Pro di kelasnya

Bookmark and Share
Perburuan terhadap pasangan hidup, selamanya berjalan adil, atau setidaknya begitulah seharusnya yang terjadi. Mungkin lebih mudah kalau kita menengok kepada sistim yang diterapkan dengan adil dalam pertandingan tinju, walaupun bercinta memang bukanlah tinju. Tapi bagaimana jika seorang Mike Tyson dihadapkan pada Wibowo? Nah,..siapa pula Wibowo ini? Jawabnya adalah bukan siapa-siapa alias 'nobody.' Lantas bagaimana reaksi penonton?
Banyak juga kukenal cowo petualang jenis Mike Tyson itu. Seorang pria, katakanlah termasuk eksekutif muda yang cukup dewasa dari segi umur saja, tidak dengan 'hati'nya.
Petualangannya berkali-kali selalu menghasilkan, begitu menurutnya.
Satu sukses yang sebenarnya terjadi di luar kesadarannya, yang satu ini menurutku.

Di luar kesadarannya, yang kumaksud adalah dalam mencari lawan. Instingnya selalu mengatakan padanya mana yang merupakan target yang empuk, selalu menghindari target yang seimbang apalagi yang lebih berat. Karena he just can't afford to lose. Bermain hanya di pertandingan yang diyakini dapat dimenangkannya. Tanpa ada perbandingan dengan yang target yang berat. Terus begitu, hingga lama-lama tertanam kuat di hatinya bahwa, itupun satu pertandingan yang fair, seperti; Minggu lalu dia berhasil meniduri seorang penjaga stand dari satu dept store yang berpenghasilan 300 ribu sebulannya dan dia merasa hebat. Ke esokkannya dia akan berjalan bagaikan dewa. Merasakan dirinya sebagai yang terutama, no 1 dalam permainan ini. Dialah Mike Tyson itu.

Aku tidak terlalu tertarik untuk menuliskan cerita seperti di atas panjang-lebar, membuatku merasa seperti type itu, walaupun hanya dengan mengkhayalkannya. Cerita yang lebih menarik, tentu saja dari kelas yang sama. Katakanlah kita melirik ke kelas bulu junior dalam pertandingan tinju, kelas berat terlalu glamour, lebih banyak mengaburkan cerita dengan kemewahannya. Kisah ini dimulai dengan memasuki sekaligus mengenal satu lapangan permainan yang memang ada, di mana di sana lahir juga banyak pro.

Senja, sepertinya sudah ada dalam surat perjanjian kontrak kerja para pembantu rumah tangga di sekitar rumahku. Bahwa senja adalah satu moment penting yang harus diperjuangkan, seperti halnya 'hak' yang harus dituntut. Mereka harus diperbolehkan untuk keluar berleha-leha, atau biarlah tidak usah bekerja saja kalau permintaannya ditolak. Entahlah, kenapa senja itu menjadi begitu penting bagi mereka, ataukah mereka juga pecinta alam sejak dari desanya. Karena matahari sunset memang terlihat juga dengan indahnya dari komplek rumahku.

Akhirnya karena tuntutan itu, suasana senja memang sangat ramai di depan rumah. Semua pembantu keluar dengan pakaian yang bersih, berjejer di depan pintu rumah majikannya masing-masing, memamerkan senyumnya, saling menggoda. Dan akan lewat disana, bujang-bujang penjual ketoprak, rujak, sate, juga penjual kembang tahu. Seorang tukang roti keliling dengan mobil. Dia menjadi lebih special, karena tidak mengusung atau mendorong dagangannya, tidak berkotor-kotor dengan debu maupun lumpur di kaki cakar ayamnya, pakaiannya rapi berseragam logo perusahaan. Dia datang dengan bermobil, lengkap dengan speaker terpasang di atasnya yang berfungsi untuk menjajakan roti yang dibawanya. Tapi sekali lagi, ini adalah senja tuk bersenang-senang, senja untuk babu-babu bercinta. maka hampir dipastikan tidak ada yang benar-benar terjual. Sebaliknya di-nyanyikannya juga lagu dangdut melalui speaker itu sebagai penghangat suasana, yang bagiku akan terdengar seolah menjerit minta perhatian lebih.

Pembantu yang menikmati kebebasan sore hari setelah tidur siangnya, karena pemilik rumah disibukkan oleh kerja kantor, memang menikmati suara penyanyinya. Tukang roti memainkan perannya, dengan bermodalkan mobil roti itu, dia merasa lebih berhak ketimbang tukang baso, ketoprak ataupun tukang kembang tahu, bahkan tukang bangunan di depan sana. Hanya satu yang akan mendapat keberuntungan untuk dicintai si tukang roti, dan yang lainnya cuma boleh memandang dengan perasaan iri.

