lewat sela-sela celananya kepala penisku menyumpal di mulut vaginanya.
"Aahh.. Yangg.. nekaatt kamuu, udaah cepetan..!"
Niki mengubah posisi jadi agak menungging, tangannya bertumpu di lengan sofa seperti orang push-up. Dengan tangan bertumpu di sandaran sofa, kutekan batangku hingga amblas di liangnya yang sempit. Niki merintih sambil menggoyang dan meremas dengan vaginanya, matanya tetap memantau ke pekarangan. Sementara sambil batangku keluar masuk di liangnya dengan cepat, jariku terus merangsang kelentitnya.
Dalam waktu beberapa menit ia orgasme dan aku menyusul tidak lama kemudian. Inilah orgasme tercepat dalam riwayat persenggamaanku. Saat Sri selesai menyapu, kami juga sudah selesai merapikan bekasnya.
Dalam perjalanan ke Bandung Niki kelelahan, tidur terus di bis. Di sana kami sibuk sehingga tidak ada yang penting diceritakan, lagi pula Niki jatuh sakit. Sepulang dari Bandung aku dapat laporan dari sumberku tentang Nirwan yang dapat JOB besar dari 'bisnis pentungannya' (sorry lagi Ki, aku tidak cerita ke kamu).
Tapi akhirnya sial buat dia, karena Niki memergokinya kencan dengan sahabatnya, orang yang justru mengenalkan mereka. Niki marah besar dan bubar..! (Aku bersyukur, Niki tidak jatuh ke tangan gigolo tanggung. Pernah kucoba mengorek dari Niki soal 'kehebatan' permainan Nirwan yang profesional, maksudnya untuk kutiru. Tapi Niki tidak pernah mengaku, ia malah bilang aku lah yang terhebat. Bener nggak sih!)
II. Babak Ketiga: Terbaik Untuk Semua
Sepeninggal Nirwan, hubunganku dengannya tenang-tenang saja, acara bercinta melepas kerinduan berjalan lancar, rutin tapi penuh variasi. Seringkali aku mengantar atau menyusul ke kampusnya sekedar agar dapat jalan bersama.
Sementara aku sulit menghilangkan kecanduanku pada remasan saktinya, Niki juga punya ketergantungan tinggi terhadap pijatanku. Maka saat pulang dari kampus, biasanya Niki mengemudi dan aku duduk di jok belakang jok, lalu dengan kedua tangan aku memijat leher dan punggungnya. Niki sangat menikmatinya, apalagi bila saatnya aku melepas kaitan BRA, kedua tanganku menyusup ke dada memilin putingnya.
Niki memang driver yang hebat, sambil mendesah-desah menikmati sentuhanku ia tidak kehilangan konsentrasi mengemudi. Bahkan saat jok sebelah direbahkan hingga rata, dan dari situ aku dapat menjangkau pangkal pahanya dengan tanganku, sambil menggelinjang dan mendesah Niki tetap mengemudi dengan stabil.
Posisi ini termasuk favorit. Bayangkan, kakiku di jok belakang sementara badan menggeletak di jok samping yang direbahkan. Rok disingkapkan sebatas panggul hingga tanganku dapat memeluk paha kiri sambil menciuminya. Kaca mobil yang gelap membuat seolah Niki sendirian di mobil, sementara dengan leluasa jariku dapat menggosok vaginanya (yang kadang terbungkus CD kadang tidak) sampai basah. Niki tinggal mengatur duduknya agar cukup mengangkang. Saat-saat dibutuhkan menginjak kopling, kaki kirinya diturunkan, lalu sesudahnya dikangkangkan lagi, dan kembali jariku dapat bekerja.
Posisi ini dapat memberikan sensasi kenikmatan lama sekali (pernah sampai beberapa putaran tol dalam kota!) tanpa orgasme. Maka sesudah beberapa jam berputar-putar, seringkali kami tidak tahan lagi untuk menyelesaikan dengan permainan akhir, kami mendarat di mana saja yang paling dekat.
Oktober 1995 ..
