Nita kolegaku - 2

Bookmark and Share
Sabtu itu aku datang sesuai janjiku.
"OK juga rumah kontrakanmu.", komentarku memuji.
"Lumayan.", jawabnya.
Nita menutup pintu lalu mendekatiku, merangkul leherku dan mencium bibirku. Aku menyambutnya, namun tidak lama aku lepaskan.
"Nanti kalau ada yang datang bagaimana?", tanyaku.
"Biasanya sih jarang sekali ada tamu. Kalaupun ada, gampang. Nanti aku katakan sedang tidur.", jawabnya enteng.
"Kita di dalam aja yuk!", ajaknya sambil menuntunku ke kamarnya.

Memasuki kamarnya aku mencium parfum yang membangkitkan gairah. Kulihat spring bed yang sudah ditata rapi.
"Sebentar ya," katanya menuju kamar mandi.
Aku menunggunya sambil melihat-lihat kamarnya.
Tidak lama kemudian dia berkata dari kamar mandi, "Rud kamu jangan lihat sini dulu!"
"OK", kataku sambil membelakangi kamar mandi.
"Sekarang balikkan tubuhmu!", katanya mengejutkanku.
Aku pun segera berbalik.
"Wow.", spontan aku memuji keindahan tubuhnya.
Jantungku berdebar, penisku mulai menegang. Nita yang mempunyai face yang cukup manis dan body yang menarik telah berdiri dihadapanku dengan hanya memakai gaun tidur yang transparan, tanpa BH tanpa celana dalam. Aku tersenyum sambil terus menikmati tubuhnya. Tidak rugi kalau aku membuat skandal dengan Nita.
"Pelajaran pertama, aku akan membuka pakaianmu satu persatu." katanya sok menggurui.

Aku diam saja, untuk sementara aku pura-pura sebagai pemula. Dia memelukku dari belakang dengan lembut. Kurasakan hangat dan lunak buah dadanya di punggungku. Dia menciumi leher dan telingaku sambil mendesah-desah, sementara tangannya membuka kancing bajuku satu persatu. Bajuku dilepaskan, sambil terus menciumi leherku. Aku menikmatinya. Sekarang, tangannya meraba-raba dadaku dan jari-jarinya memijit-mijit putingku. Dia berputar ke depan, mencium pipiku dan mulutku. Ciumannya aku sambut. Kami saling menyedot sebentar, karena dia terburu melepaskannya. Dia mendorongku ke belakang hingga aku terlentang di spring bed. Dia menciumi dadaku, putingku dimain-mainkan oleh lidahnya, digigit, disedot. Sebentar kemudian dia menuju ke perut. Celanaku mulai dilepasnya. Penisku yang sudah tegang sejak tadi langsung terlihat berdiri dengan gagahnya. Segera dia "memakan" penisku. Nita memainkan penisku dengan irama dan lidahnya memberi tekanan. Disedotnya penisku dalam-dalam. Dia lalu berdiri, melepas gaunnya. Aku nikmati aksinya ketika melepas gaun. Mukanya mendekati mukaku.
"Bagaimana pelajaran pertamaku?", tanyanya mengharapkan pujian.
"Boleh juga.", pujiku.
"Sekarang, kamu berdiri!", dia memerintah lagi.
"Berdiri?", tanyaku keheranan.
"Iya. Nurut aja!", katanya lagi.

Aku berdiri menunggu apa yang akan dilakukannya. Dia mengambil jarak 2 meter di depanku, membelakangiku. Kami sudah sama-sama bugil. Tubuhnya mulai meliuk-liuk, tangannya berputar-putar. Sesekali dia mendekatiku menyodorkan putingnya padaku dan ketika mulutku mau "menerkam", dia segera mundur. Kadang dia terlentang memamerkan memeknya padaku. Sekitar 5 menit dia menari. Selesai menari dia menyuruhku berbaring terlentang.

Kali ini dia mulai agresif. Putingku dilumat habis-habisan, sementara tangannya mengocok penisku. Desahannya cukup keras, "Mmm.. Egh.. Mmm.. Egh.. ". Kemudian dia langsung "menyerang" penisku. "Sluprt.. Sluprt.. Sluprt.. ". Dia memasang posisi 69. Aku dipaksa menikmati memeknya. Lidahku kumainkan pada klitorisnya. Kutekan, kusedot, kutekan, kusedot. Pinggulnya berayun-ayun keenakan. Aku beralih ke lubang vaginanya. Aku sudah merasakan lubangnya melebar, hangat, dan basah. Kujilati cairan yang ada. Kumasukkan lidahku ke lubang vaginanya. Keluar, masuk, keluar, masuk. Sesekali aku sedot. Tiba-tiba dia melepaskan penisku. Pinggulnya digoyang lebih cepat dan memeknya ditekan ke mukaku. Aku tidak bisa apa-apa lagi. Aku merasakan gerakan maju mundur sebentar, sebelum tanganku menepuk pahanya memberi isyarat. Dia pun berhenti.