Kejadiannya terjadi tepat didepan rumah, dengan aku sebagai saksi, karena aku juga menikmati drama manusia itu. Hanya dalam sekejap, pilihan telah dijatuhkan, dan pilihannya adalah pembantu sebelah rumahku. Si pembantu yang beruntung itu bergelayut manja pada pintu mobil yang tanpa kaca itu. Tukang roti duduk di dalamnya tidak sudi bergeser, apalagi keluar meninggalkan mobilnya. Mungkin khawatir kalau pembantu-pembantu yang ramai berkumpul itu tidak tahu bahwa dia datang dengan mobil. Bagaikan seorang raja kecil di singgasana, menggelayut manja di sisinya seorang selir, asik bermesraan, hingga tiba-tiba; tukang roti tergerak juga hatinya untuk turun dari kursi kebanggaannya. Ada apa gerangan?

Akupun tertarik, dan bergeser untuk tahu lebih lanjut. Sial, dia menuju tanaman yang memang kuurus dengan baik di halaman depan itu. Ups,..setangkai lily putih yang memang selalu mekar 4 kelopak bersamaan dalam satu tangkai itu dipotesnya. Memancingku untuk menghardiknya dengan kejam, tapi tidak kulakukan. Masih juga dia merasa tidak cukup dan bergerilya menyusup dalam rimbun tamanku.Tapi kemudian kupikir bahwa, melodrama yang disajikannya, pantas pula untuk dibayar, mungkin seperti ketika kita menonton sebuah pertunjukkan teater di TIM.

Sementara pikiranku berusaha menguasai kemarahan itu. Si tukang roti sudah dengan cepat kembali ke singgasana-nya sebelum dikudeta oleh kneknya yang ikut serta dalam mobil. Kembali pembantu itu bergelayut, lebih manja kali ini, karena dilihatnya sang pujaan hati sudah memetikkan setangkai bunga. Hanya dengan melihat setangkai itu, hatinya pun seketika berbunga. Jantungnya berdebar, kakinya melemas, dan semakin dia bergelayut manja di sana.

Pandangannya yang penuh cinta kepada tukang roti, disambut dengan uluran tangan tukang roti, setelah memisahkan satu kelopak lily yang kini berada dalam jepitan jarinya, perlahan sebelum sumringah pembantu itu reda, ditambatkannya pada satu telinganya, tentu dengan sebelumnya menyibakkan rambut panjang terurai itu. Satu di kiri, dan satu lagi di kanan.

Bah, apakah ia sengaja ingin mempermainkan kekasihnya dengan itu, karena dalam pandanganku, kelopak besar bunga lily di kanan-kiri, menjepit hidung besar yang mekar karena bangga itu bukanlah pemandangan yang ingin kita lihat dari kekasih kita. Tindakannya itu jelas merusak semua ide tentang nilai romantis dari bunga, membuatku semakin anti terhadap jurus bunga yang satu ini. Walaupun memang ada yang melakukannya dengan anggun, dengan style. Tapi dengan satu contoh seperti itu melekat kuat di benakku, bagaimana aku dapat melakukannya lagi dengan style? Whatever, pilihannya dalam beromantis, bukanlah aku yang berhak menentukan.

Dua kelopak yang tersisa, diserahkan langsung ke dalam genggaman jemari yang lentik juga baginya. Rupanya pandai pula dia menghitung bunga yang dibutuhkan untuk satu moment percintaan ini. Belum cukup dengan itu, masih juga setangkup bunga melati yang juga berasal dari halaman depan rumahku berpindah tangan. Wah, rupanya bunga melati itu yang dicarinya tadi, sekedar pewangi untuk suasana romantiskah? Tidak begitu jelas bagiku, ilmuku belum lagi mencakup pengetahuan tentang itu.:

Mungkin saja kedua kaki pembantu itu sudah tidak lagi menginjak bumi, , melayang, kelimpahan kasih yang tiada habis. Saat aku menghela nafas itu, entah sudah di langit keberapa dia berada. Sedang aku masih di balkon yang sama.

Pembantu lainnya bukan tidak mengetahui apapun, mereka adalah pemain figuran yang masih juga melotot, mengharapkan kasih itu tiba-tiba berpindah, dan mereka kejatuhan bulan tuk menjadi pemain utama di episode berikutnya. Tapi yang tampak di wajah adalah kecemburuan yang hitam, yang tak tertutupi oleh kemampuannya dalam berperan akting, kecemburuanya adalah kebahagiaan pelaku utama lakon, tentu saja.

Demikianlah, berakhir satu babak drama suatu senja di halaman depan rumahku.

Aku memang mencoba mencerna tentang kebahagiaan mereka. Kebahagiaan yang kukira sama dengan gadis berjaket Armani dalam mobil Celica kekasihnya. Sama. Kebahagiaan adalah satu hal yang adil.