Niki kembali cerita bahwa ia akan dikenalkan pada seseorang dalam acara ulang tahun saudaranya. Aku tidak terlalu perduli, kupikir paling-paling seperti model Nirwan. Untuk persiapannya Niki kuantar mencari kado, lalu ke salon untuk potong rambut. Kami tidak sempat pulang, jadi Niki dandan di mobil yang parkir di tempat tersembunyi. Kulayani ia berhias dengan beraneka perlengkapannya, bahkan saat ganti pakaian kubantu merapikannya (Saat membuka jeans sempat kurangsang kemaluannya sebentar, dan ia suka). Aku mengantarnya lalu turun di jalan sebelum ia masuk ke kompleks yang dituju.
Aku baru tiba di rumah saat Niki menelpon, ternyata ia hanya sebentar di tempat pesta. Ia tidak antusias menceritakan Yogi, cowok baru itu, berbeda dengan Nirwan yang diceritakan dengan menggebu-gebu. Untuk mengurangi kekecewaannya, kusemangati ia dengan komentar yang menyejukkan.
Beberapa hari kemudian aku ketemu dan diperkenalkan dengan Yogi. Ia memang tidak seganteng Nirwan, tapi kurasakan ia jujur dan tegas, hal yang diperlukan Niki. Aku sendiri dapat mengobrol enak dengannya, dan ia nampaknya mempercayaiku. Niki tampaknya mencoba serius dengan Yogi, walaupun jatahku masih dipenuhi.
Pilihannya: Januari 1996 ..
Kepastian hubungan Niki dan Yogi kuperoleh saat ia kuajak 'one night sailing' dengan Awani Dream. Kapal pesiar yang lagi ngetop itu sengaja kupilih untuk mendapat suasana yang nyaman dalam berbincang. Sambil duduk-duduk di anjungan kapal, Niki cerita bahwa ia sudah memutuskan untuk menikah dengan Yogi, sehingga ia harus serius mempersiapkannya.
"Persiapan apa yang kamu rencanakan Ki..?" tanyaku.
Niki menarik napas berat, "Aku harus beresin semua urusan dengan cowok, termasuk Aji dan Fendi. Aku harus siap ditemani dia tiap hari, bukan lagi kamu, untuk segala macam urusan. Aku juga harus belajar cara hidup dia, karena akan jadi cara hidup kita nantinya."
Niki menjelaskan dengan tenang, tegas dan dewasa. Matanya memandang jauh ke tengah laut.
Kupeluk tubuhnya yang terbungkus jaket, kumainkan anak rambut di keningnya.
"Jadi, hubungan kita sampai disini saja..?" aku menegaskan.
"Enggak gitu Mas, aku pengennya masih seperti biasa. Bedanya aku nggak bisa lagi nyediain waktu rutin, tapi setiap saat aku punya waktu luang kita bisa bersama. Niki masih butuh kamu Mas! Cuma yang jelas kita nggak bisa lagi seperti kemarin-kemarin." ia menjawab.
"kalau ini baik buat kamu..,"
"Mudah-mudahan yang terbaik. Yang paling berat, aku harus belajar nggak tergantung kamu, kita musti pelan-pelan belajar berjauhan..!"
Sambil menghela napas, Niki mengahiri penjelasannya.
"Mulai sekarang..?" tanyaku sambil melepas pelukan, menjauhkan badanku.
"Ya enggak dong..! Kamu nih.. ada-ada aja..!" sahutnya sambil menarik tanganku yang melonggar dari pundaknya, tangan satunya dengan nakal mengusap celanaku bagian depan, dengan dilindungi jaketnya ia mulai meremas-remas.
Batangku mulai menggeliat seperti kena setrum, maka pembicaraan serius pun selesai.
"Ayo turun..!" kataku sambil menyeretnya dari anjungan.
Kami berjalan sepanjang lorong kapal, ber 'hello' kepada siapa saja yang ketemu atau hampir ketabrak karena kami berjalan setengah berlari.
Begitu masuk ke kamar, kami langsung berciuman ganas. Lidah kami saling membelit, sementara tanganku melucuti pakaiannya hingga yang tersisa tinggal CD. Aku terpaksa melepas ciuman untuk membuka pakaianku lalu melemparkannya jauh-jauh ke tempat tidur. Di balik celana dalam yang tipis itu terlihat bulu-bulu halus di pangkal pahanya yang mulus, juga dadanya yang besar terpampang di wajahku, mengundang tanganku untuk meremasnya.