"Sorry Rud, aku lupa.", katanya sambil ngos-ngosan.
Pantatnya diangkat. Kemudian dia memasang posisi normal.
Mukaku yang basah oleh cairan vaginanya dijilati sampai bersih. Kemudian penisku segera dimasukkan ke dalam lubang vaginanya. Posisi tubuhnya tegak, hingga aku dapat menikmati buah dadanya yang bergoyang-goyang. Dia menengadah ke atas sambil mendesah, "Ah.. Ah.. Ah.. ". Sebentar kemudian, tubuhnya jatuh ke tubuhku. Sambil menggoyang pinggulnya dia memelukku erat. Pantatnya segera kupegang, aku raba, aku remas. Dia mulai mengerang, "Egh.. Egh.. Egh.. ". Pelukannya semakin erat, diiringi tekanan pinggul yang cukup kuat, tubuhnya bergetar dan sejenak kemudian aku rasakan denyutan kuat, basah dan hangat diikuti erangan panjang, "Eghh..". Beberapa detik kemudian dia terdiam, hanya kudengar nafasnya yang mulai melambat.
"Enak Nit?", tanyaku sambil tersenyum.
"Kamu memang betul-betul pemula Rud.", katanya, "Dari tadi, kamu diam aja Rud?"
Rupanya dia masih mengira aku seorang pemula. Mungkin karena aku kurang aktif.
"Jangankan bergerak, kaya gini aja kamu sudah enak tho? Apalagi kalau aku bergerak.", aku mulai unjuk gigi.
Dia bangun mengeluarkan penisku yang masih tegang.
"Mungkin juga.", katanya setelah melihat penisku. Dia coba mainkan penisku lagi dengan mulutnya. Mungkin dia berharap aku bisa segera orgasme. Nggak lama dia melakukan hal itu, dia segera pasang posisi terlentang.
"Ayo Rud, buktikan ucapanmu!", Nita memintaku untuk bermain di atas.

Segera kumasukkan penisku pada lubang vaginanya. Masih dalam posisi tubuh tegak dan pinggulku aku goyang-goyang, aku raba-raba tubuhnya. Buah dadanya aku remas, putingnya aku mainkan dengan jariku. Dengan terus menggoyang berirama, aku mulai turun memainkan putingnya dengan mulut dan lidahku. Dia kembali mendesah, "Ah.. Ah.. Ah.. ". Putingnya kugigit, kusedot, dan mukaku kutekankan pada buah dadanya. Hanya sebentar aku melakukannya. Aku ganti memeluknya sambil dadaku aku goyang-goyang. Dia mulai mengikuti irama pinggulku. Aku pun segera mengganti irama, ada penekanan, dan pelukannya aku eratkan sedikit. Dia mulai mengerang, "Egh.. Egh.. Egh.. ". Tangannya menarik pantatku. Irama goyangan kuubah lagi, tekanan kutambah dan kutahan. Semakin erat remasan tangannya pada pantatku. Pelukanku kueratkan lagi. Dia muali bergetar, aku pun menekan pinggulku dan kutahan. Tubuhnya bergetar, dan kurasakan lagi denyutan itu. Dia pun mengerang panjang, "Eghh..".
"Mau lagi nggak?" aku berbisik.
Dia mengangguk. Aku kembali memberi "hadiah" kepada Nita. Dan ternyata bukan yang terakhir. Nita minta berkali-kali. Dan akhirnya. "Sekali lagi Rud, tapi ini yang terakhir!", jawab Nita ketika kutawarkan lagi. Sekarang aku melakukannya bukan hanya untuk Nita tapi untukku juga. Dan aku berhasil mengaturnya sehingga kami orgasme bersama-sama. Kali ini dia langsung terkulai. Tangannya terlentang, matanya terpejam.