Maka kusimpulkan kalau tukang roti itu adalah juga pro, karena dalam lapangan permainan yang adil, semua pemenangnya adalah pro. Nyatanya setiap harinya semua orang dapat jatuh cinta, setiap harinya mereka menikah dan beranak pinak juga.

Kebahagiaan hidup adalah sama dengan kesulitan hidup, masing-masing dari kita akan bahagia ataupun bersedih dalam takaran kita sendiri, berat ringannya sama diukur dalam takaran hati.

Lantas bagaimana sampai tercipta seorang pecundang? Jelas mereka adalah jenis yang bermain aman, dengan melompat atau memasuki lapangan permainan di mana di sana dia mendapatkan lebih banyak kekuasaan. Memasuki sisi mimpi yang lebih mudah ditembus, yang tentunya dia memiliki akses berupa fasilitas untuk itu. Kita lupakan itu, bukankah sudah kukatakan tidak lagi menarik membicarakannya. Mari kita lihat bagaimana nasib si tukang roti dan kekasihnya.

Seminggu setelah drama tukang roti itu, datanglah banjir besar yang melanda jakarta. Seluruh peghuni komplek di lingkunganku mengungsi. Yang tinggal hanyalah pembantu, menjadikannya ratu dalam rumah itu selama musim banjir dengan ransum yang berlebihan pula dalam refrigerator. Akupun bertahan dalam kesendirian, menikmati kesunyian itu, dengan pemandangan air sejauh mata memandang. Cukup menghanyutkan hati. Kemudian dimulai juga drama babak kedua itu, di mana sebelumnya tidak kusadari.

Sepanjang siang, mereka yang tiba-tiba menjadi ratu dalam rumah mewah itu, mendadak jadi liar. Mereka berkumpul di setiap balkon rumah masing-masing, berteriak bersahut-sahutan. Saling menggoda dan tertawa. Waak, apa yang mereka lakukan, pikirku terganggu. Hanya terlintas di pikiranku, kalau pembantu sebelah tentu merindukan kekasihnya tukang roti yang tidak lagi dapat berjualan dengan banjir setinggi itu.

Tidak terlalu kuperdulikan awalnya, hingga senja menjelang dan aku kembali menikmati teh celup panas di balkon. Begitu kududukkan diriku di sana, seketika kusadari kalau drama itu ternyata sudah dimulai sejak siang tadi. Lima orang pemuda tukang bangunan persis didepan rumah, bertahan disana, kesulitan dalam mencari kendaraan untuk pulang kampung. Pantas kenapa begitu banyak kebisingan sejak siang tadi. Atau istilah dalam serangga, pembantu yang menyebarkan aroma mengundang kepada jantan untuk berkembang biak.

Walaupun dengan sikap terkesan masa bodoh dengan mereka, aku menyimak dengan teliti, berusaha mengejar cerita yang tertinggal. Aku kembali tersenyum ketika menyadari kalau pembantu sebelah rumah itu lagi-lagi menjadi tokoh utamanya. Sesuatu yang mungkin dimilikinya, tidak terdapat pada pembantu lainnya, mungkin semacam sex appeal. Entahlah, mungkin dialah pro di dunianya. Karena kulihat pembantu yang tepat bersebelahan dengan bangunan yang direnovasi itupun tidak sanggup bersaing, walau kulihat dia sudah menjual dengan sangat murah, pakaian terbaiknya dikenakan lengkap dengan liontin emas di lehernya. Belum lagi sikap dan gaya bicaranya yang seolah menawarkan jaminan kepuasan, jika seandainya dia terpilih. Benar, persis seperti kampanye pemilihan gubernur.

Sahut-sahutan itu, memang suatu yang lain. Kadang begitu polosnya, tanpa melepaskan pula kebodohan yang terkandung didalamnya. Hingga tepat sebelum malam jatuh dari langit, tampaknya kembali pilihan telah dijatuhkan kepada pembantu sebelah rumah dan sekaligus diterima dengan baik. Sisanya abstain, tidak menjatuhkan pilihan sama sekali. Easy..memang pembantu sebelah rumahku adalah pro. Pendukung yang tadinya ramai juga berkicau, terdiam, satu persatu mengundurkan diri, tertunduk dikalahkan, dan memasuki kegelapan didalam rumah, meratapi nasibnya. Yang berbunga di hatinya, masih bertahan di balkon. Akupun menyusul masuk kemudian, karena pertunjukkan memang telah usai.

Hanya sekitar 15 menit, ketika sunyi datang mengikuti gelap. Kudengar suara orang berjalan di air, aku mungkin harus waspada, karena memang sudah beberapa rumah yang ditinggal penghuninya kemasukan maling. Entahlah, mungkin juga tadinya maling itu adalah pujaan dari pembantu rumah yang nekad mengundangnya masuk ke dalam sementara nyonya rumah mengungsi.