Niki melonjak saat jari kiriku menyentuh permukaan liang nikmatnya yang mulai basah. Aku mencium bibirnya lagi, sambil kugerakkan perlahan jari tengahku menyusup di balik CD-nya, kugerakkan naik turun menggosok permukaan vaginanya yang semakin basah.
Masih sambil berdiri, kupindahkan ciumanku ke bukit kembarnya, membuat napasnya makin tidak beraturan. Kucium belahan dadanya, lalu kujilat puting susunya, kumainkan lidahku di sana dan kurasakan napas Niki semakin memburu menghembus kepalaku. Tangan kiriku yang menggosok permukaan liangnya, bergerak ke bawah membuka CD Niki. Ia merenggangkan kaki dan memudahkan CD-nya meluncur turun, kudorong dengan lutut sampai merosot lepas. Kembali tangan kiriku menuju selangkangannya, dengan jari tengah kuusap lembut permukaan liang kemaluannya yang tidak lagi terbungkus apa-apa.
Jari telunjuk dan jari manisku kugunakan untuk membuka liang kemaluannya lebih lebar, sedangkan jari tengahku menyusup ke bagian tengahnya yang hangat dan berlendir, mengocoknya keluar masuk perlahan. Niki mengerang sambil berusaha mengatur napasnya yang semakin memburu. Itu tidak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian tubuh Niki menggelinjang hebat seperti kehilangan keseimbangan. Kulepas tanganku dari liang kemaluan dan kupeluk tubuhnya untuk mencegah jatuh. Lalu kubaringkan di atas tempat tidur. Niki terbujur lurus sambil menarik napas panjang-panjang, menikmati sisa orgasme pertamanya.
Aku tidak tahan lagi, kutindih Niki dari atas dan kuarahkan kepala penisku ke permukaan liang kemaluannya, kugosok-gosokkan perlahan, dan begitu kutemukan liangnya, kudorong pinggulku sedikit sehingga kepala kemaluanku masuk ke dalam. Niki mendesah sambil memelukku lebih erat, bibirnya melahap bibirku seraya memainkan lidah di mulutku.
Kugoyang-goyangkan pinggulku tapi tidak kutekan, sehingga kepala kemaluanku berputar menggilas mulut vaginanya. Niki mengelinjang sambil melenguh, sepertinya ia sudah terangsang lagi.
Ia berbisik di telingaku, "Abisin.. Mas, cepetan.. sekarang..!"
Niki sudah tidak sabar, begitu pula aku.
Sekali lagi kudorong pinggulku dengan sedikit menghentak, kemaluanku melesak sekitar setengah batang. Niki mendesah panjang, kurasakan batang kemaluanku basah oleh cairan birahi. Rasanya hangat dan nikmat karena dinding liang vaginanya memijit-mijit seperti menghisap batang kemaluanku ke dalam. Dalam posisi tertanam setengahnya, kugoyang penisku perlahan, Niki mengangkangkan paha dengan menggenggam kedua pergelangan kakinya. Lalu penisku meluncur perlahan di lorong nikmatnya sampai seluruhnya amblas. Niki mengerang perlahan, kemudian berdesah panjang.
Aku mulai mengocok liang kemaluannya dan Niki mendesah-desah keenakan. Semakin lama kocokanku semakin kencang, dan desahan Niki yang tadi perlahan kini berubah menjadi jeritan-jeritan kecil. Kapal mulai melaju di laut lepas, membuat goncangan-goncangan kecil yang konstan, mengayun tubuh kami dalam buaian yang mengasyikkan.
Beberapa menit kemudian, kurasakan kenikmatan mendesak di ujung kemaluanku, dan kupercepat kocokanku. Niki sendiri semakin liar mencakari punggungku. Lalu seiring benturan gelombang yang memecah di lambung Awani Dream, gelombang birahiku menyembur, membasahi liang vagina Niki yang menggelinjang hebat, kami orgasme bersama.
Malam itu kami menghabiskan waktu nyaris tanpa tidur. Selesai nonton kabaret, kami berkaraoke, nonton film, kembali ke kamar dan bercumbu lagi. Paginya kami pulang sama-sama lunglai namun dengan senyum kepuasan. Lembaran baru sudah menanti untuk dijalani.
Bersambung . . . .