Kukeluarkan penisku dan aku menuju kamar mandi, mandi. Nita tertidur pulas. Setelah aku berpakaian rapi, aku segera merapikan pakaiannya dan menutupi tubuhnya dengan selimut, lalu aku ke ruang tamu. Aku membaca-baca koran dan majalah yang ada sambil menikmati makanan kecil dan segelas sari buah. Satu jam lamanya aku menunggu Nita yang terlelap.
"Rud, kamu di mana?", teriaknya.
"Di sini. Ada apa Nit?", aku menuju kamarnya.
"Makasih ya Rud. Kamu kok hebat banget? Jangan-jangan kamu gigolo?", katanya menebak.
"Enak aja ngomong. Terus terang Nit, aku mungkin seperti kamu. Aku terbiasa onani dan baru kali ini aku bercinta dengan wanita, ya dengan kamu ini." kataku mencoba meyakinkan.
"Nggak percaya.", sergahnya.
"Emang kamu pernah main sama gigolo?", tanyaku kemudian.
"Enggak juga sih. Temanku pernah. Dia dibuat KO sementara gigolonya belum apa-apa.", katanya bercerita.
"Berapa kali dia orgasme Nit?", tanyaku.
"Dia itu maniak Rud, kuat sampai 10 kali. Gila nggak tuh? Mungkin karena jam terbangnya lebih tinggi dari aku.", katanya berkomentar tentang temannya.
"Kamu sendiri tadi berapa Nit?", tanyaku sambil tersenyum.
"Pengin tahu aja.", katanya tersipu.
"Sekedar perbandingan aja.", aku memberi alasan.
"Hanya 7 kali.", jawabnya masih tersipu.
"7 kali apa lebih?", tanyaku menyelidik.
"Sueerr, cuma 7 kali.", katanya lagi.
"Biasanya sama Pak Hartono berapa kali?", tanyaku ingin tahu.
"Kalau aku berhasil mencuri start, bisa dapat 3. Bahkan pernah, aku nggak dapat sama sekali. Kalau seperti ini biasanya aku minta lagi setelah dia istirahat.", dengan semangat dia mengisahkan pengalamannya dengan Pak Hartono.
Mungkin kali ini dia merasa beruntung sekali bermain seks denganku.
"Nit aku pamit dulu ya?", aku minta ijin.
Nita bangun, merangkulku, menciumku, kami bercumbu sebentar.
"Kapan-kapan kita main lagi ya?" pintanya.
"OK", kataku sambil tersenyum.
Aku melepaskan pelukannya.
"Segera mandi, nanti ada tamu!", perintahku sebelum aku meninggalkannya.

Setelah peristiwa itu setidaknya kami bercinta seminggu sekali, kecuali jika ada hal khusus, tugas luar kota misalnya. Kabarnya dia juga masih setia "menemani" Pak Hartono. Aku tidak tahu apakah Pak Hartono mengetahui hubungan kami. Yang jelas, dia tidak pernah terlambat untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningku tiap bulan. Suatu ketika Nita mempunyai sebuah gagasan.
"Rud, kamu jadi gigolo aja!"
"Apa? Aku nggak ada pikiran ke sana tuh. Bagiku, keberadaanmu sudah cukup. Nanti kamu malah cemburu."
"Ya enggak lah. Wong kita bukan kekasih kok. Aku melakukannya hanya untuk kesenangan. Kamu bebas berhubungan dengan siapa saja. Maksudku, barangkali nih, ada orang-orang seperti aku, yang gairah seksnya besar, tapi ingin melampiaskan dengan cara sepertiku. Dan kamu adalah orang yang tepat."
Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti.
"Kalau itu maksudmu, terserah. Mungkin ada temanmu yang membutuhkan, silahkan!"

Sejak itu aku tidak hanya bercinta dengan Nita saja, tapi juga dengan teman-temannya. Ada Bu Dewi, Bu Sinta, Mba Rini, Mba Ayu, dll. Mereka semua tidak saling kenal. Dan aku betul-betul menjaga privasi mereka, disamping tentu menjaga diriku sendiri. Kadang mereka memberiku sejumlah uang. Aku tidak tahu apa yang Nita katakan tentangku kepada mereka. Gigolokah? Aku tidak tahu. Dan apakah Nita meminta tips kepada mereka? Aku juga tidak tahu. Ketika kutanyakan hal itu kepada Nita, dia mengelak dan mengatakan.
"Sueerr.. Aku tidak ngomong kamu gigolo. Kalau nggak percaya, tanya aja langsung sama orangnya. Dan kalaupun dia ngasih kamu sejumlah uang, mungkin sekedar tanda ucapan terima kasih padamu."
Satu hal yang pasti. Aku bercinta dengan mereka hanya ketika aku ada kesempatan dan "sedang membutuhkan". Jika salah satu dari dua hal ini tidak terpenuhi, permintaan mereka aku tolak dengan halus. Dan mereke bisa mengerti. Sehingga sampai sekarang aku "masih kelihatan" menjalani kehidupan yang normal dihadapan teman-temanku. Tidak pernah sekalipun ada kecurigaan mereka padaku.

Kepada Nita, suatu saat hubungan kita pasti akan berakhir, oleh karena itu persiapkanlah agar Happy Ending!

Semua nama yang aku sebutkan di atas adalah nama samaran untuk menjaga privasi mereka. Dan aku pun akan menjaga diriku sendiri dengan caraku.

Semarang, 23 Mei 2003

Tamat