Ketika aku mengintip dari balik tirai jendela, kulihat pembantu sebelah itu berjalan pelan, menyeret langkahnya tertatih-tatih dalam air yang selutut. Langkah pasti menuju rumah depan, rumah tempat pujaan hati bersarang bersama keempat temannya. Berdiri sejenak di pagar depan yang memang sudah terbuka, entah sengaja disiapkan atau tidak. Bersiul-siul dia di sana meneliti lingkungannya, ketika dirasakannya aman, dia bergerak gesit, tidak lagi menyeret langkahnya, tapi hampir seperti melompati genangan air yang sebenarnya terlalu tinggi untuk dilompati. Tepat di depan pintu utama, diapun terjerembab jatuh, separuh badannya tenggelam sepersekian detik. Namun dengan kesigapannya dia bangkit ditambah dengan sebuah tangan kokoh menyambutnya serta menyeretnya kedalam. Kemudian sebuah kepala terjulur mendeteksi keamanan lingkungan. Aku mungkin seharusnya tertawa, tapi rasa lain yang membuatku terbengong-bengong, shock, atau entah apa tepatnya? Kagum dengan adegan yang di luar dugaan itu.

Ingin sekali aku berbagi cerita dengan kalian tentang itu. Tapi mereka berada di dalam rumah yang dalam perbaikan. Gelap, 1 wanita, 5 pria, sama kesepiannya, tidak jelas tentang apakah sama horny-nya kah mereka. Ok, untuk sama memuaskan otak kotor kita, mari kita berandai-andai saja. Karena memang hanya itu yang bisa kita lakukan jika ingin cerita ini terus berlanjut, juga dengan kesadaran kalau cerita ini seharusnya saru.

Karena kuyakin, kalau pembantu itu baru akan muncul keesokan harinya. Maka dugaan pertama adalah, pembantu itu basah kuyup keseluruhan pakaiannya. Akankah dia bertahan dengan pakaian basah oleh banjir itu semalaman? Tentu tidak, si Agus yang sebenarnya di taksir oleh pembantu itu akan berbaik hati menawarkan baju extra miliknya. Kalau dia mendapat juga baju gantinya, di mana dia akan mengganti bajunya, dalam rumah yang nyaris tanpa pintu yang memisahkan tiap ruangnya, karena dalam perbaikan total. Misalnya dia berganti baju juga dengan nekadnya, adakah di antara 5 pemuda itu yang tergoda mengintip. Duh, mari kita berkhayal.

Untuk mempermudah anda berkhayal, coba kita pikirkan bahwa, pembantu itu tahu ada 5 pemuda disana, dan masih saja dia menyerahkan diri kesana seorang diri dalam kegelapan, apa yang siap dia pertaruhkan? Kalau benar dugaan kita bahwa memang terjadi sesuatu disana. Apakah setelah satu orang melakukannya, dan ke 4 orang temannya tidak menuntut perlakuan yang sama?

Semua pikiran itu menemani khayalku sampai tertidur, hanya sekitar pukul 20.00 malam, dengan sendirinya aku terbangun pagi-pagi sekali sekitar pukul 4 subuh. Dan sekitar pukul 5 ketika kopiku terasa begitu nikmat. Aku memang disuguhi pemandangan yang bagaikan teman mengopi di pagi buta, yaitu; Pembantu itu kembali berjalan tertatih-tatih keluar dengan pakaian yang itu juga, hanya tentu saja sudah kering dan aku tidak terlalu yakin dengan langkah terseok itu dalam genangan air selutut. Masih terlalu pagi untuk mengotori otakku dengan tuduhan mesum.

Yang jelas, seharian itu sang primadona yang selalu hadir sebagai pesorak atau penggembira, sekaligus juga yang selalu keluar sebagai pemenang itu tidak kelihatan, mungkin terlalu lelah dia tidak tidur semalam suntuk. Dan kembali suasana di depan rumahku terasa begitu sunyi. Karena yang lainnya seakan turut serta dalam keletihan pemimpinnya. Dalam tidurnya itu, bermimpikah dia pada si tukang roti dan janji setianya.

Seandainya tukang roti itu tahu bahwa tanpa setangkai bungapun dia dapat meniduri kekasihnya, tentu dia menyesal, juga tentu bunga di pekaranganku tidak menjadi korban.

Juga seandainya dia tahu yang terjadi semalam, tentu akan diserudukkannya mobil roti itu pada pembatas jalan..sambil berteriak keras..
"bangsat..!!kaauu Surtii.."

Sekali lagi seandainya kita pun tahu, kalau seorang pro, akhirnya kembali akan menjadi tumbal di episode yang kesekian. Seperti kata pepatah, "Dibalik gunung masih ada gunung." Hhueheuehueh..

Tamat